Anda di halaman 1dari 21

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bronkitis kronik adalah Kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak
minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut - turut, tidak
disebabkan penyakit lainnya.(PDPI, 2003)
Bronkitis kronis adalah suatu kondisi peningkatan pembengkakan dan
lendir (dahak atau sputum) produksi dalam tabung pernapasan (saluran udara). Obstruksi
jalan napas terjadi pada bronkitis kronis karena pembengkakan dan lendir ekstra
menyebabkan bagian dalam tabung pernapasan lebih kecil dari normal. Diagnosis
bronkitis kronis dibuat berdasarkan gejala batuk yang menghasilkan lendir atau dahak di
hampir setiap hari, selama tiga bulan, selama dua tahun atau lebih (setelah penyebab lain
untuk batuk telah dikeluarkan). (PDPI, 2003)
Bronkitis kronis didefinisikan sebagai batuk produktif persisten selama
paling sedikit 3 bulan berturut-turut pada paling sedikit 2 tahun berturut-turut. (Robin,
2007)

1.2 Batasan Masalah

Referat ini membahas mengenai rhinosinusitis dengan komplikasinya meliputi anatomi,

patofisiologi, diagnosa, pemeriksaan penunjang, diagnosa banding, penatalaksanaan.

1.3 Tujuan Penulisan

[Type text] Page 1


Tujuan penulisan referat ini adalah unutk memahami mengenai anatomi, patofisiologi, diagnosa,

pemeriksaan penunjang, diagnosa banding, penatalaksanaan.

1.4 Metode Penulisan

Referat ini disusun berdasarkan studi kepustakaan dengan merujuk ke berbagai literatur.

BAB II

PEMBAHASAAN

2.1 ANATOMI

2.2 ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO


1. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih
penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan riwayat merokok perlu
diperhatikan :
- Riwayat merokok
Perokok aktif
Perokok pasif
Bekas perokok
- Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata
batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun :
Ringan : 0-200
Sedang : 200-600
Berat : >600
2. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja
3. Hipereaktivitis bronkus
4. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang
5. Defisiensi antitripsin alfa - 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia (PDPI, 2003)

[Type text] Page 2


Faktor etiologi utama adalah merokok dan polusi udara yang lazim di daerah
industri. Polusi udara yan terus menerus juga merupakan predisposisi infeksi rekuren karena
polusi memperlambat aktivitas silia dan fagositsis, sehingga timbunan mukus menigkat
sedangkan mekanisme pertahanannya sendiri melemah. (Price dan Wilson, 2006)
Faktor risiko utama untuk bronkitis kronik adalah merokok . Seperti disebutkan
sebelumnya, kumulatif 30 tahun kejadian bronkitis kronik pada perokok saat ini adalah 42 %.
Namun, perlu dicatat bahwa CB telah dijelaskan dalam 4 sampai 22% dari non perokok
menunjukkan bahwa faktor risiko lain mungkin ada. faktor risiko potensial lainnya termasuk
eksposur inhalasi untuk bahan bakar biomassa, debu, dan asap kimia. Potensi risiko lain
Faktor untuk CB adalah adanya gastroesophageal reflux, mungkin dengan aspirasi paru
direfluks isi lambung memproduksi cedera asam - diinduksi dan infeksi atau neurally
dimediasi bronkokonstriksi refleks sekunder iritasi kerongkongan mukosa. (American Journal
Of Respiratory And Critical Care Medicine, 2013)

2.3 PATOGENESIS
Gambaran khas pada bronkitis kronis adalah hipersekresi mukus, yang dimulai di
saluran nafas besar. Meskipun faktor penyebab terpenting adalah merokok, polutan udara lain,
seperti sulfur dioksida dan nitrogen dioksida, juga berperan. Berbagai iritan ini memicu
hipersekresi kelenjar mukosa bronkus, menyebabkan hipertrofi kelenjar mukosa, dan
menyebabkan pembentukan metaplastik sel goblet penghasil musin di epitel permukaan
bronkus. Selain itu, zat tersebut juga menyebabkan peradangan dengan infiltrasi sel T CD8+,
makrofag, dan neutrofil. Berbeda dengan asma, pada bronkitis kronis eosinofil jarang
ditemukan, kecuali jika pasien mengidap bronkitis asmatik. Dipostulasikan bahwa banyak
efek iritan lingkungan pada epitel pernafasan diperantarai melalui reseptor faktor
pertumbuhan epidermis. Sebagai contoh, transkripsi gen musin MUC5AC, yang meningkat
sebagai akibat terpajan asap tembakau, baik in vitro maupun in vivo pada model
eksperimental, sebagian diperantarai oleh jalur reseptor faktor pertumbuhan epidermis. Infeksi
mikroba sering terjadi, tetapi hanya berperan sekunder, terutama dengan mempertahankan
peradangan dan memperparah gejala. (Robin, 2007)
Temuan patologis utama pada bronkitis kronik adalah hipertrofi kelenjar mukosa
bronkus dan peningkatan jumlah dan ukuran sel-sel goblet, dengan infiltraasi sel-sel radang

