Anda di halaman 1dari 29

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa yang telah
menolong dan memberkati kami menyelesaikan refarat ini. Referat ini disusun untuk
memenuhi tugas kepaniteraan klinik Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Makassar. Selain itu, penyusunan referat ini juga bertujuan agar penyusun lebih memahami
mengenai Karsinoma Nasofaring.

Dalam penyusunan referat ini, Kami banyak mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini kami menyampaikan rasa terima kasih kepada
DR. dr. Nani Iriani Jufri, Sp. THT KL (K) selaku pembimbing kami, atas arahan dan
bimbingan dalam penyusunan referat ini.

Akhir kata, penyusun menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, baik
dari pemikran, pengetahuan, penyusunan bahasa, maupun sistematika. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak yang membaca referat ini sangat
diharapkan guna menjadi pelajaran bagi penyususn dalam menyusun referat di waktu yang
akan datang. Dan semoga referat ini dapat bermanfaat bagi semua yang membacanya.

Makassar, Oktober 2017

Penyusun

1
KARSINOMA NASOFARING
(Wahyudi, Moeh Farizan, Nani I Jufrie)

A. PENDAHULUAN
Karsinoma Nasofaring disebabkan oleh multifaktor. Sampai sekarang
penyebab pastinya belum jelas. Faktor yang berperan untuk terjadinya Karsinoma
Nasofaring ini adalah faktor makanan seperti mengkonsumsi ikan asin, sedikit
memakan sayur dan buah segar. Faktor lain adalah non-makanan, seperti debu, asap
rokok, uap zat kimia, asap kayu bakar, dan asap dupa (kemenyan). Faktor genetik juga
dapat mempengaruhi terjadinya Karsinoma Nasofaring. Selain itu terbukti juga infeksi
virus Ebstein-Barr dapat menyebabkan Karsinoma Nasofaring. Hal ini dapat
dibuktikan dengan dijumpai adanya keberadaan protei-protein laten pada penderita
karsinoma nasofaring. Pada penderita ini, sel yang terinfeksi oleh EBV akan
menghasilkan protein tertentu yang berfungsi untuk proses proliferasi dan
mempertahankan kelangsungan virus didalam sel hospes. Protein laten ini dapat
dipakai sebagai petanda (marker) dalam mendiagnosa Karsinoma Nasofaring, yaitu
EBNA-1 dan LMP-1, LMP-2A, dan LMP-2B. Hal ini dibuktikan dengan
ditemukannya pada 50% serum penderita nasofaring LMP-1 sedangkan EBNA-1
dijumpai di dalam serum semua pasien Karsinoma Nasofaring. Selain itu dibuktikan
oleh hasil penelitian Khrisna dkk (2004) terhadap suku Indian asli bahwa EBV DNA
didalam serum penderita Karsinoma Nasofaring dapat dipakai sebagai bio-marker
pada karsinoma nasofaring primer.

Hubungan antara Karsinoma Nasofaring dan infeksi virus Ebstein-barr juga


dinyatakan oleh berbagai peneliti dari berbagai bagian yang berbeda di dunia ini. Pada
pasien yang Karsinoma Nasofaring dijumpai peninggian titer antibodi Anti-EBV
(EBNA-1) di dalam serum plasma. EBNA-1 adalah protein nuklear yang berperan
dalam mempertahankan genom virus. Huang dalam penelitiannya mengemukakan
keberadaan 3EBV-DNA dan EBNA di dalam sel penderita Karsinoma Nasofaring.
Jadi oleh karena diduga eratnya hubungan antara antibodi Anti-EBV dan faktor geetik
dengan terjadinya Karsinoma Nasofaring, maka pada penelitian ini juga melakukan
pemeriksaan serologi yaitu antibodi anti-EBV (EBNA-1) pada pasien-pasien yang
telah di diagnosa menderita Karsinoma Nasofaring melalui pemeriksaan histopatologi
sebelumnya dan pasien yang di periksa ini adalah pasien dengan etnis batak dengan
2
tujuan untuk mengetahui apakah Karsinoma Nasofaring pada etnis batak juga
disebabkan oleh infeksi EBV. Karsinoma Nasofaring sangat sulit didiagnosa, hal ini
mungkin disebabkan karena letaknya sangat tersembunyi, dan juga pada keadaan dini
pasien tidak datang utnuk berobat. Biasanya pasien baru datang berobat bila gejala
sudah mengganggu dan tumor tersebut telah mengadakan infiltrasi serta metastase
pada pembuluh limfe servical. Hal ini merupakan keadaan lanjut dan biasanya
prognosis yang jelek.

Pemeriksaan terhadap Karsinoma Nasofaring dilakukan dengan cara anamnesa


penderita dan disertai dengan pemeriksaan nasofaringoscopy, radiologi, histopatologi,
imunohistokimia, Assay atau disingakat dengan ELISA. Oleh karena beberapa
penelitian telah membuktikan bahwa didalam serum penderita Karsinoma Nasofaring
dijumpai EBNA-1, maka sebaiknya pasien yang mempunyai gejala yang mengarah ke
Karsinoma Nasofaring dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan serologi yaitu
antibodi anti-EBV (EBNA-1).

Penderita Karsinoma Nasofaring tersebar diseluruh dunia dan terdapat daerah


endemik di China selatan. Jenis Karsinoma ini merupakan bentuk keganasan ketiga
yang dijumpai pada pria dengan insidensi di China Selatan berkisar antara 15-50%
pertahun. Di Indonesia Karsinoma Nasofaring paling banyak dijumpai diantara tumor
ganas dibidang THT. Dan usia terbanyak yang menderita adalah usia 40 tahun keatas.
Prevalensi Karsinoma Nasofaring di indonesia sebesar 4,7/100.000 per-penduduk per-
tahun.

