Anda di halaman 1dari 21

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kambing merupakan ternak ruminansia kecil yang banyak dikenal di

kalangan bangsa-bangsa di dunia, dan banyak yang menjadikannya sebagai jenis

usaha karena sistem pemeliharaan dan pemasaran hasil produksi (baik daging,

susu, kotoran, maupun kulitnya) relatif mudah. Walaupun banyak dikalangan

masyarakat hanya menjadikan sebagai usaha sambilan dengan jumlah ternak yang

relatif sedikit.

Sejalan dengan meningkatnya jumlah permintaan daging, sehingga

mengakibatkan terjadinya pengurasan ternak di tingkat petani ternak khususnya di

pedesaan. Untuk mengatasi terjadinya kelangkaan ternak, pada petani ternak maka

perlu di berikan informasi mengenai pentingnya sistem pemeliharaan yang baik.

Selain itu sistem pemeliharaan masih dilaksanakan secara tradisional dengan cara

dikandangkan atau setengah digembalakan. Bentuk kandang masih sangat

sederhana. Kambing juga merupakan ternak yang telah lama dipelihara di

Indonesia. Kambing merupakan ternak yang memiliki sifat toleransi tinggi

terhadap bermacam-macam pakan hijauan serta mempunyai daya adaptasi cukup

baik terhadap berbagai keadaan lingkungan.

Ternak kambing memiliki beberapa keunggulan selain fasilitas serta

pengelolaannya yang lebih sederhana dibanding dengan ternak ruminansia besar

sehingga sangat cocok di jadikan sebagai jenis usaha ternak, adapun

keunggulanya yaitu: Sistem reproduksinya efisien dengan umur kedewasaan dan

1
umur kebuntingan yang lebih pendek dari sapi dan kerbau, Daya adaptasi ternak

kambing terhadapa lingkungan yang keras cukup tinggi sehingga dapat

mengosumsi lebih banyak jenis pakan hijauan dan memiliki daya selektif serta

lebih tahan terhadap panas karena air yang di butuhkannya relative sedikit

dibanding dengan ternak lainnya.

Pengembangan kambing mempunyai prospek yang baik karena di

samping untuk memenuhi kebutuhan daging di dalam negeri, juga memiliki

peluang sebagai komoditas ekspor. Jumlah dan mutu bibit merupakan faktor

produksi yang sangat strategis dan menentukan keberhasilan program

pembangunan peternakan.

1.2. Identifikasi Masalah

Permasalahan yang diidentifikasi dalam penelitian ini adalah status faali

terhadap induk kambing Peranakan Etawa (PE) yang melahirkan tunggal dan

kembar.

1.3. Tujuan dan kegunaan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari dan mengetahui status

faali terhadap induk kambing Peranakan Etawa (PE) yang melahirkan tunggal dan

kembar.

Kegunaan dari Penelitian ini diharapkan agar dapat menambah

pengetahuan di bidang peternakan, khususnya status faali terhadap induk

kambing Peranakan Etawa (PE) yang melahirkan tunggal dan kembar.

2
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Deskripsi Kambing

Kambing merupakan mamalia yang termasuk ordo Artiodactyla, Subordo

Ruminansia, Famili Bovidae, dan Genus Capra atau Hemitragus (Devendra dan

Burns , 1994) Menurut Williamson dan Payne (1993), kambing peliharaan terdiri

atas lima spesies yaitu Capra ibex, Capra hircus, Capra Caucasia, Capra

pyrenaica, dan Capra Falconeri.

Berdasarkan sistem pencernaannya, kambing merupakan hewan

memahbiak dengan ukuran tubuh yang berukuran sedang. Pada umumnya,

kambing memiliki janggot, dahi cembung, ekor agak keatas, dan kebnyakan

berbulu kurus dan kasar. Kambing sudah dibudidayakan manusia sekitar 8.000

hingga 9.000 tahun yang lalu. Kambing suka hidup berkelompok 5 sampai 20

ekor. Dalam pengembaraannya mancari pakan, kelompok kambing ini dipimpin

oleh kambing betina yang paling tua. Kambing jantan berfungsi sebagai penjaga

keamanan rombongan (Devendra dan Burns , 1994).