[Type text] Page 3


dan edema mukosa bronkus. Pembentukan mukus yang meningkat mengakibatkan gejala khas
yaitu batuk kronis. Batuk kronik yang disertai peningkatan sekresi bronkus tampaknya
mempengaruhi bronkiolus kecil sehingga bronkiolus tersebut rusak dan dindingnya melebar.
Faktor etiologi utama adalah merokok dan polusi udara yang lazim di daerah industri. Polusi
udara yan terus menerus juga merupakan predisposisi infeksi rekuren karena polusi
memperlambat aktivitas silia dan fagositsis, sehingga timbunan mukus menigkat sedangkan
mekanisme pertahanannya sendiri melemah. (Price dan Wilson, 2006)
Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus, metaplasia
sel goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat fibrosis. (PDPI,
2003)
Berbagai faktor risiko untuk terjadinya bronkitis kronis (merokok, polusi udara,
infeksi berulang, dll) menimbulkan kondisi inflamasi pada bronkus. Perubahan patologi yang
terjadi pada trakea, bronki dan bronkiolus terus sampai ke saluran napas kecil (diameter 2-4
mm) berupa infiltrasi permukaan epitel jalan napas, kelenjar duktus, kelenjar-kelenjar dengan
eksudat inflamasi (sel dan cairan) yang didominasi oleh sel T limfosit (CD8+), makrofag dan
neutrofil. Proses inflamasi kronik itu berhubungan dengan metaplasia sel goblet dan sel
squamosa dari epitelium, peningkatan ukuran epitelepitel kelenjar, peningkatan banyak otot
polos dan jaringan penunjang pada dinding jalan napas, serta degenerasi tulang rawan jalan
napas. Semua perubahan patologi itu bertanggung jawab terhadap gejala pada bronkitis kronis
yaitu batuk kronik dan produksi sputum berlebihan seperti yang dijelaskan sebagai definisi
bronkitis kronis dengan kemungkinan berkombinasi dengan masalah jalan napas perifer dan
emfisema.(National Heart, Lung, Blood Institute 2001)

Mediator
LTB4
Sel Il-8-GRO
Makrofag MCP-1,MIP-
Neutrofil GM-CSF
CD8 + Endotelin Efek
limfosit Substance P Hipersekresi
Eosinofil mucus
Sel epithelial Fibrosis
Proteinase Dinding alveolar
Neutrofil Destruksi
[Type text] elastase Page 4
Catepsin
Proteinase
MMP
Inflamasi melibatkan berbagai sel, mediator dan menimbulkan berbagai efek. Selmakrofag
banyak didapatkan di lumen jalan napas, parenkim paru dalam cairan kurasan bronkoalveolar
(BAL). Makrofag mempunyai peran penting pada proses inflamasi tersebut. Aktivasi
makrofag menghasilkan TNF- dan berbagai mediator inflamasi lainnya serta protease
sebagai respons terhadap asap rokok dan polutan. Mediator inflamasi tersebut sebagian
bersifat kemokin dan bertanggung jawab terhadap kemotaktik dan aktivasi sel neutrofil.
Selain makrofag, sel limfosit T dan neutrofil berperan pada inflamasi ini sehingga
terjadi berbagai mediator dan sitokin (perforin, granzyme-B, TNF- oleh limfosit T dan II-8,
LTB4, GM-CSF oleh neutrofil) yang saling berinteraksi dan menimbulkan proses inflamasi
kronik. Neutrofil yang teraktivasi meningkat terbukti pada sputum dan cairan BAL penderita
PPOK ataupun bronkitis kronis dan semakin meningkat pada saat eksaserbasi akut. Peran
nuertrofil pada bronkitis kronis adalah berkontribusi pada hipersekresi mukus melalui
produknya metease-protease dan juga destruksi parenkim pada PPOK. Neutrofil
mengeluarkan elastase dan proteinase-3 yang merupakan mediator yang poten untuk
merangsang produksi mukus sehingga terlibat dalam hipersekresi mukus yang kronik.
(National Heart, Lung, Blood Institute 2001)
Mediator inflamasi yang terlibat pada bronkitis kronis/PPOK adalah.
o Faktor hemotaktik
Mediator lipid misalnya LTB4 & limfosit T menarik neutrofil
Kemokin misalnya Il-8 menjadi neutrofil
o Sitokin inflamasi misalnya TNF-, IL-I, IL-6, meningkatkan proses inflamasi dan
berefek pada inflamasi sistemik.
o Faktor pertumbuhan misalnya TGF- menimbulkan fibrosis pada saluran napas kecil.
Mekanisme pertahanan paru/saluran napas yang sangat kompleks meliputi
mekanik, imuniti alamiah, imuniti humoral yang didapat, baik dari saluran napas atas dan
bawah. Selain itu juga melimbatkan mekanisme pertahanan parenkim (alveoli) dan imuniti
selular didapat khususnya pada saluran napas bawah. Imunoglobulin (Ig) A sekretori
merupakan Ig yang berperan pada saluran napas disebabkan fungsinya sebagai barier pada
epitel saluran napas mencegah penetrasi antigen ke dalam mukosa selain fungsi sebagai
antibodi pada umumnya kecuali tidak untuk merangsang komplemen aktivasi sebagaimana
peran IgG. Asap rokok/polusi udara melemahkan mekanisme pertahanan saluran napas antara
lain melalui pengaruhnya terhadap ekspresi reseptor polimerik Ig yang mengakibatkan
penurunan produksi komponen sekretori juga IgA sekretori dan melemahkan transport