B. ANATOMI FARING
3
Sebelum membahas struktur anatomi dari nasofaring, terlebih dahulu kita
membahas mengenai faring. Faring adalah tenggorokan, ruang muskulo-membranosa
di belakang rongga hidung, mulut, dan laring, berhubungan dengan rongga-rongga
tersebut dan dengan esofagus. Atau secara lebih jelas, faring merupakan bangunan
tabung fibromuskuler yang berbentuk corong ( membesar di bagian atas dan mengecil
dibagian bawah ) yang ke arah inferior akan berlanjut menjadi esofagus. Bangunan ini
terbentang mulai dari basis kranii hingga menyambung ke esofagus setinggi vertebra
servical VI, dengan panjang kurang lebih 5 inci (13 cm). Secara anatomis, faring
dibagi menjadi 3 bagian, yaitu :

1. Nasofaring
2. Orofaring
3. Laringofaring, yang juga sering disebut hipofaring

Nasofaring merupakan suatu rongga dengan dinding kaku diatas , belakang


dan lateral yang secara anatomi termasuk bagian faring.

1. Ke anterior berhubungan dengan rongga hidung melalui koana dan tepi belakang
septum nasi, sehingga sumbatan hidung merupakan gangguan yang sering timbul.
2. Ke arah posterior dinding nasofaring melengkung ke superior-anterior dan terletak
dibawah os sfenoid, sedangkan bagian belakang nasofaring berbatasan dengan
ruang retrofaring, fasia pre-vertebralis dan otot-otot dinding faring.
3. Pada dinding lateral nasofaring terdapat orifisium tuba eustachius dimana
orifisium ini dibatasi superior dan posterior torus tubarius, sehingga penyebaran
tumor ke lateral akan menyebabkan sumbatan orifisium tuba eustachis dan akan
mengganggu pendengaran.
4. Ke arah postero-superior dari torus tubarius terdapat fossa Rosenmuller yang
merupakan lokasi tersering Karsinoma Nasofaring.

Pada atap nasofaring sering terlihat lipatan-lipatan mukosa yang dibentuk oleh
jaringan lunak sub mukosa, dimana pada usia muda dinding postero-superior
nasofaring umumnya tidak rata. Hal ini disebabkan karena adanya jaringan adenoid.
Di nasofaring terdapat banyak saluran getah bening yang terutama mengalir ke lateral
bermuara di kelenjar retrofaring Krause (kelenjar Rouviere). Nasofaring juga
berhubungan erat dengan beberapa struktur penting, seperti Nervus Glossopharingeus,
Nervus Vagus dan Nervus Asesorius saraf spinal cranial dan vena jugularis interna.
Faring mendapat darah dari berbagai sumber dan kadang-kadang tidak beraturan.

4
Yang terutama berasal dari cabang a. Karotis eksterna, serta dari cabang a. Maksilaris
interna, yakni cabang palatine superior.

Gambar 1 : Anatomi faring


C. EPIDEMIOLOGI
Meskipun banyak ditemukan di negara dengan penduduk non-mongoloid,
namun demikian daerah China bagian selatan masih menduduki tempat tertinggi,
yaitu dengan 2500 kasus baru pertahun untuk propinsi guang-dong (Kwantung) atau
prevalensi 39,84/100.000 penduduk. Ras Mongoloid merupakan faktor dominan
timbulnya Karsinoma Nasofaring, sehinggga kekerapannya cukup tinggi pada
penduduk China bagian Selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura,
dan Indonesia.
Ditemukan pula cukup banyak kasus di Yunani, Afrika bagian Utara seperti
Aljazair dan Tunisia, pada orang Eskimo di Alasaka dan Tanah Hijau yang di duga
penyebabnya adalah karena mereka memakan makanan yang di awetkan dalam
musim dingin dengan menggunakan bahan pengawet Nitrosamin.

Di Indonesia, khususnya di Jawa Tengah bagian selatan, KNF yang tidak


terdifferensiasi (undiferentiated) merupakan tumor yang paling banyak ditemukan,
dengan angka kejadian 6,2 pada lakilaki dan 4,6 pada wanita dengan angka kejadian
insidensinya 3,9 per 100.000 per tahun. Di Jogjakarta, karsinoma nasofaring terdiri
dari 21,8 % terjadi pada pria dan 7,9% pada wanita.

KNF menduduki urutan ke-4 di Indonesia di antara semua penyakit kanker setelah
kanker rahim, payudara, dan kulit, dengan insidens sekitar 4,7 per 100.000 penduduk.

5
Data DepKes tahun 1980 menunjukkan prevalensi 4,7 per 100.000 penduduk atau
diperkirakan 7.000-8.000 kasus pertahun. Di RSU Dadi dan RS.Dr.Wahidin
Sudirohusodo selama periode 10 tahun (1990-1999) ditemukan 274 (47,98%)
kasusKNF dari tumor ganas kepala dan leher dengan perbandingan antara laki-laki
dan wanita adalah 2,6:1.

Dari data profil karsinoma nasofaring di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo,


Makassar, propinsi Sulawesi Selatan periode Januari 2004 sampai dengan Juni 2007
KNF merupakan 33% dari keganasan di bagian telinga, hidung dan tenggorok, (2000-
2009) ditemukan 362 kasus (57,28%) dari tumor ganas kepala dan leher.

D. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO

Meskipun penyelidikan untuk mengetahui penyebab penyakit ini telah


dilakukan di berbagai negara dan telah memakan biaya yang tidak sedikit, namun
sampai sekarang belum berhasil. Dikatakan bahwa beberapa faktor saling berkaitan
sehingga akhirnya disimpulkan bahwa penyebab penyakit ini adalah multifaktor.
Kaitan antara suatu kuman yang di sebut sebagai virus Epstein-Barr dan konsumsi
ikan asin dikatakan sebagai penyebab utama timbulnya penyakit ini. Virus tersebut
dapat masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal di sana tanpa menyebabkan suatu
kelainan dalam jangka waktu yang lama.
Untuk mengaktifkan virus ini di butuhkan suatu mediator. Sebagai contoh,
kebiasaan untuk mengkomsumsi ikan asin secara terus-menerus mulai dari masa
kanak-kanak, merupakan mediator utama yang dapat mengaktifkan virus ini sehingga
menimbulkan karsinoma nasofaring.
Mediator yang dianggap berpengaruh untuk timbulnya karsinoma nasofaring
ialah :
1. Zat Nitrosamin didalam ikan asin terdapat nitrosamin yang ternyata merupakan
mediator penting. Nitrosamin juga ditemukan dalam ikan/makanan yang diawetkan
di Greenland. Juga pada Quadid yaitu daging kambing yang dikeringkan di
tunisia, dan sayuran yang difermentasi (asinan) serta taoco di Cina.
2. Keadaan sosial ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup dikatakan
bahwa udara yang penuh asap di rumah-rumah yang kurang baik ventilasinya di
Cina, Indonesia dan Kenya, meningkatnya jumlah kasus KNF. Di Hongkong,
pembakaran dupa rumah-rumah juga dianggap berperan dalam menimbulkan KNF.

