Anda di halaman 1dari 9

POLICY BRIEF

kota di Eropa Selatan yakni Athens (Yunani) dan Venice (Italia); 2 kota di Eropa Barat yakni
Duisburg (Jerman) dan Rotterdam (Belanda); 1 kota di Asia Utara yakni Moscow (Rusia); 1 kota
di Eurasia yakni Istanbul (Turki); 1 kota di Asia Barat yakni Tehran (Iran); serta 4 kota di Asia
Tengah yakni Dushanbe (Tajikistan), Samarkand (Uzbekistan), Bishkek (Kirgizstan), dan Almaty
(Kazakhstan).

Gambar 1.
Konsep Konektivitas OBOR

Sumber: MERICS, 2017

Indonesia berada di tengah persimpangan jalur maritim global. Terlebih saaat ini Presiden Joko
Widodo menjadikan Poros Maritim Dunia sebagai visi pembangunan ekonomi dan orientasi
politik sehingga diperlukan sinkronisasi visi tersebut dengan 21st Century Maritime Silk Road
atau yang juga dikenal dengan Jalur Sutera Maritim. Langkah strategis tersebut perlu
mempertimbangkan berbagai aspek seperti aspek geopolitik, aspek geoekonomi, serta
dinamika kawasan untuk melihat feasibility dan dynamics dari OBOR. Perumusan strategi yang
tepat berdasarkan konstelasi faktual menjadi kunci bagi Indonesia untuk memanfaatkan potensi
dan kesempatan yang ada seperti dalam pertemuan Belt and Road Forum (BRF) yang akan
dilaksanakan 14-15 Mei 2017 di Beijing yang merupakan wadah bagi perumusan platform
kerjasama konektivitas dengan titik berat pada policy integration.
POLICY BRIEF
Paradigma dan Konsep

Geopolitik
Geopolitik dapat dipahami sebagai suatu pendekatan yang digunakan untuk menganalisa pola
berhubungan antar negara dan pembentukan kelompok-kelompok kepentingan yang koheren
( Tuathail and Dalby, 1998). Cara pandang geopolitik pada umunya diwarnai oleh ilustrasi
kontestasi global antara kekuatan utama dunia dalam menggunakan pengaruh dan kontrol
atas negara lain dan sumber daya strategis di dunia. Implikasi dari konsep tersebut ialah politik
perimbangan kekuatan yang terbentang di atas peta politik dunia (Hepple, 1986) menjadi
relevan bagi pengambilan keputusan dalam suatu negara. Diskursus geopolitik di era
globalisasi paska perang Dingin pun meluas dan mencangkup berbagai aspek ekonomi seperti
liberalisme transnasional/neoliberalisme yang direpresentasikan oleh eksistensi lembaga
internasional ( Tuathail, 1995).

Geoekonomi
Globalisasi mendorong logika ekonomi pertukaran global yang pada mulanya didominasi oleh
logika historis pertukaran global dalam geopolitik (Luttwak, 1990). Melihat pergeseran yang
memberikan proporsi aspek geoekonomi yang semakin besar, Cowen dan Smith (2009)
kemudian merumuskan konsekuensi pada tataran pengambilan kebijakan dimana negara
perlu memperbarui strateginya dari basis teritorial ke pengaturan ekonomi.

Baru (2012) mendefinisikan geoekonomi dalam dua cara yang berbeda yaitu sebagai
hubungan antara kebijakan ekonomi dan perubahan dalam kekuasaan dan geopolitik
nasional. Dengan kata lain, sebagai konsekuensi geopolitik atas fenomena ekonomi atau
sebagai konsekuensi ekonomi dari tren geopolitik dan kekuatan nasional. Sedangkan menurut
Silen (2012), geoekonomi adalah studi aspek keruangan, kultural, dan sumber daya dengan
tujuan memperoleh keuntungan kompetitif yang berkelanjutan. Geoekonomi pun bertujuan
untuk menunjukkan bagaimana mendapatkan dan mempertahankan keunggulan kompetitif
nasional dengan cara ekonomi.