Kambing sudah lama diusahakan oleh petani atau masyarakat sebagai

usaha sampingan atau tabungan karena pemeliharaan dan pemasaran hasil

produksi relatif mudah. Meskipun secara tradisional telah memberikan hasil yang

cukup lumayan, jika pemeliharaannya ditingkatkan pertambahan berat badan

dapat mencapai 50-150 g/hari.

Kambing dapat diklasifikasikan berdasarkan tinggi gumbanya menjadi tiga

kategori yaitu kambing besar, sedang, dan kecil. Kambing termasuk dalam

3
kategori kambing besar apabila memiliki tinggi gumba lebih dari 65 cm, kategori

sedang apabila memiliki tinggi gumba 51-65 cm, dan kambing kecil apabila

memiliki tinggi gumba kurang dari 50 cm (Wiliamson dan Payne, 1993).

Murtidjo (1993) menyatakan bahwa dari jenis kambing tersebut kita

mengenal beberapa jenis kambing kita mengenal beberapa bangsa kambing yang

tersebar diseluruih dunia diantaranya kambing kacang yang dikenal sebagai

kambing lokal Indonesia. Menurut Sarwono (2002), terdapat beberapa bangsa

kambing yang dipelihara di Indonesia , diantaranya kambing Etawa atau PE,

Nubian, Kosta, Benggala, dan kacang. Kambing memiliki keunggulan

dibandingkan dengan ternak ruminansia lain yaitu mampu beradaptasi dengan

baik terhadap berbagai keaadan lingkungan sehingga dapat hidup dan

berkembangbiak sepanjang tahun.

2.2. Kambing Peranakan Etawa (PE)

Kambing PE merupakan kambing hasil persilangan antara kambing etawa

yang berasal dari india dan kambing kacang yang merupakan kambing asli

indonesia sehingga karakteristik kambing PE mewarisi kedua bangsa kambing

tersebut. Bentuk fisik kambing PE lebih mirip dengan Kambing Etawa yaitu

bagian dahi dan hidung cembung, telinga mengantung, warna buluh tubuh putih

dengan bulu pada bagian kepala hitam atau coklat. Kambing PE jantan memiliki

bulu yang lebih tebal dan lebih panjang daripada kambing betina (Mulyono,1999).

Yusnandar (2004) kambing PE memiliki ciri-ciri sebagai berikut : profil muka

cembung, telinga panjang dan menggantung, postur tubuh tinggi, panjang, dan

ramping. Subakat (1985) juga menyatakan bahwa ciri-ciri kambing PE sebagai

4
berikut: Profil muka cembung, hdung agak melengkung, bulu tubuh berwarna

belang hitam, merah, coklat, kadang-kadang putih, telingan panjang dan terkulai,

gelambir cukup besar, tanduknya kecil, dan pada paha bagian belakang terdapat

bulu yang panjang.

Menurut tipenya, rumpun kambing PE termasuk kamng dwi guna

(penghasil daging dan susu). Produksi susunya mencapai 0,45-2,1 liter per hari

per laktasi (Adriani, dkk., 2003). Namun hingga saat ini usaha pemeliharaan

kambing PE lebih banyak ditujukan untuk produksi anak/bibit/daging.

Kemampuan produksi susu, produksi daging, dan performans eksterior kambing

PE masih sangat bervariasi diberbagai lokasi karena seleksi dan sistem

perkawinan yang tidak terarah (Budiarsana dan Sutama, 2006).

Produktvitas kambing PE sangat dipengaruhi oleh tatalaksana

pemeliharaan. kondisi pemeliharaan yang baik memungkinkan kambing dapat

mencapai ukuran dewasa pada umur satu tahun. Sebaiknya, apabila sistem

pemeliharaan kurang baik maka dewasa kelamin baru dicapai pada umur lebih

dari satu tahun. Beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kambing

setelah sapih adalah kualitas dan kuantitas pakan, jenis kelamin, genetik, berat

badan saat disapih, dan faktor lingkungan (Edey,1983).

