Nabi bukanlah seorang yang pandai membaca. Beliau adalah ummi, yang
boleh diartikan buta huruf, tidak pandai menulis dan tidak pula pandai
membaca yang tertulis. Tetapi Jibril mendesaknya juga sampai tiga kali
supaya dia membaca. Meskipun dia tidak pandai menulis, namun ayat-ayat
itu akan dibawa langsung oleh Jibril kepadanya, diajarkan, sehingga dia
dapat menghapalnya di luar kepala, dengan sebab itu akan dapatlah dia
membacanya. Tuhan Allah yang menciptakan semuanya. Rasul yang tak
pandai menulis dan membaca itu akan pandai kelak membaca ayat-ayat
yang diturunkan kepadanya. Sehingga bilamana wahyu-wahyu itu telah
turun kelak, dia akan diberi nama Al-Quran. Dan Al-Quran itu pun
artinya ialah bacaan. Seakan-akan Tuhan berfirman: Bacalah, atas qudrat-
Ku dan iradat-Ku.
Bacalah! Dan Tuhan engkau itu adalah Maha Mulia. (ayat 3). Setelah
di ayat yang pertama beliau disuruh membaca di atas nama Allah yang
menciptakan insan dari segumpal darah, diteruskan lagi menyuruhnya
membaca di atas nama Tuhan. Sedang nama Tuhan yang selalu akan
diambil jadi sandaran hidup itu ialah Allah Yang Maha Mulia, Maha
Dermawan, Maha Kasih dan Sayang kepada Makhluk-Nya.
Maka di dalam susunan kelima ayat ini, sebagai ayat mula-mula turun
kita menampak dengan kata-kata singkat Tuhan telah menerangkan asal-
usul kejadian seluruh manusia yang semuanya sama, yaitu daripada
segumpal darah, yang berasal dari segumpal mani.
Dan segumpal mani itu berasal dari saringan halus makanan manusia
yang diambil dari bumi. Yaitu dari hormon, kalori, vitamin dan berbagai
zat yang lain, yang semua diambil dari bumi yang semuanya ada dalam
sayuran, buah-buahan makanan pokok dan daging. Kemudian itu manusia
bertambah besar dan dewasa. Yang terpenting alat untuk menghubungkan
dirinya dengan manusia sekitarnya ialah kesanggupan berkata-kata dengan
lidah, sebagai sambungan dari apa yang terasa di dalam hatinya. Kemudian
bertambah juga kecerdasannya, maka diberikan pulalah kepandaian
menulis.
Di dalam ayat yang mula turun ini telah jelas penilaian yang tertinggi
kepada kepandaian membaca dan menulis. Berkata Syaikh Muhammad
Abduh dalam tafsirnya: Tidak didapat kata-kata yang lebih mendalam dan
alasan yang lebih sempurna daripada ayat ini di dalam menyatakan
kepentingan membaca dan menulis ilmu pengetahuan dalam segala cabang
dan bahagianya. Dengan itu mula dibuka segala wahyu yang akan turun di
belakang.
Maka kalau kaum Muslimin tidak mendapat petunjuk ayat ini dan tidak
mereka perhatikan jalan-jalan buat maju, merobek segala selubung
pembungkus yang menutup penglihatan mereka selama ini terhadap ilmu
pengetahuan, atau merampalkan pintu yang selama ini terkunci sehingga
mereka terkurung dalam bilik gelap, sebab dikunci erat-erat oleh pemuka-
pemuka mereka sampai mereka meraba-raba dalam kegelapan bodoh, dan
kalau ayat pembukaan wahyu ini tidak menggetarkan hati mereka, maka
tidaklah mereka akan bangun lagi selama-lamanya.
( 1)
(2)
( 3)
( 4)
[ ]
Sesungguhnya orang-orang Mukmin adalah bersaudara. Karena itu,
damaikanlah kedua saudara kalian, dan bertakwalah kalian kepada Allah
supaya kalian mendapatkan rahmat. (QS al-Hujurat [49]: 10).
Tafsir Ayat
Allah Swt. berfirman: Innam al-Muminn ikhwah. (Sesungguhnya
orang-orang Mukmin itu bersaudara). Siapapun, asalkan Mukmin, adalah
bersaudara. Sebab, dasar ukhuwah (persaudaraan) adalah kesamaan akidah.
Ayat ini menghendaki ukhuwah kaum Mukmin harus benar-benar kuat,
lebih kuat daripada persaudaraan karena nasab. Hal itu tampak
dari: Pertama, digunakannya kata ikhwahdan kata ikhwanyang
merupakan jamak dari
kata akh[un] (saudara). Kata ikhwah dan ikhwan dalam pemakaiannya bisa
saling menggantikan. Namun, umumnya kata ikhwah dipakai untuk
menunjuk saudara senasab, sedangkan ikhwan untuk menunjuk kawan atau
sahabat. Dengan memakai kata ikhwah, ayat ini hendak menyatakan bahwa
ukhuwah kaum Muslim itu lebih daripada persahabatan atau perkawanan
biasa.
Kedua, ayat ini diawali dengan kata innam. Meski secara
bahasa, kata innam tidak selalu
bermakna hasyr (pembatasan), kata innam dalam ayat ini memberi
makna hasyr. Artinya, tidak ada persaudaraan kecuali antar sesama
Mukmin, dan tidak ada persaudaraan di antara Mukmin dan kafir. Ini
mengisyaratkan bahwa ukhuwah Islam lebih kuat daripada persaudaraan
nasab. Persaudaraan nasab bisa terputus karena perbedaan agama.
Sebaliknya, ukhuwah Islam tidak terputus karena perbedaan nasab. Bahkan,
persaudaraan nasab dianggap tidak ada jika kosong dari persaudaraan
(akidah) Islam.
