Anda di halaman 1dari 23

INFEKSI NOSOKOMIAL

Bagian I

Pendahuluan

A. Infeksi Nosokomial

1. Pengertian Infeksi Nosokomial

Infeksi nosokomial atau disebut juga Hospital Acquired Infection (HAI)

adalah infeksi yang didapatkan dan berkembang selama pasien di rawat di rumah

sakit (WHO, 2004). Sumber lain mendefinisikan infeksi nosokomial merupakan

infeksi yang terjadi di rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan setelah

dirawat 2x24 jam. Sebelum dirawat, pasien tidak memiliki gejala tersebut dan

tidak dalam masa inkubasi. Infeksi nosokomial bukan merupakan dampak dari

infeksi penyakit yang telah dideritanya. Pasien, petugas kesehatan, pengunjung

dan penunggu pasien merupakan kelompok yang paling berisiko terjadinya

infeksi nosokomial, karena infeksi ini dapat menular dari pasien ke petugas

kesehatan, dari pasien ke pengunjung atau keluarga ataupun dari petugas ke

pasien (Husain, 2008).

Menurut Vincent (2003) Infeksi nosokomial adalah suatu infeksi yang

tidak terinkubasi dan terjadi ketika pasien masuk ke rumah sakit atau akibat dari

fasilitas kesehatan lainnya yang ada di rumah sakit. Menurut Breathnach (2005)

Infeksi nosokomial adalah suatu infeksi yang terjadi di rumah sakit yang berasal

dari alat-alat medis, prosedur medis atau pemberian terapi.

8
2. Cara penularan Infeksi Nosokomial

Menurur Depkes RI (1995) macam-macam penularan infeksi nosokomial

bisa berupa :

1) Infeksi silang (Cross Infection), yaitu infeksi yang disebabkan oleh kuman

yang didapat dari orang atau penderita lain di rumah sakit secara langsung atau

tidak langsung.

2) Infeksi sendiri (Self infection, Auto infection), yaitu infeksi yang disebabkan

oleh kuman dari penderita itu sendiri berpindah tempat dari satu jaringan

kejaringan lain

3) Infeksi lingkungan (Enverenmental infection), yaitu infeksi yang disebabkan

oleh kuman yang berasal dari benda atau bahan yang tidak bernyawa yang

berada di lingkungan rumah sakit, misalnya lingkungan yang lembab dan lain-

lain.

3. Skema Rantai Penularan Infeksi Nosokomial

Tempat Keluar

Penjamu yang Sumber Cara Penularan


Rentan Kontak Langsung
Penyebab dan Tidak
Langsung

Tempat Masuk

Gambar 2.1. Skema Rantai Penularan Infeksi Nosokomial (Spiritia, 2006)


Dari gambar 2.1. diatas di jelaskan bahwa awal rantai penularan infeksi

nosokomial dimulai dari penyebab (di bagian tengah gambar) dimana

penyebabnya seperti jamur, bakteri, virus atau parasit menuju ke sumber seperti

manusia ataupun benda. Selanjutnya kuman keluar dari sumber menuju ke

tempat tertentu, kemudian dengan cara penularan tertentu (baik itu kontak

langsung maupun tidak langsung) melalui udara, benda ataupun vektor masuk

ke tempat tertentu (pasien lain). Di karenakan di rumah sakit banyak pasien

yang rentan terhadap infeksi maka dapat tertular. Selanjutnya kuman penyakit

ini keluar dari pasien tersebut dan meneruskan rantai penularan lagi.

4. Pengendalian Infeksi Nosokomial

Pengendalian infeksi nosokomial adalah kegiatan yang meliputi

perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan serta pembinaan dalam upaya

menurunkan angka kejadian infeksi nosokomial di rumah sakit (Depkes, 1993).

Center for disease control and prevention (2002) menjelaskan bahwa salah satu

pengendalian infeksi nosokomial adalah cuci tangan. Intervensi lainnya seperti

pemasangan dan perawatan yang tepat dari peralatan invasif, penggunaan alat

steril dan aseptik pada waktu pergantian balutan, perawatan kebersihan kulit,

dekontaminasi dan sterilisasi dan surveilans yang berkelanjutan terhadap infeksi

nosokomial.

5. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Terjadinya Infeksi Nosokomial


Secara umum faktor-faktor yang dapat menyebabkan infeksi nosokomial

terdiri dari dua bagian yaitu faktor endogen dan faktor eksogen. Faktor endogen
meliputi umur, jenis kelamin, riwayat penyakit, daya tahan tubuh dan kondisi-

kondisi tertentu. Sedangkan faktor eksogen meliputi lama penderita dirawat,

kelompok yang merawat, alat medis serta lingkungan (Parhusip, 2005).

Menurut WHO (2004) faktor yang berhubungan dengan infeksi

nosokomial adalah tindakan invasif dan pemasangan infus, ruangan terlalu

penuh dan kurang staf, penyalahgunaan antibiotik, prosedur strilisasi yang

tidak tepat dan ketidaktaatan terhadap peraturan pengendalian infeksi

khususnya mencuci tangan.

Weinstein (1998) menyatakan bahwa meningkatnya kejadian infeksi

nosokomial dipengaruhi oleh 3 hal utama yaitu pemakaian antibiotik dan

fasilitas perawatan yang lama, beberapa staf rumah sakit gagal mengikuti

program pengendalian infeksi dasar seperti mencuci tangan sebelum kontak

dengan pasien dan kondisi pasien rumah sakit yang semakin

immunocompromised.

6. Kondisi-kondisi yang mempermudah terjadinya Infeksi nosokomial

Menurut (Farida, 1999) Infeksi nosokomial mudah terjadi karena adanya

beberapa keadaan tertentu, yaitu sebagai berikut:

1) Rumah sakit merupakan tempat berkumpulnya orang sakit atau pasien,

sehingga jumlah dan jenis kuman penyakit yang ada lebih banyak dari pada

ditempat lain.

2) Pasien mempunyai daya tahan tubuh rendah, sehingga mudah tertular.


3) Rumah sakit sering kali melakukan tindakan invasif mulai dari sederhana

misalnya suntikan sampai tindakan yang lebih besar, operasi. Dalam

melakukan tindakan sering kali petugas kurang memperhatikan tindakan

aseptik dan antiseptik.

4) Mikroorganisme yang ada cenderung lebih resisten terhadap antibiotik,

akibat penggunaan berbagai macam antibiotik yang sering tidak rasional.

5) Adanya kontak langsung antara pasien atau petugas dengan pasien, yang

dapat menularkan kuman patogen.

6) Penggunaan alat-alat kedokteran yang terkontaminasi dengan kuman

Sumber infeksi nosokomial dapat berasal dari pasien, petugas rumah sakit,

pengunjung ataupun lingkungan rumah sakit. Selain itu setiap tindakan baik

tindakan invasif maupun non invasif yang akan dilakukan pada pasien mempunyai

resiko terhadap infeksi nosokomial. Menurut Farida (1999) sumber infeksi

tindakan invasif (operasi) adalah :

1. Petugas :

a) Tidak/kurang memahami cara-cara penularan

b) Tidak/kurang memperhatikan kebersihan perorangan

c) Tidak menguasai cara mengerjakan tindakan

d) Tidak memperhatikan/melaksanakan aseptik dan antiseptik

e) Tidak mematuhi SOP (standar operating procedure)

f) Menderita penyakit tertentu/infeksi/carier


2. Alat :

a) Kotor

b) Tidak steril

c) Rusak/karatan

d) Penyimpanan kurang baik

3. Pasien:

a) Persiapan diruang rawat kurang baik

b) Higiene pasien kurang baik

c) Keadaan gizi kurang baik (malnutrisi)

d) Sedang mendapat pengobatan imunosupresif

4. Lingkungan

a) Penerangan/sinar matahari kurang cukup

b) Sirkulasi udarah kurang baik

c) Kebersihan kurang (banyak serangga, kotor, air tergenang)

d) Terlalu banyak peralatan diruangan

e) Banyak petugas diruangan

7. Penyebab Infeksi Nosokomial

Mikroorganisme penyebab infeksi dapat berupa : bakteri, virus, fungi dan

parasit, penyebab utamanya adalah bakteri dan virus, kadang-kadang jamur dan

jarang disebabkan oleh parasit. Peranannya dalam menyebabkan infeksi

nosokomial tergantung dari patogenesis atau virulensi dan jumlahnya.