Rata-rata bobot lahir kambing PE 2,75 kg (Sutama dan Budiarsana, 1996);

3,72 kg (Basuki, dkk., 1982); 2,200,45 kg (Dakhlan, 2007). Bobot badan

kambing PE jantan dewasa dapat mencapai 65-90 kg dan kambing betina 45-70

kg. Tinggi gumba kambing PE jantan 90-110 cm dan betina 70-90 cm; panjang

badan kambing jantan 85-105 cm dan betina mencapai 73 cm (Dinas peternakan

5
Purworejo, 1996). Rata-rata bobot sapih kambing PE 10,18 kg (Basuki,

dkk.,1982), 12,979 kg (Sulastri dan Dakhlan, 2006) sedangkan menurut

Triwulaningsih (1989), bobot sapih kambing PE betina 8,30 kg dan kambing

jantan 9,50 kg.

Masa pubertas kambi jantan dicapai pada umur 6-8 bulan atau pada saat

berat badan mencapai 12,9-18,7 kg dan pada kambing betina pada umur 10-12

bulan atau pada saat berat badan mencapai 13,5-22,5 kg. Kambing PE merupakan

kambing penghasil susu yang baik, puting susunya berbentuk seperti botol dengan

produksi susu 2-3 liter/hari (Dinas Peternakan Purworejo, 1996).

Bervariasinya performan produksi kambing PE ditunjukan oleh

Budiarsana dan Sutama (2006) dalam penelitian yang dilakukan di Balai

Penelitian Ternak Ciawi, daerah sumber bibit kambing PE di Purworejo (Jawa

Tengah) dan Kulonprogo (di Yokyakarta) serta di perusahaan komersial di ciriu,

(Jawa Barat). Melaporkan bahwa bobot badan induk saat dewasa tubuh didaerah

sumber bibit (46 kg). Rata-rata bobot lahir cempe yaitu (3,6 kg), demikian pula

dengan rata-rata produksi susu yang mencapai 766 g/ekor/hari selama 90 hari

pertama laktasi, rata-rata tingkat pertumbuhan anak pra-sapih yang mencapai 84

g/hari, dan berat sapih yang mencapai 11.9 kg/ekor, namun tingkat kematian anak

pra-sapih masih relatif tinggi ( 17.65%). Liter size kambing tidak berbeda yaitu

rata-rata 1,4.

2.3. Jarak Beranak

Jarak beranak merupakan faktor yang sangat menentukan tinggi rendahnya

rata-rata produksi anak yang dihasilkan per tahun semakin pendek jarak beranak,

6
maka semakin tinggi hasil produksi yang diperoleh sedangan semkin cepat

timbulnya estrus setelah melahirkan mengindikasikan bahwa kambing tersebut

telah siap untuk dikawinkan kembali. Beberapa faktor yang mempengaruhi

panjang pendeknya jarak beranak antara lain adalah bangsa, umur kambing,

frekuensi, kandungan nutrisi dalam ransum yang dikonsumsi, dan service per

conception. Tersedianya pejantan dalam jumlah cukup dan fertil dalam

sekelompok ternak berpengaruh terhadap jarak beranak (Abdulgani, 1981). Jarak

beranak adalah periode antara dua beranak yang berurutan yang terdiri atas

periode perkawinan (periode dari beranak sampai konsepsi) dan periode bunting

(Devendra dan Burns, 1994).

Menurut Subandriyo, dkk., (1995) kambing PE yang mendapat pakan

berkadar protein dan energi tinggi memiliki rata-rata jarak beranak 298 hari (9,93

bulan), sedangkan apabila mendapat pakan dengan kadar protein dan energi yang

rendah memiliki jarak beranak 385 hari (12,83 bulan).

Menurut Sulastri dan Dakhlan (2006) tingginya jarak beranak kambing-

kambing PE disebabkan oleh bercampurnya anak dan induk pada masa menyusui

yang berlangsung 3-4 bulan sehingga memperlambat terjadinya estrus kembali

setelah induk melahirkan. Menurut Suranindiyah dan Rustamadji (1999), induk

kambing yang dipisahkan dari anaknya setelah melahirkan mengalami estrus

kembali 321,78 hari setelah beranak sedangkan yang dicampur dengan anaknya

74,504,73 hari setelah beranak.

Lamanya jarak beranak pada kambing dipengaruhi oleh lama menyusui,

postpartum mating (perkawinan setelah beranak), dan service per conception.

