Anda di halaman 1dari 14

1.

Surah Al-Alaq ayat 1-5

Bacalah! Dengan nama Tuhanmu yang telah mencipta. (ayat 1).


Dalam waktu pertama saja, yaitu bacalah, telah terbuka kepentingan
pertama di dalam perkembangan agama ini selanjutnya. Nabi SAW disuruh
membaca wahyu akan diturunkan kepada beliau itu di atas nama Allah,
Tuhan yang telah mencipta.

Yaitu, Menciptakan manusia dari segumpal darah. (ayat 2). Yaitu


peringkat yang kedua sesudah nuthfah, yaitu segumpal air yang telah
berpadu dari mani si laki-laki dengan mani si perempuan, yang setelah 40
hari lamanya, air itu telah menjelma jadi segumpal darah, dan dari
segumpal darah itu kelak akan menjelma pula setelah melalui 40 hari,
menjadi segumpal daging (Mudhghah).

Nabi bukanlah seorang yang pandai membaca. Beliau adalah ummi, yang
boleh diartikan buta huruf, tidak pandai menulis dan tidak pula pandai
membaca yang tertulis. Tetapi Jibril mendesaknya juga sampai tiga kali
supaya dia membaca. Meskipun dia tidak pandai menulis, namun ayat-ayat
itu akan dibawa langsung oleh Jibril kepadanya, diajarkan, sehingga dia
dapat menghapalnya di luar kepala, dengan sebab itu akan dapatlah dia
membacanya. Tuhan Allah yang menciptakan semuanya. Rasul yang tak
pandai menulis dan membaca itu akan pandai kelak membaca ayat-ayat
yang diturunkan kepadanya. Sehingga bilamana wahyu-wahyu itu telah
turun kelak, dia akan diberi nama Al-Quran. Dan Al-Quran itu pun
artinya ialah bacaan. Seakan-akan Tuhan berfirman: Bacalah, atas qudrat-
Ku dan iradat-Ku.

Syaikh Muhammad Abduh di dalam Tafsir Juzu Ammanya


menerangkan: Yaitu Allah yang Maha Kuasa menjadikan manusia
daripada air mani, menjelma jadi darah segumpal, kemudian jadi manusia
penuh, niscaya kuasa pula menimbulkan kesanggupan membaca pada
seseorang yang selama ini dikenal ummi, tak pandai membaca dan menulis.
Maka jika kita selidiki isi Hadis yang menerangkan bahwa tiga kali Nabi
disuruh membaca, tiga kali pula beliau menjawab secara jujur bahwa beliau
tidak pandai membaca, tiga kali pula Jibril memeluknya keras-keras, buat
meyakinkan baginya bahwa sejak saat itu kesanggupan membaca itu sudah
ada padanya, apatah lagi dia adalah Al-Insan Al-Kamil, manusia sempurna.
Banyak lagi yang akan dibacanya di belakang hari. Yang penting harus
diketahuinya ialah bahwa dasar segala yang akan dibacanya itu kelak tidak
lain ialah dengan nama Allah jua.

Bacalah! Dan Tuhan engkau itu adalah Maha Mulia. (ayat 3). Setelah
di ayat yang pertama beliau disuruh membaca di atas nama Allah yang
menciptakan insan dari segumpal darah, diteruskan lagi menyuruhnya
membaca di atas nama Tuhan. Sedang nama Tuhan yang selalu akan
diambil jadi sandaran hidup itu ialah Allah Yang Maha Mulia, Maha
Dermawan, Maha Kasih dan Sayang kepada Makhluk-Nya.

Dia yang mengajarkan dengan qalam. (ayat 4). Itulah keistimewaan


Tuhan itu lagi. Itulah kemuliaan-Nya yang tertinggi. Yaitu diajarkan-Nya
kepada manusia berbagai ilmu, dibuka-Nya berbagai rahasia, diserahkan-
Nya berbagai kunci untuk pembuka perbendaharaan Allah, yaitu
dengan qalam. Dengan pena! Di samping lidah untuk membaca, Tuhan
pun mentakdirkan pula bahwa dengan pena ilmu pengetahuan dapat
dicatat. Pena adalah beku dan kaku, tidak hidup, namun yang dituliskan
oleh pena itu adalah berbagai hal yang dapat difahamkan oleh manusia
Mengajari manusia apa-apa yang dia tidak tahu. (ayat 5).