8. Patogenesis Infeksi Nosokomial

Patogenesis adalah kemampuan mikroba menyebabkan penyakit,

patogenitas lebih jauh dapat dinyatakan dalam virulensi dan daya invasinya.

Virulensi adalah pengukuran dari beratnya suatu penyakit dan dapat diketahui

dengan melihat morbiditas dan derajat penularan.

Daya invasi adalah kemampuan mikroba menyerang tubuh. Jumlah

mikroba yang masuk sangat menentukan timbul atau tidaknya infeksi dan

bervariasi antara satu mikroba dengan mikroba lain dan antara satu host dengan

host yang lain (Wirjoatmodjo, 1993).

9. Upaya-upaya yang Dilakukan untuk Mencegah Terjadinya Infeksi


Nosokomial

Menurut depkes (1998), upaya pencegahan terhadap terjadinya infeksi

nosokomial dirumah sakit yaitu untuk menghindarkan terjadinya infeksi selama

pasien di rawat di rumah sakit. Adapun bentuk upaya pencegahan yang dilakukan

antara lain :

a. Cuci Tangan

Cuci tangan adalah cara pencegahan infeksi yang paling penting. Cuci

tangan harus selalu dilakukan sebelum dan sesudah melakukan kegiatan.

Walaupun memakai sarung tangan atau alat pelindung lainnya. Untuk

mengetahui kapan sebaiknya perawat melakukan cuci tangan dan bagaimana

cara mencuci tangan yang benar, berikut ini akan dijelaskan mengenai tujuan

mencuci tangan, dan prosedur standar dari mencuci tangan.


1. Tujuan

a) Menekan pertumbuhan bakteri pada tangan

b) Menurunkan jumlah kuman yang tumbuh dibawah sarung tangan

2. Indikasi

a) Sebelum dan sesudah kontak dengan pasien, sebelum dan sesudah

melakukan tindakan pada pasien, seperti mengganti, membalut,

kontak dengan pasien selama pemeriksaan harian atau

mengerjakan pekerjaan rutin seperti membenahi tempat tidur

b) Sebelum dan sesudah membuang wadah sputum, secret ataupun darah

c) Sebelum dan sesudah menangani peralatan pada pasien seperti

infus set, kateter, kantung drain urin, tindakan operatif kecil dan

peralatan pernafasan.

d) Sebelum dan sesudah ke kamar mandi

e) Sebelum dan sesudah makan

f) Sebelum dan sesudah membuang ingus/membersihkan hidung

g) Pada saat tangan tampak kotor

h) Sebelum dan sesudah bertugas di sarana kesehatan

3. Prosedur Standar

a) Basahi tangan setinggi pertengahan lengan bawah dengan air


mengalir

b) Taruh sabun dibagian tengah tangan yang telah basah

c) Buat busa secukupnya

d) Gosok kedua tangan termasuk kuku dan sela jari selama 10-15 detik
e) Bilas kembali dengan air sampai bersih

f) Keringkan tangan dengan handuk atau kertas bersih atau tisu atau

handuk katun sekali pakai

g) Matikan keran dengan kertas atau tissue

h) Pada cuci tangan aseptic diikuti larangan menyentuh permukaan

tidak steril dan penggunaan sarung tangan dan waktu untuk

mencuci tangan antara 5-10 menit

b. Dekontaminasi

Menurut depkes (1998) dekontaminasi adalah menghilangkan


mikroorganisme

patogen dan kotoran dari suatu benda sehingga aman untuk pengelolaan

selanjutnya. Agar seorang perawat dapat melakukan proses dekontaminasi

dengan benar, maka perawat tersebut haruslah mengetahui tujuan dari

dekontaminasi, indikasi dari proses dekontaminasi, dan prosedur standar dari

dekontaminasi.

