Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN

A. KONSEP DASAR
1. Definisi
Struma adalah Pembesaran tiroid menyeluruh atau sebagian (Martin Von Planta,
2002)

Apabila pada pemeriksaan kelenjar tyroid teraba suatu nodul, maka pembesaran
ini disebut struma nodosa. (Afiatma Tjokronegoro, dkk, 1996)

Struma nodosa tanpa disertai hipertiroidisme disebut struma nodosa non-toksik.


(Afiatma Tjokronegoro, dkk, 1996) dan (Arif Mansjoeri, 1999)

Di bagian posterior medial kelenjar tiroid terdapat trakea dan esophagus. Struma
nodosa dapat mengarah ke dalam sehingga mendorong trakea, esophagus dan pita suara
sehingga terjadi kesulitan bernapas dan disfagia (Rehman, dkk 2006). Hal tersebut akan
berdampak terhadap gangguan pemenuhan oksigen, nutrisi serta cairan dan elektrolit.
Bila pembesaran keluar maka akan memberi bentuk leher yang besar dapat asimetris atau
tidak, jarang disertai kesulitan bernapas dan disfagia.

a) Struma nodosa dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal yaitu (Roy, 2011):
Berdasarkan jumlah nodul: bila jumlah nodul hanya satu disebut struma nodosa
soliter (uninodosa) dan bila lebih dari satu disebut struma multinodosa.
b) Berdasarkan kemampuan menyerap yodium radioaktif, ada tiga bentuk nodul
tiroid yaitu nodul dingin, hangat, dan panas. Nodul dingin apabila penangkapan
yodium tidak ada atau kurang dibandingkan dengan bagian tiroid sekitarnya. Hal
ini menunjukkan aktivitas yang rendah. Nodul hangat apabila penangkapan
yodium sama dengan sekitarnya. Ini berarti fungsi nodul sama dengan bagian
tiroid lainnya. Dan nodul panas bila penangkapan yodium lebih banyak dari
sekitarnya. Keadaan ini memperlihatkan aktivitas yang berlebih.
c) Berdasarkan konsistensinya lunak, kistik, keras dan sangat keras. Struma nodosa
memiliki beberapa stadium, yaitu (Lewinski, 2002) :
Derajat 0 : tidak teraba pada pemeriksaan
Derajat I : teraba pada pemeriksaan, terlihat jika kepala ditegakkan
Derajat II : mudah terlihat pada posisi kepala normal
Derajat III : terlihat pada jarak jauh.

Berdasakan fisiologisnya struma nodosa dapat diklasifikasikan sebagai berikut


(Rehman, dkk, 2006) :

a. Eutiroidisme
Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar tiroid yang disebabkan
stimulasi kelenjar tiroid yang berada di bawah normal sedangkan kelenjar hipofisis
menghasilkan TSH dalam jumlah yang meningkat. Struma nodosa atau struma
semacam ini biasanya tidak menimbulkan gejala kecuali pembesaran pada leher yang
jika terjadi secara berlebihan dapat mengakibatkan kompresi trakea.
b. Hipotiroidisme
Hipotiroidisme adalah kelainan struktural atau fungsional kelenjar tiroid sehingga
sintesis dari hormon tiroid menjadi berkurang. Kegagalan dari kelenjar untuk
mempertahankan kadar plasma yang cukup dari hormon. Beberapa pasien
hipotiroidisme mempunyai kelenjar yang mengalami atrofi atau tidak mempunyai
kelenjar tiroid akibat pembedahan/ablasi radioisotop atau akibat destruksi oleh
antibodi autoimun yang beredar dalam sirkulasi.
Gejala hipotiroidisme adalah penambahan berat badan, sensitif terhadap udara
dingin, dementia, sulit berkonsentrasi, gerakan lamban, konstipasi, kulit kasar, rambut
rontok, mensturasi berlebihan, pendengaran terganggu dan penurunan kemampuan
bicara. Hipertiroidisme Dikenal juga sebagai tirotoxicosis atau Graves yang dapat
didefenisikan sebagai respon jaringan-jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolik
hormon tiroid yang berlebihan.
Keadaan ini dapat timbul spontan atau adanya sejenis antibodi dalam darah yang
merangsang kelenjar tiroid, sehingga tidak hanya produksi hormon yang berlebihan
tetapi ukuran kelenjar tiroid menjadi besar. Gejala hipertiroidisme berupa berat badan
menurun, nafsu makan meningkat, keringat berlebihan, kelelahan, lebih suka udara
dingin, sesak napas. Selain itu juga terdapat gejala jantung berdebar-debar, tremor
pada tungkai bagian atas, mata melotot (eksoftalamus), diare, haid tidak teratur,
rambut rontok, dan atrofi otot.