7
Rata-rata lama menyusui kambing PE 90 sampai 120 hari, timbulnya birahi

kembali 30 sampai 40 hari setelah beranak. Rata-rata jumlah anak per kelahiran

kambing PE 1,56 ekor. Ketahuan tumbuh sampai sapi kambing PE 92%. Kiding

interval (jarak beranak) maksimum kambing PE 450 hari. Doe reproduction index

(indeks reproduksi induk) kambing PE 1,65 ekor (Sodiq, dkk.,2002).

Quartemain (1975) menyatakan bahwa jarak beranak antara lain

dipengaruhi oleh kondisi cempe yang dilahirkan induk. Induk-induk kambing

zambia di Afrika Tenggara yang cempenya mati pada saat dilahirkan

memperlihatkan bahwa rata-rata jarak beranak selama 180 hari, sedangkan induk-

induk kambing yang menyusui cempenya selama lebih dari satu bulan memiliki

jarak beranak 223 hari..

2.4. Jumlah Anak Per Kelahiran

Jumlah anak perkelahiran mencerminkan tingkat kesuburan seekor induk

yang dipengaruhi oleh bangsa kambing, umur induk dan frekuensi melahirkan.

Kriteria kesuburan merupakan rata-rata banyaknya anak perkelahiran yang

dihitung selama tiga kali kelahiran berturut-turut dari kelahiran pertama sampai

ketiga.

Salah satu kriteria kesuburan seekor induk kambing tercermin pada

seringnya dan keturunan beranak kembar. Kejadian kelahiran kembar pada ternak

kambing maupun domba sangat diharapkan, karena hasil yang diperoleh lebih

menguntungkan dari pada hasil kelahiran tunggal. Peningkatan terjadinya

kelahiran kembar berarti peningkatan produksi daging yang akan dihasilkan

(Abdulgani,1981).

8
Subandriyo (1993) menyatakan Liter size adalah banyaknya atau jumlah

anak perkelahiran dari seekor induk. Pada umumnya besar liter size adalah 2 ekor,

walaupun terdapat sedikit persentase induk dengan jumlah anak lahir 4 atau 5

ekor. Wodzika, dkk. (1993) Menyatakan jumlah anak yang banyak adalah

keadaan yang diharapkan dan merupakan sasaran dari rencana pemulihan

kambing yang mengaruh pada produksi daging. Jumlah anak perkelahiran dapat

ditingkatkan dengan persilangan yang tepat antara jenis kambing yang subur

dengan yang tidak subur.

Pada kondisi normal, persentase kelahiran mencapai 95% adalah biasa dan

sekitar 7-15% dari kambing betina dapat melahirkan 3 anak dan lebih dari 50%

dapat melahirkan 2 anak (Barry dan Godke, 1997). Liter size dipengaruhi oleh

beberapa faktor yaitu: umur induk, bobot badan, tipe kelahiran, pengaruh

pejantan, musim dan tingkat nutrisi (Land dan Robinson, 1985).

Ditinjau dari produktivitas induk, tipe kelahiran kembar lebih

menguntungkan dari pada tunggal walaupun bobot lahir cempe tipe tunggal lebih

tinggi karena produktivitas induk dihitung berdasarkan bobot sapih total cempe

(Hardjosubroto, 1994). Liter size memegang peranan penting dalam menentukan

laju peningkatan populasi ternak kambing karena jumlah anak sekelahiran yang

tinggi akan memengaruhi kenaikan populasi. (Doloksaribu, dkk. 2005). Badriyah,

dkk. (2012) Rata-rata liter size kambing PE 1,830,56 ekor untuk perkawinan

alam dan 2,390,92 ekor pada hasil perkawinan inseminasi buatan . Dakhlan, dkk.

(2009) melaporkan bahwa rata-rata liter size kambing PE yang mendapat pakan

9
tradisional (1.6000,225 ekor) tidak berbeda (P>0,01) dengan yang mendapat

pakan rasional (1,6670.283).

