Didalamnya
- Pemangku
Republik Indonesia
- Sejak
11 Februari 1950
- Perisai
Di bagian tengah Garuda, melambangkanPancasila, ideologi nasional Indonesia
- Penopang
Garuda (penopang tunggal)
- Semboyan
Bhinneka Tunggal Ika
- Elemen
Jumlah bulu Garuda melambangkan tanggal 17 Agustus 1945, hari kemerdekaan Republik Indonesia
- Penggunaan
- Lambang Negara (contoh pada Paspor Indonesia dan dokumen resmi kenegaraan)
- sebagai lambang kenegaraan dan ideologi nasional
- penggunaan resmi kenegaraan lainnya
Lambang negara Indonesia adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal
Ika. berbentuk burung Garuda yang kepalanya menoleh ke sebelah kanan (dari sudut pandang
Garuda), perisai berbentuk menyerupai jantung yang digantung dengan rantai pada leher
Garuda, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang berarti Berbeda-beda tetapi tetap satu ditulis
di atas pita yang dicengkeram oleh Garuda. Lambang ini dirancang oleh Sultan Hamid
II dari Pontianak, yang kemudian disempurnakan oleh Presiden Soekarno, dan diresmikan
pemakaiannya sebagai lambang negara pertama kali pada Sidang KabinetRepublik Indonesia
Serikat tanggal 11 Februari 1950. Lambang negara Garuda Pancasila diatur penggunaannya
dalam Peraturan Pemerintah No. 43/1958.
Jika ditelaah lebih jauh, keberadaan dan sejarah burung garuda ternyata sudah tercipta sejak
zaman berdirinya Indonesia. Burung garuda yang menjadi dasar ideologi dan lambang negara
ini, yaitu Garuda Pancasila sebenarnya adalah representasi dari elang jawa atau Javan Hawk
Eagle Nisaetus bartelsi yang memiliki warna bulu berwarna emas.
Burung garuda yang akhirnya menjadi Garuda Pancasila bagi bangsa Indonesia tersebut ditemukan dalam
sejarah mitologi Hindu dan Buddha. Di dalam Mitologi Buddha, burung garuda ini digambarkan sebagai
burung pemakan daging yang hebat dan memiliki kemampuan berorganisasi secara sosial. digambarkan
sebagai setengah manusia dan setengah burung yang sering digunakan oleh Dewa Wisnu sebagai
kendaraannya. Burung garuda juga menjadi raja dari para burung. Bahkan pada tradisi Bali sejak zaman
dahulu kala, burung garuda ini dimuliakan sebagai tuan segala makhluk yang dapat terbang serta
dimuliakan pula sebagai raja agung para burung.
Posisi mulia burung garuda sejak zaman kuno telah menjadikan burung garuda sebagai Garuda Pancasila
yang menjadi lambang serta ideologi bangsa Indonesia. Bahkan menurut Peraturan Pemerintahan No. 66
Tahun 1951, menjelaskan bahwa lukisan garuda tersebut diambil dari beberapa candi sejak abad ke-6
sampai ke-16. Raja-raja di Indonesia ternyata sudah sejak lama menggunakan burung garuda sebagai
lambang kerajaan mereka.
Sejarah Penciptaan Lambang Garuda Pancasila
Hampir seluruh penduduk Indonesia mengetahui bahwa Garuda Pancasila adalah lambang negara
sekaligus menjadi ideologi banga Indonesia. Namun, pastilah masih banyak di antaranya yang tidak
mengetahui sejarah penciptaan Garuda Pancasila sebagai lambang negara kita. Bahkan mungkin sama
sekali tidak mengetahui siapa orang yang sangat berjasa dalam merancang Garuda Pancasila ini.
Tokoh yang sangat berperan dalam perancangan Garuda Pancasila adalah Sultan Hamid II yang terlahir
dengan nama lengkap Syarif Abdul Hamid Alkadrie. Sultan Hamid II ini adalah putra sulung Sultan
Pontianak. Ia lahir di Pontianak pada 12 juli 1913.
Ketika Republik Indonesia Serikat terbentuk, Sultan Hamid II ini diangkat menjadi Menteri Negara Zonder
Poto Folio dan selama menjabat sebagai menteri negara tersebut, ia mendapatkan tugas dari Presiden
Soekarno untuk merencanakan, merancang dan merumuskan gambar lambang negara. Perintah inilah yang
kemudian menjadi dasar penciptaan Garuda Pancasila.
