Anda di halaman 1dari 26

0

jPENGARUH EKSTRAK DAUN MIMBA (Azadirachta indica A.


Juss) TERHADAP KADAR SGPT

(Studi Experimental Terhadap Tikus Putih Galur Wistar yang diinduksi


Paracetamol)

Karya Tulis Ilmiah

Untuk memenuhi sebagai persyaratan

Mencapai Gelar Sarjana Kedokteran

Oleh :

Herman Suwardi

01.207.5384

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG

SEMARANG

2015
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Kadar SGPT dalam serum menjadi petunjuk yang lebih sensitif ke
arah kerusakan hati karena sangat sedikit kondisi selain hati yang
berpengaruh pada kadar Serum Glutamic Piruvic Transaminase (SGPT)
dalam serum (Giboney, 2005). Kerusakan pada sel hati yang sedang
berlangsung dapat diketahui dengan mengukur parameter fungsi berupa zat
dalam peredaran darah yang dibentuk oleh sel hati yang rusak atau
mengalami nekrosis. Gangguan hati ditandai dengan peningkatan kadar
serum transaminase berupa SGPT, Serum Glutamic Oxaloacetic
Transaminase (SGOT), serta kadar bilirubin serum. Gangguan hati selain
disebabkan oleh mikroorganisme, seperti virus dan bakteri juga dapat
disebabkan oleh obat-obatan misalnya CCL4, parasetamol, hidroksi urea,
dan obat anti tuberkolusis serta berbagai konsumsi makanan minuman
misalnya alkohol (Dika Isnaini, 2010). Berdasarkan penelitian terdahulu
yang dilakukan oleh Rahman Suwardi (2010), ekstrak rimpang temulawak
(Curcuma xanthorriza L.) mempunyai efektifitas sebagai antihepatotoksik
mampu menurunkan kadar SGPT yang diinduksi parasetamol, hasil
penelitian ini menunjukkan adanya perbaikan fungsi hati pada tikus putih
yang diberi ekstrak rimpang temulawak. Kurkuminoid yang terkandung
dalam temulawak bekerja melindungi hati (BPOM, 2005). Penelitian yang
dilakukan oleh John, et al. (2011) mengungkapkan bahwa ekstrak daun
mimba (Azadirachta indica A. Juss) memiliki efek hepatoprotektor pada
tikus galur wistar dewasa yang diinduksi parasetamol, hasil penelitian ini
menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna dari kadar enzim SGOT
dan SGPT. Senyawa flavonoid dan saponin yang terkandung dalam daun
mimba dapat berpengaruh pada regenerasi sel hepar terutama berpengaruh
terhadap kadar SGPT dan SGOT. Rimpang temulawak sudah banyak
digunakan dalam penelitian sementara belum banyak penelitian tentang

1
2

ekstrak daun mimba yang digunakan untuk memperbaiki fungsi hepar dari
paparan zat toksik. Maka peneliti ingin melakukan penelitian tentang
pengaruh ekstrak daun mimba (Azadirachta indica A. Juss) terhadap kadar
SGPT pada tikus putih galur wistar yang diinduksi parasetamol dengan
dosis 1 ml (4,5mg/200grBB) dan dosis 1,4 ml (6,3mg/200grBB).
Parasetamol di Indonesia mudah didapatkan, maka overdosis obat
baik sengaja maupun tidak disengaja sering terjadi (Rahman Suwardi, 2010).
Pemberian dosis tunggal parasetamol 10-15 gr (200-250 mg/kg BB) dapat
menimbulkan hepatotoksisitas (Wilmana, 2007) karena akibat dari
pembentukan metabolit beracun yaitu N-Asetil-P-Benzoquinonimin
(NAPQI) oleh oksidasi sitokrom P-450 (Barton, 2005). Tanda-tanda jika
parasetamol dikonsumsi dalam dosis berlebihan sampai mencapai dosis
toksik yang menyebabkan hepatotoksik adalah kenaikan kadar Serum
Glutamic Oxaloacetic Transaminase (SGOT) dan SGPT serta kadar
bilirubin serum (Rahman Suwardi, 2010).
Di era industri maju sekarang ini, perhatian manusia akan kesehatan
semakin meningkat. Hal ini ditunjukkan dengan sikap yang selektif terhadap
apa yang dikonsumsi, memilih komoditas yang memiliki nilai kesehatan
tinggi, serta lebih memilih untuk kembali ke alam (Sri Handajani, 2006).
Gerakan memanfaatkan obat tradisional timbul karena banyak dijumpai efek
samping yang tidak dikehendaki akibat penggunaan obat kimia murni.
Indonesia memiliki beberapa spesies tanaman yang memiliki khasiat untuk
menyembuhkan berbagai macam penyakit dan beberapa khasiat lainnya
yang berguna bagi kesehatan manusia. Tanaman tradisional atau obat yang
berkhasiat relatif kecil efek sampingnya dibandingkan obat kimia (Rifatul,
2009). Salah satu tanaman yang digunakan sebagai obat tradisional adalah
daun mimba (Azadirachta indica A. Juss). Mimba tergolong tanaman perdu
yang lebih suka tumbuh di daerah tropis dan sering ditemukan di tepi jalan
atau hutan yang tidak terlalu banyak semaknya. Dibandingkan dengan
tanaman herbal lainnya, mimba cenderung tidak terlalu popular di tengah
masyarakat, namun tidak banyak yang tahu bahwa tanaman ini tergolong
3