2.5. Bobot Sapih

Bobot sapih merupakan hasil penimbangan cempeh saat dipisahkan

pemeliharaannya dari induknya. Pertumbuhan selama periode bersapih akan

menentukan bobot ternak saat disiplin. Bobot sapih dijadikan kriteria dalam

melakukan seleksi karena merupakan indikator kemampuan induk dalam

menghasilkan susu dan merawat anak-anaknya. Selain itu, seleksi juga dapat

digunakan untuk menduga kemampuan pertumbuhan anak kambing (cempe)

setelah sapi (Hardjosubroto, 1994).

Umur induk kambing berpengaruh nyata terhadap bobot lahir dan rata-rata

pertumbuhan ternak sebelum sapih. Kambing dengan umur yang masih muda

akan melahirkan anak dengan bobot yang lebih kecil dibandingkan dengan

kambing yang melahirkan pada umur yang lebih dewasa. Hal ini disebabkan

belum sempurnanya kemampuan induk muda untuk menghasilkan susu. Kambing

dewasa dengan tubuh lebih lebih besar mampu memproduksi susu dengan kualitas

dan kuantitas dengan baik kareba sel-sel kambing mengalami peningkatan dalam

jumlah dan ukuran seiring dengan meningkatnya umur kambing (Schmidt dan

Van Vleck, 1974).

Sulastri (2001) menjelaskan bahwa bobot sapih sangat berkaitan erat

dengan kemampuan ternak untuk tumbuh dan berkembang setelah disapih karena

terdapat kolerasi genetik positif dan tinggi antara bobot sapih dengan

pertumbuhan pasca sapih. Bobot sapih juga mencerminkan kemampuan maternal

10
induk dalam merawat dan menyususi anak-anaknnya. Supriyono (2005)

menyatakan bahwa rata-rata bobot sapih kambing PE 9-11 kg, menurut Sulastri

dan Dakhlan (2006) 12,930,556 kg.

Hardjosubroto (1994) menjelaskan bahwa bobot sapih cempe dipengaruhi

oleh umur induk, tipe kelahiran, tipe pemeliharaan, dan jenis kelamin. Semakin

tua umur induk, bobot lahir cempe semakin tinggi namun bobot lahir lahir cempe

dari induk kambing yang sudah berumur 5 tahun semakin menurun. Cempe

dengan bobot lahir tinggi dapat diprediksi akan memiliki bobot sapih yang tinggi

pula apabila mendapat lingkungan yang ideal. Cempe jantan juga memiliki bobot

lahir dan bobot sapih yang tinggi karena pengaruh hormon testosteron yang

mendorong tingginya nafsu makan pada individu jantan (Hardjosubroto, 1994).

2.6. Indeks Produktivitas Induk

Hardjosubroto (1994) menyatakan bahwa evaluasi terhadap induk dapat

dilakukan dengan menghitung rata-rata indeks berat sapih anak, rata-rata berat

sapih anak, efisiensi reproduksi, dan indeks produktivitas induk. Indeks

produktivitas induk merupakan kemampuan induk untuk menghasilkan anak

dengan bobot badan pada umur tertentu. Nilai IPI didapat dari hasil perkalian

antara jarak berank, jumlah anak per kelahiran dan bobot ternak pada umur

tertentu.

Indek produktivitas induk juga dapat digunakan sebagai dasar untuk

mencari induk yang unggul. Seleksi dilakukan untuk mempertahankan induk

dalam satu populasi agar dapat memberi keturunan yang sama dengannya atau

bahkan lebih baik. Tujuan seleksi ini antara lain bertujuan untuk memilih induk

11
yang akan tetap tinggal didalam koloni, memilih induk yang akan menjadi tetua

bagi keturunannya, dan memilih induk yang akan menjadi induk bagi calon

pengantinnya (Subakat,1985).

Beberapa faktor yang menjadi penentu besaran nilai IPI ini antara lain

adalah jarak beranak, jumlah anak perkelahiran, dan bobot sapih. Jarak beranak

mencerminkan tingkat kesuburan seekor induk, semakin cepat seekor induk

melahirkan maka semakin pendek jarak beranaknya dan menyebabkan nilai

produktivitasnya semakin tinggi. Selain itu, jumlah anak perkelahiran juga

menentukan besar kecilnya nilai IPI seekor induk. Salah satu kriteria kesuburan

seekor induk kambing tercermin keteraturannya dalam melahirkan dan tingginya

frekuensi induk tersebut dalam melahirkan anak kembar. Tingginya frekuensi

kelahiran kembar berarti meningkatkan produksi daging yang akan dihasilkan

induk dari cempe yang dilahirkan (Abdulgani, 1981).