Ide perisai Pancasila muncul ketika Sultan Hamid II yang sedang merancang lambang negara
teringat dengan ucapan Presiden Soekarno yang menyatakan bahwa hendaknya lambang negara itu
seharusnya mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar Indonesia, yang sila-sila dari dasar negara
tersebut adalah Pancasila sehingga akhirnya nanti dapat tercipta Garuda Pancasila. Dengan menambahkan
pita yang bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika akhirnya jadilah lambang negara Indonesia tersebut
menjadi Garuda Pancasila. Namun, gambar Garuda Pancasila itu dahulu terlihat sebagai kepala burung
rajawali yang masih gundul dan tidak berjambul seperti sekarang.
Presiden Soekarno untuk pertama kalinya memperkenalkan lambang negara Garuda Pancasila ini
kepada seluruh penduduk Indonesia pada 15 Februari 1950 di Hotel Des Indes Jakarta. Selanjutnya setelah
pengumuman tersebut, Presiden Soekarno terus melakukan perbaikan pada bentuk Garuda Pancasila.
Lalu pada 20 Maret 1950, Presiden Soekarno memberikan perintah kepada pelukis istana bernama Dullah
untuk kembali melukiskan lambang Garuda Pancasila tersebut dengan melakukan penambahan dan
perbaikan. Penambahan dan perbaikan yang dilakukan adalah pemberian jambul pada kepala Garuda
Pancasila. Terjadi perubahan pula pada posisi cakar kaki Garuda Pancasila yang mencengkeram pita di
belakang pita menjadi di depan pita.
Rancangan Garuda Pancasila yang terakhir yang setelah diberikan skala ukuran dan tata warna oleh
Sultan Hamid II, akhirnya patung besar Garuda Pancasila yang terbuat dari bahan perunggu berlapis emas
pun diciptakan. Patung itu disimpan dalam Ruang Kemerdekaan Monumen Nasional.
Garuda Pancasila terbagi menjadi tiga bagian dalam pemaknaannya, yaitu gambar Garuda Pancasila
sebagai burung garuda yang tegak perkasa dengan kedua sayap membentang lebar dan kepala menoleh ke
arah kanan.
1. Makna Bagian Garuda Pancasila - Makna pada Tubuh Garuda
Bulu pada masing-masing sayap pada Garuda Pancasila berjumlah tujuh belas helai yang artinya
melambangkan tanggal 17. Bulu ekor pada Garuda Pancasila ini berjumlah 8 yang melambangkan bulan
delapan. Bulu leher pada gambar Garuda Pancasila yang berjumlah empat puluh lima ini melambangkan
tahun 45. Jadi jika dirangkai secara keseluruhan maka memiliki makna bahwa bahwa yang tercantum dan
angka-angka yang digambarkan pada Garuda Pancasila itu adalah Hari Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia. Lambang perisaiyang terdapat dibagian depan Garuda Pancasila tersebut melambangkan
perjuangan dan perlindungan bangsa Indonesia.
Gambar bintang melambangkan sila pertama dari Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.
Gambar rantai melambangkan sila kedua dalam Pancasila yang artinya Kemanusiaan yang Adil dan
beradab. Gambar pohon beringin yang terdapat pada perisai Garuda Pancasila ini melambangkan sila
ketiga yaitu Persatuan Indonesia. Sedangkan Kepala Banteng melambangkan kerakyatan yang Dipimpin
oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan yang menjadi sila keempat. Sila yang
terakhir dilambangkan dengan padi dan kapas yang artinya adalah Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia.
Ada beberapa warna yang terdapat pada Lambang Garuda Pancasila ini. Warna-warna yang dipakai
menjadi warna pada lambang Garuda Pancasila ini memiliki arti dan makna tersendiri. Warna
merah memiliki artian keberanian. Warna putih memiliki arti kesucian, kebenaran, dan
kemurnian. Warna kuning berarti kebesaran, kemegahan, dan keluhuran.Warna hijau artinya adalah
kesuburan dan kemakmuran. Dan warna yang terakhir adalah hitam yang memiliki makna keabadian.
Warna-warna yang dipakai dalam lambang Garuda Pancasila ini tidak boleh diletakkan
sembarangan karena warna-warna tersebut sudah ditentukan diletakkan pada bagian-bagian yang mana
saja di lambang Garuda Pancasila.
Warna kuning diletakkan sebagai warna Garuda Pancasila, untuk warna bintang, rantai, kapas, dan
padi.
warna merah digunakan sebagai warna perisai kanan bawah dan kiri atas yang terdapat pada
lambang Garuda Pancasila ini.
Warna putih dipakai untuk memberikan warna perisai kanan atas dan kiri bawah. Pita yang
dicengkeram dalam Garuda Pancasila ini juga diberikan warna putih.
