Anda di halaman 1dari 4

Institusi Pelayanan Kesehatan

Pengertian
Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan per- orangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan
dan gawat darurat. Rumah Sakit sebagai salah satu institusi pelayanan publik harus dapat
memberikan pelayanan yang bermutu sesuai dengan standar.
Pemerintah sudah mengeluarkan beberapa regulasi yang mengatur tentang pelayanan
di rumah sakit sebagaimana yang tercantum dalam dasar hukum dibawah ini, maka
selanjutnya perlu diatur status rumah sakit melalui penetapan kelas dengan SK Menteri Ke-
sehatan dan registrasi rumah sakit di Kementerian Ke-sehatan.
Upaya pemerintah dalam mewujudkan akuntabilitas pelayanan masyarakat dan
penataan kelembagaan untuk mencapai Good Governance adalah dengan penataan
birokrasi dengan pelayanan publik yang lebih efektif, efisien sesuai dengan kebutuhan dan
sesuai dengan standar yang telah ditentukan. Pelaksanaan pelayanan ini dilakukan melalui
mekanisme satu pintu yang disebut dengan pusat pelayanan terpadu. Pelaksanaan pelayanan
terpadu penetapan kelas dan registrasi rumah sakit merupakan upaya Kementerian Kesehatan
memperpendek birokrasi pelayanan yang panjang dan kurang efisien.
Kebijakan pemerintah dalam penetapan kelas dan registrasi rumah sakit RS diarahkan
untuk peningkatan akses, keterjangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan yang aman di
RS melalui pembangunan sarana dan prasarana RS di daerah sesuai dengan
standar.Kebijakan di bidang kesehatan merupakan Tindakan yang diambil oleh pemerintah
untuk menyelamatkan dan meningkatkan kesehatan serta memberikan pelayanan kesehatan
pada masyarakat.Adapun kebijakan yang di berikan yaitu:
1. Kepmenkes RI 450/MENKES/SK/IV 2004 tentang pemberian ASI secara eklusif bagi bayi
di Indonesia sejak lahir sampai usia 6 bulan dan dianjurkan sampai anak berusia 2 tahun.
Yaitu dengan pemberian makanan tambahan yg sesuai dan semua tenaga kesehatan
yang bekerja disarana kesehatan agar menginformasikan kepada semua ibu melahirkan agar
memberikan ASI eklusive dengan mengacu pada 10 langkah keberhasilan menyusui.
2. Target MDG4 adalah menurunkan angka kematian ibu dan bayi menjadi 2/3 dalam kurun
waktu 1990 2015.
Penyebab utama kematian bayi dan balita adalah diare dan pneumonia dan lebih dari
50% kematian balita didasari oleh kurang gizi. Pemberian ASI secara eklusif selama 6 bulan
dan diteruskan sampai usia 2 tahun disamping pemberian makanan pendamping ASI (MP
ASI) secara adekuat terbukti merupakan salah satu intervensi efektif dapat menurunkan AKB.
3. UU No.23 tahun 1992 tentang kesehatan, terutama dalam Bab V. Perlindungan
kesehatan reproduksi sebagai pencegahan penyakit infeksi menular pada ibu dan
anak.
Visi dan Misi Departemen Kesehatan yaitu meningkatnya akses masyarakat terhadap
pelayanan kesehatan yang berkualitas, maka untuk mencapai upaya tersebut adalah :
1. Pelayanan Kesehatan Dasar yang terdiri dari :
a. Pelayanan Kesehatan ibu dan anak :
Kebijakan tentang KIA secara khusus berhubungan dengan pelayanan antenatal,
persalinan, nifas dan perawatan bayi baru lahir yang diberikan di semua fasilitas kesehatan,
dari posyandu sampai rumah sakit pemerintah maupun fasilitas kesehatan swasta.
Pelayanan antenatal merupakan pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan
profesional (dokter spesialis kandungan dan kebidanan, dokter umum, bidan dan perawat)
seperti pengukuran berat badan dan tekanan darah, pemeriksaan tinggi fundus uteri, imunisasi
Tetanus Toxoid (TT) serta pemberian tablet besi kepada ibu hamil selama masa
kehamilannya sesuai pedoman pelayanan antenatal yang ada dengan titik berat pada kegiatan
promotif dan preventif. Hasil pelayanan antenatal dapat dilihat dari cakupan pelayanan ibu
hamil K1 dan K4.
b. Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan dengan kompetensi Kebidanan.
Komplikasi dan kematian ibu maternal serta bayi baru lahir sebagian besar terjadi
pada masa di sekitar persalinan. Hal ini antara lain disebabkan pertolongan tidak dilakukan
oleh tenaga kesehatan yang mempunyai kompetensi kebidanan (profesional). Cakupan
pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan sebesar 70,62 % - 77,21 %.