Indeks produktivitas induk digunakan untuk mengevaluasi produktivitas

induk hasil silangan suatu ternak. Evaluasi ternak silangan terhadap ternak betina

yang sudah menjadi induk karena jumlah dan produktivitas induk sangat

menentukan perkembangan populasi anak dan produksi anak (Basuki, dkk.,1998)

Semakin tinggi nilai IPI seekor induk maka semakin tinggi pula produktivitas

induk tersebut. Dari IPI kambing PE yang diaamati di CV. Prima Breed

Kelurahan Tondo Kecamatan Mantikulore sebesar 25,535,57 kg.

2.7. Status Faali Kambing Lokal Induk

Fisiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang tata kerja dari berbagai

sistem dan peran dari fungsi tubuh keseluruhannya. Percobaan status faali

12
bertujuan untuk mengetahui data-data fisiologi yaitu temperature rektal, pulsus,

dan frekuensi respirasi pada kambing, Percobaan tersebut dapat digunakan untuk

mengetahui kondisi kesehatan ternak. Hal tersebut dapat menguntungkan karena

semakin dini diketahui kelainan pada seekor ternak maka penanggulangannya

akan semakin mudah untuk diatasi. Selain melalui status faali, berdasarkan

jumlah sel darah merah ternak, dapat diketahui kondisi kesehatannya dengan

melihat atau mengamati dan mengukur jumlah sel darah merah dan

membandingkannya dengan kisaran normal dari jenis ternak tertentu. Sistem faali

yang meliputi respirasi, pulsus, dan temperature rektal merupakan suatu parameter

digunakan untuk mengetahui kondisi atau keadaan kesehatan suatu ternak yang

dapat dilakukan dengan percobaan langsung (Galem et. al., 2012).

Kondisi status faali ternak merupakan indikasi dari kesehatan dan adaptasi

ternak terhadap lingkungannya. Ternak akan selalu beradaptasi dengan

lingkungan tempat hidupnya, apabila lingkungan dengan suhu dan kelembapan

yang tinggi dapat menyebabkan stress (cekaman) karena system pengaturan panas

tubuh dengan lingkungannya menjadi tidak seimbang.

2.7.1. Respirasi

Respirasi adalah suatu proses dimana pertukaran zat metabolisme dan

gas asam arang atau oksigen yang diambil dari udara oleh paru sampai paru

dan mengalami proses kimia dalam jaringan tubuh yang dilepaskan dalam

bentuk karbon dioksida (CO2). Respirasi memiliki dua proses, yaitu respirsi

eksternal dan respirasi internal. Terjadinya pergerakan karbon dioksida ke

13
dalam alveolar ini disebut respirasi eksternal. Respirasi internal dapat terjadi

apabila oksigen berdifusi ke dalam darah (Campbell, 2001).

Respirasi berfungsi sebagai parameter yang dapat digunakan sebagai

pedoman untuk mengetahui fungsi organ sampai organ tubuh bekerja secara

normal. Fungsi utama pada respirasi yaitu menyediakan oksigen bagi darah

dan mengambil karbon dioksida dari darah. Pengukuran terhadap parameter

fisiologis bisa dilakukan dengan pengukuran respirasi, detak jantung dan

temperatur tubuh (Schmidt, 1997).

Tabel 1.1. Kisaran normal respirasi beberapa ternak

Spesies Kisaran respirasi ( Kali per menit)


Sapi 24-42
Kambing 26-54
Domba 26-32
(Frandson, 1996).

2.7.2. Pulsus

Frekuensi pulsus atau denyut jantung dikendalikan oleh sistem organ

jantung yang dipengaruhi oleh sistem saraf. Jantung merupakan dua pompa

yang menerima darah dalam arteri dan memompakan darah dari ventrikel

menuju jaringan kemudian kembali lagi. Sistem ini bekerja dengan

kombinasi tertentu dan fungsional. Misalnya saraf efferens, saraf cardial

anhibitory, dan saraf accelerate, sedangkan kecepatan denyut jantung dapat

dipengaruhi oleh temperatur lingkungan, aktivitas tubuh, suhu tubuh, letak

geografis, penyakit dan stress (Dukes, 1995).