Lebih dahulu Allah Taala mengajar manusia mempergunakan qalam.


Sesudah dia pandai mempergunakan qalam itu banyaklah ilmu
pengetahuan diberikan oleh Allah kepadanya, sehingga dapat pula
dicatatnya ilmu yang baru didapatnya itu dengan qalam yang telah ada
dalam tangannya : Ilmu pengetahuan adalah laksana binatang buruan dan
penulisan adalah tali pengikat buruan itu. Oleh sebab itu ikatlah buruanmu
dengan tali yang teguh.

Maka di dalam susunan kelima ayat ini, sebagai ayat mula-mula turun
kita menampak dengan kata-kata singkat Tuhan telah menerangkan asal-
usul kejadian seluruh manusia yang semuanya sama, yaitu daripada
segumpal darah, yang berasal dari segumpal mani.

Dan segumpal mani itu berasal dari saringan halus makanan manusia
yang diambil dari bumi. Yaitu dari hormon, kalori, vitamin dan berbagai
zat yang lain, yang semua diambil dari bumi yang semuanya ada dalam
sayuran, buah-buahan makanan pokok dan daging. Kemudian itu manusia
bertambah besar dan dewasa. Yang terpenting alat untuk menghubungkan
dirinya dengan manusia sekitarnya ialah kesanggupan berkata-kata dengan
lidah, sebagai sambungan dari apa yang terasa di dalam hatinya. Kemudian
bertambah juga kecerdasannya, maka diberikan pulalah kepandaian
menulis.

Di dalam ayat yang mula turun ini telah jelas penilaian yang tertinggi
kepada kepandaian membaca dan menulis. Berkata Syaikh Muhammad
Abduh dalam tafsirnya: Tidak didapat kata-kata yang lebih mendalam dan
alasan yang lebih sempurna daripada ayat ini di dalam menyatakan
kepentingan membaca dan menulis ilmu pengetahuan dalam segala cabang
dan bahagianya. Dengan itu mula dibuka segala wahyu yang akan turun di
belakang.

Maka kalau kaum Muslimin tidak mendapat petunjuk ayat ini dan tidak
mereka perhatikan jalan-jalan buat maju, merobek segala selubung
pembungkus yang menutup penglihatan mereka selama ini terhadap ilmu
pengetahuan, atau merampalkan pintu yang selama ini terkunci sehingga
mereka terkurung dalam bilik gelap, sebab dikunci erat-erat oleh pemuka-
pemuka mereka sampai mereka meraba-raba dalam kegelapan bodoh, dan
kalau ayat pembukaan wahyu ini tidak menggetarkan hati mereka, maka
tidaklah mereka akan bangun lagi selama-lamanya.

Ar-Razi menguraikan dalam tafsirnya, bahwa pada dua ayat pertama


disuruh membaca di atas nama Tuhan yang telah mencipta, adalah
mengandung qudrat, dan hikmat dan ilmu dan rahmat. Semuanya adalah
sifat Tuhan. Dan pada ayat yang seterusnya seketika Tuhan menyatakan
mencapai ilmu dengan qalam atau pena, adalah suatu isyarat bahwa ada
juga di antara hukum itu yang tertulis, yang tidak dapat difahamkan kalau
tidak didengarkan dengan seksama. Maka pada dua ayat pertama
memperlihatkan rahasia Rububiyah, rahasia Ketuhanan. Dan di tiga ayat
sesudahnya mengandung rahasia Nubuwwat, Kenabian. Dan siapa Tuhan
itu tidaklah akan dikenal kalau bukan dengan perantaraan Nubuwwat, dan
nubuwwat itu sendiri pun tidaklah akan ada, kalau tidak dengan kehendak
Tuhan.

