Anda di halaman 1dari 24

PERAN KEMENKUMHAM DALAM KEBIJAKAN PERUBAHAN

DELIK HAK CIPTA

MANUSKRIP

Oleh

Adhitya Firmansyah

8111412163

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
Gedung K1 Kampus Sekaran Gunungpati, Semarang 50229

Telp/Fax. (024) 8507891-70709205

Laman : www.fh.unnes.ac.id, Email : fh@unnes.ac.id, twitter: @fh_unnes

1
2
PERAN KEMENKUMHAM DALAM KEBIJAKAN PERUBAHAN DELIK
HAK CIPTA (Analisis perubahan delik biasa pada Undang-Undang No. 19
Tahun 2002 menjadi delik aduan pada Undang-Undang No.28 Tahun 2014)
Adhitya Firmansyah
emailadhit8@gmail.com
Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, Semarang, Indonesia
Gedung K1 Kampus Sekaran Gunungpati, Semarang 50229
Telp/Fax. (024) 8507891-70709205
Website : www.fh.unnes.ac.id, Email : fh@unnes.ac.id, twitter: @fh_unnes

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui ide peran dan ide dasar kemenkumham
pada perubahan delik Hak Cipta. Metode Penelitian adalah yuridis normatif, maka
pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perUndang-Undangan (statue
approach), pendekatan konsep (conceptual approach), dan pendekatan perbandingan
(comparative approach). Penelitian ini menunjukan bahwa, peran Kemenkumham
dalam perubahan delik hak cipta Undang-Undang No 28 Tahun 2014 yaitu aktif
perubahan delik tersebut lebih memberikan hak-hak keperdataan. Ide dasar
Kemenkumham dalam perubahan delik hak cipta pada Undang-Undang No 28 Tahun
2014 yaitu Aparat penegak hukum tidak akan bisa menentukan apakah telah terjadi
tindak pidana Hak Cipta hanya dengan membandingkan barang hasil pelanggaran
Hak Cipta dengan ciptaan aslinya. Simpulan adalah delik aduan akan mempermudah
proses penegakan hukum karena aparat penegak hukum tidak akan kesulitan dalam
mencari barang bukti. Dasar Pertimbangan yang mendorong diubahnya delik biasa
menjadi delik aduan adalah kehendak negara untuk melindungi pencipta atau
pemegang hak cipta. Saran adalah seharusnya delik aduan hak cipta dapat
dikategorikan menjadi delik aduan relatif, untuk meminimalisir pelanggaran hak
cipta, pencipta dan pemegang hak cipta harus saling bekerja sama.

Kata Kunci : Hak Cipta; Kemenkumham; Perubahan Delik.

Abstract
The purpose of this research to know the role of ideas and the basic idea
Kemenkumham on the changes in delict of Copyrights. Methods of The study is judicial

3
normative, then the approach that used is the approach of legislation (statue approach),
approach the concept (conceptual approach), and the comparative approach (comparative
approach). This study shows that, Kemenkumham role on the changes in delict of Copyrights
Law No. 28 tahun 2014 that is active changes in the delict to give more civil rights. The basic
idea Kemenkumham in a copyright delict changes to Law No. 28 tahun 2014 that law
enforcement officers will not be able to determine whether there has been a copyright
criminal offense just comparing infringing goods Copyright by original creation. The parties
infringed Copyrighted prefer their compensation from the offending party rather than
penalized Copyright imprisonment. The conclusions is used to a complaint delict will
simplify and accelerate the process of law enforcement for law enforcement officers will
have no difficulty in finding evidence and to compare between genuine goods and infringing
goods. Basic considerations that encourage ransforms the ordinary delict into the complaint
delict is the will of the state to protect the creator or copyright holder and will of the state to
engage in the international arena in the field of Intellectual Property Rights. Saran was
supposed to be to a complaint delict of copyright can be categorized into relative to a
complaint delict. to minimize copyright infringement is not enough only hope the law
enforcement officials, creators and copyright holders to work together.

Keywords: Copyright, Kemenkumham, changes of delict

4
1. Pendahuluan

1.1 Latar belakang

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (science and technology)


yang pesat selalu diikuti dengan perkembangan kejahatan atau tindak pidana
yang makin canggih dan maju pula. Hal ini ditandai dengan pesatnya
perkembangan cara melakukan kejahatan (modus operandi) maupun alat yang
digunakan. Begitu juga dengan tindak pidana hak cipta sebagai salah satu
lembaga Hak Milik Intelektual (Intellectual Property Rights/geistiges
eigentum) dikenal beberapa jenis atau rezim hak tersebut, yaitu hak cipta dan
hak-hak berdampingan, hak milik perindustrian sepeti paten, merek, rahasia
dagang, desain industri, dan desain tata letak sirkuit terpadu.
Hak cipta adalah satu-satunya rezim yang masuk dalam kategori jenis
delik biasa pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002, Dalam praktik hak-
hak Pencipta belum sepenuhnya dijamin dalam Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2002 tentang Hak Cipta, di sini hak-hak Pencipta dirumuskan secara
global, yaitu hak untuk mengumumkan dan memperbanyak, sehingga hak-hak
Pencipta yang lainnya tidak secara ekspresis verbis dinyatakan dalam rumusan
Pasal 2 ayat (1). Padahal hak menyewakan, mengomunikasikan kepada
Publik, mendistribusikan, menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen,
meminjamkan, menjual, dan menyiarkan seharusnya dirumuskan dalam
norma Pasal dan bukan dalam Penjelasan karena maknanya menjadi sangat
berbeda.
Dampak ketentuan ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan
masyarakat Pencipta yang dalam mengeksploitasi Hak Ekonomi yang
dimilikinya dirasakan belum maksimal karena kurang terlindungi dan tidak
memiliki dasar hukum yang kuat. Berdasarkan praktik di masyarakat,
pemberlakuan delik biasa atas tindak pidana dibidang Hak Cipta dirasakan
kurang tepat dengan alasan bahwa Hak Cipta adalah hak keperdataan yang
bersifat eksklusif. Sehingga idealnya pelanggaran atas Hak Cipta adalah delik
aduan karena yang paling mengetahui adanya pemalsuan atas suatu ciptaan
adalah pencipta itu sendiri.
Beban pembuktian, pelaksanaan penegakan hukum di bidang Hak Cipta,
Penyidik sangat kesulitan membuktikan adanya tindak pidana di bidang Hak
Cipta tanpa adanya laporan dari Pemegang Hak. Dalam pemberkasan perkara
pidana yang ditangani oleh Penyidik, berkas perkara tidak bisa menjadi P 21
kalau tidak ada berita acara pemeriksaan Saksi korban (pencipta), sementara
Penyidik sendiri sangat kesulitan untuk mencari saksi korban mengingat
penciptanya tidak selalu diketahui atau bahkan penciptanya berada di luar
negeri. Dukungan terhadap delik biasa didasarkan pada alasan perlunya
institusi kepolisian memiliki kewenangan untuk proaktif melakukan
penindakan terhadap pelanggaran Hak Cipta. Meski ada ekses dan kelemahan,