1. Tujuan Dekontaminasi

a) Mencegah penyebaran infeksi melalui alat kesehatan atau suatu

permukaan benda

b) Mematikan mikroorganisme, misalnya HIV, HBV, dan kotoran lain

yang tidak tampak

c) Mempersiapkan permukaan alat untuk kontak langsung dengan

desinfektan atau bahan sterilisasi

d) Melindungi petugas dan pasien


2. Indikasi

a) Langkah pertama bagi alat kesehatan bekas pakai sebelum dicuci

dan proses lebih lanjut

b) Langkah pertama pada penanganan tumpahan darah/cairan tubuh

c) Langkah pertama pada dekontaminasi meja/permukaan lain yang

mungkin tercemar darah/cairan tubuh lain

d) Langkah pertama pada sarana kesehatan yang tidak memiliki

insenerator yaitu sebelum alat tersebut dikubur dengan cara

kapurisasi

3. Prosedur Standar

a) Cuci tangan

b) Pakai sarung tangan, masker, kaca mata/pelindung wajah

c) Rendam alat kesehatan segera setelah dipakai dalam larutan

desinfektan selama 10 menit

d) Segera bilas dengan air sampai bersih

e) Lanjutkan dengan pembersihan

f) Buka sarung tangan, masukkan dalam wadah sementara menunggu

dekontaminasi sarung tangan dan proses selanjutnya

g) Cuci tangan
B. Standar Operasional Prosedur (SOP)

Standar operasional prosedur (SOP) infeksi nosokomial adalah prosedur tetap

yang disusun oleh komite pengendalian infeksi nosokomial yang harus dilaksanakan

oleh setiap petugas rumah sakit. SOP ini dibutuhkan untuk menyatukan persepsi

petugas rumah sakit mengenai tindakan atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan.

Pemahaman yang benar mengenai SOP infeksi nosokomial, akan berkaitan

langsung terhadap pencegahan terjadinya infeksi nosokomial. Menurut Notoatmodjo

(2003) seseorang baru bisa berperilaku apabila ditunjang oleh pengetahuan, dimana

sebelum mendapatkan pengetahuan seseorang harus melalui tahap belajar

Menurut Green (1996) pengetahuan merupakan faktor predisposisi dalam

perilaku positif, karena dengan pengetahuan seseorang akan mulai mengenal dan

mencoba atau melakukan suatu tindakan. Cara lain untuk menambah pengetahuan

adalah dengan jalan diskusi antar perawat pelaksana, dengan melaksanakan

komunikasi dua arah, diskusi partisipasi merupakan salah satu cara yang paling efektif

dalam memberikan informasi dan pesan kesehatan (Notoatmodjo, 2003). Dengan

adanya SOP infeksi nosokomial diharapkan dapat menurunkan angka terjadinya

infeksi nosokomial di rumah sakit.


C. Perawat

Perawat adalah orang yang memberikan paling banyak tindakan. Jika pasien

memerlukan terapi intravena, biasanya perawat memasang jalur intravena dan

memberikan cairan dan obat yang ditentukan. Jika pasien memerlukan injeksi maka

perawat yang memberikannya. Perawat mengganti balutan pasien dan memantau

penyembuhan lukanya. Perawat memberikan medikasi untuk nyeri. Perawat

memantau kemajuan pasien untuk pemulihan tanpa komplikasi, karena perawat lebih

sering kontak dengan pasien daripada staf lain, mereka sering menemukan masalah

sebelum orang lain menemukannya (Monica, 1998).

Seorang perawat yaitu seorang yang berperan dalam perawatan atau

memelihara, membantu dan melindungi seseorang karena sakit, injuri dan proses

pemenuhan dan perawatan professional adalah perawat yang bertanggung jawab dan
berwenang memberikan pelayanan keperawatan secara mandiri dan berkolaborasi

dengan tenaga kesehatan lain sesuai dengaan kewenangannya (Depkes, 2002)

Perawat merawat pasien secara kontinu, 24 jam sehari, membantu pasien

melakukan apa yang akan mereka lakukan untuk diri mereka sendiri jika mereka

mampu. Perawat memperhatikan pasien, menjamin mereka bernafas dengan baik,

mendapat cairan dan cakupan nutrisi, membantu istirahat dan tidur, menyakinkan

bahwa mereka nyaman dan dukungan pada pasien dan keluarganya (Monica, 1998)

1. Tujuan dan Manfaat Proses Keperawatan

Tujuan dari penerapan proses keperawatan pada tantanan pelayanan

kesehatan adalah :

1. Untuk mempraktekkan suatu metoda pemecahan masalah dalam praktek

keperawatan.