2. Surah Al-Ikhlas ayat 1-4

Surat ini dinamakan Al Ikhlas karena di dalamnya berisi pengajaran


tentang tauhid. Oleh karena itu, surat ini dinamakan juga Surat Al Asas,
Qul Huwallahu Ahad, At Tauhid, Al Iman, dan masih banyak nama
lainnya.
Surat ini merupakan surat Makiyyah dan termasuk surat Mufashol. Surat
Al Ikhlas ini terdiri dari 4 ayat, surat ke 112, diturunkan setelah surat An
Naas. (At Tarif bi Suratil Quranil Karim)
Ada dua sebab kenapa surat ini dinamakan Al Ikhlash.Yang pertama,
dinamakan Al Ikhlash karena surat ini berbicara tentang ikhlash. Yang
kedua, dinamakan Al Ikhlash karena surat ini murni membicarakan tentang
Allah. Perhatikan penjelasan berikut ini.

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin mengatakan bahwa Surat


Al Ikhlas ini berasal dari mengikhlaskan sesuatu yaitu
membersihkannya/memurnikannya. Dinamakan demikian karena di dalam
surat ini berisi pembahasan mengenai ikhlas kepada Allah Azza wa Jalla.
Oleh karena itu, barangsiapa mengimaninya, dia termasuk orang yang
ikhlas kepada Allah.
Ada pula yang mengatakan bahwa surat ini dinamakan Al Ikhlash (di mana
ikhlash berarti murni) karena surat ini murni membicarakan tentang Allah.
Allah hanya mengkhususkan membicarakan diri-Nya, tidak membicarakan
tentang hukum ataupun yang lainnya. Dua tafsiran ini sama-sama benar,
tidak bertolak belakang satu dan lainnya. (Lihat Syarh Al Aqidah Al
Wasithiyyah, 97).

Surat ini turun sebagai jawaban kepada orang musyrik yang


menanyakan pada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Sebutkan
nasab atau sifat Rabbmu pada kami?. Maka Allah berfirman kepada Nabi
Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, Katakanlah kepada yang
menanyakan tadi, [lalu disebutkanlah surat ini](Aysarut Tafasir, 1502).
Juga ada yang mengatakan bahwa surat ini turun sebagai jawaban
pertanyaan dari orang-orang Yahudi (Jamiul Bayan fi Tawilil Quran, At
Tarif bi Suratil Quranil Karim, Tafsir Juz Amma 292). Namun, Syaikh
Muqbil mengatakan bahwa asbabun nuzul yang disebutkan di atas berasal
dari riwayat yang dhoif (lemah) sebagaimana disebutkan dalam Shohih Al
Musnad min Asbab An Nuzul.

Tafsir Ayat Pertama


( 1)

1. Katakanlah: Dia-lah Allah, Yang Maha Esa.



Kata ( )artinya katakanlah-. Perintah ini ditujukan kepada Nabi
shallallahu alaihi wa sallam dan juga umatnya.
Al Qurtubhi mengatakan bahwa ( ) maknanya adalah :



Al Wahid Al Witr (Maha Esa), tidak ada yang serupa dengan-Nya, tidak
ada yang sebanding dengan-Nya, tidak memiliki istri ataupun anak, dan
tidak ada sekutu baginya.
Asal kata dari ( ) adalah (),
sebelumnya diawali dengan huruf waw
kemudian diganti hamzah. (Al Jaami liahkamil Quran, Adhwaul Bayan)
Syaikh Al Utsaimin mengatakan bahwa kalimat ()
artinya Allah
Maha Esa-, maknanya bahwa Allah itu Esa dalam keagungan dan
kebesarannya, tidak ada yang serupa dengan-Nya, tidak ada sekutu bagi-
Nya. (Tafsir Juz Amma 292).

Tafsir Ayat Kedua

(2)

2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.