5
tetapi dirasa tetap lebih baik dan prospektif mengatasi situasi dan kondisi
pelanggaran Hak Cipta di Indonesia seperti yang berlangsung saat ini. Industri
software, film, dan buku yang masih menggunakan medium konvensional,
membutuhkan dukungan negara dalam perlindungan Hak Cipta yang
diwujudkan dalam kebijakan yang menjadikan pelanggran Hak Cipta sebagai
delik biasa.
Dampak terhadap beban keuangan negara, pelanggaran Hak Cipta di
bidang software, film, musik, seni, dan ciptaan bermedia cakram optik sangat
merugikan sendi-sendi kehidupan ekonomi masyarakat yang akhirnya
merugikan keuangan negara karena penerimaan negara sektor pajak tidak
optimal akibat terjadinya pelanggaran Hak Cipta di seluruh wilayah tanah air.
Seperti data yang bersumber dari Timnas Penanggulangan Pelanggaran
Kekayaan Intelektual menyebutkan bahwa kerugian di DKI Jakarta pada
Februari 2008 sebesar Rp 1 Triliun akibat pelanggaran Hak Cipta. Sementara
itu, surat kabar Republika menyebutkan bahwa kerugian negara akibat
pelanggaran Hak Cipta sebesar Rp 15 Miliar pada Juli 2008. Persatuan Artis
Penyanyi, Pencipta Lagu dan Penata Musik Rekaman Indonesia (PAPPRI)
menyebutkan bahwa kerugian artis dan produser mencapai Rp 4 Triliun
pertahun akibat dari pelanggaran Hak Cipta. Punggawa grup musik KLa
Project, Adi Adrian, mengatakan potensi kerugian yang harus ditanggung
musikus karena tidak adanya aturan soal hak cipta sangat luar biasa. Salah
satu kerugian terbesar, ujar Adi, berasal dari performing right alias hak
menggunakan yang sangat jarang dibayarkan kepada pencipta lagu di
Indonesia. "Setiap tahun, potensi kerugian bisa mencapai Rp 3 triliun," ujar
Adi saat ditemui pada acara pelantikan komisioner Lembaga Manajemen
Kolektif Nasional (LMKN) di Kementerian Hukum dan HAM, Selasa, 20
Januari 2015.
Penghasilan/penerimaan negara sektor pajak seharusnya sangat
signifikan persentasenya, mengingat bahwa hasil-hasil industri musik, film,
software, seni, dan perbukuan berkembang begitu pesat. Kondisi saat ini para
pencipta dan pelaku bisnis di bidang Hak Cipta terasa tidak bersemangat
untuk menghasilkan karya-karya baru, sehingga kreativitas mereka menjadi
tidak berkembang. Keadaan ini sangat memprihatinkan dan membahayakan
kelangsungan proses penciptaan dan peningkatan sumber daya manusia terkait
industri kreatif. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi turut memfasilitasi
pelanggaran hak milik intelektual itu dengan berbagai cara seperti pembajakan
buku, film dan rekaman lainnya melalui Disket, Compack Disc, Video
Compack Disc, Digital Video Disc dan lain-lain cara atau yang dikenal
dengan istilah Multi Media yang pada kenyataanya sangat sukar untuk
dipantau. Celah-celah pelanggaran inilah yang seringkali dimanfaatkan oleh
pihak-pihak yang hendak mendapatkan keuntungan besar dengan cara yang
mudah dengan sedikit mengeluarkan biaya, tanpa memikirkan kerugia pihak
lain, seperti pencipta/si penemu dan Negara tentunya juga. Keluarnya

6
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 maka ketentuan jenis delik biasa
diubah menjadi delik aduan, sampai saat ini dengan Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2014. Dari beberapa uraian diatas dapat di ambil kesimpuan bahwa,
masih banyak pelanggaran delik hak cipta, walaupun sudah diklasifikasikan
sebagai delik aduan, sejak tahun 2014 hingga saat ini dalam Undang- Undang
Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Dari latar belakang tersebut penulis
merumuskan beberapa permasalahan, yaitu bagaimana peran Kemenkumham
terhadap perubahan delik biasa pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002
menjadi delik aduan pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 dan apa
yang menjadi ide dasar pertimbangan perubahan delik biasa pada Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2002 menjadi delik aduan pada Undang-Undang
Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 ?

2. Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan, adalah penelitian yuridis normatif, dan


pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute
approach), pendekatan konsep (conceptual approach), dan pendekatan
perbandingan (comparative approach). Pendekatan perundang-undangan
dilakukan untuk meneliti ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai
perlindungan terhadap pemegang hak cipta setelah terjadi perubahan delik aduan
pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 dimana di dalam pengaturannya
masih terdapat hal-hal penting yang tidak diatur secara tegas dan jelas.
Pendekatan konsep digunakan untuk memahami konsep-konsep perlindungan
hukum terhadap pemegang hak cipta setelah perubahan delik aduan hak cipta
pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 agar didalam pengaturannya tidak
terdapat interpretasi ganda yang dalam pelaksanaannya dapat mengakibatkan
kerugian bagi pemegang hak cipta. Kemudian pendekatan perbandingan maksud
utamanya adalah untuk memperoleh persamaan dan perbedaan di antara undang-
undang tersebut. Hal ini untuk menjawab mengenai isu hukum antara ketentuan
undang-undang dengan filosofi yang melahirkan undang-undang itu. Dengan
demikian perbandingan tersebut, peneliti akan memperoleh gambaran mengenai
konsistensi antara filosofi dan undang-undang di beberapa negara. Jenis data
yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan bahan hukum primer dan
sekunder. Metode analisis dalam penelitian ini yaitu kualitatif, yakni merupakan
cara menginterprestasikan dan mendiskusikan bahan hasil penelitian berdasarkan
pada pengertian hukum, norma hukum, teori-teori hukum serta doktrin yang
berkaitan dengan pokok permasalahan. Data studi kepustakaan dan dokumen
untuk mendapatkan data yang lengkap (library research) akan dianalisis secara
kualitatif. Analisis kualitatif artinya dalam penulisan skripsi ini semaksimal
mungkin memakai bahan-bahan yang ada berdasarkan asas-asas, pengertian serta
sumber-sumber hukum yang ada dan menarik kesimpulan dari bahan yang ada
tersebut. Penarikan kesimpulan merupakan penarikan inti dari suatu data yang

7
telah terkumpul pada suatu proses penelitian yang telah dilaksanakan sehingga
hasil penelitian yang telah dilakukan tersebut memperoleh kesimpulan atau
verifikasi akhir.

3. Hasil dan Pembahasan

3.1 Peran Kemenkumham terhadap perubahan delik biasa pada Undang-


Undang Nomor 19 Tahun 2002 menjadi delik aduan pada Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2014

Hak Cipta merupakan salah satu bagian dari kekayaan intelektual yang
memiliki ruang lingkup objek dilindungi paling luas, karena mencakup ilmu
pengetahuan, seni dan sastra (art and literary) yang di dalamnya mencakup
pula program komputer. Perkembangan ekonomi kreatif yang menjadi salah
satu andalan Indonesia dan berbagai negara dan berkembang pesatnya
teknologi informasi dan komunikasi mengharuskan adanya pembaruan
Undang-Undang Hak Cipta, mengingat Hak Cipta menjadi basis terpenting
dari ekonomi kreatif nasional. Dengan Undang-Undang Hak Cipta yang
memenuhi unsur pelindungan dan pengembangan ekonomi kreatif ini maka
diharapkan kontribusi sektor Hak Cipta dan Hak Terkait bagi perekonomian
negara dapat lebih optimal. Perumusan, pada perubahan delik terhadap
Undang Undang Hak Cipta nomor 19 Tahun 2002 yang diajukan
Kemenkumham, atas dasar pertimbangan, bahwa Hak Cipta merupakan
kekayaan intelektual di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra (art and
literary) mempunyai peranan strategis dalam mendukung pembangunan
bangsa dan memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perubahan
delik pada Undang-undang ini juga dirancang untuk menjawab
perkembangan ekonomi berbasis industri kreatif yang telah menjadi salah
satu andalan kekuatan ekonomi Indonesia. Sehingga dengan Undang-
Undang Hak Cipta yang memenuhi unsur pelindungan dan pengembangan
ekonomi kreatif ini, industri kreatif dapat berkontribusi lebih optimal bagi
perekonomian Negara.
Disisi lain delik biasa yang digunakan dalam Undang-Undang No. 19
Tahun 2002 tidak dipertahankan lagi oleh Undang-Undang No. 28 Tahun
2014. Pengertian delik biasa adalah suatu delik yang dapat dituntut tanpa
membutuhkan adanya pengaduan. Delik biasa membebankan kewajiban
pada aparat penegak hukum untuk aktif menindaklanjuti pelanggaran pidana.
Perkara yang termasuk dalam kategori delik biasa, tidak dapat dihentikan
perkaranya meskipun para pihak telah memutuskan untuk berdamai. Suatu
tindak pidana dikategorikan sebagai delik biasa, apabila termasuk dalam
kejahatan yang diatur dalam suatu undang-undang, dan tidak dinyatakan
sebaliknya dalam Undang-Undang tersebut. Perubahan sifat delik Undang-