sebagai tanaman yang banyak memiliki kandungan manfaat untuk kesehatan


(Laely Widjajati, 2013). Daun mimba mengandung berbagai senyawa
diantaranya saponin dan flavonoid (Trubus, 2008) yang diduga dapat
mempengaruhi aktifitas sel kuffer. Sel kuffer yang aktif akan menghasilkan
beberapa sitokin, interleukin dan TGF- (Transforming Growth Factor ).
Hal ini dapat berpengaruh pada regenerasi sel hati dalam hal ini berpengaruh
terhadap kadar SGPT dan SGOT (Wibawa, 2005).
Berdasarkan uraian tersebut maka daun mimba (Azadirachta indica A.
Juss) mempunyai pengaruh dalam memperbaiki fungsi hati, perlu dilakukan
penelitian tentang pengaruh ekstrak daun mimba terhadap fungsi hati
khususnya terhadap kadar SGPT. Dari hasil penelitian ini apabila ternyata
ekstrak daun mimba memiliki pengaruh terhadap kadar SGPT maka
diharapkan ekstrak daun mimba dapat menjadi alternatif yang lebih aman
dan terjangkau dalam memperbaiki fungsi hati.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah, maka dapat disusun
rumusan masalah sebagai berikut :
Adakah pengaruh ekstrak daun mimba (Azadirachta indica A. Juss)
terhadap kadar SGPT pada tikus putih galur wistar yang diinduksi
parasetamol ?

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh ekstrak daun mimba (Azadirachta
indica A. Juss) terhadap fungsi hati pada tikus putih galur wistar yang
diinduksi parasetamol.
1.3.2. Tujuan Khusus
Untuk mengetahui pengaruh ekstrak daun mimba (Azadirachta
indica A. Juss) terhadap kadar SGPT pada tikus galur wistar yang
diinduksi parasetamol.
4

1.4. Manfaat Penelitian


1.4.1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan
informasi tentang pengaruh ekstrak daun mimba (Azadirachta indica
A. Juss) terhadap kadar SGPT pada tikus galur wistar yang diinduksi
parasetamol sebagai bahan pertimbangan untuk penelitian lebih lanjut.
1.4.2. Manfaat Praktis
Sebagai pengetahuan awal masyarakat mengenai daun mimba
sebagai obat alternatif untuk memperbaiki fungsi organ hati
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Enzim SGPT


SGPT (Serum Glutamic Pyruvic Transaminase) / ALT (Alanine
Aminotranssferase) adalah enzim yang dibuat dalam sel hati (hepatosit), jadi
lebih spesifik untuk penyakit hati dibandingkan dengan enzim lain. SGPT
sering dijumpai dalam hati, sedangkan dalam jantung dan otot-otot skelet
kurang jika dibandingkan dengan SGOT. Kadarnya dalam serum meningkat
terutama pada kerusakan dalam hati dibandingkan dengan SGOT.
Enzim ini berfungsi mengkatalisis pemindahan satu gugus amino antara
lain alanin dan asam alfa-ketoglutarat. Terdapat banyak di hepatosit dan
konsentrasinya relatif rendah di jaringan lain. Kadar normal dalam darah 5
35 IU/liter. SGPT lebih sensitif dibanding SGOT (Rifal Amirudin, 2007).
Produk dari reaksi transaminase adalah reversibel, yaitu piruvat dan
glutamate. Kadar SGPT dalam serum menjadi petunjuk yang lebih sensitif ke
arah kerusakan hati karena sangat sedikit kondisi selain hati yang
berpengaruh pada kadar SGPT dalam serum (Giboney, 2005).

2.2. Hati
Hati adalah organ pencernaan terbesar dalam tubuh dengan berat antara
1,2 1,8 kg atau kurang lebih 25% berat badan orang dewasa. Hati
merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh. Hati terletak di rongga perut di
bawah diafragma dan menempati sebagian besar kuadran kanan atas
abdomen. Hati merupakan pusat metabolisme tubuh dengan fungsi yang
sangat kompleks, dimana fungsi hati dalam sistem sirkulasi adalah untuk
menampung, mengubah, menimbun metabolit, menetralisir dan
mengeluarkan substansi toksik yang terbawa oleh aliran darah. Sebagian
besar darah yang menuju ke hati dipasok dari vena porta dan sebagian kecil
dipasok dari arteri hepatika (Rifal Amirudin, 2007).
6

Secara makroskopis, hati terbagi atas beberapa lobus dan tiap lobus hati
terbagi menjadi struktur yang dinamakan lobules, yang merupakan unit
mikroskopis dan fungsional organ. Secara mikroskopis, di dalam hati
manusia terdapat 50.000 100.000 lobuli. Setiap lobulus berbentuk
heksagonal yang terdiri atas lembaran sel hati berbentuk kubus yang tersusun
radial mengelilingi vena sentralis. Diantara lembaran sel hati terdapat kapiler-
kapiler yang disebut sinusoid, sinusoid merupakan cabang vena porta dan
arteri hepatica. Selain cabang-cabang vena porta dan arteri hepatika yang
melingkari bagian perifer lobules hati, juga terdapat saluran empedu yang
membentuk kapiler empedu, dinamakan kanalikuli empedu yang berjalan
diantara lembaran sel hati (Rifal Amirudin, 2007).
2.2.1. Fungsi Hati
Menurut Husadha (dalam Mohandis Haki, 2009) hati
mempunyai fungsi yang sangat banyak dan kompleks yang penting
untuk mempertahankan hidup, yaitu :
a. Fungsi Pembentukan dan Ekskresi Empedu
Hati mengekskresikan sekitar satu liter empedu setiap hari.
Garam empedu penting untuk pencernaan dan absorbs lemak dalam
usus halus.
b. Fungsi Metabolik
Hati berperan penting dalam metabolism karbohidrat, lemak,
protein, vitamin dan juga memproduksi energi. Hati mengubah
amonia menjadi urea, untuk dikeluarkan melalui ginjal dan usus.
c. Fungsi Pertahanan Tubuh
Hati merupakan fungsi detoksifikasi dan fungsi perlindungan.
Fungsi detoksifikasi dilakukan oleh enzim-enzim hati dan fungsi
perlindungan dilakukan oleh sel kupfer yang terdapat di dinding
sinusoid hati.
d. Fungsi Vaskuler Hati
Hati berfungsi sebagai ruang penampung dan bekerja sebagai
filter karena letaknya antara usus dan sirkulasi umum.
7