2. Sebagai standar untuk praktek keperawatan

3. Untuk memperoleh suatu metode yang baku, sistematis, rasional, serta

ilmiah dalam memberikan asuhan keperawatan.

4. Untuk memperoleh suatu metoda dalam memberikan asuhan keperawatan

yang dapat digunakan dalam segala situasi sepanjang siklus kehidupan.

5. Untuk memperoleh hasil asuhan keperawatan yang bermutu.

Penerapan proses keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan klien

akan memberikan manfaat-manfaat sebagai berikut :


a. Meningkatkan mutu pelayanan keperawatan

b. Pengembangan ketrampilan intelektual dan teknis bagi tenaga keperawatan

c. Meningkatkan citra profesi keperawatan

d. Meningkatkan peran dan fungsi keperawatan dalam pengelolaan asuhan

keperawatan

e. Pengakuan otonomi keperawatan

f. Peningkatan rasa solidaritas

g. Meningkatkan kepuasan kerja tenaga keperawatan

h. Untuk mengembangkan ilmu keperawatan

2. Standar praktik keperawatan

Dalam menilai kualitas pelayanan keperawatan kepada klien, digunakan

standar praktik keperawatan yang merupakan pedoman bagi perawat dalam

melaksanakan asuhan keperawatan. Standar praktik keperawatan telah dijabarkan

oleh PPNI (2000) yang mengacu dalam tahapan proses keperawatanm yang

meliputi : Pengkajian, diagnosis keperawatan, mperencanaan, implementasi dan

evaluasi

a. Standar I ; Pengkajian

Perawat mengumpulkan data tentang status kesehatan klien secara


sitematis, menyeluruh , akurat, singkat dan berkesinambungan

Kriteria pengkajian keperawatan meliputi :


1) Pengumpulan data dilakukan dengan cara anamnesis, observasi, pemeriksaan

fisik serta pemeriksaan penunjang.

2) Sumber data adalah klien, mkeluarga atau orang lain yang terkait, tim

kesehatan, rekam medis dan catatan lain.

3) Data yang dikumpulkan difokuskan untuk mengevaluasi : status kesehatan

masa lalu, saat ini, bio-psiko-sosial dan spiritual, respon, harapan dan resiko-

resiko tinggi masalah.

4) Kelengkapan data dasar mengandung unsur lengkap, akurat, relevan dan baru.

b. Standar II : Diagnosis keperawatan

Perawat menganalisis data pengkajian untuk merumuskan diagnosa

keperawatan. Kriteria proses meliputi :

1) Proses diagnosa terdiri atas analisa, interpretasi data, identifikasi masalah

klien, dan perumusan diagnosa keperawatan

2) Diagnosis keperawatan terdiri dari : masalah, penyebab dan tanda atau

gejalaatau terdiri dari masalah dan penyebab

3) Bekerjasama dengan klien, dan petugas kesehatan lainnya untuk memvalidasi

diagnosis keperawatan

4) Melakukan pengkajian ulang dan merevisi diagnosa berdasarkan data

terbaru c. Standar III : Perencanaan Keperawatan

Perawat membuat rencana tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah

dan meningkatkan kesehatan klien. Kriteria proses iini meliputi :


1) Perencanaan terdiri atas penetapan prioritas masalah, tujuan dan rencana

tindakan keperawatan

2) Bekerjasama dengan klien dalam menyusun rencana tindakan keperawatan

3) Perencanaan bersifat individual sesuai dengan kondisi atau kebutuhan klien

4) Mendokumentasikan rencana keperawatan.

d. Standar IV : Implementasi keperawatan

Perawat mengimplementasikan tindakan yang telah diidentifikasi dalam

rencana asuhan keperawatan. Kriteria proses meliputi :