6
3. Sering kontak dengan zat yang dianggap bersifat Karsinogen. Yaitu yang dapat
menyebabkan kanker, antara lain Benzopyrene, Benzoathracene (sejenis
Hidrokarbon dalam arang batubara ), gas kimia, asap industri, asap kayu dan
beberapa Ekstrak tumbuhan- tumbuhan.
4. Ras dan keturunan. Ras kulit putih jarang terkena penyakit ini. Di Asia terbanyak
adalah bangsa Cina, baik yang negara asalnya maupun yang perantauan. Ras
melayu yaitu Malaysia dan Indonesia termasuk yang banyak terkena karsinoma
nasofaring.
5. Radang kronis di daerah nasofaring. Dianggap dengan adanya peradangan, mukosa
nasofaring menjadi lebih rentan terhadapa karsinogen lingkungan.

E. MANIFESTASI KLINIK

Karena KNF bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan, maka diagnosis dan
pengobatan yang sedini mungkin memegang peranan penting untuk mengetahui
gejala dini KNF dimana tumor masih terbatas di rongga nasofaring.
1. Gejala Dini :
a. Gejala telinga :
Kataralis/sumbatan tuba eutachius
Pasien mengeluh rasa penuh di telinga, rasa dengung kadang-kadang disertai
dengan gangguan pendengaran. Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini.
b. Radang telinga tengah sampai pecahnya gendang telinga.
Keadaan ini merupakan kelainan lanjut yang terjadi akibat penyumbatan muara
tuba, dimana rongga teliga tengah akan terisi cairan. Cairan yang diproduksi
makin lama makin banyak, sehingga akhirnya terjadi kebocoran gendang telinga
dengan akibat gangguan pendengaran.

7
Gambar 2 : Tumor nasofaring yang menutupi tuba Eusthachius.
2. Gejala Hidung :
a. Epistaksis
Dinding tumor biasanya rapuh sehingga oleh rangsangan dan sentuhan
dapat terjadi pendarahan hidung atau mimisan. Keluarnya darah ini biasanya
berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus,
sehingga berwarna merah jambu. Epistaksis ini juga dapat disebabkan oleh
penjalaran tumor ke selaput lendir hidung yang dapat mencederai dinding
pembuluh darah daerah ini.
b. Sumbatan hidung
Sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke
dalam rongga hidung dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis,
kadang-kadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya ingus
kental. Gejala telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas
untuk penyakit ini, karena juga dijumpai pada infeksi biasa, misalnya pilek
kronis, sinusitis dan lain-lainnya. Mimisan juga sering terjadi pada anak
yang sedang menderita radang.
3. Gejala pada system saraf perifer

Karena nasifaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak


melalui beberapa lobang, maka gangguan bebarapa saraf otak dapat terjadi
sebagai gejala lanjut. Penjalaran melalui foramen luserum akan mengenai
saraf otak ke III, IV, VI dan dapat pula ke V sehingga tidak jarang gejala
diplopia. Neuralgia trigeminal merupakan gejala yang paling sering terjadi.
Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI, XII, jika

8
penjalaran melalui foramen jugulare, yaitu suatu tempat yang jauh dari
nasofaring gangguan ini sering disebut dengan sindrom Jackson, jika sudah
mengenai seluruh saraf otak disebut sindrom unilateral dapat pula disertai
dengan destruksi tulang tengkorak dan bila sudah demikian prognosisnya
buruk.

4. Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar.


Tumor dapat meluas ke jaringan sekitar. Perluasan ke atas ke arah rongga
tengkorak dan kebelakang melalui sela-sela otot dapat mengenai saraf otak
dan menyebabkan gejala akibat kelumpuhan syaraf otak. Penjalaran melalui
foramen laserum akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI, dan dapat pula ke V,
sehingga yang sering ditemukan ialah penglihatan ganda (diplopia) dan pada
pemeriksaan tampak bola mata juling. Neuralgia trigeminal merupakan gejala
yang sering ditemukan oleh ahli saraf jika belum terdapat keluhan lain yang
berarti.
Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI, dan
XII jika penjalaran melalui foramane jugulare, yaitu suatu tempat yang relatif
jauh dari nasofaring. Hal ini akan menimbulkan rasa baal (mati rasa) didaerah
wajah sampai akhirnya timbul kelumpuhan lidah, bahu, leher dan gangguan
pendengaran serta gangguan penciuman. Keluhan lainnya dapat berupa sakit
kepala hebat akibat penekanan tumor ke selaput otak, rahang tidak dapat
dibuka akibat kekakuan otot-otot rahang yang terkena tumor. Biasanya
kelumpuhan hanya mengenai salah satu sisi tubuh saja (unilateral) tetapi pada
beberapa kasus pernah ditemukan mengenai ke dua sisi tubuh.
5. Gejala Lanjut :
a. Pembesaran kelenjar limfe leher
Tidak semua benjolan leher menandakan penyakit ini. Yang khas jika
timbulnya di daerah samping leher, 3-5 sentimeter di bawah daun telinga dan
tidak nyeri. Benjolan ini merupakan pembesaran kelenjar limfe, sebagai
pertahanan pertama sebelum sel tumor ke bagian tubuh yang lebih jauh.
Benjolan ini tidak dirasakan nyeri, karenanya sering diabaikan oleh pasien.
Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar
dan mengenai otot di bawahnya. Kelenjarnya menjadi lekat pada otot dan
sulit digerakkan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi.
9
Pembesaran kelenjar limfe leher merupakan gejala utama yang mendorong
pasien datang ke dokter. Kadang pembesaran kelenjar di leher ini salah
didiagnosis sebagai tuberkulosis kelenjar.
6. Gejala akibat metastasis
Sel-sel kanker dapat ikur mengalir bersama aliran limfe atau darah,
mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring, hal ini yang disebut
metastasis jauh. Yang sering ialah pada tulang, hati dan paru. Jika ini terjadi,
menandakan suatu stadium dengan prognosis sangat buruk.