Hati mampu mensekresi enzim-enzim transaminase saat selnya


mengalami gangguan. Transaminase merupakan indikator yang peka
pada kerusakan sel-sel hati. Enzim-enzim tersebut adalah :
a. SGPT (Serum Glutamic Pyruvic Transaminase) / ALT (Alanine
Aminotranssferase)
b. SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase) / AST
(Aspartat Aminotransaminase)

2.3. Parasetamol
Parasetamol atau asetaminofen merupakan salah satu dari obat yang
sering digunakan. Parasetamol bertanggungjawab atas efek analgesiknya.
Parasetamol bekerja dengan menghambat sintesa prostaglandin dalam
susunan saraf pusat yang mempengaruhi pusat hipotalamus untuk pengontrol
suhu tubuh. Parasetamol merupakan metabolit fenasetin dengan efek
antipiretik. Efek antipiretik ditimbulkan oleh gugus aminobenzen. Di
Indonesia, parasetamol tersedia sebagai obat bebas dan dapat dengan mudah
mendapatkannya. Efek analgesik parasetamol yaitu menghilangkan atau
mengurangi nyeri ringan sampai sedang seperti nyeri kepala, mialgia, dan
keadaan lain. Parasetamol tidak menimbulkan gangguan pernafasan dan
keseimbangan asam basa. Sebagai analgesik sebaiknya parasetamol tidak
diberikan terlalu lama karena menimbulkan nefropati analgesik. Reaksi alergi
karena parasetamol jarang terjadi. Manifestasi dari reaksi alergi berupa eritem
atau urtikaria. Parasetamol juga menyebabkan anemia hemolitik, terutama
pada pemakaian kronik. Hal ini dapat terjadi karena mekanisme autoimun,
defisiensi G6PD, dan metabolit yang abnormal (Wilmana dan Gunawan,
2007).
Parasetamol diberikan secara peroral. Absorbsinya cepat dan sempurna
melalui saluran cerna, tergantung pada kecepatan pengosongan lambung.
Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu setengah jam dan
masa paruh plasma antara 1-3 jam. Obat ini tersebar ke seluruh cairan tubuh.
Dalam plasma 25% parasetamol terikat protein plasma dan sebagian
8

dimetabolisme enzim mikrosom hati. Pada kondisi normal, parasetamol


mengalami glukuronidasi dan sulfas dimana 80% dikonjugasi dengan asam
glukoronat dan sebagian kecil lainnya dengan asam sulfat. Hasil konjugasi ini
akan dieliminasi lewat urin. Selain itu dalam jumlah kecil (4%) diubah
menjadi metabolit reaktif berupa senyawa antara yang reaktif dan toksik yaitu
N-asetil-p-benzoquinonimin (NAPQI) (Brunton, et al., 2006). NAPQI
dibentuk dengan adanya bioaktivasi parasetamol melalui sistem sitokrom P-
450. Metabolit tersebut kemudian didetoksifikasi oleh glutation hati menjadi
metabolit sistin dan metabolit merkapturat yang non toksik. Pada dosis tinggi,
jalur konjugasi parasetamol menjadi jenuh sehingga banyak parasetamol
menjadi metabolit NAPQI, sebagai akibatnya terjadi deplesi glutation hati.
Akibatnya NAPQI akan membentuk ikatan kovalen dengan protein sel hati
secara irreversible sehingga akan menyebabkan terjadinya kematian sel atau
nekrosis sel hati. Metabolit ini juga menyebabkan pengikatan kovalen pada
makromolekul seperti DNA, RNA dan protein. Jika demikian, maka akibat
yang parah pada fungsi sel akan segera terlihat dengan nyata (Murray, et al.,
2014).
Parasetamol aman diberikan dengan dosis 325-500 mg 4 kali sehari
pada orang dewasa dan untuk anak-anak dalam dosis yang lebih kecil yang
sebanding. Pemberian parasetamol juga dapat menimbulkan efek samping.
Efek samping dari parasetamol tergantung pada dosis yang diberikan. Akibat
dari dosis toksik parasetamol yang paling serius adalah nekrosis hati, nekrosis
tubulus renalis serta koma hipoglikemi. Hepatotoksisitas dapat terjadi pada
pemberian dosis tunggal 10-15 gram (200-250 mg/kg BB) setelah 48 jam
menelan parasetamol. Kerusakan yang timbul berupa nekrosis sentrolobularis
(Wilmana dan Gunawan, 2007). Dosis 20-25 gram atau lebih dapat berakibat
fatal. Sekitar 10% pasien keracunan yang tidak mendapatkan pengobatan
yang spesifik berkembang menjadi kerusakan hati, dari yang telah disebutkan
10-20% akhirnya meninggal karena kegagalan fungsi hati. Kegagalan ginjal
akut juga terjadi pada beberapa pasien hepatotoksisitas karena parasetamol
9

pada manusia pertama kali dilaporkan pada tahun 1966 (Suarsana dan
Budiasa, 2005).