Secara klinis pemeriksaan klinis struma nodosa dapat dibedakan menjadi


(Tonacchera, dkk, 2009):

a. Struma nodosa toxic


Struma nodosa toxic dapat dibedakan atas dua yaitu struma nodosa diffusa
toxic dan struma nodosa nodusa toxic. Istilah diffusa dan nodusa lebih mengarah
kepada perubahan bentuk anatomi dimana struma nodosa diffusa toxic akan
menyebar luas ke jaringan lain. Jika tidak diberikan tindakan medis sementara
nodusa akan memperlihatkan benjolan yang secara klinik teraba satu atau lebih
benjolan (struma nodosa multinodular toxic). Struma nodosa diffusa toxic
(tiroktosikosis) merupakan hipermetabolisme karena jaringan tubuh dipengaruhi
oleh hormon tiroid yang berlebihan dalam darah. Penyebab tersering adalah
penyakit Grave (gondok eksoftalmik/exophtalmic struma nodosa), bentuk
tiroktosikosis yang paling banyak ditemukan diantara hipertiroidisme lainnya.
Perjalanan penyakitnya tidak disadari oleh pasien meskipun telah diiidap selama
berbulan-bulan. Antibodi yang berbentuk reseptor TSH beredar dalam sirkulasi
darah, mengaktifkan reseptor tersebut dan menyebabkan kelenjar tiroid hiperaktif.
b. Struma nodosa non toxic
Struma nodosa non toxic sama halnya dengan struma nodosa toxic yang
dibagi menjadi struma nodosa diffusa non toxic dan struma nodosa nodusa non
toxic. Struma nodosa non toxic disebabkan oleh kekurangan yodium yang kronik.
Struma nodosa ini disebut sebagai simpel struma nodosa, struma nodosa endemik,
atau struma nodosa koloid yang sering ditemukan di daerah yang air minumya
kurang sekali mengandung yodium dan goitrogen yang menghambat sintesa
hormon oleh zat kimia.
2. ETIOLOGI
Penyebab utama struma nodosa ialah karena kekurangan yodium (Black and
Hawks, 2009). Defisiensi yodium dapat menghambat pembentukan hormon tiroid oleh
kelenjar. Hal tersebut memungkinkan hipofisis mensekresikan TSH dalam jumlah yang
berlebihan. TSH kemudian menyebabkan sel-sel tiroid mensekresikan tiroglobulin dalam
jumlah yang besar ke dalam folikel, dan kelenjar menjadi bertambah besar. Penyebab
lainnya karena adanya cacat genetik yang merusak metabolisme yodium, konsumsi
goitrogen yang tinggi (yang terdapat pada obat, agen lingkungan, makanan, sayuran),
kerusakan hormon kelenjar tiroid, gangguan hormonal dan riwayat radiasi pada kepala
dan leher (Rehman dkk, 2006).
Hal yang mendasari pertumbuhan nodul pada struma nodosa non toxic adalah
respon dari sel-sel folikular tiroid yang heterogen dalam satu kelenjar tiroid pada tiap
individu. Dalam satu kelenjar tiroid yang normal, sensitivitas sel-sel dalam folikel yang
sama terhadap stimulus TSH dan faktor perumbuhan lain (IGF dan EGF) sangat
bervariasi. Terdapat sel-sel autonom yang dapat bereplikasi tanpa stimulasi TSH dan sel-
sel sangat sensitif TSH yang lebih cepat bereplikasi. Sel- sel akan bereplikasi
menghasilkan sel dengan sifat yang sama. Sel-sel folikel dengan daya replikasi yang
tinggi ini tidak tersebar merata dalam satu kelenjar tiroid sehingga akan tumbuh nodul-
nodul.

