Anda di halaman 1dari 40

A.

Genesa Emas

A. Endapan Mineral Epitermal


a. Proses Epithermal
Endapan epitermal didefinisikan sebagai salah satu endapan dari sistem
hidrotermal yang terbentuk pada kedalaman dangkal yang umumnya pada busur vulkanik
yang dekat dengan permukaan (Simmons et al, 2005 dalam Sibarani, 2008).
Penggolongan tersebut berdasarkan temperatur (T), tekanan (P) dan kondisi geologi yang
dicirikan oleh kandungan mineralnya. Secara lebih detailnya endapan epitermal
terbentuk pada kedalaman dangkal hingga 1000 meter dibawah permukaan dengan
temperatur relatif rendah (50-200)0C dengan tekanan tidak lebih dari 100 atm dari cairan
meteorik dominan yang agak asin (Pirajno, 1992).
Tekstur penggantian (replacement) pada mineral tidak menjadi ciri khas karena
jarang terjadi. Tekstur yang banyak dijumpai adalah berlapis (banded) atau
berupa fissure vein. Sedangkan struktur khasnya adalah berupa struktur pembungkusan
(cockade structure). Asosiasi pada endapan ini berupa mineral emas (Au) dan perak
(Ag) dengan mineral penyertanya berupa mineral kalsit, mineral zeolit dan mineral
kwarsa. Dua tipe utama dari endapan ini adalah low sulphidation dan high
sulphidation yang dibedakan terutama berdasarkan pada sifat kimia fluidanya dan
berdasarkan pada alterasi dan mineraloginya.
Endapan epithermal umumnya ditemukan sebagai sebuah pipe-seperti zona
dimana batuan mengalami breksiasi dan teralterasi atau terubah tingkat tinggi. Veins juga
ditemukan, khususnya sepanjang zona patahan., namun mineralisasi vein mempunyai
tipe tidak menerus (discontinuous).
Pada daerah volcanic, sistem epithermal sangat umum ditemui dan seringkali
mencapai permukaan, terutama ketika fluida hydrothermal muncul (erupt) sebagai geyser
dan fumaroles. Banyak endapan mineral epithermal tua menampilkan fossil roots dari
sistem fumaroles kuno. Karena mineral-mineral tersebut berada dekat permukaan, proses
erosi sering mencabutnya secara cepat, hal inilah mengapa endapan mineral epithermal
tua relatif tidak umum secara global. Kebanyakan dari endapan mineral epithemal
berumur Mesozoic atau lebih muda.
Mineralisasi epitermal memiliki sejumlah fitur umum seperti hadirnya kalsedonik
quartz, kalsit, dan breksi hidrotermal. Selain itu, asosiasi elemen juga merupakan salah
satu ciri dari endapan epitermal, yaitu dengan elemen bijih seperti Au, Ag, As, Sb, Hg,
Tl, Te, Pb, Zn, dan Cu. Tekstur bijih yang dihasilkan oleh endapan epitermal termasuk
tipe pengisian ruang terbuka (karakteristik dari lingkungan yang bertekanan rendah),
krustifikasi, colloform banding dan struktur sisir. Endapan yang terbentuk dekat
permukaan sekitar 1,5 km dibawah permukaan ini juga memiliki tipe berupa tipe vein,
stockwork dan diseminasi.
Dua tipe utama dari endapan ini adalah low sulphidation dan high
sulphidation yang dibedakan terutama berdasarkan pada sifat kimia fluidanya dan
berdasarkan pada alterasi dan mineraloginya (Hedenquist et al., 1996:2000 dalam
Chandra,2009).
Dibawah ini digambarkan ciri-ciri umum endapan epitermal (Lingren, 1933 dalam
Sibarani,2008)):

Suhu relatif rendah (50-250C) dengan salinitas bervariasi antara 0-5 wt.%

Terbentuk pada kedalaman dangkal (~1 km)

Pembentukan endapan epitermal terjadi pada batuan sedimen atau batuan beku,
terutama yang berasosiasi dengan batuan intrusiv dekat permukaan atau ekstrusif,
biasanya disertai oleh sesar turun dan kekar.

Zona bijih berupa urat-urat yang simpel, beberapa tidak beraturan dengan
pembentukan kantong-kantong bijih, seringkali terdapat pada pipa dan stockwork.
Jarang terbentuk sepanjang permukaan lapisan, dan sedikit
kenampakan replacement (penggantian).

Logam mulia terdiri dari Pb, Zn, Au, Ag, Hg, Sb, Cu, Se, Bi, U

Mineral bijih berupa Native Au, Ag, elektrum, Cu, Bi, Pirit, markasit, sfalerit,
galena, kalkopirit, Cinnabar, jamesonite, stibnite, realgar, orpiment, ruby silvers,
argentite, selenides, tellurides.

Mineral penyerta adalah kuarsa, chert, kalsedon, ametis, serisit, klorit rendah-Fe,
epidot, karbonat, fluorit, barite, adularia, alunit, dickite, rhodochrosite, zeolit

Ubahan batuan samping terdiri dari chertification (silisifikasi), kaolinisasi,


piritisasi, dolomitisasi, kloritisasi
Tekstur dan struktur yang terbentuk adalah Crustification (banding) yang sangat
umum, sering sebagai fine banding, vugs, urat terbreksikan.

Karakteristik umum dari endapan epitermal (Simmons et al, 2005 dalam


Sibarani, 2008) adalah:
Jenis air berupa air meteorik dengan sedikit air magmatik

Endapan epitermal mengandung mineral bijih epigenetic yang pada umumnya


memiliki batuan induk berupa batuan vulkanik.

Tubuh bijih memiliki bentuk yang bervariasi yang disebabkan oleh kontrol dan
litologi dimana biasanya merefleksikan kondisi paleo-permeability pada kedalaman
yang dangkal dari sistem hidrotermal.

Sebagian besar tubuh bijih terdapat berupa sistem urat dengan dip yang terjal yang
terbentuk sepanjang zona regangan. Beberapa diantaranya terdapat bidang sesar
utama, tetapi biasanya pada sesar-sesar minor.

Pada suatu jaringan sesar dan kekar akan terbentuk bijih pada urat.

Mineral gangue yang utama adalah kuarsa sehingga menyebabkan bijih keras dan
realtif tahan terhadap pelapukan.
Kandungan sulfida pada urat relatif sedikit (<1 s/d 20%).

b. Klasifikasi Endapan Epithermal


Pada lingkungan epitermal terdapat 2 (dua) kondisi sistem hidrotermal
(Gambar 2.4) yang dapat dibedakan berdasarkan reaksi yang terjadi dan keterdapatan
mineral-mineral alterasi dan mineral bijihnya yaitu epitermal low sulfidasi dan high
sulfidasi (Hedenquist et al .,1996; 2000 dalam Sibarani, 2008). Pengklasifikasian
endapan epitermal masih merupakan perdebatan hingga saat ini, akan tetapi sebagian
besar mengacu kepada aspek mineralogi dan gangue mineral, dimana aspek tersebut
merefleksikan aspek kimia fluida maupun aspek perbandingan karakteristik mineralogi,
alterasi (ubahan) dan bentuk endapan pada lingkungan epitermal. Aspek kimia dari fluida
yang termineralisasi adalah salah satu faktor yang terpenting dalam penentuan kapan
mineralisasi tersebut terjadi dalam sistem hidrotermal.
1. Karakteristik Endapan Epitermal Sulfida Rendah / Tipe Adularia-Serisit
(Epithermal Low Sulfidation )
a. Tinjauan Umum
Endapan epitermal sulfidasi rendah dicirikan oleh larutan hidrotermal yang bersifat
netral dan mengisi celah-celah batuan. Tipe ini berasosiasi dengan alterasi kuarsa-
adularia, karbonat, serisit pada lingkungan sulfur rendah dan biasanya perbandingan
perak dan emas relatif tinggi. Mineral bijih dicirikan oleh terbentuknya elektrum, perak
sulfida, garam sulfat, dan logam dasar sulfida. Batuan induk pada deposit logam mulia
sulfidasi rendah adalah andesit alkali, dasit, riodasit atau riolit. Secara genesa sistem
epitermal sulfidasi rendah berasosiasi dengan vulkanisme riolitik. Tipe ini dikontrol oleh
struktur-struktur pergeseran (dilatational jog).

b. Genesa dan Karakteristik


Endapan ini terbentuk jauh dari tubuh intrusi dan terbentuk melalui larutan sisa
magma yang berpindah jauh dari sumbernya kemudian bercampur dengan air meteorik di
dekat permukaan dan membentuk jebakan tipe sulfidasi rendah, dipengaruhi oleh
sistem boiling sebagai mekanisme pengendapan mineral-mineral bijih.
Proses boiling disertai pelepasan unsur gas merupakan proses utama untuk pengendapan
emas sebagai respon atas turunnya tekanan. Perulangan proses boiling akan tercermin
dari tekstur crusstiform banding dari silika dalam urat kuarsa. Pembentukan jebakan
urat kuarsa berkadar tinggi mensyaratkan pelepasan tekanan secara tiba-tiba dari cairan
hidrotermal untuk memungkinkan proses boiling. Sistem ini terbentuk pada tektonik
lempeng subduksi, kolisi dan pemekaran (Hedenquist dkk., 1996 dalam Pirajno, 1992).
Kontrol utama terhadap pH cairan adalah konsentrasi CO2 dalam larutan dan
salinitas. Proses boiling dan terlepasnya CO2 ke fase uap mengakibatkan kenaikan pH,
sehingga terjadi perubahan stabilitas mineral contohnya dari illit ke adularia. Terlepasnya
CO2 menyebabkan terbentuknya kalsit, sehingga umumnya dijumpai adularia dan bladed
calcite sebagai mineral pengotor (gangue minerals) pada urat bijih sistem sulfidasi
rendah
Endapan epitermal sulfidasi rendah akan berasosiasi dengan alterasi kuarsa
adularia, karbonat dan serisit pada lingkungan sulfur rendah. Larutan bijih dari sistem
sulfidasi rendah variasinya bersifat alkali hingga netral (pH 7) dengan kadar garam
rendah (0-6 wt)% NaCl, mengandung CO2 dan CH4 yang bervariasi. Mineral-mineral
sulfur biasanya dalam bentuk H2S dan sulfida kompleks dengan temperatur sedang
(150-300 C) dan didominasi oleh air permukaan
Batuan samping (wallrock) pada endapan epitermal sulfidasi rendah adalah andesit
alkali, riodasit, dasit, riolit ataupun batuan batuan alkali. Riolit sering hadir pada sistem
sulfidasi rendah dengan variasi jenis silika rendah sampai tinggi. Bentuk endapan
didominasi oleh urat-urat kuarsa yang mengisi ruang terbuka (open space), tersebar
(disseminated), dan umumnya terdiri dari urat-urat breksi (Hedenquist dkk., 1996).
Struktur yang berkembang pada sistem sulfidasi rendah berupa urat, cavity filling, urat
breksi, tekstur colloform, dan sedikit vuggy (Corbett dan Leach, 1996), lihat Tabel 2.1
Tabel 2.1 Karakteristik endapan epitermal sulfidasi rendah
(Corbett dan Leach, 1996).
Tipe endapan Sinter breccia, stockwork
Posisi Subduction, collision, dan rift
tektonik
Tekstur Colloform atau crusstiform
Asosiasi Stibnit, sinnabar, adularia, metal
mineral sulfida
Mineral bijih Pirit, elektrum, emas, sfalerit,
arsenopirit
Contoh Pongkor, Hishikari dan Golden Cross
endapan

c. Interaksi Fluida
Epithermal Low Sulphidation terbentuk dalam suatu sistem geotermal yang
didominasi oleh air klorit dengan pH netral dan terdapat kontribusi dominan dari
sirkulasi air meteorik yang dalam dan mengandung CO2, NaCl, and H2S

d. Model Konseptual Endapan Emas Epitermal Sulfidasi Rendah


Gambar.2.9 Model endapan emas epitermal sulfidasi rendah
(Hedenquist dkk., 1996 dalam Nagel, 2008).