2.4. Mekanisme Kerusakan Hati


2.4.1. Mekanisme Kerusakan Hati oleh Parasetamol
Kematian sel dan kematian jaringan pada tubuh yang hidup
disebut nekrosis. Nekrosis merupakan kematian sel lokal, nekrosis
juga dapat diartikan sebagai proses perubahan morfologi sebagai
akibat tindakan degenerasi progresif. Hepar normal memiliki kapasitas
regenerasi yang luar biasa, namun kapasitas cadangan hepar dapat
habis apabila hepar terkena penyakit yang menyerang seluruh
parenkim hepar sehingga timbul kerusakan pada hepar (Robbins, et
al., 2006).
Kerusakan hepar yang berupa nekrosis dapat terjadi sebagai
akibat dari pemberian parasetamol dengan dosis yang berlebihan
(dosis toksik). Umumnya perubahan-perubahan yang terjadi pada sel
nekrotik dapat terjadi pada semua bagian sel. Tetapi perubahan pada
inti sel adalah petunjuk yang paling jelas pada kematian sel. Bagian
sel yang telah mati intinya menyusut, batas tidak teratur dan berwarna
gelap dengan zat warna yang biasa digunakan oleh para ahli patologi
anatomi. Proses ini dinamakan piknosis dan intinya disebut piknotik
(Price & Wilson, 2006).
Nekrosis hati akibat peroksidase lipid maupun radikal bebas
dapat bersifat lokal, sentral, pertengahan, perifer atau masif. Kematian
sel terjadi bersamaan dengan pecahnya membran plasma. Perubahan
morfologi awal berupa edema sitoplasma, dilatasi retikulum
endoplasma dan disagregasi polisom. Terjadi akumulasi trigliserid
sebagai butiran lemak dalam sel dan terjadi pembengkakan
mitokondria progresif dengan kerusakan krista (Wenas, 2009).
Stadium selanjutnya sel dapat mengalami degenerasi hidropik,
susunan sel yang terpisah-pisah, inti sel piknotik (kariopiknosis) yaitu
10

pengerutan inti sel dan kondensasi kromatin. Kemudian terjadi


karioreksis yaitu fragmentasi inti yang meninggalkan pecahan-
pecahan sisa inti berupa zat kromatin yang tersebar didalam sel.
Selanjutnya terjadi kariolisis yaitu kromatin basofil menjadi pucat.
Seiring berjalannya waktu, terjadi penghancuran dan pelarutan inti sel
sehingga inti sel sama sekali menghilang, pecahnya membran plasma,
dan nekrosis (Thomas, 2010).
2.4.2. N-Asetilsistein sebagai antihepatotoksik parasetamol
Parasetamol merupakan obat yang bisa dikatakan paling banyak
digunakan. Sebagai obat bebas, parasetamol diindikasikan sebagai
analgesik, antipiretik dan sedikit anti inflamasi. Namun penggunaan
parasetamol sering dihubungkan dengan peristiwa
keracunan/intoksikasi hati (hepatotoksisitas), sehingga diperlukan
adanya penangkal hepatotoksisitas tersebut salah satunya
menggunakan N-Asetilsistein (Yenny, dkk., 2011).
Prescott dan Mathew pertama kali mengusulkan penggunaan N-
Asetilsistein sebagai antihepatotoksik parasetamol pada tahun 1974.
Pada tahun 1977 Prescott mendeskripsikan pengobatan 15 pasien
dengan intoksikasi parasetamol dengan menggunakan sediaan
intravena Asetilsistein 20% per oral dalam larutan steril dengan
pembawa air (Duran, et al. 2011).
Sekitar 4% parasetamol dimetabolisme menjadi N-asetil-p-
benzoquinonimin (NAPQI) melalui sistem oksidase diberbagai
isoenzim CYP dari enzim sitokrom P-450. Hal ini berpotensi
terjadinya keracunan antara konjugat dengan glutation, yang
kemudian membentuk metabolit nontoksik sistein dan konjugasi asam
merkapturat. Sedangkan dalam kondisi overdosis, persentase yang
lebih besar dari parasetamol ini dimetabolisme melalui isoenzim CYP,
sehingga terjadi defisiensi glutation yang menyebabkan terbentuknya
NAPQI dalam jumlah lebih besar. Adanya NAPQI menyebabkan
terjadinya nekrosis sentrilobular hati. N-Asetilsistein berperan
11

mencegah berikatannya NAPQI dengan hepatosit, sehingga mencegah


terjadinya hepatotoksisitas (Purwa, 2012).

2.5. Mimba (Azadirachta indica A. Juss)


Mimba (Azadirachta indica A. Juss) adalah daun-daun yang tergolong
dalam tanaman perdu yang pertama kali ditemukan didaerah Hindustani di
Madhya Pradesh, India. Mimba tersebar di Indonesia diperkirakan sejak
tahun 1500 dengan daerah penanaman utama di Pulau Jawa. Mimba tumbuh
di daerah tropis pada dataran rendah dan sering ditemukan di tepi jalan atau
hutan terang.
2.5.1. Taksonomi Mimba
Taksonomi tumbuhan mimba berikut adalah
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Rutales
Famili : Meliaceae
Genus : Azadirachta
Spesies : Azadirachta indica A. Juss
2.5.2. Morfologi Tanaman Mimba
Merupakan pohon yang tinggi batangnya dapat mencapai 20 m.
Kulit tebal, batang agak kasar, daun menyirip genap, dan berbentuk
lonjong dengan tepi bergerigi dan runcing, sedangkan buahnya
merupakan buah batu dengan panjang 1 cm. Buah mimba dihasilkan
dalam satu sampai dua kali setahun, berbentuk oval, apabila masak
daging buahnya berwarna kuning, biji ditutupi kulit keras berwarna
coklat dan didalamnya melekat kulit buah berwarna putih. Batangnya
agak bengkok dan pendek, oleh karena itu kayunya tidak terdapat
dalam ukuran besar.
Daun mimba tersusun spiralis, mengumpul di ujung rantai,
merupakan daun majemuk menyirip genap. Anak daun berjumlah
12