Terdapat 5 level of analysis dalam geoekonomi menurut Lachininskii (2012). Pertama,


pembentukan kawasan transnasional tertentu sebagai sebuah kerangka acuan ruang ekonomi
dunia global. Kedua, pembentukan dan pengembangan rantai produksi, jasa, dan keuangan
global, serta jaringan lintas batas sebagai elemen kunci dari ruang ekonomi dunia global.
Ketiga, pengembangan pusat-pusat inovasi global dan regional sebagai titik pertumbuhan bagi
ruang ekonomi dunia global. Keempat, pengembangan dan pengaruh kota-kota global dan
regional sebagai titik utama pertumbuhan bagi ruang ekonomi dunia global. Kelima,
pengembangan integrasi geoekonomi dari daerah dan negara-negara yang berkontribusi
terhadap evolusi lebih lanjut dari ruang ekonomi dunia global.
POLICY BRIEF
Relevansi dan Urgensi Isu
Geopolitik
Pergeseran agenda global di abad ke 21 yang dikenal sebagai Abad Pasifik membuka
momentum baru bagi dunia untuk fokus pada kawasan Asia-Pasifik melalui dua inisiatif utama
yang dilucurkan di tahun 2013. China menggadang OBOR untuk memperkuat kohesi kawasan
dan konektivitas global. Pada saat yang sama, Korea Selatan mengkampanyekan Eurasia
Initiative (EAI). Inisiasi tersebut lahir di tengah reorientasi politik global yang semakin ke Timur
seperti Amerika Serikat dengan Pivot to Asia, Rusia dengan Eastern Dream, India dengan Act
East, dan Jepang dengan Free and Open Indo-Pacific Strategy.

Walaupun setelah tiga tahun disosialisasikan belum ada realisasi proyek, OBOR nampak lebih
prospektif dan realistis dibanding EAI. Pada aspek geopolitik, EAI tidak menawarkan arsitektur
kerjasama baru melainkan mewarisi sistem aliansi hub and spoke yang telah dirintis Amerika
Serikat. EAI pun menjadikan Semenanjung Korea, yang dalam kalkulasi geopolitik cukup riskan
dengan adanya resistensi dan tensi di Korea Utara (percobaan nuklir keempat dan kelima)
disamping goyahnya kepemimpinan nasional President Park Geun-hye di Korea Selatan,
sebagai fokus utama. Instabilitas kawasan pun membayangi EAI.

Di sisi lain, solidnya kepemimpinan nasional di China di bawah Presiden Xi Jinping dan
tingginya kerjasama ekonomi yang disponsori di kawasan diikuti dengan sentimen politik pada
kasus Laut China Selatan. Untuk menanggulangi ekses jangka panjang dari klaim teritorial dan
kehadiran militer di kawasan sengketa, saat ini China dan ASEAN sedang dalam proses
negosiasi untuk merumuskan Code of Conduct. Diharapkan instrument tersebut dapat
mencegah distrust yang dapat mengganjal kesuksesan OBOR terutama di kawasan Asia
Tenggara.

Geoekonomi
Feasibility dari rencana OBOR berdasarkan pertimbangan geoekonomi dapat dikategorikan ke
dalam 2 perspektif yang mencangkup perspektif China terhadap negara mitra di setiap
kawasan dan perspektif negara mitra di setiap kawasan terhadap China. Pertama, kehadiran
China di Asia Tenggaran dengan agenda mendorong percepatan infrastruktur di kawasan
seperti yang disampaikan oleh Presiden Xi Jinping saat kunjungan kenegaraan ke Indonesia
tahun 2013. Pada konteks ASEAN Connectivity, China berhadapan langsung dengan Jepang
yang sudah terlebih dahulu hadir dan menentukan level of playing field di kawasan. Kontribusi
Jepang cukup signifikan dalam pebangunan infrastruktur di area Mekong (Koridor Ekonomi
Timur-Barat dan Selatan) serta infrastruktur meritim dan perhubungan udara (diantaranya
Vessel Traffic Service di Selat Malaka dan Bandara Ujung Pandang). Asia Tenggara pun kembali
menjadi field of contested interest. Geliat Asia Tengah yang menjadi backbone konektivitas
OBOR nampaknya masih terhalang oleh stabilitas politik dan kinerja perekonomian. Masuknya
POLICY BRIEF
beberapa negara Eropa dalam OBOR dapat menciptakan chain effects jika komunikasi dapat
dijalin dengan baik. Absennya negara kunci di Samudera Hindia seperti India, Australia, Afrika
Selatan, dan Uni Emirat Arab menimbulkan pertanyaan atas strategic rivalry yang
kontraproduktif terhadap kesuksesan OBOR.