c. Deteksi Resiko, Rujukan Kasus Resti dan Penanganan Komplikasi.
Kegiatan deteksi dini dan penanganan ibu hamil berisiko/komplikasi kebidanan perlu
lebih ditingkatkan baik di fasilitas pelayanan KIA maupun di masyarakat. Deteksi risiko oleh
tenaga kesehatan pada tahun 2007 sebesar 46,17% sedangkan deteksi risiko oleh masyarakat
(kader, tokoh masyarakat,dll) sebesar 22,08%.
Resti komplikasi adalah keadaan penyimpangan dari normal yang secara langsung
menyebabkan kesakitan dan kematian ibu maupun bayi. Resti/komplikasi kandungan
meliputi Hb <> 140 mmHg, diastole > 90 mmHg). Oedeme nyata, ekslampsia, perdarahan
pervaginam, ketuban pecah dini, letak lintang pada usia kehamilan > 32 minggu, letak
sungsang pada primigravida, infeksi berat/sepsis, persalinan prematur.
2. Pelayanan Keluarga Berencana (KB)
Masa subur seorang wanita memiliki peranan penting bagi terjadinya kehamilan
sehingga peluang wanita melahirkan menjadi cukup tinggi. Menurut hasil penelitian, usia
subur seorang wanita terjadi antara usia 15-49 tahun. Oleh karena itu untuk mengatur jumlah
kelahiran atau menjarangkan kelahiran, wanita/ pasangan lebih diprioritaskan untuk
menggunakan alat/cara KB.
Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2007, persentase wanita berumur
10 tahun keatas yang pernah kawin dengan jumlah anak yang dilahirkan hidup terbesar
adalah 2 orang (23,02%), 1orang (19,52%) dan 3 orang (17,11%). Sedangkan rata-rata
jumlah anak lahir hidup per wanita usia 15-19 tahun adalah 1,79 untuk daerah perkotaan dan
1,98 di pedesaan.
3. Pelayanan Imunisasi
Kegiatan imunisasi rutin meliputi pemberian imunisasi untuk bayi 0-1 tahun
(BCG,DPT, Campak, Polio, HB), imunisasi untuk wanita usia subur/ibu hamil TT dan
imunisasi untuk anak SD (kelas 1; DT dan kelas 2-3; TT), sedangkan kegiatan imunisasi
tambahan dilakukan atas dasar ditemukannya masalah seperti desa non UCI, potensial/resti
KLB, ditemukan/diduga adanya virus polio liar atau kegiatan lainnya berdasarkan kebijakan
teknis.
Pencapaian UCI pada dasarnya merupakan proksi terhadap cakupan atas imunisasi
secara lengkap pada kelompok bayi. Bila cakupan UCI dikaitkan dengan batasan suatu
wilayah tertentu, berarti eilayah tersebut tergambarkan besarnya tingkat kekebalan
masyarakat atau bayi (herd immunity) terhadap penularan penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi (PD31). Dalam hal ini pemerintah menargetkan pencapaian UCI pada
wilayah administrasi desa dan kelurahan. Pencapaian UCI pada tahun 2007 sebesar 71,18 %
dengan target nasional UCI 80%.
Adapun Program-program kebijakan pemerintah terhadap kesehatan ibu dan anak di
Indonesia yang sedang berlangsung diantara meliputi :
1.Perawatan Penyakit Anak yang Terpadu (IMCI)
2. Rencana Kesehatan Remaja Nasional
2.2.2 Faktor yang mempengaruhi kemunduran pelaksanaan kebijakan:
a) Pemda Dinas kesehatan
Tidak semua pemda menindaklanjuti secara kongkrit peraturan tentang pemberian ASI
eklusif melalui 10 langkah keberhasilan menyusui, misalkan dalam perda (termasuk reward
dan sangsi bagi yang melaksanakannya), penganggaran dalam APBD misalnya untuk
pelatihan-pelatihan untuk petugas kesehatan dan promosi.
b) Petugas kesehatan (bidan, perawat, dokter)
Masih banyak petugas kesehatan yang belum menjalankan kebijakan ini. Petugas
kesehatan sangat berperan dalam keberhasilan proses menyusui, dengan cara memberikan
konseling tentang ASI sejak kehamilan, melaksanakan inisiasi menyusui dini (IMD) pada
saat persalinan dan mendukung pemberian ASI dengan 10 langkah kebehasilan menyusui.
Beberapa hambatan kurang berperannya petugas kesehatan dalam menjalankan kewajibannya
dalam kontek ASI ekslusif lebih banyak karena kurang termotivasinya petugas untuk
menjalankan peran mereka disamping pengetahuan konseling ASI yang masih kurang.
c) Promosi produsen susu formula.
Meskipun sudah ada peraturan dan kode etik tentang pemasaran susu formula, tetapi
dalam pelaksanaanya masih ada produsen yang tidak melaksanakan secara benar. Gencarnya
promosi produsen susu formula baik untuk publik maupun untuk petugas kesehatan (dengan
memberikan bantuan untuk kegiatan ilmiah) menghambat pemberian ASI ekslusif.