[Type text] Page 5


komponen sekretori yang mengakibatkan rendahnya kadar IgAs dalam lumen saluran napas.
Hal itu menyebabkan penurunan mekanisme pertahanan saluran napas menimbulkan
mudahnya kolonisasi bakteri menimbulkan refluks neutrofil dan degradasi IgAs oleh neutrofil
maupun produk-produk bakteri. Sehingga kejadian menimbulkan inflamasi, juga semakin
melemahkan mekanisme pertahanan, memudahkan infeksi kronik dan meningkatkan jumlah
neutrofil dan seterusnya.

2.4 DIAGNOSIS
1. ANAMNESIS
Keluhan dan gejala-gejala klinis Bronkitis Kronis adalah sebagai berikut:
- Batuk yang sangat produktif, purulen dan mudah memburuk dengan inhalasi iritan,
udara dingin atau infeksi
- produksi mucus dalam jumlah yang sangat banyak
- dyspnea, Sesak napas. Sesak bersifat progresif (makin berat) saat beraktifitas. Dyspnea
penyebab utama kecacatan dan kecemasan terkait dengan luas mengi inspirasi atau
ekspirasi. Pasien menggambarkan Dada sesak sering sebagai rasa peningkatan upaya
untuk bernapas
- riwayat merokok, paparan zat iritan di tempat kerja
- Adakalanya terdengar suara mengi (ngik-ngik).
- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah
(BBLR), infeksisaluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara
(Alburquerque Journal dan PDPI, 2003)

2. PEMERIKSAAN FISIK
Pada stadium awal, pasien belum ada keluhan. Pada stadium yang lebih lanjut,
didapatkan fase ekspirasi yang memanjang dan mengi. Didapatkan juga tanda-tanda
hiperinflasi seperti barrel chest dan hipersonor pada perkusi. Pasien yang dengan obstruksi
jalan nafas berat akan menggunakan otot-otot pernafasan tambahan duduk dalam posisi
tripod.Didapatkan juga sianosis pada bibir dan kuku pasien.
a) Inspeksi
Pursed lips breathing.
Barrel chest
Penggunaan otot bantu pernafasan
Hipertrofi otot bantu pernafasan
JVP meningkat
Edema tungkai bawah

[Type text] Page 6


Penampilan blue bloater. Gambaran khas bronchitis kronis, gemuk, sianosis,
edema tungkai dan ronki basah di basal paru. Sianosis di sentral dan perifer.
b) Palpasi
Fremitus melemah
c) Perkusi
Hipersonor
d) Auskultasi
Suara nafas vesikuler normal atau melemah
Ronki dan mengi saat nafas biasa atau eskpirasi paksa
Eskpirasi memanjang
Bunyi jantung terdengar jauh (PDPI, 2003)

3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a) Pemeriksaan laboratorium
- Darah rutin : Hb, Ht dan leukosit boleh didapatkan meningkat (Robin. 2006)
- Analisa gas darah : hipoksia dan hiperkapnia
b) Pemeriksaan faal paru
- Spirometri : Ditemukan adanya penurunan kapasitas vital (VC) dan volume
ekspirasi kuat (FEV) serta peningkatan volume residual (RV) dengan kapasitas paru
total (TC) normal atau meningkat.
c) Radiologi
Rontgen thorax (PA/Lateral)
- Corakan bronkovaskuler meningkat
- Tram-track appearance : penebalan dinding bronkial