Gambar diatas (Gambar.2.9) merupakan model konseptual dari endapan emas


sulfidasi rendah. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa endapan ephitermal sulfidasi
rendah berasosiasi dengan lingkungan volkanik, tempat pembentukan yang relatif dekat
permukaan serta larutan yang berperan dalam proses pembentukannya berasal dari
campuran air magmatik dengan air meteorit
2. Karakteristik Endapan Epitermal Sulfida Tinggi (Epithermal High Sulfidation)
atau Acid Sulfate
a. Tinjauan Umum
Endapan epitermal high sulfidation dicirikan dengan host rock berupa batuan
vulkanik bersifat asam hingga intermediet dengan kontrol struktur berupa sesar secara
regional atau intrusi subvulkanik, kedalaman formasi batuan sekitar 500-2000 meter dan
temperatur 1000C-3200C. Endapan Epitermal High Sulfidation terbentuk oleh sistem
dari fluida hidrotermal yang berasal dari intrusi magmatik yang cukup dalam, fluida ini
bergerak secara vertikal dan horizontal menembus rekahan-rekahan pada batuan dengan
suhu yang relatif tinggi (200-3000C), fluida ini didominasi oleh fluida magmatik dengan
kandungan acidic yang tinggi yaitu berupa HCl, SO2, H2S (Pirajno, 1992).
Gambar 2.10 Keberadaan sistem sulfidasi tinggi

Gambar 2.11 Penampang Ideal Endapan Epitermal Menurut Buchanan (1981)

a. Genesa dan Karakteristik


Endapan epitermal high sulfidation terbentuk dari reaksi batuan induk dengan
fluida magma asam yang panas, yang menghasilkan suatu karakteristik zona alterasi
(ubahan) yang akhirnya membentuk endapan Au+Cu+Ag. Sistem bijih menunjukkan
kontrol permeabilitas yang tergantung oleh faktor litologi, struktur, alterasi di batuan
samping, mineralogi bijih dan kedalaman formasi.High sulphidation berhubungan
dengan pH asam, timbul dari bercampurnya fluida yang mendekati pH asam dengan
larutan sisa magma yang bersifat encer sebagai hasil dari diferensiasi magma, di
kedalaman yang dekat dengan tipe endapan porfiri dan dicirikan oleh jenis sulfur yang
dioksidasi menjadi SO.
b. Interaksi Fluida
Epithermal High Sulphidation terbentuk dalam suatu sistem magmatic-
hydrothermal yang didominasi oleh fluida hidrothermal yang asam, dimana terdapat
fluks larutan magmatik dan vapor yang mengandung H2O, CO2, HCl, H2S, and SO2,
dengan variabel input dari air meteorik lokal.

2.1 Potensi Dan Keberadaan Endapan Epithermal


Jenis endapan epitermal yang terletak 500 m bagian atas dari suatu sistem
hidrotermal ini merupakan zone yang menarik dan terpenting. Disini terjadi perubahan-
perubahan suhu dan tekanan yang maksimum serta mengalami fluktuasi-fluktuasi yang
paling cepat. Fluktuasi-fluktuasi tekanan ini menyebabkan perekahan hidraulik
(hydraulic fracturing), pendidihan (boiling), dan perubahan-perubahan hidrologi sistem
yang mendadak. Proses-proses fisika ini secara langsung berhubungan dengan proses-
proses kimiawi yang menyebabkan mineralisasi (www.terrasia.tripod.com)
Terdapat suatu kelompok unsur-unsur yang umumnya berasosiasi dengan
mineralisasi epitermal, meskipun tidak selalu ada atau bersifat eksklusif dalam sistem
epitermal. Asosiasi klasik unsur-unsur ini adalah: emas (Au), perak (Ag), arsen (As),
antimon (Sb), mercury (Hg), thallium (Tl), dan belerang (S) (www.terrasia.tripod.com) .
Dalam endapan yang batuan penerimanya karbonat (carbonat-hosted deposits),
arsen dan belerang merupakan unsur utama yang berasosiasi dengan emas dan perak
(Berger, 1983), beserta dengan sejumlah kecil tungsten/wolfram (W), molybdenum
(Mo), mercury (Hg), thallium (Tl), antimon (Sb), dan tellurium (Te); serta juga fluor (F)
dan barium (Ba) yang secara setempat terkayakan. Dalam endapan yang batuan
penerimanya volkanik (volcanic-hosted deposits) akan terdapat pengayaan unsur-unsur
arsen (As), antimon (Sb), mercury (Hg), dan thallium (Tl); serta logam-logam mulia
(precious metals) dalam daerah-daerah saluran fluida utama, sebagaimana asosiasinya
dengan zone-zone alterasi lempung. Menurut Buchanan (1981), logam-logam dasar
(base metals) karakteristiknya rendah dalam asosiasinya dengan emas-perak, meskipun
demikian dapat tinggi pada level di bawah logam-logam berharga (precious metals) atau
dalam asosiasi-nya dengan endapan-endapan yang kaya perak dimana unsur mangan juga
terjadi. Cadmium (Cd), selenium (Se) dapat berasosiasi dengan logam-logam dasar;
sedangkan fluor (F), bismuth (Bi), tellurium (Te), dan tungsten (W) dapat bervariasi
tinggi kandungannya dari satu endapan ke endapan yang lainnya; serta boron (B) dan
barium (Ba) terkadang terkayakan. (www.terrasia.tripod.com).
Mineral-mineral ekonomis yang dihasilkan dari epitermal antara lain Au, Ag, Pb,
Zn, Sb, Hg, arsenopirit, pirit, garnet, kalkopirit, wolframit, siderit, tembaga, spalerite,
timbal, stibnit, katmiun, galena, markasit, bornit, augit, dan topaz. Berikut ini adalah
beberapa contoh logam hasil dari endapan epitermal yang memiliki nilai ekonomi yang
tinggi, antara lain: Emas (Au) dan Perak (Ag).

2.1.1 Emas
Emas adalah unsur kimia dalam tabel periodik yang memiliki simbol Au (bahasa
Latin: 'aurum') dan nomor atom 79. Sebuah logam transisi (trivalen dan univalen) yang
lembek, mengkilap, kuning, berat, "malleable", dan "ductile". Emas tidak bereaksi
dengan zat kimia lainnya tapi terserang oleh klorin, fluorin dan aqua regia. Logam ini
banyak terdapat di nugget emas atau serbuk di bebatuan dan dideposit alluvial dan salah
satu logam coinage. Kode ISOnya adalah XAU. Emas melebur dalam bentuk cair pada
suhu sekitar 1000 derajat celcius.
Emas merupakan logam yang bersifat lunak dan mudah ditempa, kekerasannya
berkisar antara 2,5 3 (skala Mohs), serta berat jenisnya tergantung pada jenis dan
kandungan logam lain yang berpadu dengannya. Mineral pembawa emas biasanya
berasosiasi dengan mineral ikutan (gangue minerals). Mineral ikutan tersebut
umumnya kuarsa, karbonat, turmalin, flourpar, dan sejumlah kecil mineral non logam.
Mineral pembawa emas juga berasosiasi dengan endapan sulfida yang telah teroksidasi.
Mineral pembawa emas terdiri dari emas nativ, elektrum, emas telurida, sejumlah paduan
dan senyawa emas dengan unsur-unsur belerang, antimon, dan selenium. Elektrum
sebenarnya jenis lain dari emas nativ, hanya kandungan perak di dalamnya >20%
(Sutarto, 2004).
Sebagian besar endapan emas di Indonesia dihasilkan jenis endapan epitermal.
Endapan emas tipe ini umumnya didapatkan dalam bentuk urat, baik dalam urat kuarsa
maupun dlam urat bentuk karbonat yang terbentuk dalam suhu 150-3000C dengan pH
sedikit asam atau mendekati netral Urat-urat tersebut terbentuk oleh hasil aktifitas
hidrotermal yang berada di sekitar endapan porfiri. Dimana emas, perak, tembaga,
wolfram, dan timah terdapat dalam endapan ini (Sukandarrumidi, 2007).
Kebanyakan emas epitermal terdapat dalam vein-vein yang berasosiasi dengan
Alterasi Quartz-Illite yang menunjukkan pengendapan dari fluida-fluida dengan pH
mendekati netral (Fluida-fluida Khlorida Netral) Dalam alterasi dan mineralisasi dengan
jenis fluida ini, emas dijumpai dalam vein, veinlet, breksi ekplosi atau breksi
hidrotermal, dan stockwork atau stringer Pyrite+Quartz yang berbentuk seperti rambut
(hairline)
Emas epitermal juga terdapat dalam Alterasi Advanced-Argillic dan alterasi-
alterasi sehubungan yang terbentuk dari Fluida-fluida Asam Sulfat. Dalam alterasi dan
mineralisasi dengan jenis fluida ini, emas dijumpai dalam veinlet, batuan-batuan silika
masif, atau dalam rekahan-rekahan atau breksi-breksi dalam batuan.
Proses terbentuknya emas endapan epitermal dapat diuraikan sebagai berikut: emas
diangkut oleh larutan hidrotermal yang kaya akan ligand HS- dan OH-. Ligan ini
mengangkut emas hingga ke tempat pengendapannya. Kehadiran breksi hidrotermal
merupakan salah satu cirri adanya proses pendidihan pada larutan hidrotermal.
Pendidihan terjadi karena ada pertemuan antara larutan yang bersuhu tinggi (hidrotermal)
dengan larutan yang bersuhu rendah (larutan meteoric). Selama proses pendidihan ini
tekanan menjadi semakin besar sehingga mengancurkan dinding batuan yang dilalui
larutan hidrotermal. Akibat proses pendidihan tersebut, yaitu hilangnya gas H2S, terjadi
peningkatan pH dan penurunan suhu. Ketiga proses tersebut dapat mengantarkan emas
pada batuan sehingga kadar emas primer tinggi biasanya dijumpai di breksi hidrotermal
(Sukandarrumidi, 2007).
Dibawah ini contoh endapan emas epitermal dari sistem low sulfidation danhigh
sulfidation.