Ibnul Jauziy dalam Zaadul Masiir mengatakan bahwa makna Ash Shomad
ada empat pendapat:

Pertama, Ash Shomad bermakna:



Allah adalah As Sayid (penghulu), tempat makhluk menyandarkan segala
hajat pada-Nya.
Kedua, Ash Shomad bermakna:

Allah tidak memiliki rongga (perut).
Ketiga, Ash Shomad bermakna:

Allah itu Maha Kekal.
Keempat, Ash Shomad bermakna:

Allah itu tetap kekal setelah para makhluk binasa.
Dalam Tafsir Al Quran Al Azhim (Tafsir Ibnu Katsir) disebutkan
beberapa perkataan ahli tafsir yakni sebagai berikut.
Dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas mengatakan bahwa maksud ayat ini adalah
:


Seluruh makhluk bersandar/bergantung kepada-Nya dalam segala
kebutuhan maupun permasalahan.
Ali bin Abi Tholhah dari Ibnu Abbas mengatakan mengenai
( :
)



.
Dia-lah As Sayyid (Pemimpin) yang kekuasaan-Nya sempurna. Dia-lah
Asy Syarif (Maha Mulia) yang kemuliaan-Nya sempurna. Dia-lah Al
Azhim (Maha Agung) yang keagungan-Nya sempurna. Dia-lah Al Halim
(Maha Pemurah) yang kemurahan-Nya itu sempurna. Dia-lah Al Alim
(Maha Mengetahui) yang ilmu-Nya itu sempurna. Dia-lah Al Hakim
(Maha Bijaksana) yang sempurna dalam hikmah (atau hukum-Nya). Allah-
lah Yang Maha Suci- yang Maha Sempurna dalam segala kemuliaan dan
kekuasaan. Sifat-Nya ini tidak pantas kecuali bagi-Nya, tidak ada yang
setara dengan-Nya, tidak ada yang semisal dengan-Nya. Maha Suci Allah
Yang Maha Esa dan Maha Kuasa.
Al Amasy mengatakan dari Syaqiq dari Abi Wail bahwa Ash Shomad
bermakna:
}
{
Pemimpin yang paling tinggi kekuasaan-Nya. Begitu juga diriwayatkan
dari Ashim dari Abi Wail dari Ibnu Masud semacam itu.
Malik mengatakan dari Zaid bin Aslam, Ash Shomad adalah As Sayyid
(Pemimpin).
Al Hasan dan Qotadah mengatakan bahwa Ash Shomad adalah (
)Yang Maha Kekal setelah makhluk-Nya (binasa).
Al Hasan juga mengatakan bahwa
Ash Shomad adalah

Yang Maha Hidup dan Quyyum (mengurusi dirinya dan makhlukNya) dan
tidak mungkin binasa.
Ikrimah mengatakan bahwa Ash Shomad adalah yang tidak mengeluarkan
sesuatupun dari-Nya (semisal anak) dan tidak makan.
Ar Robi bin Anas mengatakan bahwa Ash Shomad adalah (
)yaitu tidak beranak dan tidak diperanakkan. Beliau menafsirkan ayat
ini dengan ayat sesudahnya dan ini tafsiran yang sangat bagus.
Ibnu Masud, Ibnu Abbas, Said bin Al Musayyib, Mujahid, Abdullah bin
Buraidah, Ikrimah, Said bin Jubair, Atho bin Abi Robbah, Athiyyah Al
Awfiy, Adh Dhohak dan As Sudi mengatakan bahwa
Ash Shomad adalah ( ) yaitu tidak memiliki rongga (perut).
Al Hafizh Abul Qosim Ath Thobroni dalam kitab Sunnahnya -setelah
menyebut berbagai pendapat di atas tentang tafsir Ash Shomad- berkata,
Semua makna ini adalah shohih (benar). Sifat tersebut merupakan sifat
Rabb kita Azza wa Jalla. Dia-lah tempat bersandar dan bergantung
dalam segala kebutuhan. Dia-lah yang paling tinggi kekuasaan-Nya. Dia-
lah Ash Shomad tidak ada yang berasal dari-Nya. Allah tidak butuh makan
dan minum. Dia tetap kekal setelah para makhluk-Nya binasa. Baihaqi
juga menjelaskan yang demikian. (Diringkas dari Tafsir Al Quran Al
Azhim).

Tafsir Ayat Ketiga

( 3)

3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,


Kalimat ( ) sebagaimana dikatakan Maqotil,
Tidak beranak kemudian mendapat warisan. Kalimat ()

maksudnya adalah tidak disekutui. Demikian karena orang-orang musyrik
Arab mengatakan bahwa Malaikat adalah anak perempuan Allah . Kaum
Yahudi mengatakan bahwa Uzair adalah anak Allah. Sedangkan Nashoro
mengatakan bahwa Al Masih (Isa, pen) adalah anak Allah. Dalam ayat ini,
Allah meniadakan itu semua. (Zadul Masiir).