genap diujung tangkai, dengan jumlah helaian 8-16, tepi daun


bergerigi, bergigi, helaian daun tipis seperti kulit dan mudah layu,
anak daun memanjang pangkal anak daunn runcing, ujung anak daun
runcing, panjang anak daun 3 10,5 cm.
2.5.3. Habitat
Tumbuh liar di hutan dan di tempat lain yang tanahnya agak
tandus, ada juga yang ditanam orang di tepi-tepi jalan sebagai pohon
perindang.
2.5.4. Kandungan Kimia
Daun mimba mengandung senyawa-senyawa diantaranya adalah
-sitosterol, hyperoside, nimbolide, quercetin, quercitrin, rutin,
azadirachtin, dan nimbine. Beberapa diantaranya diungkapkan
memiliki aktivitas antikanker. Daun mimba mengandung nimbin,
nimbine, 6-desacetylbimbine, nimbolide dan quercetin.
2.5.5. Efek Biologi dan Farmakologi
Pemberian ekstrak air daun mimba secara oral pada tikus yang
diberi parasetamol yang bersifat hepatotoksik mampu menurunkan
tingkat serum aspartat aminotransferase (AST), alanin
aminotransferase (ALT), dan gamma glutamyl transpeptidase (gama-
GT) dalam serum darah. Berdasarkan pengamatan makroskopik dan
histologi, terlihat adanya pengurangan nekrosis pada hati (Bhanwra,
et al.,2005).
2.5.6. Pengaruh Ekstrak Daun Mimba terhadap Kadar SGPT
Ekstrak daun mimba dapat memperbaiki fungsi hati dari pengaruh
zat-zat toksik. Ekstrak daun mimba mengandung berbagai senyawa
diantaranya minyak saponin dan flavonoid (Trubus, 2008). Ekstrak
daun mimba dengan kandungan saponin dan flavonoidnya diduga dapat
meningkatkan Glutation (GSH). Glutation (GSH) adalah tripeptida (-L
Glutamil L sisteinil glisin) yang berfungsi sebagai antioksidan
dalam tubuh dan berperan penting dalam memaksimalkan pertahanan
sel tubuh terhadap pengaruh radikal bebas. GSH akan mempengaruhi
13

aktifitas sel Kuffer. Sel Kuffer yang aktif akan menghasilkan beberapa
sitokin, interleukin dan TGF- (Transforming Growth Factor ).
Sitokin adalah polipeptida yang dilepaskan oleh sel sewaktu kontak
dengan antigen spesifik, yang mengatur reaksi imun dan reaksi
peradangan. Kemudian interleukin merespon rangsang antigenik
tersebut. Dan TGF- (Transforming Growth Factor ) berfungsi untuk
merangsang pertumbuhan sel-sel hati baru, aktifitas ini mengarah pada
perbaikan jaringan setelah reaksi peradangan dapat dikendalikan
(Abbas, 2011).

2.6. Hewan Percobaan


Pada percobaan ini digunakan tikus putih jantan sebagai hewan
percobaan karena tikus putih jantan dapat memberikan hasil penelitian
yang lebih stabil karena tidak dipengaruhi oleh adanya siklus menstruasi
dan kehamilan seperti pada tikus betina. Tikus putih jantan juga
mempunyai kecepatan metabolisme obat yang lebih cepat dan kondisi
biologis tubuh yang lebih stabil dibandingkan tikus betina (Sugiyanto,
2010). Jenis tikus putih jantan yang digunakan adalah jenis galur wistar.
Jenis tikus putih galur wistar dikembangkan di Institut Wistar pada tahun
1906 untuk digunakan dalam biologi dan penelitian medis. Tikus wistar
saat ini menjadi salah satu galur tikus yang banyak digunakan untuk
penelitian laboratorium. Ciri dari tikus putih galur wistar yaitu
mempunyai kepala yang lebar, telinga panjang, dan panjang ekornya
kurang dari panjang tubuhnya.
Klasifikasi tikus putih menurut Armitage (dalam Gusti Ngurah
Bagus Tirta, 2011) berikut adalah
Kingdom : Animalia
Fillum : Chordata
Klas : Mammalia
Ordo : Rodentia
Famili : Muridae
14

Genus : Rattus
Spesies : Rattus norvegicus
Tikus putih lebih besar dari family tikus umumnya dimana tikus ini
panjangnya dapat mencapai 40 cm diukur dari hidung sampai ujung ekor,
dan berat 140-500 gr. Tikus jantan biasanya memiliki ukuran yang lebih
besar dari tikus betina, berwarna putih, memiliki ukuran ekor yang lebih
panjang dari tubuhnya (Kusumawati, 2005).
2.7. Kerangka Teori

Parasetamol

Ekstrak Daun
Mimba

Flavonoid
& Saponin

Sel Kuffer Hepar Glutation

CYP-450

TGF - Sitokin
NAPQI
Interleukin

Kerusakan
Sel Hepar

Regenerasi
Sel Hepar

Variabel lain :
Kerusakan sel-sel hati
oleh virus, obat-obatan SGPT
atau toksin.
15

2.8. Kerangka Konsep

Ekstrak Daun
Mimba

Tikus Putih Jantan


Galur Wistar yang SGPT
diinduksi
Parasetamol

2.9. Hipotesis
Ekstrak daun mimba (Azadirachta indica A. Juss) dapat
mempengaruhi kadar enzim SGPT pada tikus putih galur wistar yang
diinduksi parasetamol.
16