Endapan Au Umur
(ton)
Yanacocha/Peru 820 M/P
Pueblo Viejo 680 Cret
Pascua 640 M/P
Pienina/Peru 250 M/P
Lepanto 210 Quat
El Indio 190 M/P
Chinquashih 150 Quat
Summitville 20 M/P
Rodalquilar 10 N/P

Tabel 2.2 Contoh endapan emas epitermal (high sulfidation)


(Wayan dalam . www.osun.org)
Endapan Au Umur
(ton)
Lihir 924 Quat
Porgera 600 M/P
Round Mountain 443 M/P
Baguio District 300 Quat
Hishikari 250 Quat
Kelian 180 M/P
Gunung Pongkor 175 M/P
Dukat 150 Cret
Cerro Korikollo 147 M/P

Tabel 2.3 Contoh endapan emas epitermal (Low Sulphidation)


(Wayan dalam www.osun.org)

2.1.2 Perak
Dijumpai sebagai unsur (perak murni) atau sebagai senyawa. Sebagai perak murni
(Ag) mempunyai sifat; Kristal-kristal berkelompok tersusun sejajar, menjarum, atau
menjaring, kadang berupa sisik, kilap logam. Dalam bentuk mineral didapatkan sebagai
argentite, cerrargirit, miagirit, dan proustit (Sukandarrumidi, 2007). Perak biasanya
berasosiasi dengan pirit, tembaga, emas, kalsit, dan nikel. Perak terbentuk dari reduksi
sulfide pada bagian bawah endapan Ag, Zn, dan Pb. Terkadang juga terbentuk sebagai
endapan primer urat epitermal berasosiasi dengan kalsit (temperature rendah) (Sutarto,
2004). Kandungan perak pada beberapa mineral dapat mencapai perak murni (100%),
argentite (87%), prousite (65%), miagrite (36%), dan dalam kandungan emas (28%).
Endapan perak yang dihasilkan dari endapan emas kurang lebih 75% didapatkan sebagai
hasil samping dari pengolahan bijih emas, nikel dan tembaga. Endapan perak dapat
berupa endapan pengisian dan endapan penggantian, serta pengayaan sulfide.
Kebanyakan endapan perak didunia dihasilkan dari dari hidrotermal tipe fissure
filling (Sukandarrumidi, 2007).
2.2 Pemanfaatan Hasil Endapan Epitermal
2.2.1 Emas
Emas digunakan sebagai standar keuangan di banyak negara dan juga digunakan
sebagai perhiasan, dan elektronik. Penggunaan emas dalam bidang moneter dan
keuangan berdasarkan nilai moneter absolut dari emas itu sendiri terhadap berbagai mata
uang di seluruh dunia, meskipun secara resmi di bursa komoditas dunia, harga emas
dicantumkan dalam mata uang dolar Amerika. Bentuk penggunaan emas dalam bidang
moneter lazimnya berupa bulion atau batangan emas dalam berbagai satuan berat gram
sampai kilogram.

2.2.2 Sfalerit (ZnS)


Unsur ini biasanya ditemukan bersama dengan logam-logam lain seperti tembaga
dan timbal dalam bijih logam. Seng diklasifikasikan sebagai kalkofil, yang berarti bahwa
unsur ini memiliki afinitas yang rendah terhadap oksigen dan lebih suka berikatan
dengan belerang. Kalkofil terbentuk ketika kerak bumi memadat di bawah kondisi
atmosfer bumi awal yang mendukung reaksi reduksi. Sfalerit, yang merupakan salah satu
bentuk kristal seng sulfida, merupakan bijih logam yang paling banyak ditambang untuk
mendapatkan seng karena mengandung sekitar 60-62% seng.
Pelapisan seng pada baja untuk mencegah perkaratan merupakan aplikasi utama
seng. Aplikasi-aplikasi lainnya meliputi penggunaannya pada baterai dan campuan
logam.

2.2.3 Timbal (Pb)


Timbal tersebut juga memberikan berbagai manfaat, salah satunya adalah
pelumasan pada dudukan katup dalam proses pembakaran khususnya bagi mesin-mesin
kendaraan bermotor keluaran lama (dekade 1980-an dan sebelumnya). Adanya fungsi
pelumasan dari Timbal pada dudukan katup tersebut, akan mengakibatkan dudukan
katup terjaga dari keausan dan resesi (recession valve) sehingga lebih tahan lama/awet.
Dengan kata lain perawatan untuk dudukan katup tersebut menjadi lebih murah.
sifat timbal ini yang tahan terhadap korosi (karatan), timbal ini biasanya digunakan
untuk bahan perpipaan, bahan aditif untuk bensin, baterai, pigmen dan amunisi. Selain
itu dalam dunia permesinan terutama kendaraan bermotor timbal ini juga bermanfaat
buat menambah nilai oktan pada bensin (premium) sehingga efekknocking (ketukan)
pada mesin dapat dihindari. Residu timbal ini berfungsi untuk melapisi katup. Karena
ada lapisan ini, maka ketika katup menutup ada semacam bantalan/pelindung antara
bahan metal katup dengan dudukan katup(valve seat) di cylinder head mesin sehingga
terhindar terjaga dari keausan dan resesi (recessionvalve) sehingga lebih tahan
lama/awet.

B. GENESA ENDAPAN NIKEL LATERIT

1. Endapan Nikel Laterit

Endapan nikel laterit merupakan bijih yang dihasilkan dari proses pelapukan batuan
ultrabasa yang ada di atas permukaan bumi. Istilah Laterit sendiri diambil dari bahasa
Latin later yang berarti batubata merah, yang dikemukakan oleh M. F. Buchanan
(1807), yang digunakan sebagai bahan bangunan di Mysore, Canara dan Malabr yang
merupakan wilayah India bagian selatan. Material tersebut sangat rapuh dan mudah
dipotong, tetapi apabila terlalu lama terekspos, maka akan cepat sekali mengeras dan
sangat kuat.

Smith (1992) mengemukakan bahwa laterit merupakan regolith atau tubuh batuan
yang mempunyai kandungan Fe yang tinggi dan telah mengalami pelapukan, termasuk
di dalamnya profil endapan material hasil transportasi yang masih tampak batuan
asalnya.

Sebagian besar endapan laterit mempunyai kandungan logam yang tinggi dan dapat
bernilai ekonomis tinggi, sebagai contoh endapan besi, nikel, mangan dan bauksit.

Dari beberapa pengertian bahwa laterit dapat disimpulkan merupakan suatu material
dengan kandungan besi dan aluminium sekunder sebagai hasil proses pelapukan yang
terjadi pada iklim tropis dengan intensitas pelapukan tinggi. Di dalam industri
pertambangan nikel laterit atau proses yang diakibatkan oleh adanya proses lateritisasi
sering disebut sebagai nikel sekunder.

2. Ganesa Pembentukan Endapan Nikel Laterit

Proses pembentukan nikel laterit diawali dari proses pelapukan batuan ultrabasa,
dalam hal ini adalah batuan harzburgit. Batuan ini banyak mengandung olivin,
piroksen, magnesium silikat dan besi, mineral-mineral tersebut tidak stabil dan mudah
mengalami proses pelapukan.

Proses pelapukan dimulai pada batuan ultramafik (peridotit, dunit, serpentinit),


dimana batuan ini banyak mengandung mineral olivin, piroksen, magnesium silikat dan
besi silikat, yang pada umumnya mengandung 0,30 % nikel. Batuan tersebut sangat
mudah dipengaruhi oleh pelapukan lateritik (Boldt ,1967).

Proses laterisasi adalah proses pencucian pada mineral yang mudah larut dan silika
dari profil laterit pada lingkungan yang bersifat asam, hangat dan lembab serta
membentuk konsentrasi endapan hasil pengkayaan proses laterisasi pada unsur Fe, Cr,
Al, Ni dan Co (Rose et al., 1979 dalam Nushantara 2002).

Menurut Hasanudin, 1992, air permukaan yang mengandung CO2 dari atmosfir dan
terkayakan kembali oleh material material organis di permukaan meresap ke bawah
permukaan tanah sampai pada zona pelindian, dimana fluktuasi air tanah berlangsung.
Akibat fluktuasi ini air tanah yang kaya CO2 akan kontak dengan zona saprolit yang
masih mengandung batuan asal dan melarutkan mineral mineral yang tidak stabil
seperti olivin / serpentin dan piroksen. Mg, Si dan Ni akan larut dan terbawa sesuai
dengan aliran air tanah dan akan memberikan mineral mineral baru pada proses
pengendapan kembali .Endapan besi yang bersenyawa dengan oksida akan
terakumulasi dekat dengan permukaan tanah, sedangkan magnesium, nikel dan silika
akan tetap tertinggal di dalam larutan dan bergerak turun selama suplai air yang masuk
ke dalam tanah terus berlangsung. Rangkaian proses ini merupakan proses pelapukan
dan pelindihan/leaching.

Pada proses pelapukan lebih lanjut magnesium (Mg), Silika (Si), dan Nikel (Ni) akan
tertinggal di dalam larutan selama air masih bersifat asam . Tetapi jika dinetralisasi
karena adanya reaksi dengan batuan dan tanah, maka zat zat tersebut akan cenderung
mengendap sebagai mineral hidrosilikat (Ni-magnesium hidrosilicate) yang disebut
mineral garnierit [(Ni,Mg)6Si4O10(OH)8] atau mineral pembawa Ni (Boldt, 1967).