[Type text] Page 7


[Type text] Page 8
2.5 DIAGNOSIS BANDING

Bronkitis kronik Onset pada usia dewasa

Gejala perlahan progresif

Riwayat merokok atau terpapar asap rokok atau zat iritan lain

Asma Onset usia dini

Gejala bervariasi dari hari ke hari

Gejla pada waktu malam/dini hari lebih menonjol

[Type text] Page 9


Dapat ditemukan alergi/rhinitis/eczema

Riwayat asma dalam keluarga

Hambatan aliran udara biasnya reversibel

Gagal jantung Riwayat hipertensi


kongestif
Ronki basah halus di basal paru

Gambaran foto toraks cardiomegali dan edema paru

Pemeriksaan faal paru restriksi bukan obstruksi

Bronkiektasis Sputum purulen dalam jumlah banyak

Sering berhubungan dengan infeksi bakteri

Ronki basah kasar dan jari tabuh

Gambaran foto toraks Nampak honeycomb appearance dan


penebalan dinding bronkus

TBC Onset di semua usia

Gambaran foto toraks infiltrate

Konfirmasi mikrobiologi (BTA)

Sindrom Riwayat pengobatan anti TB adekuat


obstruksi pasca
Gambaran foto toraks bekas TB : fibrotic dan kalsifikasi minimal
TB
Pemeriksaan faal paru menunjukkan obstruksi yang tidak
reversibel

Bronkiolitis Usia muda


obliterasi
Tidak merokok

Mungkin ada riwayat arthritis rematoid

[Type text] Page 10


CT paru ekspirasi terlihat gambaran hipodens

Diffuse Sering pada perempuan tidak merokok


bronchiolitis
Seringkali berhubungan dengan sinusitis

Rontgen dan CT paru resolusi tinggi memperlihatkan bayanagn


diffuse nodul opak sentrilobular dan hiperinflasi

(GOLD, 2013)

2.6 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan umum pada bronkitis kronik bertujuan memperbaiki kondisi
tubuh penderita, mencegah perburukan penyakit, menghindari faktor risiko dan mengenali
sifat penyakit secara lebih baik. Termasuk dalam penatalaksanaan umum ini adalah
pendidikan buat penderita untuk mengenal penyakitnya lebih baik, menghindari polusi,
menghentikan kebiasaan merokok, menghindari infeksi saluran napas, hidup dalam
lingkungan yang lebih sehat, makanan cukup gizi dan mencukupi kebutuhan cairan.
Penatalaksanaan khusus dilakukan untuk mengatasi gejala dan komplikasi.
Tindakan ini berupa pemberian obat-obatan, terapi respirasi dan rehabilitasi.
Tujuan utama terapi harus menargetkan perbaikan gejala, seperti :
o Mengurangi kelebihan lendir
o Penurunan hipersekresi lendir dengan mengendalikan peradangan ;
o Memfasilitasi penghapusan lendir
o Modifikasi batuk
Tujuan ini dapat dicapai oleh sejumlah farmakologis dan sarana nonfarmakologis
Usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk memperlambat perjalanan penyakit
adalah:

Menghentikan kebiasaan merokok.

Menghindari polusi udara dan kerja di tempat yang mempunyai risiko terjadinya iritasi
saluran napas.

Menghindari infeksi dan mengobati infeksi sedini mungkin agar tidak terjadi eksaserbasi
akut.

[Type text] Page 11


Menegakkan diagnosis secara dini agar kelainan paru yang masih reversibel dapat
dideteksi sehingga usaha-usaha untuk menghindari penyakit berlanjut menjadi kelainan
yang ireversibel dapat dilakukan.

1. Non-Medikamentosa
a. Menghindari Rokok
Berhenti merokok dapat meningkatkan batuk pada banyak pasien dengan
bronkitis kronik dengan meningkatkan fungsi mukosiliar dan sel goblet dengan
menurunkan hiperplasia. Berhenti merokok juga telah terbukti mengurangi cedera
saluran napas dan menurunkan kadar lendir di dikelupas sel tracheobronchial dahak
dibandingkan dengan mereka yang terus merokok. Sebuah studi lanjutan longitudinal
besar ditemukan bahwa tingkat kejadian CB jauh lebih tinggi di saat perokok
dibandingkan dengan mantan perokok (American Journal Of Respiratory And Critical
Care Medicine, 2013)
Merokok merupakan penyebab utama PPOK dan berhenti merokok merupakan
terapi yang sejauh ini dapat mengurangi progeresiviti penyakit. Proses inflamasi di
jaringan masih terus berlangsung walaupun sudah berhenti merokok. Kecanduan
nikotin merupakan masalah utama yang menjadi target terapi. Terapi pengganti nikotin
hanya menunjukkan keberhasilan 5-15%. Saat ini sedang dikembangkan vaksin yang
mampu menetralisir nikotin dalam darah. Jorenby dkk. menemukan Bupropion yang
merupakan suatu anti depresan cukup berhasil bila digunakan sebagai terapi berhenti
merokok. Pemberian bupropion selama 6-9 minggu memberikan keberhasilan berhenti
merokok sebesar 18% dibandingkan dengan nikotin skin patch 9% dan plasebo 6%.
Obat ini ditoleransi dengan baik dan hanya menimbulkan efek samping berupa
serangan epilepsi sekitar 0,1% pada penderita. (PDPI, 2003)