Tafsir Ayat Keempat

( 4)

4. dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.


Maksudnya adalah tidak ada seorang pun sama dalam setiap sifat-sifat
Allah. Jadi Allah meniadakan dari diri-Nya memiliki anak atau dilahirkan
sehingga memiliki orang tua. Juga Allah meniadakan adanya yang semisal
dengan-Nya. (Tafsir Juz Amma 293)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sadi mengatakan makna ayat: dan
tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia yaitu tidak ada yang serupa
(setara) dengan Allah dalam nama, sifat, dan perbuatan.
Ringkasnya, surat Al Ikhlash ini berisi penjelasan mengenai keesaan
Allah serta kesempurnaan nama dan sifat-Nya.
3. Surah Al-Hujurat Ayat 10

[ ]

Sesungguhnya orang-orang Mukmin adalah bersaudara. Karena itu,
damaikanlah kedua saudara kalian, dan bertakwalah kalian kepada Allah
supaya kalian mendapatkan rahmat. (QS al-Hujurat [49]: 10).

Ayat ini merupakan kelanjutan sekaligus penegasan perintah dalam ayat


sebelumnya untuk meng-ishlh-kan kaum Mukmin yang bersengketa. Itu
adalah solusi jika terjadi persengketaan. Namun, Islam juga memberikan
langkah-langkah untuk mencegah timbulnya persengketaan. Misal, dalam
dua ayat berikutnya, Allah Swt. melarang beberapa sikap yang dapat
memicu pertikaian, seperti saling mengolok-olok dan mencela orang lain,
panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk (QS al-Hujurat [49]: 11);
banyak berprasangka, mencari-cari kesalahan orang lain, dan menggunjing
saudaranya (QS al-Hujurat [49]: 12).