Adanya suplai air dan saluran untuk turunnya air, dalam hal berupa kekar, maka Ni
yang terbawa oleh air turun ke bawah, lambat laun akan terkumpul di zona air sudah
tidak dapat turun lagi dan tidak dapat menembus batuan dasar(bedrock). Ikatan dari Ni
yang berasosiasi dengan Mg, SiO dan H akan membentuk mineral garnierit dengan
rumus kimia (Ni, Mg) Si4O5(OH)4. Apabila proses ini berlangsung terus menerus, maka
yang akan terjadi adalah proses pengkayaan supergen/supergen enrichment. Zona
pengkayaan supergen ini terbentuk di zona Saprolit. Dalam satu penampang vertikal
profil laterit dapat juga terbentuk zona pengkayaan yang lebih dari satu, hal tersebut
dapat terjadi karena muka air tanah yang selalu berubah-ubah, terutama tergantung dari
perubahan musim.

Di bawah zona pengkayaan supergen terdapat zona mineralisasi primer yang tidak
terpengaruh oleh proses oksidasi maupun pelindihan, yang sering disebut sebagai zona
batuan dasar (bed rock). Biasanya berupa batuan ultramafik seperti Peridotit atau Dunit.

3. Faktor-faktor utama pembentukan bijih nikel laterit adalah :

a. Batuan asal
Merupakan syarat utama untuk terbentuknya endapan nikel laterit, macam
batuan asalnya adalah batuan ultrabasa. Dalam hal ini pada batuan ultrabasa tersebut :
terdapat elemen Ni yang paling banyak diantara batuan lainnya, mempunyai mineral-
mineral yang paling mudah lapuk atau tidak stabil, seperti olivin dan piroksin,
mempunyai komponen-komponen yang mudah larut dan memberikan lingkungan
pengendapan yang baik untuk nikel.
b. Iklim.
Adanya pergantian musim kemarau dan musim penghujan dimana terjadi kenaikan
dan penurunan permukaan air tanah juga dapat menyebabkan terjadinya proses
pemisahan dan akumulasi unsur-unsur. Perbedaan temperatur yang cukup besar akan
membantu terjadinya pelapukan mekanis, dimana akan terjadi rekahan-rekahan dalam
batuan yang akan mempermudah proses atau reaksi kimia pada batuan.
c. Reagen-reagen kimia dan vegetasi.
Yang dimaksud dengan reagen-reagen kimia adalah unsur-unsur dan senyawa-
senyawa yang membantu mempercepat proses pelapukan. Air tanah yang mengandung
CO2 memegang peranan penting didalam proses pelapukan kimia. Asam-asam humus
menyebabkan dekomposisi batuan dan dapat merubah pH larutan dan erat kaitannya
dengan vegetasi daerah. Dalam hal ini, vegetasi akan mengakibatkan : penetrasi air
dapat lebih dalam dan lebih mudah dengan mengikuti jalur akar pohon-pohonan,
akumulasi air hujan akan lebih banyak, humus akan lebih tebal Keadaan ini merupakan
suatu petunjuk, dimana hutannya lebat pada lingkungan yang baik akan terdapat
endapan nikel yang lebih tebal dengan kadar yang lebih tinggi. Selain itu, vegetasi
dapat berfungsi untuk menjaga hasil pelapukan terhadap erosi mekanis.
d. Struktur
Yang sangat dominan adalah struktur kekar (joint) dibandingkan terhadap
struktur patahannya. Seperti diketahui, batuan beku mempunyai porositas dan
permeabilitas yang kecil sekali sehingga penetrasi air sangat sulit, maka dengan adanya
rekahan-rekahan tersebut akan lebih memudahkan masuknya air dan berarti proses
pelapukan akan lebih intensif.
e. Topografi.
Setempat akan sangat mempengaruhi sirkulasi air beserta reagen-reagen lain. Untuk
daerah yang landai, maka air akan bergerak perlahan-lahan sehingga akan mempunyai
kesempatan untuk mengadakan penetrasi lebih dalam melalui rekahan-rekahan atau
pori-pori batuan. Akumulasi andapan umumnya terdapat pada daerah-daerah yang
landai sampai kemiringan sedang, hal ini menerangkan bahwa ketebalan pelapukan
mengikuti bentuk topografi. Pada daerah yang curam, secara teoritis, jumlah air yang
meluncur lebih banyak daripada air yang meresap ini dapat menyebabkan pelapukan
kurang intensif.
f. Waktu
Yang cukup lama akan mengakibatkan pelapukan yang cukup intensif karena
akumulasi unsur nikel cukup tinggi.

4. Profil Nikel Laterit

Gambar II.4.1 Nikel Laterit


Profil secara keseluruhan dari nikel laterit terdiri dari 5 zona gradasi sebagai berikut
:
a. Iron Capping
Merupakan bagian yang paling atas dari suatu penampang laterit. Komposisinya adalah
akar tumbuhan, humus, oksida besi dan sisa-sisa organik lainnya. Warna khas adalah
coklat tua kehitaman dan bersifat gembur. Kadar nikelnya sangat rendah sehingga tidak
diambil dalam penambangan. Ketebalan lapisan tanah penutup rata-rata 0,3 s/d 6 m.
berwarna merah tua, merupakan kumpulan massa goethite dan limonite. Iron capping
mempunyai kadar besi yang tinggi tapi kadar nikel yang rendah. Terkadang terdapat
mineral-mineral hematite, chromiferous.
b. Limonite Layer

Merupakan hasil pelapukan lanjut dari batuan beku ultrabasa. Komposisinya meliputi
oksida besi yang dominan, goethit, dan magnetit. Ketebalan lapisan ini rata-rata 8-15
m. Dalam limonit dapat dijumpai adanya akar tumbuhan, meskipun dalam persentase
yang sangat kecil. Kemunculan bongkah-bongkah batuan beku ultrabasa pada zona ini
tidak dominan atau hampir tidak ada, umumnya mineral-mineral di batuan beku basa-
ultrabasa telah terubah menjadi serpentin akibat hasil dari pelapukan yang belum
tuntas. fine grained, merah coklat atau kuning, lapisan kaya besi dari limonit soil
menyelimuti seluruh area. Lapisan ini tipis pada daerah yang terjal, dan sempat hilang
karena erosi. Sebagian dari nikel pada zona ini hadir di dalam mineral manganese
oxide, lithiophorite. Terkadang terdapat mineral talc, tremolite, chromiferous, quartz,
gibsite, maghemite.

c. Silika Boxwork

Putih orange chert, quartz, mengisi sepanjang fractured dan sebagian menggantikan
zona terluar dari unserpentine fragmen peridotite, sebagian mengawetkan struktur dan
tekstur dari batuan asal. Terkadang terdapat mineral opal, magnesite. Akumulasi dari
garnierite-pimelite di dalam boxwork mungkin berasal dari nikel ore yang kaya silika.
Zona boxwork jarang terdapat pada bedrock yang serpentinized.

d. Saprolite

Zona ini merupakan zona pengayaan unsur Ni. Komposisinya berupa oksida besi,
serpentin sekitar <0,4% kuarsa magnetit dan tekstur batuan asal yang masih terlihat.
Ketebalan lapisan ini berkisar 5-18 m. Kemunculan bongkah-bongkah sangat sering
dan pada rekahan-rekahan batuan asal dijumpai magnesit, serpentin, krisopras dan
garnierit. Bongkah batuan asal yang muncul pada umumnya memiliki kadar SiO2 dan
MgO yang tinggi serta Ni dan Fe yang rendah. campuran dari sisa-sisa batuan, butiran
halus limonite, saprolitic rims, vein dari endapan garnierite, nickeliferous quartz,
mangan dan pada beberapa kasus terdapat silika boxwork, bentukan dari suatu zona
transisi dari limonite ke bedrock. Terkadang terdapat mineral quartz yang mengisi
rekahan, mineral-mineral primer yang terlapukkan, chlorite. Garnierite di lapangan
biasanya diidentifikasi sebagai kolloidal talc dengan lebih atau kurang nickeliferous
serpentin. Struktur dan tekstur batuan asal masih terlihat.

e. Bedrock

Bagian terbawah dari profil laterit. Tersusun atas bongkah yang lebih besar dari 75 cm
dan blok peridotit (batuan dasar) dan secara umum sudah tidak mengandung mineral
ekonomis (kadar logam sudah mendekati atau sama dengan batuan dasar). Batuan dasar
merupakan batuan asal dari nikel laterit yang umumnya merupakan batuan beku
ultrabasa yaitu harzburgit dan dunit yang pada rekahannya telah terisi oleh oksida besi
5-10%, garnierit minor dan silika > 35%. Permeabilitas batuan dasar meningkat
sebanding dengan intensitas serpentinisasi.Zona ini terfrakturisasi kuat, kadang
membuka, terisi oleh mineral garnierite dan silika. Frakturisasi ini diperkirakan menjadi
penyebab adanya root zone yaitu zona high grade Ni, akan tetapi posisinya
tersembunyi.

Manfaat Bahan Galian Nikel Laterit

Nikel digunakan untuk membuat campuran logam (non Ferros Alloy),missal alloy
nikel-besi dengan kandungan nikel antara 50-80% sisanya besi. Alloy alni yaitu
campuran alminium nikel dan besi,yang dalam penggunaanya sama dengan
penggunaan baja karbon,alloy Ferrid yang mengadung nikel oksida dan seng . Alloy
tersebut biasanya dimanfaatkan untuk peralatan elektronika. Disamping itu nikel
digunakan untuk pelapis logam dengan cara elekro pllating,baja tahan karat
,bahan campuran keramik .

Sistem dan Metode Penambangan dan Pengolahan

Penambangan biji nikel laterit dilakukan dengan penambangan terbuka lapisan tanah
penutup dikupas dengan bulldozer, biji digali dengan power shovel biji nikel sulfida
ditambang dengan tambang terbuka atau dengan tambang dalam tergantung dari
keadaan endapanya. alur proses pengolahan laterit nikel yang diterapkan secara
komersial didasarkan pada kandungan magnesium (Mg) dan rasio nikel-besi (Ni/Fe).
Saat ini terdapat dua (2) pilihan jalur proses ekstraksi, yaitu pirometalurgi dan
hidrometalurgi. Jalur proses ekstraksi pirometalurgi menggunakan tipe laterit nikel
saprolit dengan produk nikel berupa ferro-nickel (FeNi), nickel pig iron, dan nickel
sulfide matte (nickel matte). Sedangkan proses hidrometalurgi paling umum diterapkan
untuk laterit limonit.