Gambar 3 : Gambaran karsinoma nasofaring


F. PATOFISIOLOGI

Virus Epstein Barr (EBV) merupakan virus DNA yang memiliki kapsid
icosahedral dan termasuk dalam famili Herpesviridae. Infeksi EBV dapat berasosiasi
dengan beberapa penyakit seperti limfoma Burkitt, limfoma sel T, mononukleosis dan
karsinoma nasofaring (KNF). KNF merupakan tumor ganas yang terjadi pada sel
epitel di daerah nasofaring yaitu pada daerah cekungan Rosenmuelleri dan tempat
bermuara saluran eustachii. Banyak faktor yang diduga berhubungan dengan KNF,
yaitu:

1. Adanya infeksi EBV

10
Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam
limfosit B. Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel
kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B dengan cara
berikatan dengan reseptor virus, yaitu komponen komplemen C3d (CD21 atau
CR2). Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul EBV berikatan dengan protein CD21
dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini merupakan rangkaian yang berantai dimulai
dari masuknya EBV ke dalam DNA limfosit B dan selanjutnya menyebabkan
limfosit B menjadi immortal. Sementara itu, sampai saat ini mekanisme masuknya
EBV ke dalam sel epitel nasofaring belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun
demikian, ada dua reseptor yang diduga berperan dalam masuknya EBV ke dalam
sel epitel nasofaring yaitu CR2 dan PIGR ( Polimeric Immunogloblin Receptor ).
Sel yang terinfeksi oleh virus epstein-barr dapat menimbulkan beberapa
kemungkinan yaitu : sel menjadi mati bila terinfeksi dengan virus epstein-barr dan
virus mengadakan replikasi, atau virus epstein- barr yang meninfeksi sel dapat
mengakibatkan kematian virus sehingga sel kembali menjadi normal atau dapat
terjadi transformasi sel yaitu interaksi antara sel dan virus sehingga mengakibatkan
terjadinya perubahan sifat sel sehingga terjadi transformsi sel menjadi ganas
sehingga terbentuk sel kanker.

Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu
EBERs EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam
mempertahankan virus pada infeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan
LMP2B menghambat sinyal tyrosine kinase yang dipercaya dapat menghambat
siklus litik virus. Diantara gen-gen tersebut, gen yang paling berperan dalam
transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur protein LMP1 terdiri atas 368 asam
amino yang terbagi menjadi 20 asam amino pada ujung N, 6 segmen protein
transmembran (166 asam amino) dan 200 asam amino pada ujung karboksi (C).
Protein transmembran LMP1 menjadi perantara untuk sinyal TNF (tumor necrosis
factor ) dan meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel B dan
menghambat respon imun lokal.

2. Faktor lingkungan

11
Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di
berbagai daerah di asia dan america utara, telah dikonfirmasikan bahwa pola gaya
hidup dengan mengkonsumsi ikan asin dan makanan lain yang awetkan
mengandung sejumlah besar nitrosodimethyamine (NDMA), N-nitrospurrolidene
(NPYR) dan nitrospiperidine (NPIP ) yang mungkin merupakan faktor
karsinogenik karsinoma nasofaring. Selain itu merokok dan perokok pasif yg
terkena paparan asap rokok yang mengandung formaldehide dan yang tepapar debu
kayu diakui faktor risiko karsinoma nasofaring dengan cara mengaktifkan kembali
infeksi dari EBV.

Keadaan sosial ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup


dikatakan bahwa udara yang penuh dengan asap di rumah yang kurang memiliki
ventilasi dapat meningkatkan resiko terjadinya karsinoma pada nasofaring. Factor
lingkungan yang berpengaruh ialah iritasi oleh bahan kimia, asap sejenis kayu
tertentu, kebiasaan masak dengan bahan atau bumbu tertentu dan kebiasaan
memakan makanan yang terlalu panas terdapat hubungan antara kadar nikel dalam
air minum dan makanan dengan mortalitas karsinoma nasofaring.

3. Genetik
Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetic, tetapi
kerentana terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu
relative menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan
gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengode enzim sitokrom p450 2E1
(CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap karsinoma nasofaring.
Sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atas aktivasi metabolik yang terkait
nitrosamine dan karsinogen.

G. HISTOPATOLOGI
Permukaan nasofaring berbenjol-benjol, karena dibawah epitel terdapat
banyak jaringan limfosit, sehingga berbentuk seperti lipatan atau kripta. Hubungan
antara epitel dengan jaringan limfosit ini sangat erat, sehingga sering disebut
Limfoepitel. Bloom dan Fawcett (1965) membagi mukosa nasofaring atas empat
macam epitel :
1. Epitel selapis thorax bersilia Simple Columnar Cilated Epithelium
2. Epitel thorax berlapis Stratified Columnar Epithelium
3. Epitel thorax berlapis bersilia Stratified Columnar Ciliated Epithelium
12
4. Epitel thorax berlapis semu bersilia Pseudo-Stratified Columnar Ciliated
Epithelium

60% dari mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel berlapis gepeng, dan 80% dari
dinding posterior nasofaring dilapisi oleh epitel ini, sedangkan pada dinding lateral
dan depan dilapisi oleh epitel transisional, yang merupakan epitel peralihan antara
epitel berlapis gepeng dan thorax bersilia. Epitel berlapis gepeng ini umumya dilapisi
keratin, kecuali pada kripta yang dalam. Dipandang dari sudut embriologi, tempat
pertemuan atau peralihan 2 macam epitel adalah tempat yang subur untuk tumbuhnya
suatu karsinoma.

Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh Organisasi


Kesehatan Dunia (WHO) sebelum tahun 1991, dibagi atas 3 tipe, yaitu :

1. Tipe I : Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell


Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan buruk.
2. Tipe II : Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Pada tipe ini
dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa tanpa
jembatan intersel. Pada umumnya batas sel cukup jelas.
3. Tipe III : Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma). Pada tipe
ini sel tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk oval
atau bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya batas sel tidak terlihat
dengan jelas.
Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama,
yaitu bersifat radiosensitif dan mempinyai titer antibodi terhadap virus Epstein-Barr.
Sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak begitu radiosensitif dan tidak menunjukkan
hubungan dengan virus Epstein-Barr.