3. PATOFISIOLOGI
Yodium merupakan bahan utama yang dibutuhkan tubuh untuk pembentukan
hormon tiroid. Bahan yang mengandung yodium diserap usus, masuk kedalam sirkulasi
darah dan ditangkap paling banyak oleh kelenjar tiroid. Dalam kelenjar, yodium dioksida
menjadi bentuk yang aktif yang distimulasikan oleh Tiroid Stimulating Hormon (TSH)
kemudian disatukan menjadi molekul tiroksin yang terjadi pada fase sel koloid. Senyawa
yang terbentuk dalam molekul diyodotironin membentuk tiroksin (T4) dan molekul
triiodotironin (T3). Tiroksin (T4) menunjukan pengaturan umpan balik negatif dari
seksesi TSH dan bekerja langsung pada tirotropihypofisis, sedangkan T3 merupakan
hormon metabolik yang tidak aktif. Akibat kekurangan yodium maka tidak terjadi
peningkatan pembentukan T4 dan T3, ukuran folikel menjadi lebih besar dan kelenjar
tiroid dapat bertambah berat sekitar 300-500 gram.
Beberapa obat dan keadaan dapat mempengaruhi sintesis, pelepasan dan
metabolisme tiroid sekaligus menghambat sintesis tiroksin (T4) dan melalui rangsangan
umpan balik negatif meningkatkan pelepasan TSH oleh kelenjar hipofisis. Keadaan ini
menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid. Biasanya tiroid mulai membesar pada usia
muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa. Karena pertumbuhannya
berangsur- angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di leher.
Sebagian besar penderita dengan struma nodosa dapat hidup dengan strumanya tanpa
keluhan. Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu pernafasan karena
menonjol kebagian depan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea bila
pembesarannya bilateral.

4. TANDA DAN GEJALA


Beberapa penderita struma nodosa non toxic tidak memiliki gejala sama sekali.
Jika struma cukup besar, akan menekan area trakea yang dapat mengakibatkan gangguan
pada respirasi dan juga esofhagus tertekan sehingga terjadi gangguan menelan.
Peningkatan seperti ini jantung menjadi berdebar-debar, gelisah, berkeringat, tidak tahan
cuaca dingin, dan kelelahan. Beberapa diantaranya mengeluh adanya gangguan menelan,
gangguan pernapasan, rasa tidak nyaman di area leher, dan suara yang serak.
Pemeriksaan fisik struma nodosa non toxic berfokus pada inspeksi dan palpasi leher
untuk menentukan ukuran dan bentuk nodular.
Inspeksi dilakukan oleh pemeriksa yang berada di depan penderita yang berada
pada posisi duduk dengan kepala sedikit fleksi atau leher sedikit terbuka. Jika terdapat
pembengkakan atau nodul, perlu diperhatikan beberapa komponen yaitu lokasi, ukuran,
jumlah nodul, bentuk (diffus atau noduler kecil), gerakan pada saat pasien diminta untuk
menelan dan pulpasi pada permukaan pembengkakan. Pemeriksaan dengan metode
palpasi dimana pasien diminta untuk duduk, leher dalam posisi fleksi. Pemeriksa berdiri
di belakang pasien dan meraba tiroid dengan menggunakan ibu jari kedua tangan pada
tengkuk penderita. Struma nodosa tidak termasuk kanker tiroid, tapi tujuan utama dari
evaluasi klinis adalah untuk meminimalkan risiko terhadap kanker tiroid.