Kesimpulan

Endapan nikel laterit merupakan hasil pelapukan lanjut dari batuan ultramafik
pembawa Ni-Silikat. Umumnya terdapat pada daerah dengan iklim tropis sampai
dengan subtropis. Pengaruh iklim tropis di Indonesia mengakibatkan proses pelapukan
yang intensif, sehingga beberapa daerah di Indonesia bagian timur memiliki endapan
nikel laterit. Proses konsentrasi nikel pada endapan nikel laterit dikendalikan oleh
beberapa faktor yaitu, batuan dasar, iklim, topografi, airtanah, stabilitas mineral,
mobilitas unsur, dan kondisi lingkungan yang berpengaruh terhadap tingkat kelarutan
mineral. Dengan kontrol tersebut akan didapatkan tiga tipe laterit yaitu oksida, lempung
silikat, dan hidrosilikat.

Untuk memperoleh nikel dari tipe deposit laterit terdapat beberapa jalur proses
pengolahan dan dapat diklasifikasikan seperti ditunjukkan pada Gambar 4 dan 5.
Komposisi deposit laterit nikel akan bergantung pada tipe batuan induk, iklim tempat
deposit terbentuk dan proses pelapukan. Hal ini memberikan hubungan yang spesifik
antara komponen deposit dan pilihan proses pengolahannnya disertai kendala
kendalanya.

Jalur proses pengolahan laterit nikel yang diterapkan secara komersial


didasarkan pada kandungan magnesium (Mg) dan rasio nikel-besi (Ni/Fe). Saat ini
terdapat dua (2) pilihan jalur proses ekstraksi, yaitu pirometalurgi dan hidrometalurgi
(Gambar 5). Jalur proses ekstraksi pirometalurgi menggunakan tipe laterit nikel saprolit
dengan produk nikel berupa ferro-nickel (FeNi), nickel pig iron, dan nickel sulfide
matte (nickel matte). Sedangkan proses hidrometalurgi paling umum diterapkan untuk
laterit limonit.
C. GANESA TEMBAGA

A. SIFAT-SIFAT TEMBAGA

1. Sifat Fisika

Tembaga memiliki warna kuning kemerah-merahan.


Unsur ini sangat mudah dibentuk, lunak, sehingga mudah dibentuk menjadi
pipa, lembaran tipis, kawat.
Bersifat sebagai konduktor panas dan listrik yang bagus untuk aliran elektron.
Tembaga bersifat keras bila tidak murni.
Memiliki titik leleh pada 1084,62C, sedangkan titik didih pada 2562C.

2. Sifat Kimia

Tembaga merupakan unsur yang relatif tidak reaktif sehingga tahan terhadap
korosi.
Pada udara yang lembab, permukaan tembaga ditutupi oleh suatu lapisan yang
berwarna hijau yang menarik dari tembaga karbonat basa, Cu(OH)2CO3.
Pada suhu sekitar 300C tembaga dapat bereaksi dengan oksigen membentuk
CuO yang berwarna hitam. Sedangkan pada suhu yang lebih tinggi, sekitar
1000C, akan terbentuk tembaga (I) oksida (Cu2O) yang berwarna merah.
Tembaga tidak diserang oleh air atau uap air dan asam-asam non-oksidator
encer seperti HCl encer dan H2SO4 encer, tetapi HCl pekat dan mendidih
menyerang logam tembaga dan membebaskan gas hidrogen.
Tembaga tidak bereaksi dengan alkali, tetapi larut dalam amonia oleh adanya
udara membentuk larutan yang berwarna biru dari kompleks Cu(NH3)4+.
Tembaga panas dapat bereaksi dengan uap belerang dan halogen. Bereaksi
dengan belerang membentuk tembaga(I) sulfida dan tembaga(II) sulfida dan
untuk reaksi dengan halogen membentuk tembaga(I) klorida.
GENESIS TEMBAGA

Genesa endapan bijih tembaga secara garis besar dapat dibagi 2 (dua)
kelompok, yaitu genesa primer dan genesa sekunder.

1. Genesa Primer

Proses genesanya berada dalam lingkungan magmatik, yaitu suatu proses yang
berhubungan langsung dengan intrusi magma. Bila magma mengkristal maka
terbentuklah batuan beku atau produk-produk lain. Produk lain itu dapat berupa
mineral-mineral yang merupakan hasil suatu konsentrasi dari sejumlah elemen-
elemen minor yang terdapat dalam cairan sisa. Pada keadaan tertentu magma
dapat naik ke permukaan bumi melalui rekahan-rekahan (bagian lemah dari
batuan) membentuk terowongan (intrusi). Ketika mendekati permukaan bumii,
tekanan magma berkurang yang menyebabkan bahan volatile terlepas dan
temperatur yang turun menyebabkan bahan non volatile akan terinjeksi ke
permukaan lemah dari batuan samping (country rock) sehingga akan terbentuk
pegmatite dan hidrotermal.

Endapan pegmatite sering dijumpai berhubungan dengan batuan plutonik tapi


umumnya granit yang kaya akan unsur alkali, aluminium, kuarsa dan beberapa
muskovit dan biotit.

Endapan hidrotermal merupakan endapan yang terbentuk dari proses


pembentukan endapan pegmatite lebih lanjut, dimana larutan bertambah dingin
dan encer. Ciri khas endapan hidrotermal adalah urat yang mengandung sulfida
yang terbentuk karena adanya pengisian rekahan (fracture) atau celah pada
batuan semula, rendah, tersebar relatif merata dengan jumlah cadangan yang
besar. Endapan bahan galian ini erat hubungannya dengan intrusi batuan
Complex Subvolcanic Calcaline yang bertekstur porfitik, membentuk endapan
tembaga porfiri.

Endapan porfiri adalah endapan mineral yang terjadi akibat suatu intrusi
memiliki kadar rendah namun tersebar merata, yang kemudian terjadi kontak
dengan batuan samping yang menyebabkan terjadinya mineralisasi, dan
merupakan endapan penghasil tembaga terbesar yaitu lebih dari 50%. Sifat
susunan mineral bijih endapan tembaga porfiri adalah:

Mineral utama, terdiri: pirit, kalkopirit dan bornit.


Mineral ikutan, terdiri: magnetit, hematite, ilmenit, rutil, kubanit, kasiterit,
kuebenit dan emas.
Mineral sekunder, terdiri: hematite, kovelit, kalkosit, digenit dan tembaga natif.

2. Genesa Sekunder

Proses genesanya melalui proses ubahan (alteration) yang terjadi pada mineral-
mineral urat (vein) terutama tembaga yang bersifat tidak stabil bila terkena
pengaruh air dan udara. Mineral sulfida Mineral - Tembaga

yang terdapat di alam mudah sekali mengalami perubahan. Mineral yang


mengalami oksidasi dan berubah menjadi mineral sulfida kebanyakan
mempunyai sifat larut dalam air. Akhirnya didapatkan suatu massa yang
berongga terdiri dari kuarsa berkarat yang disebut Gossan (penudung besi).
Sedangkan material logam yang terlarut akan mengendap kembali pada
kedalaman yang lebih besar dan menimbulkan zona pengayaan sekunder.

Pada zona diantara permukaan tanah dan muka air tanah berlangsung sirkulasi
udara dan air yang aktif, akibatnya sulfida-sulfida akan teroksidasi menjadi
sulfat-sulfat dan logam-logam dibawa serta dalam bentuk larutan, kecuali unsur
besi. Larutan mengandung logam tidak berpindah jauh sebelum proses
pengendapan berlangsung. Karbon dioksit akan mengendapkan unsur Cu
sebagai malakit dan azurit. Disamping itu akan terbentuk mineral lain seperti
kuprit, gunative, hemimorfit dan angelesit. Sehingga terkonsentrasi kandungan
logam dan kandungan kaya bijih.

Apabila larutan mengandung logam terus bergerak ke bawah sampai zona air
tanah maka akan terjadi suatu proses perubahan dari proses oksidasi menjadi
proses reduksi, karena bahan air tanah pada umumnya kekurangan oksigen.
Dengan demikian terbentuklah suatu zona pengayaan sekunder yang dikontrol
oleh afinitas bermacam logam sulfida.

Logam tembaga mempunyai afinitas yang kuat terhadap belerang, dimana


larutan mengandung tembaga (Cu) akan membentuk seperti pirit dan kalkopirit
yang kemudian menghasilkan sulfida-sulfida sekunder yang sangat kaya dengan
kandungan mineral kovelit dan kalkosit. Dengan cara seperti ini terbentuk zona
pengayaan sekunder yang mengandung konsentrasi tembaga berkadar tinggi bila
dibanding bijih primer.

Keberadaan Tembaga
Tembaga dapat ditemukan baik sebagai tembaga asli atau sebagai bagian
dari mineral. Tetapi, mudah didapat dari mineral. Tembaga sangat langka dan
jarang sekali diperoleh dalam bentuk murni. Tembaga asli disebut polikristal.
Penggunaan tembaga yaitu dalam bentuk logam merupakan paduan penting
dalam bentuk kuningan, perunggu serta campuran emas dan perak. Ada banyak
contoh tembaga yang mengandung mineral, misalnya kalkopirit dan kalkosit,
tembaga sulfida, azurite dan perunggu, karbonat tembaga dan cuprite.

Sifat Tembaga
Tembaga merupakan logam yang berwarna kuning dan keras bila tidak
murni. Tembaga mudah ditempa dan bersifat elastis sehingga mudah dibentuk
menjadi pipa, lembaran tipis dan kawat. Tembaga juga merupakan onduktor
panas dan listrik yang baik, kedua setelah perak.

Tembaga merupakan unsur yang relatif tidak reaktif sehingga tahan


terhadap korosi. Pada udara yang lembab permukaan tembaga ditutupi oleh
suatu lapisan yang berwarna hijau. Pada kondisi yang istimewa yakni pada suhu
sekitar 300C tembaga dapat bereaksi dengan oksigen membentuk CuO yang
berwarna hitam. Sedangkan pada suhu yang lebih tinggi, sekitar 1000 C, akan
terbentuk tembaga (I) oksida (Cu2O) yang berwarna merah.

Pembuatan Tembaga
Tembaga adalah salah satu jenis mineral dari hasil suatu pertambangan.
Dari hasil tambang itulah dilakukan pemisahan antara tembaga dengan tanah
yang disebut bijih. Dari bijih Cu mulailah awal proses pembuatan
tembaga. Biasanya bijih yang paling banyak ditemukan di alam adalah bijih
tembaga-besi sulfida (CuFeS2).

Tahap pertama pembuatan tembaga yaitu melakukan flotasi (pengapungan).


