Anda di halaman 1dari 4

Stereotipe adalah pendapat atau prasangka mengenai orang-orang dari kelompok tertentu, dimana

pendapat tersebut hanya didasarkan bahwa orang-orang tersebut termasuk dalam kelompok tertentu
tersebut. Stereotipe dapat berupa prasangka positif dan negatif, dan kadang-kadang dijadikan alasan
untuk melakukan tindakan diskriminatif. Sebagian orang menganggap segala bentuk stereotipe negatif.
Stereotipe jarang sekali akurat, biasanya hanya memiliki sedikit dasar yang benar, atau bahkan
sepenuhnya dikarang-karang. Berbagai disiplin ilmu memiliki pendapat yang berbeda mengenai asal
mula stereotipe: psikolog menekankan pada pengalaman dengan suatu kelompok, pola komunikasi
tentang kelompok tersebut, dan konflik antarkelompok. Sosiolog menekankan pada hubungan di antara
kelompok dan posisi kelompok-kelompok dalam tatanan sosial. Para humanis berorientasi psikoanalisis
(mis. Sander Gilman) menekankan bahwa stereotipe secara definisi tidak pernag akurat, namun
merupakan penonjolan ketakutan seseorang kepada orang lainnya, tanpa memperdulikan kenyataan
yang sebenarnya. Walaupun jarang sekali stereotipe itu sepenuhnya akurat, namun beberapa penelitian
statistik menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus stereotipe sesuai dengan fakta terukur.

Stereotype adalah citra mental yang melekat pada sebuah grup/atau kelompok. Didunia yang
kompleks dan ambigu, kita sering mencari cara menghadapi dan menyederhanakan kenyataan
hidup sehari-hari. Kebanyakan pengetahuan yang kita ketahui berdasarkan pengalaman, dan kita
cenderung untuk membagi informasi orang kedua dan menerapkannya dalam menggambarkan
paham tentang sebuah kelompok dalam masyarakat.

Ketika ini terjadi, kita berpartisipasi dalam proses stereotyping. Stereotype dapat menuntun
kepada ketidakadilan sosial bagi mereka yang merupakan korban tidak bersalah. Dan timbulah
masalah serius soal etika. Kadangkala stereotype berkembang diluar keadilan sosial. Sehingga
perlu dipisah dalam beberapa bab.

Ada kecenderungan menghubungkan stereotype dengan isu rasis dan gender, dan praduga etnis.
Tidak diragukan lagi hal ini yang menjadi isu kontroversial tentang stereotype. Pemberian
julukan menyebar ke semua sampai ke masalah interaksi sosial.

Ambil contoh orang-orang yang kelebihan berat badan. Mereka digambarkan sebagai orang
lambat dan teledor. Jurnalis kadang menggambarkannya sebagai tak berharga, mencari barang
bekas demi mencari berita.

Bahkan Aristotle, malaikat pelindung kebaikan pernah salah mengenai stereotyping. Pada masa
perbudakan abad keempat ia membenarkan pemisahan perlakuan seorang budak dibanding
manusia bebas, karena ia beranggapan sudah menjadi hukum alam memanfaatkan tubuh budak
sebagai pekerja rendahan. Ia membentuk stereotype untuk membenarkan pemisahan ini.

Konsep stereotyping modern pertama kali diperkenalkan dalam kehidupan sosial oleh penulis
dan kolumnis Walter Lipmann. Dalam artikel public Opinion tahun 1922, Lipmann membuat
observasi tentang keharusan yang tidak dapat dielakkan menjadikan stereotyping untuk mengatur
lingkungan dan hubungan sosial.
Ada jarak antar manusia untuk saling berinteraksi. Seperti antara pekerja dan majikan, petugas
dan pemilih. Tidak ada kesempatan untuk perkenalan intim. Meskipun perlu dicatat jarak lah
yang menyebabkan tipe dan membentuk pengertian stereotyping di kepala kita.

Dengan kata lain stereotypes merupakan cara untuk melihat dunia secara ekonomi. Karena setiap
individu tidak memiliki pengalaman personal terhadap setiap kejadian yang bisa membuatnya
tertarik. Kebanyakan dari kita lebih percaya dengan testimony orang lain untuk memperkaya
pengetahuan. Media massa tentunya jendela paling penting untuk mewakili pengalaman dan
fungsi sebagaimana mata dan telinga kita sebagai bagian dari alam semesta yang tidak dapat
secara langsung kita amati.

Praktisi media memiliki tanggung jawab moral untuk memahami perbedaan diantara seterotype
dan kenyataan.

Lippman mencatat dengan sangat jelas bahwa pola stereotype tidak netral karena stereotyping
melibatkan persepsi perorangan terhadap kenyataan. persepsi ini lebih didominasi oleh perasaan
yang mengikat pada diri mereka sendiri, dengan begitu ia menginstruksikan kita, stereotype
adalah mekanisme pertahanan vital dimana kita dapat merasa tetap aman dimana kita berada.
Pandangan ini menyarankan stereotyping sebagai proses natural. Ada aturan yang perlu
dimainkan untuk menjaga pikiran sehat dan membuang sifat semau maunya yang tidak penting.

Meskipun demikian dalam masyarakat egaliter, stereotype tidak adil. Penerapannya


menimbulkan rasa curiga diantara anggota kelompok. Mereka membentuk pola asumsi umum
daripada melihat kondisi aktual. Dengan demikian saat kita menilai orang berdasarkan stereotype
yang salah kita telah mengabaikan hak mereka untuk menentukan nasib sendiri yang menjadi
nilai dasar dalam kehidupan sosial.