8
Undang Hak Cipta pertama kali terjadi pada Undang-Undang Hak Cipta No
7 Tahun 1987, yaitu dari delik aduan menjadi delik biasa. Tujuan perubahan
delik untuk pertama kalinya ini, bila dilihat dari faktor yang mendorong
perubahan, maka bertujuan untuk mengurangi pelanggaran hak cipta. Delik
aduan yang digunakan oleh Undang-Undang Hak Cipta No 6 Tahun 1982,
menyebabkan pelanggaran hak cipta mencapai pada tingkat yang
membahayakan. Keadaan tersebut, menyebabkan pembuat undang-undang
mengubah sifat delik aduan menjadi delik biasa. Alasan perubahan status
delik biasa pada Hak Cipta disebabkan beberapa karakter khusus Hak Cipta,
antara lain :
a. Hak Cipta lahir bukan karena pendaftaran;
b. Karya cipta yang dilindungi, apalagi berkat perkembangan
teknologi mutakhir, sangat rentan untuk dibajak;
c. Keinginan para pelaku di bidang karya cipta agar terhadap Hak
Cipta dihukum seberat beratnya.
Perubahan delik yang kedua terjadi pada Undang-Undang Hak Cipta
No 28 Tahun 2014, yaitu dari delik biasa kembali lagi pada delik aduan.
Diubahnya sifat delik ini bertujuan untuk semakin menegaskan bahwa hak
cipta adalah hak yang bersifat personal, yaitu hak pribadi. Sudah selayaknya
hak yang bersifat pribadi tersebut, apabila terjadi pelanggaran harus ada
pengaduan dari pihak yang dirugikan. Persoalan yang muncul dengan
diubahnya delik adalah apa dengan diubahnya delik biasa menjadi delik
aduan dapat memperlemah perlindungan hukum terhadap pencipta atau
pemegang hak. Pertanyaan tersebut muncul karena, pada saat Indonesia
masih menggunakan delik biasa, aparat penegak hukum dapat aktif
menindak, pelanggaran terhadap hak cipta banyak terjadi. Saat ini, dimana
aparat penegak hukum tidak dapat aktif menindak pelanggaran terhadap hak
cipta.
Perlindungan hak cipta erat hubungannya dengan pelanggaran hak
cipta. Mengingat tujuan dari perlindungan hak cipta sendiri, untuk
melindungi hak-hak pencipta dari tindakan pelanggaran yang dapat
merugikan pencipta atau pemegang hak cipta. Ditetapkannya delik biasa
dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2002, dimaksudkan untuk menjamin
perlindungan yang lebih baik dari sebelumnya. Delik biasa pada waktu
Undang-Undang Hak Cipta No 19 Tahun 2002 berlaku, dianggap lebih baik
memberikan perlindungan. Alasan delik biasa dianggap lebih baik
memberikan perlindungan karena pelanggaran hak cipta dapat diperkarakan
di Pengadilan secara cepat dan tidak perlu menunggu pengaduan terlebih
dahulu dari pencipta atau pemegang hak cipta. Delik biasa memberikan
kewenangan kepada aparat penegak hukum, untuk secara langsung
menindak pelanggaran hak cipta, tanpa menunggu aduan dari pencipta atau
pemegang hak cipta. Pencipta atau pemegang hak cipta merasa lebih
terbantu dengan adanya sikap aktif penegak hukum. Sikap aktif penegak

9
hukum tersebut juga diharapkan dapat mengurangi tindakan pelanggaran hak
cipta, sehingga pencipta atau pemegang hak cipta semakin terlindungi.
Terjadi Pro kontra pada perubahan delik biasa menjadi delik aduan
dalam Undang-Undang Hak Cipta, terutama dalam hal penegakan
hukumnya. Selama 27 Tahun (1987-2014) delik biasa diberlakukan akan
tetapi kasus pelanggaran hak cipta masih marak di indonesia, salah satu
contoh kasus pembajakan industri musik di indonesia dengan format cakram
optik ( Compack Disc, Video Compack Disc, Digital Video Disc)
diperkirakan telah menguasai pasar sedikitnya 87%, sisanya 13% diisi oleh
produk original. Semantara itu untuk pelanggaran hak cipta berkategori
digital, angka presentasenya mencapai lima kali lipat dari angka bajakan
cakram optik. Memang mempunyai dampak positif dan dampak negatif Pada
perubahan delik hak cipta. Menurut narasumber Setyawati selaku Kepala
Bidang Kekayaan Intelektual Kemenkumham Kanwil Jawa Tengah, dampak
positif delik aduan adalah akan terdapat kejelasan tentang siapa penciptanya,
siapa yang dirugikan atas pelanggaran tersebut, dan apabila kasus tersebut
sampai ke pengadilan maka tidak akan sulit untuk menghadirkan pihak-
pihak yang dirugikan tersebut. Praktik di masyarakat, pemberlakuan delik
biasa atas tindak pidana di bidang Hak Cipta dirasakan kurang tepat dengan
alasan bahwa Hak Cipta adalah hak keperdataan yang bersifat eksklusif.
Sehingga idealnya pelanggaran atas Hak Cipta adalah delik aduan karena
yang paling mengetahui adanya pemalsuan atas suatu ciptaan adalah
pencipta itu sendiri. Dalam hal beban pembuktian, pelaksanaan penegakan
hukum di bidang Hak Cipta, Penyidik sangat kesulitan membuktikan adanya
tindak pidana di bidang Hak Cipta tanpa adanya laporan dari Pemegang Hak.
Dalam pemberkasan perkara pidana yang ditangani oleh Penyidik, berkas
perkara tidak bisa menjadi P 21 kalau tidak ada Berita Acara pemeriksaan
Saksi korban (pencipta), sementara Penyidik sendiri sangat kesulitan untuk
mencari saksi korban mengingat penciptanya tidak selalu diketahui atau
bahkan penciptanya berada di luar negeri.
Setyawati mengatakan bahwa Kemenkumham dalam perumusan
kebijakan pada perubahan delik hak cipta, dalam praktik dilapangan,
perusahaan yang tertangkap akan menjadi pemasukan bagi oknum-oknum.
Tidak hanya oknum Polisi, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
Kemenkumham, oknum Jaksa juga banyak mengambil kesempatan. Sudah
menjadi hal biasa bila pelanggaran hak cipta yang sampai ke pengadilan,
artinya antara oknum Polisi, Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(Kemenkumham) dan oknum Jaksa, dengan pelanggar tidak terjadi
kesepakatan soal harga. Dampak positif perubahan delik dalam Undang-
Undang Hak Cipta bagi aparat penegak hukum ialah terpecahkannya
kesulitan-kesulitan yang timbul pada saat penggunaan delik biasa. Kesulitan
yang timbul pada saat digunakannya delik biasa antara lain terkait dengan
proses penegakan hukum. Delik biasa yang digunakan dalam Undang-