Dari flotasi ini dihasilkan bijih pekat Cu. Kemudian bijih dipanggang agar besi
sulfida berubah menjadi besi oksida. Setelah melalui proses pemanggangan bijih
dileburkan terlebih dahulu sehingga mencair dan terpisah menjadi 2 lapisan.
Salah satu lapisan yang terdri dari Cu2S dan besi cair ini dipindahkan lalu
tiupkan udara sehingga reaksi redoks terjadi dan menghasilkan tembaga yang
mengandung gelembung SO2 beku (tembaga lepuh). Dari proses ini sudah
terbentuk tembaga yang mengandung 98-99% Cu disertai berbagai jenis
pengotor sehingga harus di bersihkan dahulu melalui proses elektrolisis.

Proses pembersihan dilakukan dengan menggunakan tembaga lepuh di anoda


dan tembaga murni di katoda, memakai larutan CuSO4. Selama proses
elektrolisis, Cu dipindahkan dari anoda ke katoda dengan potensial tertentu
sehingga Cu murni bisa didapatkan.

Kegunaan Tembaga
Tembaga dapat digunakan sebagai bahan untuk kabel listrik dan kumparan
dinamo.Tembaga juga bisa dipadukan, paduan tembaga 70% dengan seng 30%
disebut kuningan, sedangkan paduan tembaga 80% dengan timah putih 20%
disebut perunggu. Perunggu yang mengandung sejumlah fosfor sering
digunakan dalam industri arloji dan galvanometer. Kuningan berwarna seperti
emas sehingga banyak digunakan sebagai perhiasan atau ornamen-ornamen.
Sedangkan perunggu banyak dijadikan sebagai perhiasan dan digunakan pada
seni patung. Tembaga juga digunakan sebagai bahan penahan untuk bangunan
dan beberapa bagian dari kapal. Dan, serbuk tembaga digunakan sebagai
katalisator untuk mengoksidasi metanol menjadi metanal.

D. Genesa Batubara

The International Handbook of Coal Petrography (1963) menyebutkan bahwa


batubara adalah batuan sedimen yang mudah terbakar, terbentuk dari sisa tanaman dalam
variasi tingkat pengawetan, diikat proses kompaksi dan terkubur dalam cekungan-cekungan
pada kedalaman yang bervariasi.
Sedangkan Prijono (Dalam Sunarijanto, dkk, 2008) berpendapat bahwa batubara
adalah bahan bakar hidrokarbon tertambat yang terbentuk dari sisa tumbuh-tumbuhan yang
terendapkan dalam lingkungan bebas oksigen serta terkena pengaruh temperatur dan tekanan
yang berlangsung sangat lama. Sedang menurut Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara dijelaskan bahwa batubara adalah endapan senyawa
organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan.
Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa batubara adalah mineral
organik yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba yang mengendap di dalam
tanah selama jutaan tahun. Endapan tersebut telah mengalami berbagai perubahan
bentuk/komposisi sebagai akibat dari dari adanya proses fisika dan kimia yang berlangsung
selama waktu pengendapannya. Oleh karena itu, batubara termasuk dalam katagori bahan
bakar fosil.
Batubara merupakan salah satu sumber energi fosil alternatif yang cadangannya
cukup besar di dunia. Bagi Indonesia, yang sumber energi minyak buminya sudah semakin
menipis, pengusahaan penggalian batubara sudah merupakan suatu keniscayaan. Hampir
setiap pulau besar di Indonesia memiliki cadangan batubara, walau dalam kuantitas dan
kualitas yang berbeda.
Terdapat dua model formasi pembentuk batubara (coal bearing formation), yakni
model formasi insitu dan model formasi endapan material tertransportasi (teori drift). Berikut
akan dijelaskan masing-masing model formasi pembentuk batubara tersebut.

1). Model Formasi Insitu


Menurut teori ini, batubara terbentuk pada lokasi dimana pohon-pohon atau tumbuhan
kuno pembentukya tumbuh. Lingkungan tempat tumbuhnya pohon-pohon kayu
pembentuk batubara itu adalah pada daerah rawa atau hutan basah. Kejadian
pembentukannya diawali dengan tumbangnya pohon-pohon kuno tersebut, disebabkan
oleh berbagai faktor, seperti angin (badai), dan peristiwa alam lainnya.
Pohon-pohon yang tumbang tersebut langsung tenggelam ke dasar rawa. Air hujan
yang masuk ke rawa dengan membawa tanah atau batuan yang tererosi pada daerah sekitar
rawa akan menjadikan pohon-pohon tersebut tetap tenggelam dan tertimbun.
Demikianlah seterusnya, bahwa semakin lama semakin teballah tanah penutup
pohon-pohonan tersebut. Dalam hal ini pohon-pohon tersebut tidak menjadi busuk atau
tidak berubah menjadi humus, tetapi sebaliknya mengalami pengawetan alami. Dengan
adanya rentang waktu yang lama, puluhan atau bahkan ratusan juta tahun, ditambah
dengan pengaruh tekanan dan panas, pohon-pohonan kuno tersebut mengalami perubahan
secara bertahap, yakni mulai dari fase penggambutan sampai ke fase pembatubaraan.

2) Model Formasi Transportasi Material (Teori Drift)


Berdasarkan teori drift ini, batubara terbentuk dari timbunan pohon-pohon kuno
atau sisa-sisa tumbuhan yang tertransportasikan oleh air dari tempat tumbuhnya. Dengan
kata lain pohon-pohon pembentuk batubara itu tumbang pada lokasi tumbuhnya dan
dihanyutkan oleh air sampai berkumpul pada suatu cekungan dan selanjutnya mengalami
proses pembenaman ke dasar cekungan, lalu ditimbun oleh tanah yang terbawa oleh air
dari lokasi sekitar cekungan.
Seterusnya dengan perjalanan waktu yang panjang dan dipengaruhi oleh tekanan dan
panas, maka terjadi perubahan terhadap pohon-pohon atau sisa tumbuhan itu mulai dari
fase penggambutan sampai pada fase pembatubaraan.
Terdapat perbedaan tipe endapan batubara dari kedua formasi pembentukan tersebut.
Batubara insitu biasanya lebih tebal, endapannya menerus, terdiri dari sedikit lapisan, dan
relatif tidak memiliki pengotor. Sedangkan batubara yang terbentuk atau berasal dari
transportasi material (berdasarkan teori drift) ini biasanya terjadi pada delta-delta kuno
dengan ciri-ciri: lapisannya tipis, endapannya terputus-putus (splitting), banyak lapisan
(multiple seam), banyak pengotor, dan kandungan abunya biasanya tinggi.
Dari kedua teori tentang formasi pembentukan batubara tersebut di atas dapat
diketahui bahwa kondisi lingkungan geologi yang dipersyaratkan untuk dapat terjadinya
batubara adalah: berbentuk cekungan berawa, berdekatan dengan laut atau pada daerah
yang mengalami penurunan (subsidence), karena hanya pada lingkungan seperti itulah
memungkinkan akumulasi tumbuhan kuno yang tumbang itu dapat mengalami
penenggelaman dan penimbunan oleh sedimentasi. Tanpa adanya penenggelaman dan
penimbunan oleh sedimentasi, maka proses perubahan dari kayu menjadi gambut dan
seterusnya menjadi batubara tidak akan terjadi, malahan kayu itu akan menjadi lapuk dan
berubah menjadi humus.
Terdapat dua tahapan proses pembentukan batubara, yakni proses penggambutan
(peatification) dan proses pembatubaraan (coalification). Pada proses penggambutan
terjadi perubahan yang disebabkan oleh makhluk hidup, atau disebut dengan proses
biokimia, sedangkan pada proses pembatubaraan prosesnya adalah bersifat geokimia.
Pada proses biokimia, sisa-sisa tumbuhan atau pohon-pohonan kuno yang tumbang itu
terakumulasi dan tersimpan dalam lingkungan bebas oksigen (anaerobik) di daerah rawa
dengan sistem drainase (drainage system) yang jelek, dimana material tersebut selalu
terendam beberapa inchi di bawah muka air rawa. Pada proses ini material tumbuhan akan
mengalami pembusukan, tetapi tidak terlapukan. Material yang terbusukkan akan
melepaskan unsur-unsur hidrogen (H), Nitrogen (N), Oksigen (O), dan Karbon (C) dalam
bentuk senyawa-senyawa: CO2, H2O, dan NH3 untuk menjadi humus. Selanjutnya
bakteri-bakteri anaerobik serta fungi merubah material tadi menjadi gambut (peat).
(Susilawati, 1992 dalam Sunarijanto, 2008: 5).
Sedangkan pada proses pembatubaraan (coalification), terjadi proses diagenesis dari
komponen-komponen organik yang terdapat pada gambut. Peristiwa diagenesis ini
menyebabkan naiknya temperatur dalam gambut itu. Dengan semakin tebalnya timbunan
tanah yang terbawa air, yang menimbun material gambut tersebut, terjadi pula peningkatan
tekanan. Kombinasi dari adanya proses biokimia, proses kimia, dan proses fisika, yakni
berupa tekanan oleh material penutup gambut itu, dalam jangka waktu geologi yang
panjang, gambut akan berubah menjadi batubara.

Akibat dari proses ini terjadi peningkatan persentase kandungan Karbon (C),
sedangkan kandungan Hidrogen (H) dan Oksigen (O) akan menjadi menurun, sehingga
dihasilkan batubara dalam berbagai tingkat mutu (Susilawati, 1992 dalam Sunarijanto,
2008: 5).