14
Frekuensi denyut jantung yang ekstrim pada ternak menandakan

kondisi fisiologis ternak pada saat itu tidak nyaman. Pada ternak besar

seperti sapi, pulsus atau denyut jantung dapat dirasakan dari arteri fasial yang

terdapat disekitar femur horizontal dari mandibula atau dapat juga dirasakan

pada arteri caudalis. Arteri femural pada sisi medial, mudah diraba untuk

hewan ternak seperti domba, dan kambing. (Frandson, 1996).

Tabel 1.2. Kisaran denyut jantung normal untuk berbagai jenis ternak

Spesies Kisaran denyut jantung ( Kali per menit)


Sapi 70-135
Kambing 60-120
Domba 60-70
(Frandson 1996).

2.7.3. Temperatur rektal

Temperatur rektal adalah sebuah indeks temperatur tubuh yang paling

mudah diperoleh pada hewan dengan memasukkan termometer pada rektum.

temperatur rektal pada ternak dipengaruhi beberapa faktor yaitu temperatur

lingkungan, aktivitas, pakan, jumlah air yang diminum, dan pencernaan

produksi panas oleh tubuh secara tidak langsung pada makanan yang

diperolehnya dan banyaknya persediaan makanan dalam saluran pencernaan.

Suhu normal adalah panas tubuh dalam Thermo Neutral Zone pada aktifitas

tubuh terendah. Variasi normal suhu tubuh akan berkurang bila mekanisme

thermoregulasi telah bekerja sempurna dan hewan telah dewasa. Variasi suhu

tubuh normal ternak adalah 37 - 39 (Dukes, 1995).

15
Ternak dapat bergerak karena kontraksi otot rangka, kontraksi otot

terjadi akibat perubahan energi kimia yang menjadi energi mekanis. Hal ini

menyebabkan pelepasan kalor tubuh sehingga terjadi peningkatan temperatur

tubuh (Ganong, 2003).

Tabel 1.3 Kisaran normal temperatur rektal untuk berbagai jenis ternak

Spesies Rata-rata temperatur ( ) Kisaran ( )


Kambing 39,1 38,5-39,7
Domba 38,75 38,5-39,0
Sapi 38 36,7-39,1
(Smith, 1988)

16
III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada CV. Prima Breed Kelurahan Tondo

Kecamatan Mantikulore berlangsung dari bulan Maret sampai dengan bulan Mei

2015.

3.2. Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan antara lain adalah catatan perkawinan,

20 ekor induk kambing PE yang sudah melahirkan sedikitnya dua dua kali dan

sudah menyepih anaknya pada dua kelahiran; catatan bobot lahir dan bobot sapih,

jenis kelamin, tipe kelahiran, dan tipe pemeliharaan cempe dari setiap induk.

3.3. Metode Penelitian

3.3.1. Metode penelitian

Meode yang digunakan adalah metode survei. Survei dilakukan pada

CV. Prima Breed Kelurahan Tondo Kecamatan Mantikulore. Data sekunder

diperoleh dengan cara mengambil data induk dan cempe. Data induk akan

diamati meliputi umur induk, frekuensi melahirkan, jarak beranak, dan litter

size. Data cempe yang akan diamati meliputi jenis kelamin, bobot lahir dan

sapih, umur sapih dan tipe kelahiran cempe dari 20 ekor induk kambing PE.

3.3.2. Prosedur penelitian

A. Melakukan survey ke lokasi peternakan;

B. Menenukan kambing yang akan dijadikan sampel;

C. Melakukan pendekatan kambing yang sesuai dengan kriterianya;

17
D. Menentukan presentase pengambilan sampel.

E. Menentukan kambing sampel secara acak;

F. Mencatat umur induk , frekuensi melahirkan, dan jarak beranak;

G. Mencatat data bobot, jenis kelamin, tipe kelahiran yang merupakan anak

dari seluruh induk yang diamati pada kelahiran pertama dan kedua;

H. Menghitung bobot sapih terkoreksi cempe perkelahiran perin induk;

I. Menghitung jarak beranak masing-masing induk;

J. Menghitung IPI dari masing-masing dan mengurutkan induk dari IPI

tertinggi sampai terendah;

K. Menentukan induk yang memiliki nilai IPI terbaik.

3.3.3. Perubahan yang Diamati

Perubahan yang diamati dalam penelitian.