H. STADIUM KANKER
Stadium ini berdasarkan kriteria dari American Joint Committee On Cancer (AJCC
2010)

Tumor primer (T)

Tx : Tumor primer tidak dapat dinilai

To : Tidak terbukti adanya tumor primer

13
Tis : Karsinoma insitu

T1 : Tumor berbatas di nasofaring atau meluas ke orofaring dan atau cavum nasi tanpa
perluasan ke parafaring.

T2 : Tumor dengan perluasan ke parafaring

T3 : Tumor melibatkan sturuktur tulang dasar tengkorak dan / atau sinus paranasalis

T4 : Tumor dengan perluasan intracranial dan / atau terlibatnya saraf cranial,


hipofaring, orbita, atau dengan perluasan ke fossa intratemporal/ruang masticator.

KGB Regional (N)

Nx : KGB regional tidak dapat dinilai

No : tidak ada metastasis ke KGB regional

N1 : Metastasis ke kelenjar getah bening leher unilateral dengan diameter terbesar 6


cm atau kurang, diatas fossa supraclavikula, dan / atau unilateral atau bilateral KGB
retrofaring dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang.

N2 : metastasis ke KGB bilateral dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang, diatas


fossa klavikular.

N3 : Metastasis pada kelenjar getah bening diatas 6 cm dan/atau pada fossa


supraclavikula

N3a : diameter terbesar lebih dari 6 cm

N3b : meluas ke fossa supraclavikular

Metastasi Jauh (M)

M0 : Tanpa metastasis jauh

M1 : Metastasis jauh

Tabel 1 : Stadium KNF berdasarkan AJCC 2010

Stadium T N M

I T1 N0 Mo

14
II T1 N1 Mo

T2 N0-1 Mo

III T1-2 N2 Mo

T3 N0-2 Mo

IV A T4 N0-2 Mo

IV B Semua T N3 M0

IV C Semua T Semua N M1

- Stadium I : T1 dan N0 dan M0

- Stadium IIA : T2 dan N0 dan M0

15
- Stadium IIB : T1 atau T2 dan N1 dan M0

- Stadium III : T1/T2 dan N1/N2 dan M0 atau T3 dan N0/N1/N2 dan M0

- Stadium IVA : T4 dan N0/N1 dan M0 atau T dan N2 dan M0

16
- Stadium IVB : T1/T2/T3/T4 dan N3A/N3B dan M0

- Stadium IVC : T1/T2/T3/T4 dan N0/N1/N2/N3 dan M1.

I. PENEGAKAN DIAGNOSIS KARSINOMA NASOFARING

17
Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma
nasofaring, protokol dibawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis pasti
serta stadium tumor:

1. Anamnesis
Anamnesis berdasarkan keluhan yang dirasakn pasien (tanda dan gejala KNF)
yaitu gejala pada telinga berupa gangguan pendengaran, otalgia, otore dan tinnitus.
Gejala hidung berupa epistaksis, sumbatan hidung dan angguan pada system saraf.
2. Pemeriksaan fisis
a. Rinoskopi anterior hal yang dinilai ialah keadaan rongga hidung, konka inferior,
media dan posterior dimana normalnya berwarna merah muda (normal), pucat
atau hiperemis, menilai septum nasi apakah ada deviasi atau tidak, massa pada
rongga hidung berupa polip atau tumor, menilai sumber perdarahan pada hidung
b. Rinoskopi posterior dapat ditemukan lokalisasi dan besarnya karsinoma
nasofaring, perhatikan muara tuba, torus tubarius dan massa di fossa
Rossenmuler
c. Pemeriksaan nasofaring dengan menggunakan kaca nasofaring atau dengan
nashopharyngoskop.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi pada kecurigaan KNF merupakan pemeriksaan
penunjang diagnostic yang penting. Tujuan utama pemeriksaan radiologic
tersebut adalah:
1) Memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan adanya tumor pada
2) Daerah nasofaring
3) Menentukan lokasi yang lebih tepat dari tumor tersebut
4) Mencari dan menetukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya.
b. Foto polos
Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari
kemungkina adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:
1) Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak ( soft tissue technique)
2) Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks
3) Tomogram Lateral daerha nasofaring
4) Tomogranm Antero-posterior daerah nasofaring
c. C.T.Scan
Pada umunya KNF yang dapat dideteksi secara jelas dengan radiografi
polos adalah jika tumor tersebut cukup besar dan eksofitik, sedangkan bula kecil
mungkin tidak akan terdeteksi. Terlebih-lebih jika perluasan tumor adalah
submukosa, maka hal ini akan sukar dilihat dengan pemeriksaan radiografi
polos. Demikian pula jika penyebaran ke jaringan sekitarnya belum terlalu luas
akan terdapat kesukaran-kesukaran dalam mendeteksi hal tersebut. Keunggulan
18
C.T. Scan dibandingkan dengan foto polos ialah kemampuanya untuk
membedakan bermacam-macam densitas pada daerah nasofaring, baik itu pada
jaringan lunak maupun perubahan-perubahan pada tulang, gengan criteria
tertentu dapat dinilai suatu tumor nasofaring yang masih kecil. Selain itu dengan
lebih akurat dapatdinilai pakah sudah ada perluasan tumor ke jaringna
sekitarnya, menilai ada tidaknya destruksi tulang serta ada tidaknya penyebaran
intracranial.
Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari
kemungkina adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:
Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak ( soft tissue technique)
Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks
Tomogram Lateral daerha nasofaring
Tomogranm Antero-posterior daerah nasofaring
d. Pemeriksaan neuro-oftalmologi
Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak
melalui beberapa lobang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi
sebagai gejala lanjut KNF ini.
e. Pemeriksaan serologi.
Pemeriksaan serologi IgA anti EA (early antigen) dan igA anti VCA (capsid
antigen) untuk infeksi virus E-B telah menunjukan kemajuan dalam mendeteksi
karsinoma nasofaring. Tjokro Setiyo dari FK UI Jakarta mendapatkan dari 41
pasien karsinoma nasofaring stadium lanjut (stadium III dan IV) senstivitas IgA
VCA adalah 97,5% dan spesifitas 91,8% dengan titer berkisar antara 10 sampai
1280 dengan terbanyak titer 160. IgA anti EA sensitivitasnya 100% tetapi
spesifitasnya hanya 30,0%, sehingga pemeriksaan ini hanya digunakan untuk
menetukan prognosis pengobatan, titer yang didapat berkisar antara 80 sampai
1280 dan terbanyak pada titer 160.
4. Biopsi nasofaring

Diagnosis pasti dari KNF ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang


dengan diagnosis histologik atau sitologik. Diagnosis histologik atau sitologik
dapat ditegakan bila dikirim suatu material hasil biopsy cucian, hisapan (aspirasi),
atau sikatan (brush), biopsy dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau
dari mulut. Biopsi tumor nasofaring umunya dilakukan dengan anestesi topical
dengan xylocain 10%.