b. Rehabilitasi
Rehabilitasi meliputi tindakan fisioterapi, rehabilitasi psikis dan
rehabilitasi pekerjaan. Fisioterapi dilakukan untuk mobilisasi dahak, latihan bernapas
menggunakan otot-otot dinding perut sehingga didapatkan kerja napas yang efektif.
Latihan relaksasi berguna untuk menghilangkan rasa takut dan cemas dan mengurangi
kerja otot yang tidak perlu. Rehabilitasi psikis perlu untuk menghilangkan rasa cemas
dan takut. (PDPI, 2003)

[Type text] Page 12


2. Medikamentosa
a. Mukolitik dan ekpetorat
Guaifenesin bekerja dengan peningkatan vagally dimediasi dalam jalan
napas. Meskipun telah ditunjukkan penggunaan jangka panjang umum guaifenesin
belum terbukti bermanfaat dalam COPD atau bronkitis kronik.

b. Methylxanthines and Short-Acting b-Adrenergic Receptor Agonists (SABA)


Keduanya meningkatkan mucus clearance oleh beberapa mekanisme :
Meningkatkan napas diameter luminal
Meningkatkan frekuensi beat silia melalui peningkatan intraseluler adenosin
siklik monofosfat tingkat
Meningkatkan lendir hidrasi dengan merangsang sekresi saluran napas Cl-
melalui aktivasi fibrosis kistik transmembran
regulator
Ini menurunkan viskositas mukus, memungkinkan untuk transportasi lebih mudah
dengan silia pernafasan. Pada percobaan dalam model hewan, jangka pendek b-agonis
dikaitkan dengan up regulation clearance mukosiliar. Demikian pula ,
methylxanthines meningkatkan mukosiliar tidak hanya melalui properti
bronchodilatory mereka tetapi
juga dengan merangsang frekuensi silia beat, menambah saluran napas
transport ion epitel untuk meningkatkan lendir hidrasi dan mempromosikan sekresi
lendir di saluran udara lebih rendah. Studi klinis theophylline di CB telah
menunjukkan fungsi paru-paru meningkat tapi tidak ada perubahan konsisten dalam
batuk dan produksi sputum. (American Journal Of Respiratory And Critical Care
Medicine, 2013)

c. Long-Acting b-Adrenergic Receptor Agonists


Efek dari long-acting - b adrenergik agonis reseptor ( LABAs )
pada fungsi mukosiliar telah dikaitkan dengan manfaatnya
efek pada fungsi paru-paru. LABAs juga mengurangi hiperinflasi
dan meningkatkan arus puncak ekspirasi, yang penting
komponen batuk. Bukti in vitro menunjukkan salmeterol yang dapat merangsang
ciliary beat frekuensi. Demikian pula, formoterol secara signifikan meningkatkan
bersihan mukosiliar dibandingkan dengan plasebo pada pasien dengan bronchitis.

[Type text] Page 13


d. Anticholinergics
Antikolinergik yang bekerja pada reseptor muscarinic dipercaya dapat membantu
mukus clearance oleh peningkatan diameter luminal
dan dengan menurunkan permukaan dan submukosa kelenjar sekresi musin. Mereka
juga dipercaya untuk memfasilitasi lendir batuk induced clearance. Namun,
antikolinergik mungkin bisa mengeringkan saluran nafas dengan depleting lendir
permukaan saluran napas, sehingga membuat pengeluaran dahak lebih sulit. In vivo ,
literatur
tidak mendukung penggunaan antikolinergik untuk pengobatan
CB. Bromide Ipratropium telah ditunjukkan untuk mengurangi kuantitas dan tingkat
keparahan batuk di bronchitics kronis namun tidak
efektif dalam meningkatkan pembersihan mukosiliar pada PPOK . di
sebuah studi dari 470 pasien dengan FEV1 39 % diprediksi , tiotropium
meningkatkan fungsi paru-paru , tetapi tidak mempengaruhi gejala batuk. Dalam studi
lain dari 39 pasien dengan COPD , tiotropium berkurang jumlah batuk , tapi
mukosiliar tidak diperbaiki. (American Journal Of Respiratory And Critical Care
Medicine, 2013)