10
Undang Hak Cipta No 19 Tahun 2002, pada kenyataannya mempersulit
aparat penegak hukum dalam mencari alat bukti guna proses penyidikan.
Digunakannya delik aduan akan mempermudah dan mempercepat
proses penegakan hukum. Dikatakan mempermudah dan mempercepat
proses penegakan hukum karena aparat penegak hukum tidak akan kesulitan
dalam mencari barang bukti dan untuk membandingkan antara barang yang
asli dan barang hasil pelanggaran. Alat bukti yang diperlukan tersebut telah
disiapkan oleh pencipta atau pemegang hak cipta sebagai pihak yang
mengadukan adanya pelanggaran hak cipta. Selain dua hal diatas, delik
aduan yang digunakan dalam Undang-Undang Hak Cipta No 28 Tahun 2014
juga memudahkan aparat penegak hukum dalam menghadirkan saksi,
apabila pelanggaran hak cipta sampai dalam tahap persidangan.
Terpecahkannya kesulitan-kesulitan yang timbul sebelum digunakan
delik aduan diharapkan semakin memberikan perlindungan terhadap
pencipta atau pemegang hak cipta. Perubahan delik selain memberikan
dampak positif bagi aparat penegak hukum, juga memberikan dampak
positif bagi pencipta atau pemegang hak cipta. Delik aduan memberikan hak
penuh kepada pencipta atau pemegang hak cipta untuk mempertahankan
haknya atau tidak, hal ini disebabkan karena sifat hak cipta sebagai hak yang
bersifat pribadi.
Sifat hak cipta sebagai hak pribadi menyebabkan pencipta atau
pemegang hak cipta mempunyai pilihan akan menggunakan haknya atau
tidak. Pertimbangan-pertimbangan untuk melakukan penuntutan atau tidak
sepenuhnya tergantung pada pencipta atau pemegang hak cipta. Secara
konseptual, delik aduan lebih mengedepankan pola pikir bahwa, hak cipta
merupakan hak perdata.
Hak cipta yang meliputi hak ekonomi dan moral maka bisa jadi bahwa
pencipta atau pemegang hak cipta tidak mengadukan pelanggaran hak cipta
melalui jalur pidana, namun apabila pelanggaran tersebut mengganggu
pencipta atau pemegang hak cipta lebih cenderung melakukan gugatan
perdata. Penggunaan delik aduan, berdasarkan penjelasan diatas tidak
memberikan dampak negatif bagi aparat penegak hukum. Delik aduan malah
semakin mempermudah aparat penegak hukum dalam proses penegakan
hukum. Disisi lain penggunaan delik aduan dalam Undang-Undang Hak
Cipta Tahun 2014, membawa dampak yang kurang bagus bagi performa
penegakan hukum. Delik aduan akan menyebabkan banyaknya pelanggaran
hak cipta yang tidak diadukan. Keadaan ini disebabkan karena, proses
penegakan hukum terhadap pelanggaran hak cipta hanya dapat dilakukan
setelah adanya pengaduan. Untuk dapat meminimalisir pelanggaran hak
cipta atau bahkan menghilangkan pelanggaran hak cipta, tidak cukup hanya
berharap pada peran aparat penegak hukum. Sudah seharusnya Pencipta atau
pemegang hak cipta tidak hanya berharap pada aparat penegak hukum.

11
Peran aktif pencipta atau pemegang hak cipta untuk aktif melaporkan
setiap pelanggaran hak cipta atas karya mereka. Pelanggaran hak cipta dapat
di minimalisir dengan memulai dari pihak konsumen. Konsumen dalam
membeli setiap karya, harusnya tidak hanya berpikir ekonomis, melainkan
harus saling menghargai karya orang lain. Untuk menghentikan pelanggaran
hak cipta, juga diperlukan kesadaran dari pihak pelanggar. Sudah seharusnya
pihak pelanggar sadar bahwa kegiatan yang dilakukannya merugikan orang
lain dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Peraturan yang dibuat seharusnya dapat menumbuhkan kesadaran pada
pihak pelanggar sendiri. Hasil wawancara dengan Setyawati selaku Kepala
Bidang Kekayaan Intelektual Kemenkumham Kantor Wilayah Jawa Tengah
, bahwa penggunaan delik belum dapat menimbulkan kesadaran dari pihak
pelanggar. Pihak pelanggar bukannya tidak tahu bahwa kegiatan tersebut
dilarang oleh hukum, namun mereka sudah terbiasa melakukan kegiatan
tersebut. Kebiasaan melanggar hukum menyebabkan meraka sudah tidak
peduli terhadap aturan hukum. Pelanggaran Kekayaan Intelektual
digolongkan pada kejahatan ekonomi (economic crime), bahkan bisa
berubah menjadi kejahatan bisnis (business crime), karena berkaitan dengan
masalah ekonomi dan bisnis yang dilakukan oleh seseorang, kelompok,
orang ataupun korporasi atas karya cipta orang lain. Penemuan atas ciptaan
seseorang atau kelompok orang yang bernilai ekonomis yang dapat
memberikan keuntungan materiil atau reputasi bagi nama penciptanya
bahkan dapat diperdagangkan dalam kegiatan bisnis oleh suatu bada usaha.
Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis
berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam
bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan (Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Hak Cipta
No. 28 Tahun 2014). Bahwa didalam Hak Cipta terdapat 2 (dua) hal, yaitu:
Pencipta dan Ciptaan, apa itu Pencipta, didalam Undang-Undang Hak Cipta
No.28 Tahun 2014 disebutkan Pencipta adalah seorang atau beberapa orang
yang secara sendiri-sendiri atau bersama sama menghasilkan suatu ciptaan
yang bersifat khas dan pribadi, sedangkan Ciptaan adalah setiap hasil karya
cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas
inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau
keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata. Ketentuan Pidana
merupakan ketentuan yang selalu dicantumkan didalam setiap Undang-
undang yang ada di Indonesia, ketentuan Pidana ini dimaksudkan untuk
memberikan efek jera kepada para pelaku pelanggaran terhadap Undang-
undang tersebut. Ketentuan Pidana yang dicantumkan didalam sebuah
Undang-undang merupakan sebagai suatu Ultimum remedium, Ultimum
remedium merupakan salah satu asas yang terdapat di dalam hukum pidana
Indonesia yang mengatakan bahwa hukum pidana hendaklah dijadikan
upaya terakhir dalam hal penegakan hukum. Hal ini memiliki makna apabila

12
suatu perkara dapat diselesaikan melalui jalur lain (kekeluargaan, negosiasi,
mediasi, perdata, ataupun hukum administrasi) hendaklah jalur tersebut
terlebih dahulu dilalui. Lalu, bagaimanakah Undang-Undang Hak Cipta No.
28 Tahun 2014 mengatur tentang Ketentuan Pidana. Berdasarkan pada Bab
XVII Undang-Undang Hak Cipta, setidaknya ada sekitar 8 Pasal yang
mengatur tentang Ketentuan Pidana, sedangkan didalam Undang-Undang
Hak Cipta No 19 Tahun 2002 (UUHC lama) Pasal yang mengatur tentang
ketentuan Pidana hanya terdapat 1 (satu) Pasal saja, yaitu Pasal 72. Ke 8
(delapan) Pasal yang mengatur tentang Pidana diatur didalam Pasal 112 s.d
Pasal 119. Didalam ke 8 (delapan) Pasal tersebut diatur tentang Pidana
Penjara dan Pidana Denda.
Pidana Penjara menurut Undang-Undang Hak Cipta No. 28 Tahun
2014 disebutkan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun. Sedangkan
didalam Undang-Undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 (UUHC yang lama)
disebutkan bahwa pidana penjaranya paling lama 7 (tujuh) tahun. Sedangkan
untuk Pidana Denda menurut Undang-Undang Hak Cipta No. 28 Tahun
2014 ditentukan paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar
rupiah), sedangkan didalam Undang-Undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002
(UUHC yang lama) ketentuan pidana dendanya paling banyak
1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). Penetapan Undang-
Undang Hak Cipta No. 28 Tahun 2014 juga secara tegas menyebutkan
didalam Pasal 120 bahwa Tindak Pidana Hak Cipta merupakan delik aduan.
Istilah delik aduan (klacht delict), ditinjau dari arti kata klacht atau
pengaduan berarti tindak pidana yang hanya dapat dilakukan penuntutan
setelah adanya laporan dengan permintaan untuk dilakukan penuntutan
terhadap orang atau terhadap orang tertentu. Pada delik aduan, jaksa hanya
akan melakukan penuntutan apabila telah ada pengaduan dari orang yang
menderita, dirugikan oleh kejahatan tersebut. Sedangkan Undang-Undang
Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 tidak menerangkan secara tegas pasal yang
menyebutkan tentang delik aduan.
Mendasarkan pada keterangan diatas, maka bisa dikatakan bahwa
Undang-Undang Hak Cipta No. 28 Tahun 2014 lebih secara rinci dan detail
memberikan perlindungan hukum baik secara pidana dan perdata terhadap
Pencipta, Pemilik Hak Cipta dan Pemilik Hak Terkait dan Undang-Undang
Hak Cipta No. 28 Tahun 2014 telah lebih baik, dengan memberikan ruang
untuk menyelesaikan sengketa dengan jalur Penyelesaian sengketa secara
efektif melalui proses mediasi, arbitrase. Tentunya kemajuan-kemajuan yang
ada didalam Undang-Undang Hak Cipta No. 28 Tahun 2014 membawa
dampak positif bagi Pencipta, Pemegang Hak Cipta dan Pemilik Hak Terkait
untuk selalu berkarya dan berkreasi serta produktif dalam menciptakan karya
ciptanya yang baru.
Delik aduan dilihat dari sudut acara penuntutannya, delik aduan
dibedakan dari delik yang dapat dituntut karena jabatan. Penuntutan suatu