Tafsir Ayat
Allah Swt. berfirman: Innam al-Muminn ikhwah. (Sesungguhnya
orang-orang Mukmin itu bersaudara). Siapapun, asalkan Mukmin, adalah
bersaudara. Sebab, dasar ukhuwah (persaudaraan) adalah kesamaan akidah.
Ayat ini menghendaki ukhuwah kaum Mukmin harus benar-benar kuat,
lebih kuat daripada persaudaraan karena nasab. Hal itu tampak
dari: Pertama, digunakannya kata ikhwahdan kata ikhwanyang
merupakan jamak dari
kata akh[un] (saudara). Kata ikhwah dan ikhwan dalam pemakaiannya bisa
saling menggantikan. Namun, umumnya kata ikhwah dipakai untuk
menunjuk saudara senasab, sedangkan ikhwan untuk menunjuk kawan atau
sahabat. Dengan memakai kata ikhwah, ayat ini hendak menyatakan bahwa
ukhuwah kaum Muslim itu lebih daripada persahabatan atau perkawanan
biasa.
Kedua, ayat ini diawali dengan kata innam. Meski secara
bahasa, kata innam tidak selalu
bermakna hasyr (pembatasan), kata innam dalam ayat ini memberi
makna hasyr. Artinya, tidak ada persaudaraan kecuali antar sesama
Mukmin, dan tidak ada persaudaraan di antara Mukmin dan kafir. Ini
mengisyaratkan bahwa ukhuwah Islam lebih kuat daripada persaudaraan
nasab. Persaudaraan nasab bisa terputus karena perbedaan agama.
Sebaliknya, ukhuwah Islam tidak terputus karena perbedaan nasab. Bahkan,
persaudaraan nasab dianggap tidak ada jika kosong dari persaudaraan
(akidah) Islam.
Hal ini tampak, misalnya, dalam hal waris. Tidak ada hak waris antara
Mukmin dan kafir dan sebaliknya. Jika seorang Muslim meninggal dan ia
hanya memiliki saudara yang kafir, saudaranya yang kafir itu tidak boleh
mewarisi hartanya, namun harta itu menjadi milik kaum Muslim.
Sebaliknya, jika saudaranya yang kafir itu meninggal, ia tidak boleh
mewarisi harta saudaranya itu. Dalam hal kekuasaan, umat Islam tidak boleh
menjadikan orang kafir sebagai wali (pemimpin), sekalipun ia adalah bapak
dan saudara mereka (QS at-Taubah [9]: 23).
Kemudian Allah Swt. berfirman: fa ashlih bayna akhawaykum (Karena
itu, damaikanlah kedua saudara kalian). Karena bersaudara, normal dan
alaminya kehidupan mereka diliputi kecintaan, perdamaian, dan
persatuan. Jika terjadi sengketa dan peperangan di antara mereka, itu adalah
penyimpangan, yang harus dikembalikan lagi ke keadaan normal dengan
meng-ishlh-kan mereka yang bersengketa, yakni mengajak mereka untuk
mencari solusinya pada hukum Allah dan Rasul-Nya.
Kata akhawaykum (kedua saudara kalian) menunjukkan jumlah paling
sedikit terjadinya persengketaan. Jika dua orang saja yang bersengketa
sudah wajib didamaikan, apalagi jika lebih dari dua orang. Digunakannya
kata akhaway (dua orang saudara) memberikan makna, bahwa sengketa atau
pertikaian di antara mereka tidak mengeluarkan mereka dari tubuh kaum
Muslim. Mereka tetap disebut saudara. Ayat sebelumnya pun menyebut dua
kelompok yang saling berperang sebagai Mukmin. Adapun di-mudhf-
kannya kata akhaway dengan kum (kalian, pihak yang diperintah) lebih
menegaskan kewajiban ishlh (mendamaikan) itu sekaligus
menunjukkan takhshsh (pengkhususan) atasnya. Artinya, segala sengketa
di antara sesama Mukmin adalah persoalan internal umat Islam, dan harus
mereka selesaikan sendiri.
Perintah dalam ayat ini merupakan penyempurna perintah ayat
sebelumnya. Ayat sebelumnya mengatakan: wa in thifatni min al-
Muminna [i]qtatal (jika ada dua golongan dari kaum Mukmin
berperang). Kata thifatni (dua golongan) dapat membuka celah
kesalahan persepsi, seolah ishlh hanya diperintahkan jika dua kelompok
berperang, sedangkan jika dua orang bertikai, apalagi tidak sampai perang
([i]qtatal) seperti hanya saling mencaci dan memaki, dan tidak
menimbulkan kerusakan umum, tidak harus di-ishlh. Karena itu, firman
Allah Swt. bayna akhawaykum itu menutup celah salah persepsi itu. Jadi,
meski yang bersengketa hanya dua orang Muslim dan masih dalam taraf
yang paling ringan, ishlh harus segera dilaksanakan.
Selanjutnya Allah Swt. berfirman: wa [i]ttaq Allh laallakum
turhamn (dan bertakwalah kalian kepada Allah supaya kalian mendapat
rahmat). Takwa harus dijadikan panduan dalam melakukan ishlh dan
semua perkara. Dalam melakukan ishlh itu, kaum Mukmin harus terikat
dengan kebenaran dan keadilan; tidak berbuat zalim dan tidak condong pada
salah satu pihak. Sebab, mereka semua adalah saudara yang disejajarkan
oleh Islam. Artinya, sengketa itu harus diselesaikan sesuai dengan ketentuan
hukum-hukum Allah, yakni ber-tahkm pada syariat. Dengan begitu, mereka
akan mendapat rahmat Allah Swt.

Membangun Ukhuwah Islamiyah, Menolak 'Ashabiyyah


Jelas sekali ayat ini mewajibkan umat Islam agar bersatu dengan akidah
Islam sebagai landasan persatuan mereka. Islam menolak setiap paham
selain akidah Islam sebagai dasar persatuan. Nasionalisme, misalnya,
menurut Islam, termasuk 'ashbiyyah (fanatisme golongan) yang terlarang.
Rasul saw. bersabda:










Tidak termasuk golongan kami orang yang menyerukan 'ashabiyyah, yang
berperang karena 'ashabiyyah, dan yang mati membela 'ashabiyyah (HR
Abu Dawud).