e. Glucocorticoids
Ada bukti in vitro bahwa glukokortikoid mengurangi peradangan dan
produksi lendir. Dalam asma ,kortikosteroid inhalasi menurunkan hiperplasia sel
goblet. Deksametason juga telah terbukti menurunkan epitel ekspresi gen musin gen
MUC5AC di sel epitel bronkial manusia. Mereka juga dapat mempercepat
pembersihan mukosiliar. Kortikosteroid inhalasi dapat mengurangi frekuensi
eksaserbasi dan meningkatkan kualitas -hidup skor pada PPOK.

f. Phosphodiesterase-4 Inhibitors
Phosphodiesterase - 4 ( PDE - 4 ) penghambatan menurunkan peradangan
dan membuat relaksasi otot polos saluran napas dengan mencegah hidrolisis adenosin
monofosfat siklik untuk tidak aktif. Cilomilast dan roflumilast adalah second
generation sangat spesifik PDE - 4 inhibitor . Sebuah metaanalisis dari 23 acak uji
coba roflumilast atau cilomilast dibandingkan dengan placebo menemukan bahwa
pengobatan dengan inhibitor PDE - 4 hanya sedikit meningkat FEV1 ( 45.59 ml , 95 %

[Type text] Page 14


CI , 39,1-52,03 ) tetapi mengurangi kemungkinan eksaserbasi ( OR , 0,78 , 95 %
CI,0,72-0,85). Roflumilast signifikan meningkatkan prebronchodilator FEV1 dan
penurunan tingkat sedang sampai parah eksaserbasi dalam uji coba secara acak pasien
dengan COP . Dibandingkan dengan plasebo , roflumilast menurun eksaserbasi
sebesar 17 % ( 95 % CI , 8-25 % ) ( 109 ) . Dalam dua uji coba 24 - minggu, 933
pasien dengan PPOK sedang sampai berat secara acak ditugaskan untuk roflumilast
ditambah salmeterol atau salmeterol saja , dan 743 pasien secara acak ditugaskan
untuk roflumilast ditambah tiotropium atau tiotropium saja. Jadi, pada bronkitis kronik
PDE - 4 inhibitor mungkin memainkan peran preventif dalam mencegah
perkembangan eksaserbasi pada pasien dengan CB dan COPD .

g. Antioksidan
Oksidan yaitu zat yang terdapat pada asap rokok dan udara yang terpolusi
mempunyai andil untuk terjadinya bronkitis kronik.
Anti oksidan melindungi dan mempertahankan paru dari radikal-radikal anion
superoksid, hidrogen peroksid, radikal hidroksil dan anion hipohalida yang diproduksi
oleh sel radang. Anti oksidan dapat mengubah oksidan menjadi molekul yang tidak
berbahaya terhadap jaringan paru dan menekan efek radikal bebas dari asap rokok. N-
asetilsistein merupakan suatu antioksidan, yaitu sumber glutation.
Pemberian N-asetilsistein pada perokok dapat mencegah kerusakan parenkim
paru oleh efek oksidan yang terdapat dalam asap rokok. Di samping sebagai anti
oksidan, obat ini bersifat mukolitik yaitu mengencerkan sekret bronkus sehingga
mudah dikeluarkan. Pemberian N-asetilsistein selama enam bulan pada penderita
bronkitis kronik memberikan perbaikan dalam hal jumlah sputum, purulensi sputum,
banyaknya eksaserbasi dan lamanya hari sakit secara bermakna. (American Journal Of
Respiratory And Critical Care Medicine,2013)

h. Antibiotik
Terapi Antibiotik umumnya tidak diindikasikan untuk pasien
bronkitis kronik. Terapi macrolide telah Terbukti memiliki sifat anti inflamasi Dan
mungkin memiliki Peran Dalam pengobatan bronkitis kronik. Mereka telah Terbukti
dapat menghambat sitokin proinflamasi , menurunkan neutrofil Pecah , menghambat
Migrasi Dan peningkatan apoptosis, eosinophilic menurunkan peradangan,
meningkatkan Transportasi mukosiliar, mengurangi sel goblet sekresi. Dan penurunan

[Type text] Page 15


bronkokonstriksi. (American Journal Of Respiratory And Critical Care
Medicine,2013)