5. Pemeriksaaan dan Diagnosis


a. Pemeriksaan sidik Tiroid
Hasil pemeriksaan dengan radioisotop adalah teraan ukuran, bentuk lokasi, dan yang
utama ialah fungsi bagian-bagian tiroid. Pada pemeriksaan ini pasien diberi NaI
peroral dan setelah 2 4 jam secara fotografik ditentukan konsentrasi yodium
radioaktif yang ditangkap oleh tiroid.

Dari hasil sidik tiroid dapat di bedakan 3 bentuk, yaitu :

a) Nodul dingin bila penangkapan yodium nihil atau kurang dibandingkan


sekitarnya. Hal ini menunjukkan fungsi yang rendah
b) Nodul panas bila penangkapan yodium lebih banyak daripada sekitarnya.
Keadaan ini memperlihatkan aktivitas yang berlebih.
c) Nodul hangat bila penangkapan yodium sama dengan sekitarnya. Ini berarti
fungsi nodul sama dengan bagian tiroid yang lain.
Pemeriksaan ini tidak dapat membedakan apakah nodul itu ganas atau jinak.

b. Pemeriksaan Fisik
a) Jumlah nodul : satu (soliter) atau lebih dari satu (multipel)
b) Konsistensi : lunak, kistik, keras, atau sangat keras
c) Nyeri pada penekanan : ada atau tidak
d) Pembesaran kelenjar getah bening di sekitar tiroid : ada atau tidak ada.
c. Pemeriksaan ultrasonografi (USG)
Dengan pemeriksaan USG dapat dibedakan antara yang padat, cair, dan beberapa
bentuk kelainan, tetapi belum dapat membedakan dengan pasti apakah suatu nodul
ganas atau jinak. Kelainan kelainan yang dapat didiagnosis dengan USG ialah :

a) Kista : kurang lebih bulat, seluruhnya hipoekoik sonolusen, dindingnya tipis.


b) Adenoma/nodul padat : ISO atau hiperekoik, kadang disertai halo yaitu suatu
lingkaran hipoekoik disekilingnya.
c) Kemungkinan karsinoma : nodul padat, biasanya tanpa halo.
d) Tiroiditis : hipoekoik, difus meliputi seluruh kalenjer.
Pemeriksaan ini dibandingkan pemeriksaan sidik tiroid lebih menguntungkan
karena lebih dapat membedakan antara yang jinak dan ganas.

d. Biopsi aspirasi jarum halus


Biopsi ini dilaklukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan.
Kerugian pemeriksaan dengan cara ini adalah dapat memberikan hasil negatif palsu
karena lokasi lokasi biopsi kurang tepat, teknik biopsi kurang benar, pembuatan
preparat yang kurang baik atau positif palsu karena salah interpretasi oleh ahli
sitologi.

e. Termografi
Termografi adalah metode pemeriksaan berdasarkan pengukuran suhu kulit pada
suatu tempat dengan memakai Dynamic Telethermography. Pemeriksaan ini
dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Hasilnya
disebut panas jika perbedaan panas dengan sekitarnya > 0,90 C dan dingin apabila <
0,90 C. pada penelitian Alves dkk, didapatkan bahwa pada yang ganas semua hasilnya
panas. Pemeriksaan ini paling sensitif dan spesifik bila dibandingkan dengan
pemeriksaan lain.

f. Pertanda tumor
Pada pemeriksaan ini yang diukur adalah peninggian tiroglobulin (Tg) serum, kadar
Tg serum normal antara 1,3 30 ng/ml, pada kelainan jinak rata-rata 323 ng/ml, dan
pada keganasan rata-rata 424 ng/ml.

6. Penatalaksanaan
a. Strumektomi
Strumektomi dilakukan pada struma yang besar dan menyebabkan keluhan
mekanis, strmektomi juga diindikasikan terhadap kista tiroid yang tidak mengecil
setelah dilakukan biopsi aspirasi jarum halus. Nodul panas dengan diameter > 2,5 mm
dilakukan operasi karena dikhawatirkan mudah timbul hipertiroidisme.
b. L-tiroksin selama 4 5 bulan
Preparat ini diberikan apabila terdapat nodul hangat, lalu dilakukan pemeriksaan
sidik tiroid ulang. Apablia nodul mengecil maka terapi diteruskan namun apabila
tidak mengecil atau bahkan membesar, dilakukan biopsi aspirasi atau operasi.

c. Biopsi aspirasi jarum halus


Cara ini dilakukan pada kista tiroid hingga nodul kurang dari 10 mm.

