Anda di halaman 1dari 3

Sebuah penelitian epidemiologi klinis tentang tuberkulosis kutis di rumah sakit

pendidikan tersier di Andra Pradesh, India

Pendahuluan
Tuberkulosis (TB) dikenal sejak adanya umat manusia, dibuktikan dengan
ditemukannya penyakit ini pada mumi Peruvian dan di skeleton sejak 300 tahun
Sebelum Masehi. Secara global, 9,6 juta kasus tuberkulosis baru terdeteksi pada tahun
2014 dan kasus meninggal sebanyak 1,3 juta. Tuberkulosis biasanya disadari sebagai
penyakit akibat kemiskinan, dimana 94% kasus terjadi di negara dengan status sosial
ekonomi yang rendah. Meskipun insidennya telah berkurang menjadi 0,1%, termasuk
di negara berkembang, penyakit ini masih menjadi penyakit yang berat karena ko-
infeksi HIV, resistensi obat, dan manifestasi yang atipikal. Penelitian ini dilakukan
untuk mendokumentasikan tipe TB kutis yang paling sering, presentasi atipikal, dan
respon terhadap terapi DOTS (directly observed short course).

Metode
Semua pasien rawat jalan dengan menifestasi klinis diduga TB kutis yang datang
ke poli dermatologi dari bulan Oktober 2012 sampai April 2016 dimasukkan dalam
penelitian ini. Riwayat penyakit yang detail dan keadan umum diamati secara seksama,
pemeriksaan kulit dan sistemik dilakukan bersamaan dengan dokumentasi demografi.
Pemeriksaan darah rutin, ELISA (enzyme linked immunosorbent assay) untuk HIV,
rontgen dada, tes mantoux dan biopsi dilakukan pada semua kasus. Pemeriksaan BTA
sputum, sitologi aspirasi jarum halus pada KGB, dan pemeriksaan radiologi lainnya
dilakukan pada kasus yang relevan. Kasus yang telah didiagnosis diberikan DOTS
selama 6 bulan dan responnya dievaluasi pada minggu 6 dan pada akhir pengobatan,
efek samping selama pengobatan juga dicatat.

Hasil
Terdapat 25 kasus TB kutis yang termasuk pada penelitian ini. Perbandingan laki-
laki dan perempuan adalah 1,5:1. Usia berkisar antara 5-40 tahun dengan rata-rata 25
tahun 6 bulan. Lokasi yang paling sering terkena adalah ekstremitas bawah,
ditemukan pada 13 kasus (52%). Tipe TB kutis yang paling banyak adalah lupus
vulgaris, ditemukan pada 11 kasus (44%), dan yang paling sedikit adalah eritema
induratum bazin (EIB), ditemukan pada 2 kasus (8%), secara rinci ditampilkan pada
tabel 1.
TB kutis yang berkaitan dengan HIV ditemukan pada 3 kasus (12%). Presentasi
atipikal yang ditemukan adalah lupus vulgaris mutifokal (LV), TB kutis verukosa ko-
eksisten (TVC) dan LV, TVC pada bibir bawah, eritema induratum bazin (EIB) berupa
plak annular pada satu kasus dan berupa eritema nodosum pada kasus yang lain
seperti pada Gambar 1-5. Mantoux positif ditemukan pada 84,2% kasus dan
histopatologi yang tipikal sebanyak 90%. Tabel 2 memperlihatkan pemeriksaan labor
pada populasi penelitian. DOTS efektif pada semua kasus kecuali pada 2 pasien (8%)
dan akne trunkal diamati pada 2 pasien (8%) seperti pada gambar 6 dan 7.