19
Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy).
Cunam biopsy dimasukan melalui rongga hidung menyelusuri konka media ke
nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy.
Biopsy melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang
dimasukan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik
keluar dan diklem bersama-sama ujung kateter yang dihdung. Demikian juga
kateter yang dari hidung disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke atas.
Kemudian dengan kacalaring dilihat daerah nasofaring. biopsy dilakukan
dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop
yang dimasukan melalui mulut, masaa tumor akan terlihat lebih jelas. Bila
dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan mala dilakukan
pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narcosis.
5. Pemeriksaan Patologi Anatomi
Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebelum tahun 1991, dibagi atas 3 tipe,
yaitu :
Tipe I : Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell
Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan
buruk.
Tipe II : Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Pada tipe
ini dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa
tanpa jembatan intersel. Pada umumnya batas sel cukup jelas.
Tipe III : Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma). Pada
tipe ini sel tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler,
berbentuk oval atau bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya batas sel
tidak terlihat dengan jelas.

Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang


sama, yaitu bersifat radiosensitif. Sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak
begitu radiosensitif. Klasifikasi gambaran histopatologi terbaru yang
direkomendasikan oleh WHO pada tahun 1991, hanya dibagi atas 2 tipe, yaitu:

Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi ( Keratinizing Squamous Cell


Carcinoma).
Karsinoma non-keratinisasi ( Non-keratinizing Carcinoma). Tipe ini dapat
dibagi lagi menjadi berdiferensiasi dan tak berdiferensiasi.

20
6. Pemeriksaan endoskopi yang akan memberikan informasi tentang keterlibatan
mukosa dan perluasan tumor serta membantu untuk dilakukan biopsy.

J. PENATALAKSANAAN
Stadium I : Radioterapi
Stadium II dan III : Kemoterapi
Stadium IV dengan N < 6 cm : kemoterapi dosis penuh dilanjutkan dengan
kemoradiasi.
1. Radioterapi
Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam
penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma
nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.
a. Definisi Terapi Radiasi :
Terapi radiasi adalah terapi sinar menggunakan energi tinggi yang dapat
menembus jaringan dalam rangka membunuh sel neoplasma.
b. Persyaratan Terapi Radiasi
Penyembuhan total terhadap karsinoma nasofaring apabila hanya menggunakan
terapi radiasi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1) Belum didapatkannya sel tumor di luar area radiasi


2) Tipe tumor yang radiosensitif
3) Besar tumor yang kira-kira radiasi mampu mengatasinya
4) Dosis yang optimal.
5) Jangka waktu radiasi tepat
6) Sebisa-bisanya menyelamatkan sel dan jaringan yang normal dari efek
samping radiasi.

Dosis radiasi pada limfonodi leher tergantung pada ukurannya


sebelum kemoterapi diberikan. Pada limfonodi yang tak teraba diberikan radiasi
sebesar 5000 cGy, < 2 cm diberikan 6600 cGy, antara 2-4 cm diberikan 7000 cGy
dan bila lebih dari 4 cm diberikan dosis 7380 cGy, diberikan dalam 41 fraksi
selama 5,5 minggu. Alat yang biasanya dipakai ialah cobalt 60,
megavoltageorthovoltage.

c. Sifat Terapi Radiasi


Terapi radiasi sendiri sifatnya adalah :

1) Merupakan terapi yang sifatnya lokal dan regional

21
2) Mematikan sel dengan cara merusak DNA yang akibatnya bisa mendestrukasi
sel tumor
3) Memiliki kemampuan untuk mempercepat proses apoptosis dari sel tumor.
4) Ionisasi yang ditimbulkan oleh radiasi dapat mematikan sel tumor.
5) Memiliki kemampuan mengurangi rasa sakit dengan mengecilkan ukuran
tumor sehingga mengurangi pendesakan di area sekitarnya..
6) Berguna sebagai terapi paliatif untuk pasien dengan perdarahan dari tumornya.
7) Walaupun pemberian radiasi bersifat lokal dan regional namun dapat
mengakibatkan defek imun secara general.
d. Jenis Pemberian Terapi Radiasi
Terapi radiasi pada karsinoma nasofaring bisa diberikan sebagai :
1) Radiasi eksterna dengan berbagai macam teknik fraksinasi.
2) Radiasi interna (brachytherapy) yang bisa berupa permanen implan atau
intracavitary barchytherapy.
3) Radiasi eksterna dapat digunakan sebagai :

pengobatan efektif pada tumor primer tanpa pembesaran kelenjar getah


bening
pembesaran tumor primer dengan pembesaran kelenjar getah bening
Terapi yang dikombinasi dengan kemoterapi
Terapi adjuvan diberikan pre operatif atau post operatif pada neck
dissection
4) Radiasi Interna/ brachyterapi bisa digunakan untuk :

Menambah kekurangan dosis pada tumor primer dan untuk menghindari


terlalu banyak jaringan sehat yang terkena radiasi.
Sebagai booster bila masih ditemukan residu tumor
Pengobatan kasus kambuh.
2. Kemoterapi
Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata
dapat meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau
pada keadaan kambuh.
a. Definisi Kemoterapi
Kemoterapi adalah segolongan obat-obatan yang dapat menghambat
pertumbuhan kanker atau bahkan membunuh sel kanker. Obat-obat anti kaker
ini dapat digunakan sebagai terapi tunggal (active single agents), tetapi