7. Peran Perawat Dalam Post Operative Care Pada Pasien Dengan Struma Nodosa
Non Toxic

Pembedahan tiroid dapat menyebabkan komplikasi potensial yang fatal selama


fase awal pasca operasi. Penting bagi perawat untuk memiliki pengetahuan dan
kemampuan untuk mendeteksi tanda dan gejala awal dari komplikasi potensial yang
mungkin terjadi dan mengambil langkah yang tepat. Deteksi dini dan respon yang
cepat merupakan kunci untuk mempertahankan patient safety dan untuk
meminimalkan risiko cedera pada klien.

Fase awal pasca operasi dimulai ketika pasien berada di ruang pemulihan atau
recovery room. Asuhan keperawatan difokuskan pada penilaian dan pemeliharaan
status kardiopulmonal dan neurologi, tingkat kenyamanan dan keadaan metabolik
(Roberts and Fenech, 2010). Fase kedua dimulai ketika pasien dipindahkan ke ruang
perawatan. Perawat harus menyadari komplikasi yang biasa terjadi, termasuk
perdarahan, infeksi pada luka, cedera syaraf, dan hipoparatiroidisme sekunder.

Perdarahan pasca pembedahan tiroid terjadi pada 0,1 1,5% pasien, hal ini
dapat terjadi karena banyaknya suplai darah ke organ dan sebagai hasil dari
pemisahan jaringan yang luas akibat pengangkatan kelenjar tiroid. Pada sebagian
besar pasien, perdarahan terjadi pada 6 12 jam pertama pasca pembedahan.
Evaluasi keperawatan paca operasi meliputi observasi dressing luka yang sering,
dimana darah cenderung menumpuk. Segala bentuk observasi perlu
didokumentasikan, seperti volume drainase, konsistensi, warna dan fungsional
drainase. Suction drain umum digunakan untuk menghindari akumulasi darah dan
serum (seroma) setelah pengangkatan tiroid (Morrisey et al, 2008). Luka tiroidektomi
harus dipantau secara ketat untuk kenyamanan pasien. Tandat-tanda perdarahan
seperti hipotensi dan takikardi harus selalu diobservasi oleh perawat.

Tanda-tanda infeksi pada luka tiroidektomi harus diobservasi. Infeksi dapat


disebabkan oleh bakteri Staphylococcus atau Streptococcus. Infeksi pada luka
tiroidektomi jarang ditemukan, hanya sekitar 0,3 0,8% (Rosato et al, 2004).
Pemantauan suhu dan kadar leukosit harus dipantau sebagai indikator dini adanya
infeksi. Kolaborasi pemberian antibiotik dapat menjadi salah satu bentuk intervensi
kolaborasi yang dapat diberikan kepada pasien. Cedera syaraf pada laring merupakan
komplikasi yang paling serius pasca tiroidektomi. Hal ini disebabkan oleh
mekanisme yang berbeda, termasuk sayatan, klem, peregangan syaraf,
skeletonisasion (proses dimana serat kecil saraf dibagi dari struktur utama), kompresi
lokal saraf akibat edema atau hematoma. Perawat perlu memonitor kualitas suara
pasien, refleks menelan dan status pernapasan pasca pembedahan (Beldi dkk, 2004).
Ada kemungkinan paresis pada pita suara pada 6 minggu pertama, tetapi jika selama
12 bulan tidak ada perbaikan maka kerusakan ini akan dianggap permanen.