Seseorang pernah bertanya kepada Rasul saw., Apakah seseorang


mencintai kaumnya termasuk 'ashabiyyah? Beliau menjawab:







Tidak. Akan tetapi, termasuk 'ashabiyyah jika seseorang menolong kaumnya
atas dasar kezaliman. (HR Ibnu Majah).

Nasionalisme adalah paham yang menjadikan kesamaan bangsa sebagai


dasar persatuan. Paham ini termasuk bagian dari seruan-seruan jahiliah
(daw al-jhiliyyah). Nasionalisme menjadikan loyalitas dan pembelaan
terhadap bangsa mengalahkan loyalitas dan pembelaan terhadap Islam.
Halal-haram pun akan dikalahkan ketika bertabrakan dengan kepentingan
nasional. Akibatnya, kepentingan bangsa, meski menyalahi syariat, akan
dibela. Jelas paham ini termasuk 'ashbiyyah yang diharamkan Islam.

Perwujudan Ukhuwah Islamiyah


Ukhuwah Islamiyah harus diwujudkan secara nyata. Syariat telah
menjelaskan banyak sekali sikap dan perilaku sebagai perwujudannya.
Misal, sikap saling mencintai sesama Muslim. Rasul saw. bersabda:


...
Kalian tidak masuk surga hingga kalian beriman dan belum sempurna
keimanan kalian hingga kalian saling mencintai (HR Muslim).

Kaum Muslim juga harus saling bersikap dzillah; meliputi kasih-sayang,


welas asih, dan lemah lembut (QS al-Maidah [5]: 54); bersikap rahmah
terhadap umat Islam (QS al-Fath [48]: 29); dan rendah hati kepada kaum
Mukmin (QS al-Hijr [15]: 88).
Mereka juga diperintahkan untuk tolong-menolong; membantu
kebutuhan dan menghilangkan kesusahan saudaranya; melindungi
kehormatan, harta, dan darahnya; menjaga rahasianya; menerima
permintaan maafnya; dan saling memberikan nasihat. Masih sangat banyak
manfestasi ukhuwah lainnya.
Harus dicatat, wujud ukhuwah islamiyah tidak hanya bersifat individual,
namun juga harus diwujudkan dalam tatanan kehidupan yang dapat menjaga
keberlangsungannya. Di sinilah Islam telah mewajibkan umatnya agar
hanya memiliki satu negara dan satu kepemimpinan yang dipimpin oleh
seorang khalifah. Rasulullah saw. bersabda:



Jika dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari
keduanya.(HR Muslim).
Islam juga melarang setiap usaha memisahkan diri dari Khilafah. Allah
Swt. memerintahkan Khalifah untuk memerangi
kaum bughat (pemberontak) hingga mereka mau kembali ke pangkuan
Khilafah (QS al-Hujurat [49]: 9). Nabi saw. pernah bersabda:






Siapa saja yang datang kepada kaliansedangkan urusan kalian berada di
tangan seseorang (Khalifah)lalu dia hendak memecah-belah ikatan
kesatuan dan mencerai-beraikan jamaah kalian, maka bunuhlah dia. (HR
Muslim dari Arfajah).

Islam menetapkan, kesatuan umat dan negara merupakan salah


satu qdhiyyah mashiriyyah (perkara utama). Sebab, asy-Syri telah
menjadikan hidup dan mati untuk menyelesaikannya. Dengan kesatuan itu,
kaum Mukmin menjadi kuat, sebagaimana sabda Rasul saw.:






Mukmin dengan Mukmin lainnya bagaikan satu bangunan; sebagian
menguatkan sebagian lainnya. (HR. Bukhari, at-Tirmidzi, an-Nasa'i dan
Ahmad).

Sayang, saat kaum Muslim terbagi dalam banyak negara seperti sekarang,
mereka menjadi umat yang lemah, terpecah-belah, dan mudah diadu-domba.
Akhirnya, mereka mudah dikuasai musuh-musuh mereka.
Ukhuwah umat Islam yang centang-perenang saat ini harus segera
diakhiri. Caranya, Daulah Khilafah Islamiyah harus segera ditegakkan,
niscaya ukhuwah islamiyah pun akan nyata kembali.

Anda mungkin juga menyukai