22
kebanyakan berupa kombinasi karena dapat lebih meningkatkan potensi
sitotoksik terhadap sel kanker. Selain itu sel-sel yang resisten terhadap salah
satu obat mungkin sensitif terhadap obat lainnya. Dosis obat sitostatika dapat
dikurangi sehingga efek samping menurun.
b. Obat-Obat Sitostatika yang direkomendasi FDA untuk Kanker Kepala
Leher
Beberapa sitostatika yang mendapat rekomendasi dari FDA (Amerika) untuk
digunakan sebagai terapi keganasan didaerah kepala dan leher yaitu Cisplatin,
Carboplatin, Methotrexate, 5-fluorouracil, Bleomycin, Hydroxyurea,
Doxorubicin, Cyclophosphamide, Doxetaxel, Mitomycin-C, Vincristine dan
Paclitaxel. Akhir-akhir ini dilaporkan penggunaan Gemcitabine untuk
keganasan didaerah kepala dan leher.
c. Sensitivitas Kemoterapi terhadap Karsinoma Nasofaring
Kemoterapi memang lebih sensitif untuk karsinoma nasofaring WHO I
dan sebagian WHO II yang dianggap radioresisten. Secara umum karsinoma
nasofaring WHO-3 memiliki prognosis paling baik sebaliknya karsinoma
nasofaring WHO-1 yang memiliki prognosis paling buruk. Adanya perbedaan
kecepatan pertumbuhan (growth) dan pembelahan (division) antara sel kanker
dan sel normal yang disebut siklus sel (cell cycle) merupakan titik tolak dari
cara kerja sitostatika. Hampir semua sitostatika mempengaruhi proses yang
berhubungan dengan sel aktif seperti mitosis dan duplikasi DNA. Sel yang
sedang dalam keadaan membelah pada umumnya lebih sensitif daripada sel
dalam keadaan istirahat.

Berdasar siklus sel kemoterapi ada yang bekerja pada semua siklus (Cell
Cycle non Spesific ) artinya bisa pada sel yang dalam siklus pertumbuhan sel
bahkan dalam keadaan istirahat. Ada juga kemoterapi yang hanya bisa bekerja
pada siklus pertumbuhan tertentu ( Cell Cycle phase spesific ).

Obat yang dapat menghambat replikasi sel pada fase tertentu pada siklus
sel disebut cell cycle specific. Sedangkan obat yang dapat menghambat
pembelahan sel pada semua fase termasuk fase G0 disebut cell cycle
nonspecific. Obat-obat yang tergolong cell cycle specific antara lain
Metotrexate dan 5-FU, obat-obat ini merupakan anti metabolit yang bekerja
dengan cara menghambat sintesa DNA pada fase S. Obat antikanker yang
tergolong cell cycle nonspecific antara lain Cisplatin (obat ini memiliki
23
mekanisme cross-linking terhadap DNA sehingga mencegah replikasi, bekerja
pada fase G1 dan G2), Doxorubicin (fase S1, G2, M), Bleomycin (fase G2,
M), Vincristine (fase S, M).

Dapat dimengerti bahwa zat dengan aksi multipel bisa mencegah


timbulnya klonus tumor yang resisten, karena obat-obat ini cara kerjanya tidak
sama. Apabila resiten terhadap agen tertentu kemungkinan sensitif terhadap
agen lain yang diberikan, dikarenakan sasaran kerja pada siklus sel berbeda.

d. Mekanisme Cara Kerja Kemoterapi


Kebanyakan obat anti neoplasma yang secara klinis bermanfaat,
agaknya bekerja dengan menghambat sintesis enzim maupun bahan esensial
untuk sintesis dan atau fungsi asam nukleat. Berdasarkan mekanisme cara
kerja obat , zat yang berguna pada tumor kepala leher dibagi sebagai berikut :

1. Antimetabolit, Obat ini menghambat biosintesis purin atau pirimidin.


Sebagai contoh MTX, menghambat pembentukan folat tereduksi, yang
dibutuhkan untuk sintesis timidin.

2. Obat yang mengganggu struktur atau fungsi molekul DNA. Zat pengalkil
seperti CTX ( Cyclophosphamide) mengubah struktur DNA, dengan
demikian menahan replikasi sel. Di lain pihak, antibiotika seperti
dactinomycin dan doxorubicin mengikat dan menyelip diantara rangkaian
nukleotid molekul DNA dan dengan demikian menghambat produksi
mRNA.

3. Inhibitor mitosis seperti alkaloid vinka contohnya vincristine dan


vinblastine, menahan pembelahan sel dengan mengganggu filamen mikro
pada kumparan mitosis.

e. Cara Pemberian Kemoterapi

Secara umum kemoterapi bisa digunakan dengan 4 cara kerja yaitu :

1. Sebagai neoadjuvan yaitu pemberian kemoterapi mendahului pembedahan


dan radiasi.
2. Sebagai terapi kombinasi yaitu kemoterapi diberikan bersamaan dengan
radiasi pada kasus karsinoma stadium lanjut.
24
3. Sebagai terapi adjuvan yaitu sebagai terapi tambahan paska pembedahan
dan atau radiasi
4. Sebagai terapi utama yaitu digunakan tanpa radiasi dan pembedahan
terutama pada kasus kasus stadium lanjut dan pada kasus kanker jenis
hematologi (leukemia dan limfoma).
Menurut prioritas indikasinya terapi terapi kanker dapat dibagi menjadi
dua yaitu terapi utama dan terapi adjuvan (tambahan/ komplementer/
profilaksis). Terapi utama dapat diberikan secara mandiri, namun terapi
adjuvan tidak dapat mandiri, artinya terapi adjuvan tersebut harus meyertai
terapi utamanya. Tujuannya adalah membantu terapi utama agar hasilnya lebih
sempurna.

Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki


indikasi yaitu bila setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata :

- kankernya masih ada, dimana biopsi masih positif


- kemungkinan besar kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti secara
makroskopis.
- pada tumor dengan derajat keganasan tinggi ( oleh karena tingginya resiko
kekambuhan dan metastasis jauh). Berdasarkan saat pemberiannya
kemoterapi adjuvan pada tumor ganas kepala leher dibagi menjadi :
o neoadjuvant atau induction chemotherapy
o concurrent, simultaneous atau concomitant chemoradiotherapy
o post definitive chemotherapy.
3. Operasi
Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi
leher radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa
kelenjar pasca radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar dengan syarat bahwa
tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan pemeriksaan
radiologik dan serologi.(5) Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif
yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada
nasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain.(1)
4. Imunoterapi
Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring
adalah virus Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat
diberikan imunoterapi. Prosedur follow up tidak seperti keganasan kepala

25
leher lainnya , KNF mempunyai resiko terjadinya rekurensi, sehingga follow
up jangka panjang diperlukan. Kekeambuhan tersering terjadi kurang dari 5
tahun, 5 15 % kekambuhan sering kali terjadi antara 5-10 tahun. Sehingga
pasien KNF perlu di follow up setidaknya 10 tahun setelah terapi. Jadwal
follow up yang dianjurkan sebagai berikut :
- Dalam 3 tahun pertama : setiap 3 bulan
- Dalam 3-5 tahun : setiap 6 bulan
- Setelah 5 tahun : setiap setahun sekali untuk seumur hidup
5. Perawatan paliatif
Perhatian pertama harus diberikan pada pasien dengan pengobatan
radiasi, mulut terasa kering yang disebabkan oleh rusaknya kelenjar liur mayor
atau minor sewaktu penyinaran. Tidak banyak yang dapat dilakukan selain
memberikan nasihat pasien untuk makan dengan banyak kuah. Kesulitan yang
timbul pada perawatan pasien pasca pengobatan lengkap dimana tumor tetap
ada (residu). Dapat pula timbul metastasi jauh pasca pengobatan seperti ke
tulang, paru, hati dan otak. Pada kedua keadaan tersebut tindakan yang dapat
diberikan adalah tindakan simtomatik untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien.
K. PROGNOSIS

Pengobatan radiasi, terutama pada kasus dini, pada umumnya akan


memberikan hasil pengobatan yang memuaskan. Namun radiasi pada kasus lanjutpun
dapat memberikan hasil pengobatan paliatif yang cukup baik sehingga diperoleh
kualitas hidup pasien yang baik pula. Secara keseluruhan, angka bertahan hidup 5
tahun adalah 45 %. Prognosis diperburuk oleh beberapa faktor, seperti :

- Stadium yang lebih lanjut.


- Usia lebih dari 40 tahun
- Laki-laki dari pada perempuan
- Ras Cina dari pada ras kulit putih
- Adanya pembesaran kelenjar leher
- Adanya kelumpuhan saraf otak adanya kerusakan tulang tengkorak
- Adanya metastasis jauh

L. PENCEGAHAN
1. Pemberian vaksinasi dengan vaksin spesifik membran glikoprotein virus Epstein
Barr yang dimurnikan pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan
resiko tinggi.
2. Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah resiko tinggi ke tempat lainnya.

26
3. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak makanan
untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya.
4. Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan
sosial ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan-
kemungkinan faktor penyebab.
5. Melakukan tes serologik IgA anti VCA dan IgA anti EA secara massal di masa
yang akan datang bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring secara
lebih dini.

M. KESIMPULAN

Karsinoma nasofaring banyak ditemukan di Indonesia. Seperti pada keganasan


yang lain, penyebab penyakit ini belum dapat dipastikan sehingga pencegahannya
relatif sulit. Yang perlu ditekankan adalah usaha menuju diagnosis dini, dimana
diagnosis dini sulit untuk ditegakkan. Yang terutama menjadi masalah adalah
keterlambatan pasien untuk berobat. Sebagian besar datang ketika sudah dalam
stadium lanjut, dengan demikian kanker sudah meluas ke jaringan sekitar atau
kelenjar leher. Hal ini merupakan penyukit untuk mendapatkan hasil pengobatan yang
sempurna.

Oleh karena itu perlunya meningkatkan kesadaran para dokter serts


memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai penyakit ini, supaya
masyarakat mengetahui tanda- tanda stadium awal penyakit dan kemana mereka harus
pergi untuk mendapatkan pertolongan yang tepat dan cepat. Diagnosis dini harus
segera ditegakkan dengan biopsy serta pemeriksaan patologi, supaya pengobatan tidak
terlambat. Diharapkan dengan penemuan kasus dini, penanggulangan terhadap
penyakit ini dapat diperbaiki, sehingga angka kematian dapat ditekan.

Pada stadium dini pengobatan yang diberikan adalah penyinaran, dan


memberikan angka penyembuhan yang cukup tinggi. Oleh karena itu diharapkan
kesadaran masyarakat untuk segera berobat. Jika terdapat gejala yang mencurigakan,
segera memeriksakan diri ke dokter. Sedangkan pada stadium lanjut, diperlukan
pengobatan tambahan yang memerlukan biaya yang tidak sedikit.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Farid W, Ramsi L. Penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Medan : FK USU, 1998.h.


1-20.
2. Ballenger JJ. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher.13 th Ed. Jilid 1.
Alih bahasa staf ahli bagian THT RSCM-FK UI. Jakarta : Binarupa Aksara, 1994.h.
391-6.
3. Myers EN, Suen JY. Cancer of the head and neck. 2nd ed. New York : Churchill
Livingstone, 1989. h. 495-507.
4. Iskandar N, Munir M, Soetjiepto D. Tumor Ganas THT. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI, 1989.

28
5. Damayanti Soetjipto. Karsinoma nasofaring.Dalam : Nurbaiti Iskandar (ed).Tumor
telinga-hidung-tenggorok diagnosis dan penatalaksanaan. Jakarta : FK UI,1989.h. 71-
84.
6. Ballenger JJ. Otorhinolaryngology : head and neck surgery. 15th ed. Philadelphia :
Williams & Wilkins, 1996.p. 323-36.
7. Ramsi Lutan, Nasution YU. Karsinoma nasofaring. Dalam : Program & abstrak
PITIAPI. Medan : FK USU, 2001.h. 9-25.
8. Susworo. Dalam : Kanker Nasofaring Epidemologi dan Pengobatan Mutakhir. Cermin
Dunia Kedokteran. 2004 : 16-20
9. Averdi Roezin, Anida Syafril. Karsinoma nasofaring. Dalam : Efiaty A. Soepardi (ed).
Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi ketiga. Jakarta : FK UI,
1997. h. 149-53.
10. Davidson. Neck Masses : Differential Diagnosis and Evaluation. San Diego :
University of California. Available at :
http://drdavidson.ucsd.edu/Portals/0/CMO/CMO_05.htm. Accessed July 31, 2009.

29

Anda mungkin juga menyukai