13
delik aduan hanya dapat diterima apabila telah masuk pengaduan dari
penderita atau seseorang yang berhak mengadu. Penyimpangan penuntutan
terhadap delik aduan adalah karena kepentingan pribadi dari yang
dirugikan/penderita/yang berhak mengadu dipandang perlu untuk
diutamakan perlidungannya. Dengan perkataan lain yang dijadikan alasan
untuk menjadikan suatu delik menjadi delik aduan ialah bahwa dalam hal-
hal tertentu, kepentingan seseorang berhak mengadu akan lebih dirugikan
apabila perkara itu disidangkan, dibandingkan dengan kerugian kepentingan
umum, apabila perkara itu tidak dituntut karena jabatan. Misalnya A dihina
B, A mungkin akan merasa dirugikan lagi apabila perkara itu dituntut,
karena akan berarti pembeberan materi penghinaan itu didepan umum.
Delik aduan tidak secara tersendiri dianut dalam suatu Bab KUHP atau
perundang-undangan hukum pidana lainnya, seperti misalnya kejahatan
terhadap ketertiban umum, kejahatan jabatan, kejahatan pelayaran. Selain itu
delik aduan hanya terdapat pada kejahatan, tidak berupa pelanggaran.
Biasanya dibedakan antara delik aduan yang sebenarnya (absolute
klachdelict) dan delik aduan nisbi (relative klachtdelict). Delik aduan yang
sebenarnya adalah delik-delik yang ditentukan baru dapat dituntu apabila ada
pengaduan. Sedangkan delik aduan nisbi secara normaliter adalah delik yag
dapat dituntut karena jabatan, akan tetapi apabila delik-delik itu terjadi maka
ia merupakan delik aduan.
Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis
berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam
bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Rumusan tersebut sangat jelas bahwa
pencipta atau pemegang hak cipta-lah yang mempunyai hak ekslusif untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk
itu, jadi yang berhak melarang atau melaporkan atas pelanggaran pidana hak
si pencipta/pemegang hak cipta hanya si pencipta/pemegang hak cipta.
Pencipta dan pemegang hak cipta yang bisa mempertimbangkan apaka
karyanya tersebut akan dipersidangkan atau tidak dengan
mempertimbangkan apakah karyanya tersebut dibeberkan/disidang didepan
umum yang akan membawa konsekuensi terhadap kredibilitas karyanya
tersebut.
Penulis menganalisis bahwa, peran Kemenkumham dalam pelaksana
kebijakan pada perubahan delik biasa ke delik aduan. Delik aduan lebih
mengedepankan landasan pikir bahwa hak cipta adalah hak perdata (private
right). Oleh karena berdimensi perdata, maka enforcement-nya harus
digantungkan pada diri pencipta atau pemegang hak cipta sendiri. Dari segi
kebijakan, konsep ini setback dan berpotensi menurunkan kinerja dan tingkat
efektifitas penegakan hukumnya. Kebijakan ini juga melemahkan komitmen
pemerintahan, bahkan political will negara untuk mengambil tanggung
jawab dalam tugas penegakan hukum hak cipta. Bila pencipta tidak cukup

14
memiliki pengetahuan hukum dan kemampuan ekonomi untuk melakukan
legal action atau apatis mengupayakan perlindungan atas hak-haknya, maka
kinerja penegakan hukum hak cipta dipastikan akan berjalan ditempat. Tidak
akan ada langkah penegakan hukum yang menggebrak dan efektif. Bila
kondisi seperti ini terjadi dan meluas, maka akan ada kesan sikap pembiaran
oleh negara. Akibatnya, pembajakan akan semakin merajalela, dan tatanan
pasar serta kehidupan perekonomian akan terganggung. Pasar akan dibanjiri
dengan produk bajakan tanpa ada kemungkinan pemerintah cq aparat
kepolisian mencegah atau menertibkannya. Lebih dari itu, norma- norma
hukum, nilai-nilai dan sendi-sendi kehidupan masyarakat akan terdistorsi
dengan sikap membiarkan praktek pelanggaran hukum terjadi dan
membiarkan peredaran serta perdagangan barang illegal berlangsung
diseluruh negeri. Bagi Indonesia yang teritori yang luas , dengan pasar yang
tersebar di 33 Provinsi, stelsel delik aduan menjadi sangat mahal dan
dipastikan tidak akan efektif menanggulangi maraknya pelanggaran hak
cipta. Yang pasti, stelsel ini tidak sejalan dengan kebijakan Pemerintah
dalam upaya pemberantasan pembajakan hak cipta, baik untuk mewujudkan
kepatuhan, maupun kepastian hukum tatanan sosial untuk memperbaiki citra
Indonesia di mata Internasional, termasuk menjaga kelangsungan hubungan
dagang dan kepentingan ekonomi dengan negara-negara mitra.
Sehubungan dengan penentuan delik aduan dilihat dari tindak pidana
dibidang ekonomi, pertimbangan dinyatakan sebagai delik aduan karena
lebih mementingkan perlindungan hak-hak individu, ada unsur keperdataan.
Namun, tidak dijelaskan delik aduan yang absolut, atau yang relatif. Tindak
pidana dibidang ekonomi untuk memberikan perlindungan ketertiban umum,
yang lebih bersifat publik, ditetapkan sebagai tindak pidana biasa (bukan
delik aduan) lebih berhasil-guna karena aparat penegak hukum dapat segera
melakukan penindakan tanpa harus adanya pengaduan. Apabila sebagai delik
aduan, mensyaratkan adanya pengaduan agar aparat penegak hukum dapat
bertindak. Apalagi jika ditetapkan sebagai delik aduan absolut, pengaduan
hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu, yang apabila mereka ini tidak
mengadukan, proses hukum tidak berjalan, sehingga perlindungan hukum
tidak dapat diberikan. Jika ditentukan delik aduan relatif masih
memungkinkan pihak-pihak lain, selain yang langsung dirugikan dapat
melakukan pengaduan.
Delik aduan cenderung melindungi pihak pelanggar yang tidak
dilaporkan oleh pencipta atau pemegang hak cipta. Pelanggar hak cipta yang
tidak dilaporkan oleh pencipta atau pemegang hak cipta, akan terus
melakukan kegiatannya. Hal ini disebabkan karena mereka tidak
mendapatkan sanksi apapun dari hukum. Tidak adanya sanksi bagi pelanggar
hak cipta yang tidak dilaporkan, menyebabkan pelanggar tetap melanjutkan
kegiatan dan tidak dapat membangun kesadaran pihak pelanggar sendiri.
Pelanggar hak cipta sendiri, berpendapat bahwa tindakan mereka tidak

15
merugikan pihak pencipta, terbukti dengan tidak adanya laporan. Oleh sebab
itu pihak pelanggar tetap menjalankan kegiatannya, padahal kegiatan
tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, peran
Kemenkuham dalam mensosialisasikan Undang-Undang No. 28 Tahun 2014
sangat berpengaruh sebagai upaya pecegahan terhadap pelanggaran hak
cipta, dan alangkah lebih baiknya jika delik aduan dikategorikan dalam delik
aduan relatif karena selain pencipta atau pemegang hak cipta, pihak-pihak
lain pun dapat mengadukan, sehingga masyarakat yang peduli terhadap
karya cipta dapat membantu pencipta atau pemegang hak cipta dalam upaya
meminimalisir pencegahan pelanggaran hak cipta.