Secara berurutan, proses yang dilalui oleh endapan sisa-sisa tumbuhan sampai
menjadi batubara yang tertinggi kualitasnya adalah sebagai berikut:
1. Sisa-sisa tumbuhan mengalami proses biokimia berubah menjadi gambut
(peat);
2. Gambut mengalami proses diagenesis berubah menjadi batubara muda
(lignite) atau disebut juga batubara coklat (brown coal);
3. Batubara muda (lignite atau brown coal) menerima tekanan dari tanah yang
menutupinya dan mengalami peningkatan suhu secara terus menerus dalam
waktu jutaan tahun, akan berubah menjadi batubara subbituminus (sub-
bituminous coal);
4. Batubara subbituminus tetap mengalami peristiwa kimia dan fisika sebagai
akibat dari semakin tingginya tekanan dan temperatur dan dalam waktu yang
semakin panjang, berubah menjadi batubara bituminus (bitumninous coal);
5. Batubara bitumninus ini juga mengalami proses kimia dan fisika, sehingga
batubara itu semakin padat, kandungan karbon semakin tinggi, menyebabkan
warna semakin hitam mengkilat. Dalam fase ini terbentuk antrasit (anthracite);
6. Antrasit, juga mengalami peningkatan tekanan dan temperatur, berubah
menjadi meta antrasit (meta anthrasite);
7. Meta antrasit selanjutnya akan berubah menjadi grafit (graphite). Peristiwa
perubahan atrasit menjadi grafit disebut dengan penggrafitan (graphitization).
Dalam semua tingkatan pembentukan batubara itu terdapat berbagai unsur yang sangat
mempengaruhi peringkat mutu batubaranya dan sebagai dasar pembagian klas
penggunaannya. Secara garis besarnya dalam batubara terdapat unsur-unsur:
Kandungan air total (total moisture), yakni jumlah kandungan air yang ada pada fisik
batubara, yang terdiri dari air dalam batubara itu sendiri dan air yang terbawa waktu
melakukan penambangan.
Kandungan air bawaan (inheren moisture), yakni air yang ada dalam batubara itu
mulai saat awal pembentukannya. Kadar air itu pada dasarnya akan mempengaruhi
nilai batubara, artinya semakin tinggi kandungan air, maka semakin rendahlah mutu
batubara tersebut.
Kandungan zat terbang (volatile matter), adalah semua unsur yang akan menguap
(terbang) waktu batubara itu mengalami pemanasan. Volatile matter yang tinggi akan
menyebabkan mutu batubara jadi rendah, karena pada intinya volatile matter tidak
memberikan nilai kalor. Batubara dengan volatile matter tinggi, yang tertumpuk pada
stockpile, akan mudah mengalami swabakar, terutama pada udara lembab dan adanya
unsur pemicu oksidasi di dalamnya, seperti pirit dan sebagainya.
Total sulphur (belerang), adalah salah satu unsur yang dapat menurunkan mutu
batubara, karena unsur belerang yang banyak akan menyebabkan rendahnya nilai
kalor dan dapat menyebabkan kerusakan pada dapur pembakaran, serta juga
menyebabkan adanya gas beracun.
Kandungan abu (ash content), adalah sejumlah material yang didapat dari sisa
pembakaran batubara. Semakin tinggi kadar abu batubara, maka semakin rendahlah
mutu batubara tersebut. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, abu ini berasal dari
material yang tidak dapat dioksidasi oleh oksgen.
Kandungan karbon tertambat (fixed carbon), adalah persentase karbon yang ada pada
suatu satuan volume batubara. Semakin tinggi kadar karbon, maka semakin baguslah
kualitas batubara tersebut, karena yang paling berguna dari batubara itu adalah karbon
ini, karena karbonlah yang menghasilkan nilai kalori pada waktu dilakukan
pembakaran batubara.
Nilai kalori (CV), adalah jumlah kalori yang dihasilkan per kg batubara yang dibakar.
Semakin tinggi nilai kalorinya, semakin baguslah mutu batubaranya.

d. Genesa Batubara
Proses pembentukan Batubara berawal dari adanya penumpukan material pembentuk
Batubara yaitu tumbuh-tumbuhan sebagai bahan baku pembentukan yang tertumpuk pada
daerah rawa. Setelah mengalami penumpukan maka material tersebut mengalami proses
pembusukan dan tertimbun oleh material tanah. Proses ini disebut juga sebagai proses
humufication. Material yang telah mengalami proses pembusukan kemudian diuraikan oleh
bakteri anaerobic dan menjadi massa jelly. Akibat adanya pengaruh tekanan dari massa yang
tertumpuk diatas massa jelly menyebabkan massa ini mengalami pemadatan dan menjadi
gambut. Karena adanya pengaruh tekanan yang terus menerus dan disertai dengan pengaruh
temperatur massa gambut ini mengalami proses pembatubaraan atau coalification.
Ganesa Batubara

Pembagian Batubara berdasarkan Genesanya

Batubara yang terbentuk dialam terbagi atas dua (2) jenis antara lain :

1. Batubara Insitu

Batubara jenis ini adalah Batubara yang terbentuk pada tempat dimana material
pembentukan tertumpuk dalam hal ini adalah daerah rawa. Barubara jenis Insitu
cenderung mempunayai lapisan yang tebal mempunyai warna yang sangat kilap dan
mempunyai mineral pengotor bawaan yang relatif sedikit.

2. Batubara Eksitu

Batubara jenis ini terbentuk setelah Batubara Insitu terbentuk. Dengan artian
bahwasanya Batubara jenis ini terbentuk akibat adanya proses Sedimentasi dari Batubara
Insitu. Batubara yang telah terbentuk pada daerah rawa akan mengalami pengangkatan.
Karena adanya proses alam maka Batubara Insitu mengalami perombakan dan
tertransportasi pada daerah cekungan. Batubara jenis ini cenderung mempunyai lapisan
yang tipis dan mempunayi material pengotor bawaan yang relatif banyak. Hal ini
disebabkan oleh adanya proses transportasi yang menyebabkan Batubara yang
tertransportasi tertumpuk bersamaan dengan mineral yang lain.
E. GANESA BIJIH BESI

Proses terjadinya cebakan bahan galian bijih besi berhubungan erat dengan adanya
peristiwa tektonik pra-mineralisasi. Akibat peristiwa tektonik, terbentuklah struktur sesar,
struktur sesar ini merupakan zona lemah yang memungkinkan terjadinya magmatisme, yaitu
intrusi magma menerobos batuan tua, dicirikan dengan penerobosan batuan granitan (Kgr)
terhadap Formasi Barisan (Pb,Pbl). Akibat adanya kontak magmatik ini, terjadilah proses
rekristalisasi, alterasi, mineralisasi, dan penggantian (replacement) pada bagian kontak
magma dengan batuan yang diterobosnya.
Perubahan ini disebabkan karena adanya panas dan bahan cair (fluida) yang berasal
dari aktivitas magma tersebut. Proses penerobosan magma pada zona lemah ini hingga
membeku umumnya disertai dengan kontak metamorfosa. Kontak metamorfosa juga
melibatkan batuan samping sehingga menimbulkan bahan cair (fluida) seperti cairan
magmatik dan metamorfik yang banyak mengandung bijih.
Proses terjadinya cebakan bijih besi didaerah penelitian berkaitan dengan proses-
proses tersebut diatas, dalam hal ini peristiwa tektonik, metamorfosa dan metasomatisme
kontak berperan untuk terjadinya cebakan bijih besi di daerah penelitian. Bila dikaitkan
dengan batuan yang tersingkap didaerah penelitian yaitu batuan metamorfosa seperti marmer
yang dulunya merupakan batugamping, maka dapat disimpulkan bahwa terbentuknya bijih
karena terjadinya proses metamorfosa pada batugamping. Kemudian akibat proses
magmatisme pada batugamping terjadi proses penggantian (replacement) sehingga larutan
yang mengandung mineral bijih terendapkan bersamaan dengan terbentuknya batuan
metamorfosa (marmer).
Setelah proses mineralisasi (pasca-mineralisasi), terjadi kembali peristiwa tektonik
setempat yang membentuk sesar mendatar dan sesar normal, struktur tersebut akan
membentuk kembali geometri dari cebakan mineral atau akan terjadi dislokasi.

Pembentukan Proses terbentuknya bijih sangatlah kompleks. Sering lebih dari satu proses
bekerja bersama-sama. Meskipun dari satu jenis bijih, apabila terbentuk oleh proses yang
berbeda-beda, maka akan menghasilkan tipe endapan yang berbeda-beda pula. Penggolongan
bijih menurut pembentukannya :

1. bijih primer (hipogen), yakni bijih yang diendapkan pada saat terjadinya proses pelogaman
2. bijih sekunder (supergen), yakni bijih yang diendapkan sebagai akibat alterasi dari bijih
primer, oleh proses pelapukan dari air permukaan yang meresap ke dalam tanah.

Proses pembentukan :

1. Konsentrasi magmatik > deposit magmatik


2. Sublimasi > sublimat
3. Kontak metasomatisme > deposit kontak metasomatikcock
4. Konsentrasi hidrotermal > pengisian celah-celah terbuka (pertukaran ion pada batuan)
5. Sedimentasi lapisan sedimenter (evaporit)
6. Pelapukan Konsentrasi residual
7. Metamorfisme > deposit metamorfik
8. Hidrologi > air tanah

Contoh proses pengendapan bijih besi :


1. Diferensiasi magmatik
2. Larutan hidrotermal
3. Proses sedimentasi
4. Proses pelapukan

PERSEBARAN BIJIH BESI

Sebaran deposit bijih besi di Indonesia mulai dari Sumatera (Aceh, Sumatera Barat
dan Lampung), Jawa (Cilacap, Blitar, Tulung Agung dan Daerah sekitar Kulon Proggo),
Kalimantan (Pelaihari, Tanah Bumbu,Kotabaru) Hingga kawasan timur Indonesia, di War
Akopi dan Was Isyow, Papua . Namun yang selama ini banyak dikembangkan adalah
endapan bijih besi.

PENGOLAHAN BIJIH BESI

Bijih besi sendiri diambil dari alam dalam wujud berupa oksida besi. Proses pengolahan
dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi kadar oksigen yang terkandung di dalamnya.
Bijih besi yang ditambang di dalam tidak murni, melainkan masih tercampur batu pengering
seperti silikat dan aluminat. Oleh sebab itu, material tersebut perlu dicuci terlebih dahulu di
saluran goyang. Kemudian material yang telah bersih dipecahkan secara bertingkat sampai
ukurannya menjadi halus sekali. Dimulai dari proses breaking menggunakan mesin hammer
mill, lalu proses crushing memakai mesin gyratory mill, hingga proses grinding dengan mesin
ball mill.

Setelah wujudnya berubah bentuk menjadi butiran-butiran halus, material ini


berikutnya diproses melalui roda magnetik untuk memisahkan antara butiran besi yang
mengandung kadar Fe tinggi dan rendah. Butiran besi yang memiliki kadar Fe tinggi lantas
akan melalui proses sinter untuk mengurangi kadar air, karbon, dan zat asam yang
terkandung di dalamnya. Caranya yaitu butiran besi dicampur dengan serbuk arang
kayu/kokas, kemudian dibakar di dalam tungku yang berputar. Akibatnya terjadilah proses
reduksi yang tidak sempurna sehingga butiran bijih besi tadi berubah bentuk menjadi
setengah meleleh.

Berikut ini penjelasan secara rinci mengenai langkah-langkah pengolahan bijih besi menjadi
besi kasar :

Langkah 1. Penghancuran (Crushing)

Setelah melewati tahap breaking menggunakan mesin hammer mill, bijih besi akan berwujud
batu atau pasir. Batu/pasir bijih besi ini kemudian dihancurkan memakai mesin gyratory mill
sehingga ukurannya menjadi mesh 10. Tujuan dari proses crushing ialah memperbesar luas
permukaan pada material tersebut sehingga dapat mempermudah pekerjaan berikutnya.
Langkah 2. Penghalusan (Grinding)

Maksud dari penghalusan bijih besi ialah memurnikan kandungan yang ada di dalamnya.
Bijih tersebut diproses menggunakan mesin ball mill supaya semakin banyak mineral-mineral
yang tidak diinginkan yang tercampur dengan butiran halus bijih besi. Pada tahap ini, bijih
besi akan dihaluskan sampai ukurannya menjadi 120 mesh.