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian


Jenis penelitian yang digunakan merupakan penelitian eksperimental
dengan metode post test only controlled group design.
3.2. Variabel dan Definisi Operasional
3.2.1. Variabel Penelitian
3.2.1.1. Variabel Bebas :
Ekstrak daun mimba (Azadirachta indica A. Juss)
3.2.1.2. Variabel Terikat : Kadar SGPT
3.2.1.3. Variabel Luar
a. Variabel luar yang dapat dikendalikan : jenis kelamin, umur,
suhu, udara, berat badan, dan jenis makanan.
b. Variabel luar yang tidak dapat dikendalikan : kondisi
psikologis tikus, variasi genetik, dan kondisi awal hati tikus.
3.2.2. Definisi Operasional
a. Ekstrak daun mimba (Azadirachta indica A. Juss)
Ekstrak daun mimba merupakan sediaan senyawa atau zat
pokok daun mimba yang diperoleh dari proses ekstraksi dengan
menggunakan pelarut yang sesuai, dalam penelitian ini
menggunakan etanol 95% sebagai pelarut. Ekstrak daun mimba
dengan dosis sebesar 1ml (4,5mg/200grBB) diberikan pada
kelompok perlakuan 2, sedangkan dosis 1,4ml (6,3mg/200grBB)
diberikan pada kelompok perlakuan 3. Skala pengukuran variabel
bebas ini adalah nominal (Zakaria, et al., 2007).
b. Kadar SGPT
Parameter pemeriksaan aktivitas enzim SGPT adalah kadar
enzim SGPT dalam darah tikus. Pemeriksaan ini menggunakan
metode spektofotometrik. Skala pengukuran variabel terikat ini
adalah rasio.
17

3.3. Populasi dan Sampel


3.3.1. Populasi Penelitian
Populasi target dalam penelitian ini adalah tikus putih jantan
galur wistar yang dipelihara dan dikembangkan di Laboratorium
Biologi FMIPA Universitas Negeri Semarang selama bulan Maret
April 2015.
3.3.2. Sampel Penelitian
Sampel yang digunakan adalah tikus putih (Rattus norvegicus)
jantan galur wistar yang memenuhi kriteria inklusi yang diambil
secara random berusia 2-3 bulan dengan berat badan 150-200 gram.
Ketentuan WHO menyebutkan bahwa hewan coba yang digunakan
dalam penelitian eksperimental minimal 5 ekor tiap kelompok
penelitian (WHO dalam Rahman Suwardi, 2010).
Jumlah perlakuan pada penelitian ini adalah 4 yang terdiri dari 1
kelompok kontrol dan 3 kelompok perlakuan dan didapatkan jumlah
sampel sebanyak 6 untuk masing-masing kelompok. Kelompok
kontrol adalah kelompok tikus yang tidak diberikan perlakuan apapun
sebagai tikus sehat, kelompok I adalah tikus yang diberi parasetamol
2,7ml (0,27gr/200grBB) per oral dan diberi N-Asetilsistein sebanyak
0,15ml (2,52mg/200grBB), kelompok II adalah kelompok tikus yang
diberi ekstrak daun mimba per oral dosis 1ml (4,5mg/200grBB) dan
parasetamol 2,7ml (0,27gr/200grBB), kelompok IV adalah kelompok
tikus yang diberi ekstrak daun mimba per oral dosis 1,4ml
(6,3mg/200grBB) dan parasetamol 2,7ml (0,27gr/200grBB).

3.4. Instrumen dan Bahan Penelitian


3.4.1. Instrumen
a. Kandang tikus lengkap dengan tempat pakan dan minumnya
b. Timbangan hewan
c. Sonde oral
d. Tabung reaksi, rak, dan pipet
18

e. Mikrohematokrit untuk mengambil darah tikus


f. Tabung ependrop untuk menampung darah tikus
g. Spektofotometer
h. Sentrifuge
3.4.2. Bahan Penelitian
a. Ekstrak daun mimba
b. Parasetamol
c. N-Asetilsistein
d. 24 ekor tikus putih jantan galur wistar
e. Minyak kelapa
f. Pakan standar
g. Aquades

3.5. Cara Penelitian


3.5.1. Penentuan Dosis
a. Dosis Parasetamol
Dosis toksik parasetamol tiap tikus :
= 0,018 x dosis manusia
= 0,018 x 15 g
= 0,27 g = 270 mg
Parasetamol yang digunakan adalah sanmol jenis drops
(100mg/ml), yang diberikan per oral untuk setiap ekor tikus pada
kelompok I, II, dan III sebanyak (270 mg/100 mg) x 1 ml = 2,7 ml.
b. Dosis N-Asetilsistein
= 0,018 x 140 mg (Algren, 2008)
= 2,52 mg
N-Asetilsistein yang digunakan adalah fluimucil jenis serbuk
setelah dilarutkan dan homogenisasi (100mg/5ml), kemudian
diberikan per oral untuk setiap ekor tikus pada kelompok I
sebanyak (3mg/100mg) x 5ml = 0,15ml.
19