3.2 Dasar Pertimbangan Perubahan delik biasa pada Undang-Undang Nomor


19 Tahun 2002 menjadi delik aduan pada Undang-Undang Hak Cipta
Nomor 28 Tahun 2014

Pilihan penerapan delik biasa atau delik aduan, hal selanjutnya yang
dapat diwacanakan adalah mempertimbangkan delik manakah yang tepat
untuk disandingkan pada Undang-Undang tentang Hak Cipta. Apakah delik
biasa yang berlaku pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 atau delik
aduan yang berlaku pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 (yang
berlaku sekarang) . Pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tindak
pidana Hak Cipta adalah delik biasa, artinya pelaksanaan penegakan hukum
tidak digantungkan pada persetujuan atau pengaduan dari pihak yang
dirugikan oleh suatu tindak pidana, melainkan diserahkan pelaksanaannya
kepada aparat penegak hukum untuk menentukan apakah dan sampai
dimanakah ancaman pidana terhadap pelanggaran Hak Cipta dilaksanakan
dengan mempergunakan kepentingan publik sebagai ukuran
Pemakaian delik biasa korban kejahatan di bidang Hak Cipta tetap
dapat memberikan laporan pengaduan kepada aparat penegak hukum.
Political will dan Political action dari Pemerintah dapat menjadi kunci
sukses bagi penegakan hukum Hak Cipta. Hal ini merupakan konsekuensi
Indonesia sebagai salah satu negara yang meratifikasi perjanjian TRIPs.
Seperti kita ketahui delik biasa berbeda dengan delik aduan yang untuk
pelaksanaan penegakan hukum. Suat delik aduan penegakan hukumnya perlu
adanya pengaduan dari pihak yang dirugikan.
Pertimbangan dalam merevisi Undang-Undang Hak Cipta ini yang
mengakui pelanggaran Hak Cipta sebagai delik biasa, terdapat empat dasar
pemikiran perubahan delik Hak Cipta yaitu:
1. Aparat penegak hukum tidak akan bisa menentukan apakah telah
terjadi tindak pidana Hak Cipta hanya dengan membandingkan
barang hasil pelanggaran Hak Cipta dengan ciptaan aslinya. Hanya
pencipta atau pemegang Hak Cipta yang dapat lebih meyakini mana

16
merupakan ciptaan asli dan mana ciptaan yang bukan asli atau tiruan
dari ciptaan asli, sehingga dapat segera melaporkan telah terjadinya
pelanggaran atas hak ekslusif ciptaannya.
2. Dalam melakukan proses hukum, aparat hukum tidak mungkin
langsung mengetahui apakah suatu pihak telah mendapat izin untuk
mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan. Oleh karena itu,
pasti perlu ada pengaduan terlebih dahulu dari pencipta atau
pemegang Hak Cipta.
3. Dalam praktik, apabila terjadi pelanggaran Hak Cipta, pihak yang
Hak Ciptanya dilanggar lebih menginginkan adanya ganti rugi dari
pihak yang melanggar Hak Cipta ketimbang pelanggar Hak Cipta
tersebut dikenakan sanksi pidana penjara.
4. Menghadapai era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Setiap perubahan dapat dipastikan bertujuan untuk mencapai sesuatu
yang belum tercapai pada undang-undang sebelumnya. Begitu juga halnya
dengan perubahan sifat delik Undang-Undang Hak Cipta yang dilakukan
oleh pembuat undang-undang. Perubahan sifat delik Undang-Undang Hak
Cipta pertama kali terjadi pada Undang-Undang Hak Cipta 1987, yaitu dari
delik aduan menjadi delik biasa.
Tujuan perubahan delik untuk pertama kalinya ini, bila dilihat dari
faktor yang mendorong perubahan, maka bertujuan untuk mengurangi
pelanggaran hak cipta. Delik aduan yang digunakan oleh Undang-Undang
Hak Cipta 1982, menyebabkan pelanggaran hak cipta mencapai pada tingkat
yang membahayakan. Keadaan tersebut, menyebabkan pembuat undang-
undang mengubah sifat delik aduan menjadi delik biasa.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002, cara penuntutan
haknya (jika terjadi pelanggaran), hak cipta merupakan klarifikasi delik
biasa yang mana berbeda dengan Kekayaan Intelektual lainnya, sehingga
konsekuensinya, negara/pemerintah (dalam hal ini penyidik) secara otomatis,
wajib andil dalam memberikan perlindungan terhadap pencipta/pemegang
hak ciptanya. Akan tetapi Undang-Undang Hak Cipta yang baru tidak lagi
menggunakan delik biasa terkait pelanggaran hak cipta melainkan
menggunakan delik aduan.
Perubahan tidak akan terjadi begitu saja tanpa adanya penyebab yang
dapat mendorong timbulnya perubahan tersebut. Begitu pula yang terjadi
dalam perubahan delik hak cipta. Perubahan delik tersebut berkaitan dengan
sifat kepemilikan itu sendiri. Kepemilikan hak cipta itu sifatnya pribadi,
sehingga sudah hal yang wajar bila pribadi yang dirugikan itu sendiri yang
mengadu pada aparat penegak hukum agar kasusnya ditindaklanjuti.
Penggunaan delik biasa dirasa kurang efektif karena aparat penegak hukum
dalam menentukan apakah suatu karya itu asli atau hasil pelanggaran hak
cipta itu tidak mudah. Selain itu, pada saat delik biasa digunakan dalam
Undang-Undang Hak Cipta, aparat penegak hukum kesulitan dalam mencari

17
alat bukti. Delik biasa dirasa kurang efektif karena bila suatu pelanggaran
hak cipta secara otomatis diproses, maka aparat penegak hukum sulit untuk
mengetahui pihak yang memiliki karya tersebut. Setelah pelanggaran hak
cipta sampai di pengadilan, dalam banyak kasus pencipta atau pemegang hak
cipta tidak mau hadir dalam persidangan. Lebih lanjut dijelaskan, akan
menjadi percuma karena tidak jelas untuk siapa aparat penegah hukum
melakukan tindakan tersebut. Disisi lain, delik biasa lebih fleksibel bila
dibandingkan dengan delik aduan. Fleksibel disini maksudnya, penyidik
dapat lebih mudah dan cepat untuk memberantas pelanggaran hak cipta.
Faktor yang mempengaruhi dasar pemikiran Kemenkumham pada
perubahan sifat delik biasa menjadi delik aduan tersebut adalah era
Masyarakat Ekonomi Asean. Disepakati Visi ASEAN 2020 pada bulan
Desember Tahun 1997 di Kuala Lumpur menandai sebuah babak baru dalam
sejarah integrasi ekonomi di kawasan Asia Tenggara. Dalam deklarasi
tersebut, pemimpin negara-negara ASEAN sepakat untuk
mentransformasikan kawasan Asia Tenggara menjadi sebuah kawasan yang
stabil, sejahtera dan kompetitif, didukung oleh pembangunan ekonomi yang
seimbang, pengurangan angka kemiskinan dan kesenjangan sosio-ekonomi
di antara negara-negara anggotanya.
Komitmen untuk menciptakan suatu masyarakat ASEAN (ASEAN
Community) sebagaimana dideklarasikan dalam visi tersebut, kemudian
semakin dikukuhkan melalui ASEAN Concord II pada pertemuan Puncak di
Bali Oktober 2003, atau yang lebih dikenal Bali Concord II, dimana para
pemimpin ASEAN mendeklarasikan pembentukan Masyarakat Ekonomi
ASEAN (ASEAN Economic Community). Sebagai salah satu pendiri ASEAN
sudah seharunya pemerintah Indonesia melakukan berbagai upaya guna
meningkatkan kinerja lembaga-pemerintahan dan non pemerintahan yang
sudah ada dalam menghadapi integrasi perekonomian melalui Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA). Sektor Usaha Kecil Menengah (UKM) mendapat
perhatian dalam upaya meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia dalam
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) mengingat bahwa krisis moneter
keuangan tidak berimbas besar pada sektor Usaha Kecil Menengah (UKM)
Indonesia sehingga sudah sepantasnya Usaha Kecil Menengah (UKM)
mendapat porsi yang lebih besar untuk ditingkatkan dan dikembangkan
sehingga layak bersaing dalam kompetisi ekonomi internasional pada
umunya dan regional khususnya. Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan
segera diberlakukan di ASEAN. Dengan aturan ini, banjir produk dan jasa
akan berputar di wilayah Asia Tenggara tanpa hambatan berat. Produk-
produk dari luar negeri dapat dengan mudah masuk ke Indonesia, begitu juga
sebaliknya. Hanya persoalan kualitas dan pengemasan produk yang akan
menentukan siapa yang akan mendominasi.
Pandangan industri di Indonesia, Masyarakat Ekonomi ASEAN
(MEA) ini menjelma sebagai pisau bermata dua. Di satu sisi adanya