Hal ini tampak, misalnya, dalam hal waris. Tidak ada hak waris antara
Mukmin dan kafir dan sebaliknya. Jika seorang Muslim meninggal dan ia
hanya memiliki saudara yang kafir, saudaranya yang kafir itu tidak boleh
mewarisi hartanya, namun harta itu menjadi milik kaum Muslim.
Sebaliknya, jika saudaranya yang kafir itu meninggal, ia tidak boleh
mewarisi harta saudaranya itu. Dalam hal kekuasaan, umat Islam tidak boleh
menjadikan orang kafir sebagai wali (pemimpin), sekalipun ia adalah bapak
dan saudara mereka (QS at-Taubah [9]: 23).
Kemudian Allah Swt. berfirman: fa ashlih bayna akhawaykum (Karena
itu, damaikanlah kedua saudara kalian). Karena bersaudara, normal dan
alaminya kehidupan mereka diliputi kecintaan, perdamaian, dan
persatuan. Jika terjadi sengketa dan peperangan di antara mereka, itu adalah
penyimpangan, yang harus dikembalikan lagi ke keadaan normal dengan
meng-ishlh-kan mereka yang bersengketa, yakni mengajak mereka untuk
mencari solusinya pada hukum Allah dan Rasul-Nya.
Kata akhawaykum (kedua saudara kalian) menunjukkan jumlah paling
sedikit terjadinya persengketaan. Jika dua orang saja yang bersengketa
sudah wajib didamaikan, apalagi jika lebih dari dua orang. Digunakannya
kata akhaway (dua orang saudara) memberikan makna, bahwa sengketa atau
pertikaian di antara mereka tidak mengeluarkan mereka dari tubuh kaum
Muslim. Mereka tetap disebut saudara. Ayat sebelumnya pun menyebut dua
kelompok yang saling berperang sebagai Mukmin. Adapun di-mudhf-
kannya kata akhaway dengan kum (kalian, pihak yang diperintah) lebih
menegaskan kewajiban ishlh (mendamaikan) itu sekaligus
menunjukkan takhshsh (pengkhususan) atasnya. Artinya, segala sengketa
di antara sesama Mukmin adalah persoalan internal umat Islam, dan harus
mereka selesaikan sendiri.
Perintah dalam ayat ini merupakan penyempurna perintah ayat
sebelumnya. Ayat sebelumnya mengatakan: wa in thifatni min al-
Muminna [i]qtatal (jika ada dua golongan dari kaum Mukmin
berperang). Kata thifatni (dua golongan) dapat membuka celah
kesalahan persepsi, seolah ishlh hanya diperintahkan jika dua kelompok
berperang, sedangkan jika dua orang bertikai, apalagi tidak sampai perang
([i]qtatal) seperti hanya saling mencaci dan memaki, dan tidak
menimbulkan kerusakan umum, tidak harus di-ishlh. Karena itu, firman
Allah Swt. bayna akhawaykum itu menutup celah salah persepsi itu. Jadi,
meski yang bersengketa hanya dua orang Muslim dan masih dalam taraf
yang paling ringan, ishlh harus segera dilaksanakan.
Selanjutnya Allah Swt. berfirman: wa [i]ttaq Allh laallakum
turhamn (dan bertakwalah kalian kepada Allah supaya kalian mendapat
rahmat). Takwa harus dijadikan panduan dalam melakukan ishlh dan
semua perkara. Dalam melakukan ishlh itu, kaum Mukmin harus terikat
dengan kebenaran dan keadilan; tidak berbuat zalim dan tidak condong pada
salah satu pihak. Sebab, mereka semua adalah saudara yang disejajarkan
oleh Islam. Artinya, sengketa itu harus diselesaikan sesuai dengan ketentuan
hukum-hukum Allah, yakni ber-tahkm pada syariat. Dengan begitu, mereka
akan mendapat rahmat Allah Swt.
Tidak termasuk golongan kami orang yang menyerukan 'ashabiyyah, yang
berperang karena 'ashabiyyah, dan yang mati membela 'ashabiyyah (HR
Abu Dawud).
...
Kalian tidak masuk surga hingga kalian beriman dan belum sempurna
keimanan kalian hingga kalian saling mencintai (HR Muslim).
Jika dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari
keduanya.(HR Muslim).
Islam juga melarang setiap usaha memisahkan diri dari Khilafah. Allah
Swt. memerintahkan Khalifah untuk memerangi
kaum bughat (pemberontak) hingga mereka mau kembali ke pangkuan
Khilafah (QS al-Hujurat [49]: 9). Nabi saw. pernah bersabda:
Siapa saja yang datang kepada kaliansedangkan urusan kalian berada di
tangan seseorang (Khalifah)lalu dia hendak memecah-belah ikatan
kesatuan dan mencerai-beraikan jamaah kalian, maka bunuhlah dia. (HR
Muslim dari Arfajah).
Mukmin dengan Mukmin lainnya bagaikan satu bangunan; sebagian
menguatkan sebagian lainnya. (HR. Bukhari, at-Tirmidzi, an-Nasa'i dan
Ahmad).
Sayang, saat kaum Muslim terbagi dalam banyak negara seperti sekarang,
mereka menjadi umat yang lemah, terpecah-belah, dan mudah diadu-domba.
Akhirnya, mereka mudah dikuasai musuh-musuh mereka.
Ukhuwah umat Islam yang centang-perenang saat ini harus segera
diakhiri. Caranya, Daulah Khilafah Islamiyah harus segera ditegakkan,
niscaya ukhuwah islamiyah pun akan nyata kembali.