Media memiliki kebiasaaan melambangkan pria homoseksual sebagai flamboyan dan kewanita-
wanitaan. Perilaku tersebut mewakili sifat gay tapi tidak mewakili sifat grup tersebut
sepenuhnya. Karena image seperti itu seringkali menegakkan benteng psikologis antara
komunitas gay dan masyarakat luas. Pertanyaannya, apakah mereka harus dihindari meski
sebenarnya mereka merupakan penggambaran akurat dari sebuah grup terlarang.

Media telah menjadi alat untuk mengkritik pengekalan stereotype. Media dalam beberapa tahun
ini lebih sensitif terhadap pengaduan steretotyp, sehingga stereotype menerang perlahan
menghilang. Ironisnya, beberapa kritik ditujukan pada praktsisi media yang menampilkan
penggambaran nonstreotypikal. Sebagai contoh, kritikan pada film spike Lee Do the right thing.
Pemerhati film mengobservasi dalam lingkungan tersebut tidak dipenuhi oleh pecandu dan
pengendar narkoba. Kritikan ini mengabaikan fakta bahwa jutaan orang kulit hitam di Amerika
tidak hidup dalam lingkungan gangster dan narkoba.

Meskipun demikian, media profesional tetap harus berjuang melawan dilema moral saat
merespon obyek untuk menyatakan kebenaran atau penggambaran yang tidak realistis. Dengan
kata lain stereotyping dalam media tak dapat dielakan. Tapi media harus berani mengungkapkan
kebenaran atas ketidakadilan di masyarakat.
http://msagush.wordpress.com/2009/02/03/stereotypes-in-media-communication/

Saat kita pertama kali bertemu orang, bertanya sedikit tentang dirinya, dan kemudian ketika kita
tahu misalnya dia berasal dari suku tertentu, maka satu informasi tentang suku itu akan kita
lekatkan kuat-kuat pada orang tersebut?

Misal, kita baru saja berkenalan dengan orang, ngobrol sebentar, dan mendapat informasi bahwa
ia orang Jawa. Apa yang selanjutnya ada di kepala kita?
"Oh, dia orang jawa, berati orangnya tekun, ulet, rajin, setia, keras, keukeuh, maunya menang,
maunya memimpin, dll [misalnya].

Yah, kira-kira seperti itulah gambaran sebuah stereotype, dan hallo effect.

Untuk lebih jelasnya, STEREOTYPE adalah prasangka yang kita lekatkan pada seseorang,
hanya berdasarkan pada sedikit informasi tentang diri pribadi / individu tersebut. Kita lebih
banyak mengaitkan dia berdasarkan citra umum tentang sedikit informasi tersebut. Stereotype
biasanya adalah pandangan umum, 'kesan yg buruk / jelek/ konotasinya negatif'.

Misalnya, apa yg kita tau tentang orang jawa, orang padang, orang papua, dan macam2 suku
tertentu - itu semua adalah informasi umum yang kita dapat entah darimana saja dan sebenarnya
kita sendiri juga belum tentu mengalami secara langsung.. tapi kita percaya dengan image umum
itu. dan kita mengasosiasikan individu yang melekat ke kelompok-kelompok itu dengan
pandangan umum tersebut.

Padahal secara individu, orang tersebut bisa jadi memiliki sifat yang benar-benar sangat jauh
berbeda / malah bisa bertolak belakang dengan stereotype itu. Bisa saja dia memang turunan
jawa, tapi lahir dan besar di tanah betawi plus lingkungan teman-temannya asli betawi semua
bahkan bisa juga dia sama sekali tidak mengetahui budaya jawa, pada akhirnya. Bisa Terjadi.
Tapi saat kita baru mengenal orang, seringkali kita mengabaikan kemungkinan itu. Kita hanya
percaya pada anggapan umum yang salah [stereorype] itu.

Demikian pula cara kerja 'hallo effect'. Kalau stereorype lebih sering dikonotasikan negatif, hallo
effect kebalikannya. Jika kita pertama kali melihat orang yang ganteng /cantik. rapih, wangi, dan
tampak terpelajar, maka kita akan cenderung percaya dan melekatkan segala sifat positif pada
orang tersebut.
Buktinya, banyak orang yang tertipu oleh pencopet yang bergaya seperti direktur,kan..?

Kalau kita lihat orang ganteng / cantik, tampilan ramah, rapi, wangi, kita cenderung menganggap
mereka orang yang bisa dipercaya. Kita cenderung lebih merasa comfort berada dekat orang yg
seperti ini penampilannya, ketimbang orang yang wajahnya tampak galak plus tampilan lusuh.
Padahal bisa jadi penjahat sebenarnya adalah yang gayanya 'oke bgt' itu...
Itulah the power of hallo effect. Persona stimuli yang sudah kita senangi dan mempunyai
kategori tertentu yang positif, dan pada kategori itu disimpan semua sifat yang baik.

Itulah pentingnya first impression. Untuk mengesankan si hallo effect ini.

Menurut kamus besar bahasa Indonesia : Stereotype adalah konsepsi mengenai sifat suatu
golongan berdasakan prasangka subjectif dan tidak tepat.
Tentu saja Sterotype ini berasal dr Bahasa Inggris ; Jelasnya Stereotype adalah suatu gambaran
atau gagasan tentang suatu pribadi/suku tertentu atau barang tertentu dimana hal itu telah
menjadi ketetapan/ketentuan yang dipegang/diyakini secara luas.

Anda mungkin juga menyukai