A. Induk

1) Unur induk saat melahirkan

Umur induk ( tahun) pada saat melahirkani pertama dan kedua

digunakan sebagai kore ksis ebagai faktor kreasi dalm penghitungan

bobot sapih terkoreksi.

2) Jarak Beranak

Jarak beranak (hari) adalah interval atau selang waktu antara suatu

kelahiran dengan kelahirkan dengan kelahiran dengan kelairan

berikutnya.

18
3) Jumlah anak per kelahiran

Jumlah anak perkelahiran ( ekor) merupakan jumlah anak yang

dilahirkan pada setiap kelahiran. Penghitung dilakukan pada kelahiran

pertam dan kedua.

B. Anak

1) Bobot Lahir

Bobot lahir (kg) diperoleh daro rekording hasil dari penimbngan cempe

sampai dengan 24 jam setelah dilahirkan. Cempe yang catatan bobot

lahirnya diambil sebagai data penelitian adalah anak-anak dari 40 ekor

induk kambing PE.

2) Bobot sapih cempe per kelahiran per induk

Bobot sapih cempe (kg) diperoleh dari rekordong cempe saat dipisahkan

dari induknya.

3) Umur sapih

Umur sapih (hari) merupakan umur saat cempe dipistahkan dari

induknya;

4) Tipe kelahiran

Tipe kelahiran anak pada saat lahir yaitu jumlah anak yang dilahirkan

pada saat kelahiran, apakah tipe kelahiran tunggal atau kembar.

3.4. Analisis Data

3.4.1. Data bobot sapih

Data bobot sapih dikoreksi terhadap umur induk, jenis kelamin, dan

umur sapih 120 hari dengan rumusan sebagai beriku:

19
( )
BSt=(BL )( )( )( )
( )

Keterangan :

BSt = Bobot sapih terkoreksi (kg)

BS = Bobot Sapih (kg)

BL = Bobot Lahir (kg)

FKJK = Faktor Koreksi jenis kelamin

FKUI = Faktor koreksi umur induk

FKTK = faktor koreksi tipe kelahiran dan tipe pemeliharaan

Faktor koreksi tipe kelahiran dan tipe pemeliharaan menggunakan faktor

sesuai sebagai berikut :

Tabel 1. Faktor koreksi untuk tipe kelahiran dan pemeliharaan.

Tipe Kelahiran Tipe pemeliharaan Faktor Koreksi


Kembar Kembar 1,15
Kembar Tunggal 1,10
Tunggal Tunggal 1,00

Faktor koreksi jenis kelamin (FKJK) cempe betina diperoleh dengan rumus

sebagai berikut :

FKJK=

Cempe jantan FKJK sebesar 1. Faktor Koreksi umur indiuk (FKUI)

mengunakan faktor koreksi pada tabel 2.

20
Tabel 2. Faktor Koreksi umur induk kambing saat melahirkan.

Umur induk saat melahirkan Faktor Koreksi Umur Induk


(tahun) (FKUIP)
1 1,21
2 1,10
3 1,05
4 1,03
5 1,00
6 1,02
7 1,05
8 1,06
9 1,15

3.4.2. Nilai IPI

Nilai IPI dihitung dengan rumus sebagai berikut :

IPI xlitter size x BS


( )

Keterangan :

BSt = Bobot sapih terkoreksi (kg)

Litter size = Jumlah Cempe per kelahiran (ekor)

Jarak beranak = selang waktu antara kelahiran pertama dan kelahiran

Berikutnya

3.4.3. Menentukan induk kambing dengan nilai IPI yang terbaik

Berdasarkan nilai IPI masing-masing induk kambing yang diperoleh

selanjutnya dipilih 5 induk dengan nilai ipi tertinggi, untuk dipilih sebagai tetua

yang nantinya dapat dikembangbiakkan di wilayah tersebut.

21

Anda mungkin juga menyukai