c. Dosis Ekstrak Daun Mimba


Kelompok II = 0,018 x dosis manusia
= 0,018 x 250mg
= 4,5 mg
Kelompok III = 0,018 x dosis manusia
= 0,018 x 350mg
= 6,3 mg
Hasil ekstrak daun mimba disesuaikan dengan dosis berdasarkan
konversi dan kemudian diberikan per oral untuk setiap tikus pada
kelompok II sebanyak (4,5mg/45mg) x 10ml = 1 ml. Pada
kelompok 3 sebanyak (6,3mg/45mg) x 10ml = 1,4ml.
3.5.2. Pemberian Perlakuan
Sampel tikus 24 ekor yang diperoleh dari Laboratorium Biologi
FMIPA Universitas Negeri Semarang dibagi menjadi 4 kelompok,
masing-masing terdiri dari 6 ekor yang dipilih secara random.
Dilakukan adaptasi tikus selama 3 hari. Pada hari ke-4 dilakukan
penimbangan untuk menentukan dosis dan dilakukan perlakuan.
Kelompok kontrol tikus diberi diet standar dan tidak diberikan
perlakuan apapun sebagai acuan tikus sehat. Kelompok I adalah tikus
yang diberi parasetamol 2,7ml (0,27gr/200grBB) per oral dan diberi
N-Asetilsistein sebanyak 0,15ml (2,52mg/200grBB), kelompok II
adalah kelompok tikus yang diberi ekstrak daun mimba per oral dosis
1ml (4,5mg/200grBB) dan parasetamol 2,7ml (0,27gr/200grBB),
kelompok III adalah kelompok tikus yang diberi ekstrak daun mimba
per oral dosis 1,4ml (6,3mg/200grBB) dan parasetamol 2,7ml
(0,27gr/200grBB). Perlakuan diberi per oral 1 kali sehari mulai hari
ke-4 sampai dengan hari ke-13.
3.5.3. Pemeriksaan Kadar Enzim SGPT
Setelah perlakuan diberikan yaitu pada hari ke-14, semua hewan
percobaan diambil darahnya sebanyak 2 ml menggunakan
mikrohematokrit. Kemudian dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan
20

3000 rpm selama 60 menit hingga didapatkan serum, untuk


selanjutnya dilakukan pengukuran kadar enzim SGPT menggunakan
Automatic Chemistry Analyzer (KIT GO F400 CH) (Dharma, 2008).
Kemudian dibandingkan rata-rata kadar enzim SGPT antara kelompok
K, kelompok PI, kelompok P2, dan kelompok P3 dengan uji Anova
dan apabila ada perbedaan bermakna dilanjutkan dengan Post Hoc
Test.
3.5.4. Alur Penelitian
Secara umum, alur penelitian ini adalah
Tikus putih jantan
24 ekor

Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok


K PI PII PIII

Diet standar Parasetamol Ekstrak daun Ekstrak daun


2,7ml + N- mimba1ml + mimba1,4ml
Asetilsistein Parasetamol + Parasetamol
0,15ml 2,7ml 2,7ml

SGPT SGPT SGPT SGPT


K PI PII PIII

Bandingkan

3.6. Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di laboratorium Universitas Negeri Semarang


pada bulan April 2015.
21

3.8. Analisis Hasil

Data yang diperoleh kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan diolah
menggunakan program komputer SPSS 15.0 dengan uji parametrik Anova,
sebelumnya dilakukan uji normalitas dan homogenitas sebagai uji prasyarat
Anova dengan derajat kemaknaan = 0,05 dan apabila ada perbedaan rata-
rata yang bermakna dilanjutkan dengan uji lanjut Post Hoc Test. Uji statistik
Anova untuk mengetahui adanya perbedaan dalam seluruh kelompok
populasi. Hasil yang diharapkan dalam uji ini adalah perbedaan yang
bermakna atau terdapat perbedaan kadar SGPT hati tikus putih jantan
kelompok kontrol K, kelompok perlakuan PI, PII, dan PIII. Uji lanjut Post
Hoc Test untuk mengetahui letak adanya perbedaan dalam populasi. Uji ini
antara kelompok K dengan PI, K dengan PII, K dengan PIII, PI dengan PII,
PI dengan PIII, dan PII dengan PIII.
Apabila data tidak berdistribusi normal dan homogen, maka uji Anova
tidak dapat dilakukan. Jika terjadi hal seperti itu, maka dilakukan uji non
parametrik menggunakan Kruskal-Wallis dilanjutkan dengan Mann Whitney.
22

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Abul K., Lichtman, Andrew H., Pober, Jordan S, 2011, Cellular and
Molecular Immunology, Edisi 7, Philadelphia : W.B. Saunders Company,
261.

Algren, D.A., 2008, Review Of N-Acetylcysteine For The Treatment Of


Acetaminophen (Paracetamol) Toxicity In Pediatrics. Dalam :
http://www.who.int/selection_medicines/committees/subcommittee/2/acet
ylcysteine_rev.pdf, dikutip tanggal 3 April 2015.

Barton, S., 2005, Acetylcystein for Achetaminophen Overdose,


Uuhsc,Utah.edu/poison/healthpros/utox/Vol7_No1.pdf. dikutip tanggal 30
Maret 2015.

Bhanwra, S., Singh, J., and Khosla, P., 2005, Effect of Azadirachta indica (Neem)
Leaf Aqueous Axtract on Paracetamol-Induced Liver Damage in Rats,
Indian J Physiol Pharmacol, 44 (1) : 64-68.

BPOM, 2005, Gerakan Nasional Minum Temulawak,


http://perpustakaan.pom.go.id/KoleksiLainnya/InfoPOM/0605,pdf, dikutip
tanggal 6 Maret 2015.

Brunton, L., Laso, J.S., Parker, K.L., 2006, Goodman & Gillmans The
Pharmacological Basis of Therapeutics, 11th Edition, McGraw-Hill
Companies, p : 174.

Dharma, H,S., 2008, Efek Ekstrak Buah Mengkudu (Morinda citrifolia) terhadap
Aktivitas Enzim SGOT dan SGPT pada Mencit dengan Induksi Karbon
Tetraklorida, Skripsi, Fakultas Kedokteran UNS Surakarta.