Langkah 3. Pemisahan dengan Magnetic Separator

Langkah ini dikerjakan untuk memisahkan antara butiran-butiran yang bersifat logam dan
non-logam. Seluruh proses pemisahannya dilakukan secara magnetik, di mana butiran bijih
besi dicuci memakai air di dalam silinder yang telah dilapisi bahan magnet. Jadi bijih yang
bersifat magnetit (Fe3O4) dan hematit (Fe2O3) akan terpisah secara otomatis. Dengan
begini, maka tingkat kemurnian pada bijih besi yang dihasilkan pun akan meningkat.

Langkah 4. Pemanggangan (Roasting)

Bijih besi yang bersifat hematit mempunyai daya magnet yang rendah. Oleh sebab itu, bijih
tersebut harus dipanggang agar daya magnetnya bisa meningkat. Di dalam proses ini terjadi
pemisahan sekali lagi antara material yang memiliki kadar Fe hingga 65% dengan material
yang non-magnet.

Langkah 5. Kalsinasi dengan Rotary Dryer

Proses kalsinasi dilakukan untuk menurunkan kadar air yang terkandung di dalam bijih besi.
Prosesnya dilaksanakan memakai mesin rotary dryer, di mana material tersebut dimasukkan
ke dalam silinder yang berputar dengan arah yang berlawanan. Selanjutnya silinder tadi akan
dikenai uap panas yang bersuhu sekitar 200-300 derajat celsius dari burner.

Langkah 6. Pembuatan Pellet dengan Pan Palletizer

Sebelum melewati proses ini, bijih besi dicampur dengan batubara dan binder bentonit
dengan komposisi tertentu. Batubara berguna untuk meningkatkan kadar besi melalui proses
reduksi dari internal. Sedangkan binder bentonit ditambahkan agar konsentrat besi oksida
yang halus bisa merekat membentuk gumpalan.
Kemudian bijih besi yang telah bercampur batubata dan binder bentonit dimasukkan ke
dalam mesin pelletizing secara bertahap. Mesin ini berbentuk bejana yang berputar dengan
kecepatan dan sudut kemiringan tertentu. Proses perputaran ini mengakibatkan timbulnya
gaya centrifugal sehingga partikel-partikel halus akan saling mendekat dan menekan satu
dengan yang lainnya. Lama-kelamaan semua partikel ini akan membentuk gumpalan pellet
basah. Green pellet ini biasanya berdiameter 12 mm serta mempunyai kuat tekan 5 kg/pellet
dan kuat jatuh hingga 5 kali.

Langkah 7. Reduksi dengan Rotary Clean

Tujuan dari dilakukannya proses reduksi yakni memurnikan kandungan besi oksida menjadi
besi murni melalui rangkaian proses reduksi eksternal menggunakan gas alam (CO2) dan
proses reduksi internal memakai batubara. Seluruh rangkaian dari proses ini juga
dilaksanakan di suhu hingga mencapai 1700 derajat celsius. Akibatnya material oksida besi
akan terpisah sehingga terbentuklah besi murni yang mempunyai kadar Fe hingga 92%,
sedangkan kandungan oksidanya berubah bentuk menjadi gas CO2.

Setelah itu, material yang terbentuk didinginkan di dalam mesin coolet hingga suhunya
berubah menjadi 60 derajat celsius. Hasil dari proses pendinginan ini berupa pellet yang
memiliki kualitas sesuai standar, di mana diameternya berkisar antara 12-15 mm dengan kuat
tekan 250 mpa. Jadi material tersebut bisa dikemas dan disebut sebagai curah.

Langkah 8. Produksi dengan Pig Iron

Green pellet selanjutnya bisa dibentuk menurut desain tertentu. Green pellet yang diperoleh
dari proses pelletizer kemudian dimasukkan ke dalam tungku blast furnace. Lalu masukkan
larutan kapur dan gas CO2 dengan komposisi tertentu sebagai zat pereduksi. Proses ini
dimulai dengan pelelehan (melting) untuk memisahkan kembali kandungan di dalam green
pellet antara logam besi dan kotoran karena perbedaan berat jenis. Adapun besi yang
dihasilkannya nanti mengandung kadar kemurnian Fe total 95%. Hasil dari proses ini
selanjutnya dialirkan menuju ke mesin casting untuk keperluan pencetakan bentuk sesuai
kebutuhan.

Seperti sudah diketahui sebelumnya, besi memiliki banyak sekali manfaat bagi kehidupan
sehari hari, terutama dalam bidang konstruksi, karena besi memiliki struktur yang kuat dan
tangguh. Berikut ini adalah beberapa pemanfaatan dari unsur besi yang sering kita temui
dalam kehidupan sehari hari :

PEMANFAATAN BIJIH BESI

1. Bahan baku pembuatan besi baja dan kabel / kawat baja

Bijih besi murni yang dileburkan dan langsung dicetak tanpa campuran berbagai macam
unsur lainnya akan membentuk besi baja. Besi baja dinilai memiliki kekuatan yang dangat
baik dan sering digunakan sebagai penopang konstruksi konstruksi dari proyek proyek
bangunan. Berikut ini adalah beberapa manfaat dari besi baja :

Sebagai penopang konstruksi bawah tanah


Sebagai rangka dari pembuatan gedung bertingkat
Sebagai struktur konstruksi jembatan
Kawat dan tali baja dapat digunakan sebagai alat pengangkut pada crane, dan alat
Derek
Digunakan sebagai beberapa spare part kendaraan, seperti roda, bodi dan bagian
lainnya, terutama pada kendaraan berat dan special.

2. Sebagai bahan dasar pembuatan tiang tiang rambu lalu lintas dan LPJ ( lampu
penerangan jalan )

Bjih besi yang dilebur dapat dicampur dengan unsur lain, seperti jenis alumunium untuk
membuat tiang tiang lampu jalanan dan rambu lalu yang kuat, namun ringan. Selain itu
campuran ini juga dinilai ekonomis dan mudah dalam perawatan, serta memiliki ketahan
terhadap korosi atau karat yang cukup bagus.

3. Sebagai bahan pembuatan besi tuang

Besi tuang merupakan salah satu jenis logam ferro. Logam ferro merupakan jenis logam yang
dibuat dengan campuran antara besi dan karbon. Hasil campuran ini akan menciptakan logam
yang sangat kuat dan tahan lama. Biasanya jenis besi tuang ini diaplikaskan dan
dimanfaatkan untuk :

Alas mesin
Meja perata
Blok silinder pada mesin kendaraan dan mesin konstruksi
Cincin torak

4. Besi tempa

Beberapa bijih besi akan dicetak dengan ukuran ukran tertentu dan dibuat menjadi
lembaran lembaran. Hal ini diperuntukkan untuk keperluan besi tempa. Besi tempa
merupakan jenis besi yang mengandung 99% bijih besi, yang akan dibuat menjadi suatu
barang. Berikut ini adalah beberapa aplikasi dari besi tempa :

Sebagai bahan senjata, seperti keris dan pedang


Sebagai plat penambal lubang atau kebocoran pada konstruksi besi
Sebagai peyambung konstruksi besi (dengan cara di las)
Untuk pembuatan bracket bracket atau dudukan

5. Pembuatan baja lunak

Berbeda dengan besi baja murni yang sangat kuat, terutama untuk pembuatan proyek
konstruksi, baja lunak merupakan campuran antara bijih besi dengan karbon, dengan
kandungan campuran karbon sebanyak 0.1 0.3%. biasanya jenis baja ini dapat ditempa, dan
mudah dipotong dengan menggunakan gergaji tangan. Berikut ini beberapa pemanfaatan dari
baja lunak :

Pembuatan mur, sekrup, dan baut


Pembuatan perkakas, seperti obeng dan semacamnya
Pembuatan pipa pia non pralon

6. Baja sedang

Merupakan jenis baja yang lebih keras dan kuat dibandingkan baja lunak. Baja sedang
memiliki kandungan campuran besi dan karbon, dengan kadar karbon sebanyak 0.4 0.6%.
Baja sedang ini sering dimanfaatkan sebagai alas dan poros dari peralatn berat. berikut ini
beberapa manfaat dari baja sedang :

As roda dari alat berat dan beberapa truk besar


Membuat rel kereta
Alat tempa

7. Baja dengan campuran karbon yang tinggi dan tambahan campuran lainnya

Bijih besi yang dibuat menjadi baja jenis ini biasanya memiliki kandungan campuran karbon
sebanyak 0.7 1.5 % dan juga biasanya sering ditambahkan campuran unsur lain, seperti
nikel, kobalt, dan krom. Baja jenis ini memiliki kualitas yang baik dari segi kekuatan dan
ketahanan dan biasanya anti karat. Berikut ini adalah beberapa pemanfaatan dari baja jenis ini

Bahan dasar pembuatan perkakas berat, seperti gergaji, pahat, stempel.


Pembuatan mesin bubut dan peralatan untuk melakukan bubut, seperti bor dan gerinda
Pembuatan peralatan dan spare part dari mesin mesin besar.

8. Sebagai aksesoris dan peralatan rumah tangga

Selain dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar pembuatan peralatan konstrukis, bijih besi
juga dapat dimanfaatkan sebagai aksesoris dan peralatan rumah tangga. Banyak aksesoris dan
peralatan rumah tangga yang dapat dibuat dengan menggunakan bijih besi, yang tentunya
dicampur dengan unsur lain, seperti nikel, krom, tembaga dan lainnya. Berikut ini aksesoris
yang memiliki bahan dasar besi :

Gelang, kalung dan cincin


Gagang kacamata
Pembuatan kunci rumah
Peraltan dapur

9. Sebagai bahan pembuatan rangka kendaraan

Bijih besi yang sudah menjadi besi juga dapat menjadi bahan baku pembuatan rangka
kendaraan, seperti sepeda, motor dan mobil. Dengan menggunakan rangka dari bahan besi,
kualitas kendaraan akan menjadi lebih baik, dan kuat, namun mudah mengalmi korosi alias
karat, sehingga harus dirawat dengan tepat.

Itulah beberapa manfaat bijih besi dalam kehidupan sehari hari yang sangat membantu dalam
berbagai industri kehidupan manusia. Semoga bermanfaat.

Anda mungkin juga menyukai