18
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dapat mempermudah produk
Indonesia dipasarkan ke luar negeri, di satu sisi juga mengancam keberadaan
produk asli Indonesia. Terutama produk-produk yang belum dipatenkan atau
didaftarkan sebagai hak cipta kekayaan intelektual (KI). Ancaman paling
besar Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) terkait hak cipta akan dialami
oleh pelaku Usaha Kecil Menengah (UKM) dan industri kreatif kecil. Sebab,
industri kecil masih mengalami masa terlena dan masih awam dengan
pentingnya pendaftaran Kekayaan Intelektual atas produk dan mereknya.
Biasanya, mereka sudah puas dengan capaian produk dan merek yang
dibangunnya diterima oleh konsumen. Tanpa memedulikan apakah produk
mereka mudah ditiru atau dibajak. "Masalah utama masih belum masifnya
pendaftaran hak cipta ini adalah kesadaran dari pelaku usaha kecil".
Perlindungan hukum terhadap hak ekonomi mereka mutlak adanya
demi memenangi persaingan regional maupun global. "Dari ke-14 sektor
ekonomi kreatif, 12 di antaranya meliputi hak cipta. Misalnya, industri
musik, penerbitan buku, film, dan animasi. Ini perlu perlindungan hukum
yang baik". Salah satu caranya, pemerintah telah memberlakukan Undang-
Undang Hak Cipta yang baru sejak 16 September 2014. Sebagai pengganti
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002. Undang-Undang Hak Cipta ini,
lebih memberikan rasa aman bagi insan kreatif Indonesia. "Untuk diketahui,
dalam Undang-Undang sebelumnya, tidak ada kata pembajakan. Di samping
itu, Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 terkini menyebut
hukuman pidana 10 tahun bagi pembajak".
Sektor ekonomi kreatif, contoh industri musik Indonesia, pembajakan
karya musik benar-benar memiskinkan kreatif Indonesia. Kalangan pencipta
lagu, mengalami kerugian besar karena tidak menikmati secara maksimal
hak ekonomi. Dengan pemberlakuan Undang-Undang Hak Cipta yang baru
ini, kalangan pencipta lagu bisa memperoleh ganti rugi finansial langsung
dari pihak pembajak di muka pengadilan. Pada saat persidangan, hakim
boleh mencantumkan di amar putusannya nominal ganti rugi. Hukuman
untuk pembajak karya tidak hanya denda pidana, Undang-Undang Hak Cipta
yang sebelumnya begitu lemah dalam melindungi hak ekonomi kalangan
pencipta. Sebab, hukuman untuk pembajak bisa berubah dari pidana menjadi
perdata. "Apalagi, pembajak bisa bekerjasama dengan aparat penegak
hukum demi meminimalkan besaran denda". Menghadapi Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA) 2016, Indonesia bisa mengambil keuntungan besar
dari industri musik. Bahkan, industri musik dapat menjadi perintis bagi
kemajuan ekonomi kreatif Indonesia pada tataran regional. "Musik kita
didengar di mana-mana. Terutama Malaysia, Brunei, Singapura, dan negara-
negara yang tempat tenaga kerja Indonesia berada".
Kesempatan untuk maju itu, harus disertai dengan semangat
memerangi pembajakan secara total. Sebab, ada banyak kerugian, baik dari
segi moral maupun finansial, bagi Indonesia bila kreativitas pembajak

19
mengungguli kreativitas seniman. Pada Undang-Undang Hak Cipta Nomor
28 Tahun 2014 dalam perubahannya pada Bab XVII Ketentuan Pidana pasal
120 di jelaskan Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang ini merupakan delik aduan, guna menghadapi pelanggaran hak
cipta pada Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Negara-negara yang
menjadi anggota ASEAN menerapkan delik aduan dalam hal pelanggaran
terhadap hak cipta. Misalnya Malaysia dalam COPYRIGHT ACT 1987
Incorporating all amendments up to 1 January 2006, menjelaskan bahwa
Malaysia menerapkan delik aduan terhadap pelanggaran hak cipta. Contoh
lain ialah dalam Pasal 66 COPYRIGHT ACT BE 2537, yaitu Undang-
Undang tentang hak cipta Thailand. Penggunaan delik negara-negara
ASEAN dikatakan berpengaruh karena, dalam era Masyarakat Ekonomi
Asean dengan mudah karya-karya dapat masuk ke negara-negara anggota
Masyarakat Ekonomi Asean. Apabila Indonesia tetap mempertahankan
menggunakan delik biasa, maka kepentingan orang asing di Indonesia sangat
terlindungi. Hal ini disebabkan karena apabila karya warga negara asing
disalahgunakan di Indonesia, warga negara asing tidak perlu datang ke
Indonesia untuk melapor.
Aparat penegak hukum mempunyai kewenangan untuk menindak
setiap ada pelanggaran hak cipta, tanpa adanya laporan dari pihak yang
dirugikan. Kepentingan warga negara Indonesia sendiri di negara lain tidak
dapat terlindungi secara maksimal, hal ini disebabkan karena negara-negara
tersebut menggunakan delik aduan. Untuk itu, apabila karya warga negara
Indonesia disalahgunakan di negara lain, warga negara Indonesia harus
datang ke negara tersebut untuk melaporkan pelanggaran tersebut. Apabila
warga Indonesia yang dirugikan akibat adanya pelanggaran hak cipta tidak
melapor, maka pelanggaran tersebut tidak dapat ditindak lanjuti.
Perlindungan hak cipta erat hubungannya dengan pelanggaran hak cipta.
Mengingat tujuan dari perlindungan hak cipta sendiri, untuk melindungi hak-
hak pencipta dari tindakan pelanggaran yang dapat merugikan pencipta atau
pemegang hak cipta. Ditetapkannya delik biasa dalam Undang-Undang
Nomor 19 tentang Hak Cipta Tahun 2002, dimaksudkan untuk menjamin
perlindungan yang lebih baik dari sebelumnya.
Delik biasa pada waktu Undang-Undang Nomor 19 tentang Hak Cipta
Tahun 2002 berlaku, dianggap lebih baik memberikan perlindungan. Alasan
delik biasa dianggap lebih baik memberikan perlindungan karena
pelanggaran hak cipta dapat di perkarakan di Pengadilan secara cepat dan
tidak perlu menunggu pengaduan terlebih dahulu dari pencipta atau
pemegang hak cipta. Delik biasa memberikan kewenangan kepada aparat
penegak hukum, untuk secara langsung menindak pelanggaran hak cipta,
tanpa menunggu aduan dari pencipta atau pemegang hak cipta. Pencipta atau
pemegang hak cipta merasa lebih terbantu dengan adanya sikap aktif aparat
penegak hukum. Sikap aktif aparat penegak hukum tersebut juga diharapkan