Tabel Obat-obatan yang digunkan pada Bronkitis Kronik

Obat Inhaler (g) Larutan Oral Vial Durasi


Nebulizer injeksi (jam)
(mg/ml) (mg)
Adrenergik (2-agonis)
Fenoterol 100-200 (MDI) 1 0,5% (sirup) 4-6
Salbutamol 100, 200 MDI&DPI 5 5mg (pil), 0,1 ; 0,5 4-6
0,24% (sirup)
Terbutaline 400,500 (DPI) 2,5 ; 5 (pil) 0,2; 0,25 4-6
Formoterol 4,5-12 MDI&DPI 12+
Salmeterol 25-50 MDI&DPI 12+
Antikolinergik
Ipatropium bromide 20,40(MDI) 0,25-0,5 6-8

Oxitropium bromide 100 (MDI) 1,5 7-9

Tiotropium 18(DPI) 24+

Methylxanthines
Aminophylline 200-600mg 240mg 24
(pil)
Theophylline 100-600mg 24
(pil)
Kombinasi adrenergik & antikolinergik
Fenoterol/Ipatropium 200/80 (MDI) 1,25/0,5 6-8
Salbutamol/Ipatropiu 75/15 (MDI) 0,75/4,5 6-8
m
Inhalasi Glukortikosteroid
Beclomethasone 50-400(MDI&DPI) 0,2-0,4
Budenosid 100,200,400(DPI) 0,20, 0,25, 0,5
Futicason 50-500(MDI &DPI)
Triamcinolone 100(MDI) 40 40
Kombinasi 2 kerja panjang plus glukortikosteroid dalam satu inhaler
Formoterol/Budenosid
e 4,5/160; 9/320 (DPI)

[Type text] Page 16


50/100,250,500(DPI)
Salmoterol/Fluticason
25/50,125,250(MDI
e
)
Sistemik Glukortikosteroid
Prednisone 5-60 mg(Pil)
4, 8 , 16 mg
Methy-Prednisone (Pil)

3 KLASIFIKASI BRONKITIS KRONIK


1. Berdasarkan klinis dibedakan menjadi 3 :
o Bronkitis kronis ringan ( simple chronic bronchitis), ditandai dengan batuk berdahak
dan keluhan lain yang ringan.
o Bronkitis kronis mukopurulen ( chronic mucupurulent bronchitis), ditandai dengan
batuk berdahak kental, purulen (berwarna kekuningan).
o Bronkitis kronis dengan penyempitan saluran napas ( chronic bronchitis with
obstruction ), ditandai dengan batuk berdahak yang disertai dengan sesak napas berat
dan suara mengi (Robin, 2007)

2. Bronkitid kronik eksaserbasi akut


a. Definis BKEA
Bronkitis kronik eksaserbasi akut ditandai dengan 3 kriteria klinis mayor
yaitu :
o peningkatan purulensi sputum (batuk dengan produksi sputum yang
purulent/mukopurulent atau sputum berwarna kuning/hijau)
o peningkatan dyspnoe
o peningkatan volume sputum
Semakin sering terjadi fase eksaserbasi akan menyebabkan semakin cepatnya
perburukan faal paru.
Terdapat tambahan kriteria minor dari gejala BKEA, diantaranya :
o infeksi saluran pernafasan atas selama 5 hari
o peningkatan wheezing
o peningkatan batuk
o demam tanpa sumber yang jelas
o peningkatan 20% dari respiratory rate atau heart rate. (Canadian Guidelines
for the management acute excaserbation of bronchitis chronic, 2003)
b. Derajat BKEA

[Type text] Page 17


Derajat 1 (Mild) : bila terdapat 1 dari kriteria mayor dan 1 kriteria minor
Derajat 2 ( Moderate ) : bila terdapat dua dari 3 kriteria mayor
Derajat 3 ( Severe ) : bila terdapat 3 kriteria mayor

c. Etiologi dan faktor resiko


Dalam kasus AECB karena infeksi , 3 kelas patogen telah ditemukan :
bakteri aerobik gram positif dan gram negatif , virus pernafasan , dan bakteri atipikal.
Meskipun review oleh Sethi tidak dimaksudkan untuk mengukur ketat kejadian
patogen tertentu , ia mengamati bahwa bakteri aerob ditemukan pada setengah dari
pasien dengan AECB dan virus dalam satu ketiga. Bakteri aerobik dominan adalah
Streptococcus pneumoniae , Haemophilus influenzae, Moraxella dan catarrhalis.
Pseudomonas aeruginosa dan basil gram - negatif lain juga terlihat dan tampak lebih
umum pada pasien yang memiliki eksaserbasi akut berat dengan FEV1 sebesar 35%
atau kurang dari yang value.
Infeksi virus umumnya terkait dengan AECB . Pola patogen virus adalah
variabel . Satu studi menemukan bahwa rhinovirus yang diidentifikasi dalam 58 %
dari eksaserbasi, dan virus RSV , coronavirus , atau virus influenza A ditemukan pada
29 % , 11 % , dan 9 %. Kurang dari 10 % dari eksaserbasi akut disebabkan oleh
bakteri atipikal . Bakteri atipikal yang paling umum adalah Chlamydia pneumoniae ,
sedangkan Mycoplasma pneumoniae dan Legionella pneumophila terlihat lebih
jarang . ( Sethi, 2002)