Dika Isnaini, 2010, Minyak Jintan Hitam (Nigella sativa.L) Sebagai


Hepatoprotektor pada Mencit (Mus musculus) yang diinduksi Isoniazid
(INH), Skripsi, Fakultas Kedokteran UNS, Surakarta.
23

Duran, L., Sisman, B., Dogruel, C., Yardan, T., Baydin, A., Yavuz, Y., 2011,
Parasetamol Zehirlenmesinde Intravenoz N-Asetil Sistein Kullanimi : Use
of Intravenous N-Acetyl Sistein in Paracetamol Intoxication. Turkey :
Ondokuz Mayis Universitesi Tip Fakultesi.

Gaze, D.C., 2007, The Role of Existing and Novel Cardiac Biomarkers for
Cardioprotection, Curr. Opin. Invest. Drugs. 8 (9) : 711-717.

Giboney, P.T., 2005, Mildly elevated liver transaminase levels in the


asymptomatic patient, Am Fam Physician, 71 (6) : 1105-10.

Gusti Ngurah Bagus Tirta, 2011, Pemberian Ekstrak Buah Mengkudu (Morinda
Citrifolia L) Menurunkan Tekanan Darah Tikus Putih Jantan Galur
Wistar (Rattus Norvegicus) yang Hipertensi, Tesis, Program Studi Ilmu
Biomedik Universitas Udayana, Bali.

Kusumawati, 2005, Bersahabat dengan Hewan Coba, Gadjah Mada University


Press, Yogyakarta.

Laely Widjajati, 2013, Khasiat dan Manfaat Daun Mimba, Dalam : http://laely-
widjajati.blogspot.com/2013/11/khasiat-dan-manfaat-daun-mimba.html,
dikutip tanggal 25 Februari 2015.

Mohandis Haki, 2009, Efek Ekstrak Daun Talok (Muntingia calabura L.)
Terhadap Aktivitas Enzim SGPT Pada Mencit Yang Diinduksi Karbon
Tetraklorida, Skripsi, Fakultas Kedokteran UNS Surakarta.

Murray, R.K., Granner, D.K., Mayes, P.A., & Rodwell, V.W., 2014, Biokimia
Harper, Edisi 29, Jakarta : Buku Kedokteran EGC, 743-9.

Price, S.A., & Wilson, L.M., 2006, Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit, Edisi 6, Jakarta : EGC, 472-6.

Purwa Teratai, 2012, Penggunaan Asetilsistein pada Kasus Intoksikasi


Parasetamol, Dalam : http://ruangdiskusiapoteker.blogspot.com/2012/08/
penggunaan- asetilsistein-pada-kasus.html, dikutip tanggal 3 April 2015.
24

Rahman Suwardi, 2010, Efektifitas Ekstrak Rimpang Temulawak sebagai Anti


Hepatotoksik Melalui Penurunan Kadar SGPT, Karya Tulis Ilmiah,
Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung, Semarang.

Rifal Amirudin, 2007, Fisiologi dan Biokimia Hati, Dalam : Sudoyo, A.W.,
Setyohadi, B., Alwi, I., Simadribata, M.K., Setiati, S. (eds), Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam, Edisi 4, Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FK UI, pp : 415-9.

Rifatul, 2009, Efek Samping Obat Herbal terhadap Kesehatan Masyarakat.


Dalam : http://www.smallcrab.com/kesehatan/687-efeksamping-
pengobatan-herbal, dikutip tanggal 20 Februari 2015.

Robbins, S.L., Kumar, V., Cotran, R.S., 2006, Buku Ajar Patologi I dan II, Edisi
5, Alih Bahasa : Pendit B.U., Jakarta : EGC, pp : 663-90.

Sacher, R. A., dan McPerson, R. A., 2004, Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan
Laboratorium, Edisi 11, Jakarta : Buku Kedokteran EGC.

Sri Handajani, 2006, The Queen of Seeds : Potensi Agribisnis Komoditas Wijen,
Yogyakarta : Andi.

Suarsana, I.N. dan Budiasa, I.K., 2005, Potensi Hepatoprotektif Ekstrak


Mengkudu pada Keracunan Parasetamol, Dalam :
http://www.jvetunud.com/archives/118, dikutip tanggal 5 Maret 2015.

Sugiyanto, 2010, Petunjuk Praktikum Farmakologi Dasar, Edisi 20, Yogyakarta :


Departemen Farmakologi dan Farmasi Klinik Fakultas Farmasi UGM, pp :
11-12.

Thomas, C., 2010, Histopatologi, Edisi IX, Alih Bahasa : Tonang, dkk. Jakarta :
EGC, p : 169.

Trubus, 2008, Herbal Indonesia Berkhasiat, Vol.8.

Wenas, N.T., 2009, Kelainan Hati Akibat Obat, Dalam Buku Ajar Penyakit
Dalam, Edisi 5, Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 363-369.
25

Wibawa, 2005, Patogenesis Diagnosis dan Penatalaksanaan Fibrosis Hati,


Dalam : www.dexa-medika.com. dikutip tanggal 31 Maret 2013.

Wilmana, P.F., Gunawan, S.G., 2007, Analgesik-Antipiretik Analgesik Anti-


Inflamasi Nonsteroid dan Obat Gangguan Sendi Lainnya, Dalam :
Gunawan, S.G (ed). Farmakologi dan Terapi, Edisi 5, Jakarta : Gaya Baru,
237-9.

Yenny., Elly, H., Wirasmi, M., Rianto, S., 2011, Efek Schizandrine Cterhadap
kerusakan hati akibat pemberian parasetamol pada tikus, Universa
Medicina, Volume 24 No.4.

Zakaria, Z. A., Mustapha, S., Sulaiman, M.R., Jais, A.M.M., Somchit, M.N.,
Abdullah, F.C., 2007, The antinociceptive action of aqueous extract from
muntingia calabura leaves : the role of opioid receptors, Med Princ Pracyt.
16:130-136.

Anda mungkin juga menyukai