Hipokalsemia pasca tiroidektomi terjadi pada 1 50 % pembedahan


(Karamanakos et al, 2010). Penyebab hipokalsemia multifaktorial. Penyebab yang
paling umum adalah kerusakan pada kelenjar paratiroid. Gejala hipoparatiroidisme
timbul pada 24 72 jam pasca operasi. Pasien akan menunjukkan rendahnya kadar
kalsium dalam darah atau hipokalsemia dan rasa kesemutan di ekstrimitas.
Pengkajian Trousseaus dan Chvosteks signs dilakukan untuk mengindikasikan
hipokalsemia. Trousseaus sign merupakan kejang yang disebabkan oklusi pada
arterial dengan manset tekanan darah. Trousseaus sign dilakukan dengan
mengkompresi lengan atas dengan manset tensimeter,kembangkan manset tekanan
darah sampai sekitar 20 mmHg di atas tekanan sistolik dan tahan 2 5 menit, dimana
mula-mula timbul rasa kesemutan pada ujung ekstremitas, lalu timbul kejang pada
jari-jari dan tangan. Chvosteks sign dilakukan dengan memukul ringan 2 cm di
depan tragus telinga (bagian telinga yang menonjol kecil di daerah pipi/jambang).
Chvosteks sign terdiri atas kedutan pada otot ya ng dipersarafi oleh saraf fasial
ketika saraf tersebut ditekan sekitar 2 cm. Chvoste ks sign memiliki beberapa
tingkat, yaitu :

Grade 1: kedu tan di sudut bibir


Grade 2: kedu tan di hidung
Grade 3: kedu tan di mata
Grade 4: kedu tan di otot-otot wajah
B. ASUHAN KEPERAWATAN
I. Pengkajian
A. Pengumpulan Data
1. Identitas
Identitas klien meliputi : nama, jenis kelamin, umur, pekerjaan, pendidikan, status
perkawinan, agama, kebangsaan, suku, alamat, tanggal MRS/jam, diagnosa
masuk, No. Reg ruangan, serta identitas yang bertanggung jawab.

2. Keluhan Utama
Biasanya klien mengeluh tidak nyaman karena adanya benjolan pada leher.

B. Riwayat Kesehatan
1. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pada umumnya klien mengeluh nyei dan tidak nyaman pada leher dan klien
merasa takut karena akan dilakukan operasi.

2. Riwayat Kesehatan Dahulu


Meliputi penyakit yang pernah diderita pasien seperti, DM, HT, dan lain-lain.

3. Riwayat Kesehatan Keluarga


Meliputi penyakit-penyakit yang pernah diderita keluarga baik yang menular
ataupun yang menurun seperti DM, HT, TB.

C. Pola pola Fungsi Kesehatan


1. Pola Persepsi dan tatalaksana Hidup Sehat
Meliputi : kebiasaan pola hidup, perawatan diri dan pengetahuan tentang
perawatan kesehatan dirinya.

2. Pola Nutrisi dan Metabolisme


Meliputi : kebiasaan makan (porsi, komposisi) sebelum dan selama MRS dan
kebiasaan minumnya sebelum dan selama MRS, dan biasanya nafsu makan
menurun karena leher terasa tidak nyaman.
3. Pola eliminasi
Biasanya pasien tidak mengeluh adanya gangguan dan kesulitan saat BAB dan
BAK

4. Pola Istirahat tidur


Biasanya pasien saat MRS akan susah tidur karena cemas akan dilakukan operasi.

5. Pola Sensori dan Kognitif


Biasanya tidak terjadi masalah pada sensorinya. Dan pengetahuan klien tentang
penyakitnya kurang, sehingga klien cemas dan sering bertanya tentang
keadaannya.

D. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum
Biasanya tensinya normal, jika tidak ada riwayat HT, Nadi Normal, RR normal
dan suhu mengalami peningkatan dan kesadarannya komposmentis

2. Kepala Leher
Tidak ada pembesaran tonsil, vena jugularis, pembesaran kelenjar tyroid

3. Thorax
Meliputi ada tidaknya kelainan pada daerah dada.

4. Abdomen
Biasanya pada palpasi tidak terdapat masa pada abdomen

II. Diagnosa
1. Nyeri berhubungan dengan agen cedera
2. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penenkanan pada
esophagus, kesulitan menelan
3. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
4. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif

Anda mungkin juga menyukai