1) Bekerja sama dengan klien dalam pelaksanaan tindakan keperawatan

2) Kolaborasi dengan tim kesehatanh lain

3) Melakukan tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah klien

4) Memberikan pendidikan pada klien dan keluarga mengenai

konsep,ketrampilan asuhan diri serta membantu klien memodifikasi

lingkungan yang digunakan

5) Mengkaji ulang dan merevisi pelaksanaan tindakan keperawatan berdasarkan

respon klien

e. Standar V : Evaluasi Keperawatan

Perawat mengevaluasi kemajuan klien terhadap tindakan keperawatan dalam

pencapaian tujuan, dan merevisi data dasar dan perencanaan. Proses ini meliputi :

1) Menyusun perencanaan evaluasi hasil dan intervensi secara komprehensif,

tepat waktu, dan terus menerus


2) Menggunakan data dasar dan respon klien dalam mengukur perkembangan

kearah pencapaian tujuan

3) Memvalidasi dan menganalisis data baru dengan teman sejawat.

4) Bekerjasama dengan klien, keluarga untuk memodifikasi rencana asuhan

keperawatan

5) Mendokumentasikan hasil evaluasi dan memodifikasi perencanaan

D. Rumah Sakit

Rumah sakit adalah sarana kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan

kesehatan secara merata dengan mengutamakan upaya penyembuhan penyakit dan

pemulihan kesehatan yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan upaya

peningkatan dan pencegahan penyakit dalam suatu tatanan rujukan serta dapat

dimanfaatkan untuk pendidikan tenaga dan penelitian (Wiyono, 1997)

Rumah sakit yang ideal adalah tempat orang sakit mencari dan menerima

perawatan, juga menjadi tempat pendidikan klinis bagi tenaga kesehatan. Rumah sakit

juga berperan dalam studi penyelidikan dan penelitian dalam ilmu pengetahuan

kedokteran maupun penelitian ilmu-ilmu dasar (Wolfer, 2001).

Dalam menjalankan fungsinya melayani masyarakat, rumah sakit memberikan

pelayanan dalam bentuk pelayanan gawat darurat, pelayanan rawat jalan dan

pelayanan rawat inap. Pelayanan gawat darurat adalah bagian dari pelayanan

kedokteran yang dibutuhkan oleh penderita dalam waktu segera mungkin untuk
menyelamatkan kehidupannya. Di setiap rumah sakit lazim ditemukan unit gawat

darurat (Hospital based emergency unit) (Azwar, 1996).

Menurut Azwar 1996, Pelayanan rawat jalan adalah pelayanan kedokteran

yang disediakan untuk pasien tidak dalam bentuk rawat inap. Pelayanan rawat jalan

oleh klinik rumah sakit secara umum dibedakan :

1. Pelayanan darurat, untuk menangani pasien yang membutuhkan pertolongan

segera dan mendadak.

2. Perawatan rawat jalan paripurna, memberikan pelayanan rawat jalan paripurna

sesuai kebutuhan pasien.

3. Pelayanan rujukan, melayani pasien yang dirujuk oleh sarana kesehatan lain.

4. Pelayanan bedah jalan, memberikan pelayanan bedah yang selesai dan pasien

pulang pada hari yang sama.

Pelayanan rawat inap adalah pelayanan kepada pasien untuk observasi,

perawatan, diagnosis, pengobatan, rehabilitasi medik dan atau kesehatan lainnya

dengan menempati tempat tidur. Batasan tempat tidur adalah tempat tidur yang

tercatat dan tersedia di ruang rawat inap (Wiyono, 1997).

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Langsa merupakan Rujukan atas

mata rantai sistim kesehatan di Pemerintah Kota Langsa. Berdasarkan SK Menkes

Republik Indonesia No. 51/Men.Kes/SK/II/1979 tanggal 22 Februari 1979 diberikan

status menjadi Rumah Sakit dalam klasifikasi type C, kemudian pada tahun 1997

ditingkatkan klasifikasinya menjadi Rumah Sakit type B Non pendidikan berdasarkan

Surat keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 479/Men.Kes/SKV/1997


tanggal 20 Mei 1997. Kemudian berdasarkan Kepres No. 40 tahun 2001 berubah

status menjadi Rumah Sakit Umum Daerah Kota Langsa dan telah juga ditetapkan

dengan Qanun Pemerintah Kota Langsa No. 5 Tahun 2005, dan Qanun Pemerintah

Kota Langsa No.10 Tahun 2009 tentang rincian pokok dan fungsi pemangku jabatan

struktural dilingkungan Rumah Sakit Umum Daerah Kota Langsa.