Diskusi
Pada penelitian ini, TB kutis lebih banyak terjadi pada laki-laki, sesuai dengan
penelitian Indian. Keadaan ini mungkin diakibatkan oleh resiko tinggi injuri pada laki-laki,
sebagaimana pada pasien dengan pekerjaan yang berat. Sebagian besar pasien berusia 20an, mirip
dengan penelitian Indian. Tipe yang paling sering muncul adalah lupus vulgaris (44%), mirip dengan
sejumlah kecil penelitian lainnya. Meskipun demikian, penelitian Indian lainnya menemukan
skrofuloderma sebagai tipe yang paling sering, lihat tabel 3.
Kami menemukan ekstrimitas bawah merupakan lokasi yang paling sering terlibat, hal ini juga
dicatat oleh beberapa autor. Insiden TB kutis yang tinggi di kaki pada orang India dapat dijelaskan oleh
re-inokulasi basil TB melalui trauma minor, khususnya selama jongkok.
TB kutis lebih dulu dikutip oleh Pillsbury, Shelly, dan Kligman sebagai berikut di kulit, TB
dipresentasikan dalam bentuk yang bervariasi dan menakjubkan. Kami mengamati berbagai
presentasi atipikal selama penelitian ini. Lupus vulgaris multifokal ditemukan pada pria 40 tahun,
sangat sedikit penelitian yang melaporkan bentuk multifokal di literatur. Bentuk multifokal paling
sering ditemukan pada pasien yang tidak mendapatkan vaksin dan pasien dengan malnutrisi dan
biasanya memiliki tes mantoux yang negatif. Sedikit laporan tentang ko-eksisten dari TB yang berbeda
pada orang yang sama dengan kombinasi TVC dan skrofuloderma (SFD), namun menjadi yang paling
sering ditemukan pada penelitian ini. Penelitian imunohistologi granuloma pada TB kutis
memperlihatkan perubahan spektrum sebagai bukti dengan rasio CD4+/-CD8, i.e LV dengan imunitas
yang kuat, TVC dengan imunitas sedang, dan SFD dengan imunitas yang lemah. Berdasarkan level
imunitas pada seseorang dalam jangka waktu tertentu, mungkin terdapat berbagai tipe TB kutis.
Alasan lain yang mungkin adalah TVC berkembang dari auto-inokulasi basil di kulit yang berdekatan
berupa SFD. Kami menemukan TVC di bibir bawah pada wanita 40 tahun yang merupakan lokasi yang
tidak biasa, lokasi yang jarang lainnya yang pernah dilaporkan adalah di jari, di keloid, dll. EIB secara
klinis mirip dengan eritema nodosum pada satu kasus. Pengamatan serupa dibuat oleh Maharaja et al
pada penelitiannya tentang gambaran histopatologi eritematosa tender nodul predominan melibatkan
ekstrimitas, yang mana disakordansi histopatologi dari eritema nodusum ditemukan pada 8 kasus
(total 30 kasus) dan di antaranya 3 kasus diduga EIB. Presentasi atipikal lainnya dari EIB yang tercatat
di dalam penelitian ini berupa plak anular yang besar di paha pada laki-laki 25 tahun. Oleh karena itu,
EIB tidak selalu muncul secara klasik seperti yang diterangkan (nodus ulserasi pada calves).
Histopatologi membantu membedakan dan menegakkan dignosis pasti.
Mantoux positif ditemukan pada 84,2% kasus, dapat dibandingkan dengan penelitian Binod
Kumar et al, hasil yang berbeda ditemukan pada penelitian lain, seperti yang ditampilkan pada tabel 4.
Perubahan histopatogi tipikal ditemukan pada 90% kasus serupa dengan penelitian Indian
lainnya. Durasi terapi antituberkular (ATT) untuk TB kutis berkisar antara 6-12 bulan pada berbagai
penelitian. Kami menerapkan terapi DOTS selama 6 bulan.
Pada penelitian Ragu Rama Reo et al tentang terapi DOTS pada TB kutis, efikasinya dibandingkan
dengan standar harian kemoterapi rute pendek dengan penambahan keuntungan berupa pemaparan
obat yang lebih sedikit, standar obat diberikan di bawah supervisi dan less travel expenses. Ia
mengamati tidak ada kegagalan atau efek samping yang signifikan terapi DOTS pada penelitiannya. Di
sisi lain, kami mengamati adanya kegagalan terapi pada 8% kasus dan efek samping minor seperti akne
trunkal pada 8% kasus, secara rinci ditampilkan pada tabel 5.
Durasi percobaan terapeutik pada kasus diduga TB kutis adalah 5-6 minggu dengan pengecualian
terhadap tuberkulid dan pasien dengan aktivitas klinis yang minimal sebelum pengobatan. Diagnosis
biasa ditinjau pada pasien yang tidak respon pada waktu penelitian. Tapi dengan adanya multi drug
resistant (MDR) terhadap TB, pendekatan ini tidak dapat dibenarkan. TB kutis MDR menjadi sulit
akibat tingkat isolasi yang buruk dan sensitifitas diagnosis molekular yang rendah. Sehingga, yang
dibenarkan adalah memberikan percobaan dengan ATT lini kedua untuk setidaknya 2 bulan setelah
ditetapkan sebagai pasien yang tidak respon terhadap terapi. Kami memiliki seorang pasien laki-laki 40
tahun (tinggi 6 kaki, berat 120 kg) dengan biopsi terkonfirmasi skrofuloderma yang tidak respon
terhadap ATT dosis rutin (AKT-4 kit) meskipun setelah 5 minggu terapi. Sebelum memulai obat lini
kedua, kami memberikan obat lini pertama ditingkatkan hingga dosis yang sesuai dengan berat badan
pasien. Dalam 2 minggu dihasilkan respon yang cepat seperti yang ditampilkan pada gambar 8. Oleh
karena itu, dosis obat yang adekuat khususnya yang sesuai dengan berat badan merupakan hal yang
penting sebelum mempertimbangkan diagnosis alternatif atau resistensi obat.
Kesimpulannya, TB kutis sangat beragam. Kecurigaan klinis yang tinggi diperlukan pada
presentasi yang jarang. Koeksisten 2 atau lebih pola morfologi dapat terjadi. Pada kasus yang
meragukan, 5-6 minggu percobaaan terapeutik dapat membantu. Dosis adekuat penting untuk
memperoleh respon yang baik. Obat lini kedua dipertimbangkan pada kasus yang gagal terapi atau
resisten secara klinis.

Anda mungkin juga menyukai