20
dapat mengurangi tindakan pelanggaran hak cipta, sehingga pencipta atau
pemegang hak cipta semakin terlindungi. Undang-Undang Nomor 28 tentang
Hak Cipta Tahun 2014 tidak lagi mempertahankan delik biasa, terkait
pelanggaran hak cipta. Delik aduan yang digunakan dalam Undang-Undang
Nomor 28 tentang Hak Cipta Tahun 2014, membatasi ruang gerak aparat
penegak hukum dalam menindaklanjuti pelanggaran hak cipta. Hal ini
disebabkan karena delik aduan tidak memberikan kewenangan bagi aparat
penegak hukum untuk langsung melakukan tindakan hukum terhadap pelaku
pelanggaran hak cipta.
Perubahan delik biasa menjadi delik aduan tidak memperlemah
perlindungan terhadap pencipta atau pemegang hak cipta. Perubahan tersebut
justru memberikan kepastian kepada pencipta atau pemegang hak cipta atas
tuntasnya penyelesian pelanggaran hak cipta yang diadukan. Delik aduan
menyebabkan Pencipta atau pemegang hak cipta semakin diakui sebagai
yang berhak atau dengan kata lain pencipta atau pemegang hak cipta tidak
hanya dianggap sebagai pelengkap. Untuk dapat meminimalisir pelanggaran
hak cipta atau bahkan menghilangkan pelanggaran hak cipta, tidak cukup
hanya berharap pada peran aparat penegak hukum. Sudah seharusnya
Pencipta atau pemegang hak cipta tidak hanya berharap pada aparat penegak
hukum. Peran aktif pencipta atau pemegang hak cipta untuk aktif
melaporkan setiap pelanggaran hak cipta atas karya mereka.
Pelanggaran hak cipta dapat di minimalisir dengan memulai dari pihak
konsumen. Konsumen dalam membeli setiap karya, harusnya tidak hanya
berpikir ekonomis, melainkan harus saling menghargai karya orang lain.
Untuk menghentikan pelanggaran hak cipta, juga diperlukan kesadaran dari
pihak pelanggar. Sudah seharusnya pihak pelanggar sadar bahwa kegiatan
yang dilakukannya merugikan orang lain dan bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan. Peraturan yang dibuat seharusnya dapat
menumbuhkan kesadaran pada pihak pelanggar sendiri

4. Simpulan
4.1 Simpulan
Peran aktif Kemenkumham pada perubahan delik terhadap Undang
Undang Hak Cipta nomor 19 Tahun 2002 yang diajukan Kemenkumham,
atas dasar pertimbangan, bahwa Hak Cipta merupakan kekayaan intelektual
di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra (art and literary) mempunyai
peranan strategis dalam mendukung pembangunan bangsa dan memajukan
kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perubahan delik pada Undang-
undang ini juga dirancang untuk menjawab perkembangan ekonomi berbasis
industri kreatif yang telah menjadi salah satu andalan kekuatan ekonomi

21
Indonesia. Sehingga dengan Undang-Undang Hak Cipta yang memenuhi
unsur pelindungan dan pengembangan ekonomi kreatif ini, industri kreatif
dapat berkontribusi lebih optimal bagi perekonomian Negara. Dasar
Pertimbangan perubahan delik biasa menjadi delik aduan dasar pemikiran
yang ada di perubahan delik Hak Cipta yaitu Aparat penegak hukum tidak
akan bisa menentukan apakah telah terjadi tindak pidana Hak Cipta hanya
dengan membandingkan barang hasil pelanggaran Hak Cipta dengan ciptaan
aslinya. Hanya pencipta atau pemegang Hak Cipta yang dapat lebih
meyakini mana merupakan ciptaan asli dan mana ciptaan yang bukan asli
atau tiruan dari ciptaan asli, sehingga dapat segera melaporkan telah
terjadinya pelanggaran atas hak ekslusif ciptaannya, dalam melakukan
proses hukum, aparat hukum tidak mungkin langsung mengetahui apakah
suatu pihak telah mendapat izin untuk mengumumkan atau memperbanyak
suatu ciptaan, dalam praktik, apabila terjadi pelanggaran Hak Cipta, pihak
yang Hak Ciptanya dilanggar lebih menginginkan adanya ganti rugi dari
pihak yang melanggar Hak Cipta ketimbang pelanggar Hak Cipta tersebut
dikenakan sanksi pidana penjara, menghadapai era Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA).

Ucapan Terimakasih
Puji syukur Alhamdulilah atas kehadirat Allah SWT yang telah meberikan
kesempatan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
hukum ini. Penulis menyadari tanpa dukungan dan dorongan dari berbagai
pihak, maka penulisan hukum ini tidak dapat dilakukan. Dengan kerendahan
hati perkenankan penulis mengucapkan terimakasih dan rasa hormat kepada

1. Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum selaku Rektor UNNES;


2. Dr. Rodiyah, S.Pd.,S.H.,M.Si. selaku Dekan Fakultas Hukum UNNES;
3. Waspiah,S.H.,M.H, dan Bagus Hendradi K, S.H., M.H., sebagai Dosen
Pembimbing;
4. Kedua Orangtua serta, kakak adik penulis, serta semua pihak yang
sudah membantu dalam penyelesaian penulisan hukum ini.

22
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku

Ashshofa, Burhan. 2013. metode penelitian hukum. Jakarta: penerbit rineka cipta.

Djumhana, Muhammad. 2003. Hak Milik Intelektual (Sejarah, Teori dan Prakteknya
di Indonesia). Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Ibrahim, Johnny. 2007. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Edisi
Revisi). Malang: Bayu Media Publishing.

Laden Marpaung. 2012. Asas Teori Praktik Hukum Pidana, VII. Jakarta : Sinar
Grafika.

Margono, Suyud. 2010. Hukum Hak Cipta Indonesia. Bogor : Ghalia Indonesia.

Muhammad, Abdul Kadir. 2001. Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual.
Cetakan I. Bandung: Citra Aditya Bakti

Nurachmad,M. 2012. Segala Tentang Haki Indonesia. Cet 1. Jogjakarta:Buku Biru.

Purba, A dan G. Saleh. 2005. TRIPs-WTO&Hukum HKI Indonesia. Jakarta: Rineka


Cipta.

Umar Dzukifli dan Jimmy P. 2012. Kamus Hukum Edisi Lengkap. Surabaya :
Grahamedia Press.

Sudarwan Danim. 2000. Pengantar Studi Penelitian Kebijakan. Jakarta : Bumi


Aksara.
B. Skripsi dan Jurnal

Hendry Soelistiyo Budi, Delik Biasa Vs Delik Aduan Dalam Undang-Undang Hak
Cipta. Law Review Volume X No. 3-Maret 2011

Oktavia, Nahfidatul Nurlaela. 2015. Implementasi Undang-Undang Nomor 28 Tahun


2014 Tentang Hak Cipta Terkait Penggandaan Buku (Studi Kasus Usaha
Fotokopi Di Kawasan Universitas Negeri Semarang). Skripsi. Prodi Ilmu
Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang. Waspiah, S.H., M.H.

Naskah Akademik Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

23
C. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28c

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1982 Tentang Perubahan atas Undang Undang


Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 pengganti Undang-Undang Nomor 19 Tahun


2002 Tentang Hak Cipta.

KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) Pasal 72.

Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2015


D. Internet

ASEAN Vision 2020, http://www.aseansec.org/1814.htm,(diakses pada Minggu 26


Juni 2015 Pukul 00.45)

http://kbbi.web.id/delik Diakses pada 13 Juni 2016

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol19102/penyebaran-lagu-lewat- internet-
rugikan-pemegang-hak-cipta Diakses pada hari Jumat 22 Januari 2016 Pukul
01.00.

www.republika.co.id, Berita, 13 juli 2008, Kerugian Pelanggara Hak Cipta sampai


15 miliar Diakses pada hari Rabu 24 Februari 2016 Pukul 01.00.

http://lifestyle.bisnis.com/read/20150918/225/473965/kerugian-akibat-pembajakan-
musik-rekaman-rp4-triliuntahun Diakses pada hari Rabu 24 Februari 2016
Pukul 01.00.

http://www.republika.co.id/berita/koran/podium/14/10/30/ne8zk42-masyarakat-
ekonomi-asean-ancam-haki diakses pada 20 Juni 2016 Pukul 01.00 WIB.

http://acemark-ip.com/id/news_detail.aspx?ID=116&URLView=default.aspx diakses
pada hari Senin 20 Juni 2016 Pukul 01.00 WIB.

www.farahfitriani.com diakses pada hari senin 02 maret 2016 pukul 08.00

24

Anda mungkin juga menyukai