Berdasarkan Qanun Pemerintah Kota Langsa No.10 Tahun 2009 adapun tugas

pokok dan fungsi pemangku Jabatan Struktural dilingkungan RSUD Kota Langsa

adalah :

1. Melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan

mengutamakan upaya penyembuhan, pemulihan yang dilakukan secara serasi

yang terpadu dengan tidak meninggalkan upaya meningkatkan dan

pencegahan serta melaksanakan pusat rujukan, melaksanakan pendidkan

tenaga kesehatan, penelitian, pengembangan ilmu kedokteran dan ilmu

keperawatan

2. Melakasanakan pelayanan kesehatan yang bermutu berdasarkan standar

pelayanan Rumah Sakit dengan menerapkan prinsip profesional dan Islami.

(Profil Rumah Sakit Umum Daerah Kota Langsa, 2009).

2.9. Landasan Teori

Bloom (1956) membedakan perilaku menjadi 3 kelompok yaitu Kognitif,

Afektif, dan Psikomotorik, sedangkan Notoatmojo (1989) membagi ranah perilaku

menjadi tiga bagian yaitu, pengetahuan (Knowledge), sikap (Attitude) dan Tindakan
(Practice). Bentuk operasional perilaku ini dapat dikelompokkan menjadi 3 macam

yaitu :

a. Perilaku dalam bentuk pengetahuan yaitu dengan mengetahui situasi atau

rangsangan dari luar

b. Perilaku dalam bentuk sikap yaitu tanggapan batin terhadap keadaan atau

rangsangan dari luar subjek

c. Perilaku dalam bentuk tindakan yang sudah nyata (konkrit) berupa perbuatan

(action) terhadap situasi atau rangsangan dari luar.

Manusia berperilaku tertentu karena ada hal-hal yang mendorong serta

mengarahkan untuk memilih bentuk-bentuk perilaku seperti yang sudah

diperlihatkannya. Faktor pendorong ini lazimnya muncul dari sistem kebutuhan yang

didapat dalam dirinya, sedangkan faktor pengarahnya adalah sikap.

Green (1996) menganalisa perilaku manusia dari tingkat kesehatan. Kesehatan

seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yakni faktor perilaku dan

faktor diluar perilaku, selanjutnya perilaku itu sendiri terbentuk dari 3 faktor yaitu :

1. Faktor Predisposing yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan,

keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya.

2. Faktor Enabling yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidaknya

fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan.

3. Faktor Reinforcing yang terwujud dalam peraturan-peraturan, kebijakan,

pengawasan, dan perilaku petugas yang merupakan kelompok referensi dari

perilaku masyarakat.
Predisposing
Pengetahuan
Sikap
Norma-norma
Kepercayaan
Tradisi

Enabling
Ketersediaan
fasilitas dan
sarana Pencegahan Infeksi
Akses Nosokomial
Lingkungan
fisik

Reinforcing
Pelatihan
Sikap dan
perilaku
petugas/pejabat
Peraturan-
peraturan
Kebijakan
Pengawasan

Gambar 2.3. Kerangka Teori Green

Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa variabel yang termasuk dalam

predisposing antara lain pengetahuan, sikap, norma-norma, kepercayaan, tradisi.

Untuk variabel enabling antara lain ketersediaan fasilitas, sarana dan akses dan untuk

variabel reinforcing antara lain meliputi pelatihan, sikap dan perilaku petugas/pejabat.

peraturan-peraturan, kebijakan dan pengawasan.


2.10. Kerangka Konsep

Berdasarkan tujuan penelitian maka dapat disusun kerangka konsep sebagai

berikut :

Faktor Internal
Pengetahuan
Sikap

Pencegahan Infeksi Nosokomial


di Ruang Rawat Bedah

Faktor Eksternal
Fasilitas perawatan
Pengawasan

Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan Gambar 2.3. di atas, diketahui variabel independen dalam

penelitian ini adalah pengetahuan, sikap, ketersedian fasilitas perawatan dan

pengawasan, sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah pencegahan

infeksi nosokomial di ruang rawat bedah.

Anda mungkin juga menyukai