d) Ibu bekerja
Dengan semakin banyaknya prosentasi ibu menyususi yang bekerja akan menghambat
praktek pemberian ASI ekslusif. Meskipun sudah ada SKB bersama 3 menteri tentang hak
ibu bekerja yang menyusui dalam prakteknya tidak semua tempat kerja mendukung praktek
pemberian ASI
e) Ibu dengan HIV positif
Pemberian ASI pada ibu dengan HIV positif didasarkan kalkulasi antara kerugian dan
manfaat penghentian atau melanjutkan pemberian ASI, yaitu kemungkinan anak tertular/
terinfeksi virus HIV dari ASI dan kerugian akibat anak tidak mendapat ASI syang berakibat
meningkatkan risiko terjadinya diare, pneumonia, kurang gizi dan infeksi lain. Sebelumnya
WHO merekomendasikan salah satu cara dalam Preventive mother to child transmission
(PMCT) adalah menghentikan pemberian ASI kecuali bila susu formula tidak memenuhi
syarat affordable, accessabel, safety, sustainable (AFASS). Penelitian terbaru membuktikan
bahwa pemberian ARV pada ibu hamil lebih awal dan dilanjutkan selama menyusui terbukti
dapat mencegah transmisi virus HIV melalui ASI, sehingga WHO (2009) merekomendasikan
pemberian ASI pada ibu yang telah yang telah mendapat ARV profilaksi.
f) Kondisi darurat misalnya bencana.
Pada kondisi yang darurat pemberian ASI menjadi lebih penting karena sangat
terbatasnya sarana untuk penyiapan susu formula, seperti air bersih, bahan bakar dan
kesinambungan ketersediaan susu formula dalam jumlah yang memadai. Pemberian susu
formula akan meningkatkan risiko terjadinya diare, kekurangan gizi dan kematian bayi. Bila
mendapat sumbangan susu formula, maka distribusi maupun penggunaannya harus di
monitor oleh tenaga yang terlatih, dan hanya boleh diberikan pada keadaan sangat terbatas,
yaitu: telah dilakukan penilaian terhadap status menyusui dari ibu, dan relaktasi tidak
memungkinkan, diberikan hanya kepada anak yang tidak dapat menyusu, misalnya: anak
piatu, bagi bayi piatu dan bayi yang ibunya tidak lagi bisa menyusui, persediaan susu formula
harus dijamin selama bayi membutuhkannya, dan harus diberikan konseling pada ibu tentang
penyiapan dan pemberian susu formula yang aman, dan tidak boleh dengan menggunakan
dot. Belajar dari pengalaman tsunami di Aceh dan gempa di DIY, bantuan susu formula
menyebabkan turunnya pencapaian ASI eklusif.

2.2.3 Upaya Kebijakan dan Strategi Nasional dalam Kesehatan Reproduksi di Indonesia
Dalam rangka mencapai tujuan kesehatan reproduksi perlu disusun kebijakan dan
strategi umum yang dapat memayungi pelaksanaan upaya seluruh komponen kesehatan
reproduksi di Indonesia. Upaya penanganan kesehatan reproduksi harus dilaksanakan dengan
memperhatikan nilai-nilai agama dan budaya/norma kemasyarakatan dan kegiatannya
diarahkan untuk peningkatan kualitas hidup manusia.

a.Upaya Kebijakan Umum


1) Menempatkan upaya kesehatan reproduksi menjadi salah satu prioritas Pembangunan
Nasional.
2) Melaksanakan percepatan upaya kesehatan reproduksi dan pemenuhan hak reproduksi ke
seluruh Indonesia.
3) Melaksanakan upaya kesehatan reproduksi secara holistik dan terpadu melalui pendekatan
siklus hidup.
4) Menggunakan pendekatan keadilan dan kesetaraan gender di semua upaya kesehatan
reproduksi.
5) Menyediakan pelayanan kesehatan reproduksi berkualitas bagi keluarga miskin.

b.Upaya Strategi Umum


1) Menempatkan dan memfungsikan Komisi Kesehatan Reproduksi (KKR) pada tingkat
Menteri Koordinator serta membentuk KKR di provinsi dan kabupaten/kota.
2) Mengupayakan terbitnya peraturan perundangan di bidang kesehatan reproduksi.
3) Meningkatkan advokasi, sosialisasi dan komitmen politis di semua tingkat.
4) Mengupayakan kecukupan anggaran dana pelaksanaan kesehatan reproduksi.
5) Masing-masing penanggungjawab komponen mengembangkan upaya kesehatan reproduksi
sesuai ruang lingkupnya dengan menjalin kemitraan dengan sektor terkait, organisasi profesi
dan LSM.

Anda mungkin juga menyukai