[Type text] Page 18


d. Management (PDPI, 2003)
Prinsip penatalaksanaan eksaserbasi akut adalah mengatasi segera eksaserbasi yang
terjadi dan mencegah terjadinya gagal napas. Bila telah menjadi gagal napas segera
atasi untuk mencegah kematian. Beberapa hal yang harus diperhatikan meliputi :
1. Diagnosis beratnya eksaerbasi
- Derajat sesak, frekuensi napas, pernapasan paradoksal
- Kesadaran
- Tanda vital
- Analisis gas darah
- Pneomonia

2. Terapi oksigen adekuat


Pada eksaserbasi akut terapi oksigen merupakan hal yang pertama dan utama,
bertujuan untuk memperbaiki hipoksemi dan mencegah keadaan yang
mengancam jiwa. dapat dilakukan di ruang gawat darurat, ruang rawat atau di
ICU. Sebaiknya dipertahankan Pao2 > 60 mmHg atau Sat O2 > 90%, evaluasi
ketat hiperkapnia. gunakan sungkup dengan kadar yang sudah ditentukan (ventury
masks) 24%, 28% atau 32%. Perhatikan apakah sungkup rebreathing atau
nonrebreathing, tergantung kadar Paco2 dan Pao2. Bila terapi oksigen tidak dapat
mencapai kondisi oksigenasi adekuat, harus digunakan ventilasi mekanik. Dalam
penggunaan ventilasi mekanik usahakan dengan Noninvasive Positive Pressure

[Type text] Page 19


Ventilation (NIPPV), bila tidak berhasil ventilasi mekanik digunakan dengan
intubasi.

3. Pemberian obat-obatan yang maksimal


Obat yang diperlukan pada eksaserbasi akut
a) Antibiotik
Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman setempat dan komposisi
kombinasi antibiotik yang mutakhir. Pemberian antibiotik di rumah sakit
sebaiknya per drip atau intravena, sedangkan untuk rawat jalan bila eksaserbasi
sedang sebaiknya kombinasi dengan makrolide, bila ringan dapat diberikan
tunggal.
b) Bronkodilator
Bila rawat jalan B-2 agonis dan antikolinorgik harus diberikan dengan
peningkatan dosis. Inhaler masih cukup efektif bila digunkan dengan cara yang
tepat, nebuliser dapat digunakan agar bronkodilator lebih efektif. Hati-hati
dengan penggunaan nebuliser yang memakai oksigen sebagai kompressor,
karena penggunaan oksigen 8-10 liter untuk menghasilkan uap dapat
menyebabkan retensi CO2. Golongan xantin diberikan bersamasama dengan
bronkodilator lainnya karena mempunyai efek memperkuat otot diafragma.
Dalam perawatan di rumah sakit, bronkodilator diberikan secara intravena dan
nebuliser, dengan pemberian lebih sering perlu monitor ketat terhadap
timbulnya palpitasi sebagai efek samping bronkodilator.
c) Kortikosteroid
Tidak selalu diberikan tergantung derajat berat eksaserbasi. Pada eksaserbasi
derajat sedang dapat diberikan prednison 30 mg/hari selama 1-2 minggu, pada
derajat berat diberikan secara intravena. Pemberian lebih dari 2 minggu tidak
memberikan manfaat yang lebih baik, tetapi lebih banyak menimbulkan efek
samping.
d) Nutrisi adekuat untuk mencegah starvation yang disebabkan hipoksemia
berkepanjangan, dan menghindari kelelahan otot bantu napas
e) Ventilasi mekanik
Penggunaan ventilasi mekanik pada PPOK eksaerbasi berat akan mengurangi
mortaliti dan morbiditi, dan memperbaiki simptom. Dahulukan penggunaan
NIPPV, bila gagal dipikirkan penggunaan ventilasi mekanik dengan intubasi
f) Kondisi lain yang berkiatan
- Monitor balans cairan elektrolit

[Type text] Page 20


- Pengeluaran sputum
- Gagal jantung atau aritmia

[Type text] Page 21

Anda mungkin juga menyukai