Kedua, magnitude ekonomi China ke depan menjadi penentu masa depan OBOR. Pada kuartal
1 tahun 2017 perekonomian China menunjukkan geliat positif dengan pertumbuhan ekonomi
sebesar 6,9%. Pertumbuhan yang lebih tinggi dari prediksi awal ini menjadi indikasi awal
rebound dari perlambatan ekonomi akibat strategi rebalancing. Walaupun demikian,
kontribusi investasi infrastruktur yang didominasi oleh pemerintah masih cukup besar.
Kontribusi China terhadap GDP global pun berada pada posisi kedua sebesar 12,6% setelah
Amerika Serikat pada 23%. Kondisi ini menumbuhkan keyakinan negara mitra terhadap
prakarsa China melalui OBOR.

Poin krusial selanjutnya ialah pada skema dan kelembagaan pendanaan proyek dalam OBOR.
Seiring dengan diluncurkannya OBOR, China pun membentuk suatu bank pembangunan
multilateral baru yakni Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) dengan tujuan untuk
memberikan dukungan terhadap pembangunan infrastruktur di Asia melalui fasilitas
pembiayaan. Nampak bahwa AIIB merupakan bagian dari arsitektur baru untuk
merealisasikan konsep OBOR. China memberikan suntikan modal awal bagi AIIB di tahun 2013
sebesar USD 50 miliar serta komitmen tambahan hingga USD 100 miliar. Hingga saat ini, AIIB
memiliki 70 negara anggota termasuk Rusia, India, Inggris, Jerman, Prancis, dan Italia. Perlu
dilihat lebih lanjut alternatif dukungan finansial di luar AIIB pada BRF 2017 (belum ada agenda
pembahasan mengenai hal tersebut ).

Tabel 1.
Perdangan Bilateral China
dengan Negara OBOR, 2015

% terhadap Total Nilai Perdagangan


Negara Mitra Perdagangan China Ranking (USD)
Jerman 3.0% 5 69.2
Vietnam 2.9% 6 66.4
Belanda 2.6% 8 59.6
India 2.6% 9 58.3
Malaysia 1.9% 12 44.2
Rusia 1.5% 16 34.8
Indonesia 1.5% 17 34.4
Italia 1.2% 20 27.9
Turki 0.8% 26
POLICY BRIEF
18.6
Iran 0.8% 27 17.8
Kazakhstan 0.4% 40 8.4
Kenya 0.3% 48 5.9
Sri Lanka 0.2% 54 4.3
Kirgizstan 0.2% 56 4.3
Yunani 0.2% 60 3.7
Uzbekistan 0.1% 82 2.2
Tajikistan 0.1% 94 1.8
Total 20.2% 461.8
Sumber : WITS, 2017

Gambar 2.
Proporsi Perdagangan
Bilateral China, 2015

Sumber : WITS, 2017

Di tahun 2015, negara yang tergabung dalam OBOR berkontribusi sebesar 20.2% dari total
perdagangan bilateral China. Jika OBOR dapat direalisasikan dengan optimal maka nilai
perdagangan diproyeksikan akan meningkat signifikan dari nilai baseline mengingat
infrastruktur merupakan faktor penting dalam arus barang.
Rekomendasi Kebijakan
POLICY BRIEF
1. Posisi strategis Indonesia dalam Poros Maritim Global tercermin dari
perdagangan global yang 40% diantaranya melalui laut Indonesia.
2. Posisi strategis ini dapat digunakan sebagai salah satu daya tawar Indonesia
dalam BRF saat menyampaikan prioritas program dari visi Poros Maritim
seperti investasi pada pembangunan deep seaport, logistik dan industri
perkapalan.
3. Fundamental ekonomi makro Indonesia yang kuat dengan capaian
pertumbuhan 5,01% (diatas pertumbuhan global sebesar 2,8%) pada kuartal
I tahun 2017 serta kesuksesan Indonesia untuk menanggulangi disparitas
harga antar kawasan.
4. Dengan konektivitas Tol Laut merupakan sinyal kuat kemampuan Indonesia
untuk menopang OBOR.
5. Komitmen Indonesia dalam mendorong OBOR juga ditunjukkan dengan
statusnya sebagai salah satu negara pendiri AIIB di fase pertama (24
Oktober 2014).
POLICY BRIEF
POLICY BRIEF

Anda mungkin juga menyukai