Warna hijau digunakan sebagai warna pohon beringin.
Warna hitam menjadi warna kepala banteng yang terdapat dalam lambang Garuda Pancasila ini.
Warna hitam juga digunakan untuk warna perisai tengah latar belakang bintang, serta untuk
mewarnai garis datar tengah perisai. Warna hitam ini juga digunakan sebagai warna tulisan untuk
semboyan "Bhinneka Tunggal Ika".
5. Makna Semboyan Bhinneka Tunggal Ika dalam Garuda Pancasila
Makna dari semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" yang terdapat pada lambang Garuda Pancasila ini
memiliki arti Walau berbeda-beda, tetapi tetap satu jua yaitu Indonesia.
Burung Garuda melambangkan kekuatan dan Warna emas pada burung Garuda melambangkan
kejayaan. Perisai di tengah melambangkan pertahanan bangsa Indonesia. Bintang melambangkan sila
Ketuhanan Yang Maha Esa (sila ke-1). Rantai melambangkan sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
(sila ke-2). Pohon Beringin melambangkan sila Persatuan Indonesia (sila ke-3). Kepala
banteng melambangkan sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam
Permusyawaratan/Perwakilan (sila ke-4). Padi dan Kapas melambangkan sila Keadilan Sosial Bagi
Seluruh Rakyat Indonesia (sila ke-5). Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa. Itu
merupakan kalimat penggalan dari bait kakawin Sutasoma.
Saya akan mencoba menguraikannya, menurut pandangan berbagai sumber dan juga pengetahuan saya
sendiri, karena kata-kata Bhineka Tunggal Ika tersebut berasal dari Bahasa Jawa Kuno, dimana
maknanya masih sama dengan bahasa Jawa yang ada saat ini.
Kata Bhineka Tunggal Ika jika dipisah menurut maknanya menjadi: Bhina-Ika-Tunggal-Ika. Kalau
diterjemahkan menjadi bahasa Jawa saat ini, paling tidak menjadi Beda-Iku-Tunggal-Iku. Kalau
dijadikan Bahasa Indonesia menjadi Berbeda itu kesatuan itu. Setelah kata-kata tersebut diolah agar
mudah dipahami, maka menjadi Terpecah belahlah itu, tetapi satu jualah itu. Sedangkan untuk
kata Tan-Hana-Dharma-Mangrwa, jika diartikan dalam bahasa Jawa sekarang menjadi Tan-Ana-
Kasunyatan- kalau Bhs Indonesianya sih berarti Rancu). Sehingga ketika diolah menjadi Tidak ada
kerancuan dalam kebenaran.
Sebagai filsafat dan pandangan hidup bangsa Indonesia, Pancasila telah menjadi obyek aneka kajian
filsafat. Antara lain terkenallah temuan Notonagoro dalam kajian filsafat hukum, bahwa Pancasila adalah
sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Sekalipun nyata bobot dan latar belakang yang bersifat
politis, Pancasila telah dinyatakan dalam GBHN 1983 sebagai "satu-satunya azas" dalam hidup
bermasyarakat dan bernegara. Tercatat ada pula sejumlah naskah tentang Pancasila dalam perspektif suatu
agama karena selain unsur-unsur lokal ("milik dan ciri khas bangsa Indonesia") diakui adanya unsur
universal yang biasanya diklim ada dalam setiap agama. Namun rasanya lebih tepat untuk melihat
Pancasila sebagai obyek kajian filsafat politik, yang berbicara mengenai kehidupan bersama manusia
menurut pertimbangan epistemologis yang bertolak dari urut-urutan pemahaman ("ordo cognoscendi"),
dan bukan bertolak dari urut-urutan logis ("ordo essendi") yang menempatkan Allah sebagai prioritas
utama.
Pancasila sebagai falsafah kategori pertama adalah perwujudan bentuk bangunan yang diangan-angankan
dalam penggambaran diatas kertas, dan Pancasila sebagai falsafah kategori yang kedua adalah adanya
lokasi serta tingkat ketersediaan bahan-bahan untuk merealisasikan bangunan yang dicita-citakan.
Pancasila sebagai falsafah yang dimaksudkan adalah tiap sila didalamnya yang (oleh karena perkembangan
sejarah) selain masih tetap berfungsi sebagai landasan ideologis, iapun telah memperoleh nilai-nilai falsafi
didalam dirinya, yang dapat kita masukkan kedalamnya adalah sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan sila
Persatuan Indonesia.
Menurut Hardono Hadi, jika Pancasila menjadi obyek kajian filsafat, maka harus ditegaskan lebih dahulu
apakah dalam filsafat Pancasila itu dibicarakan filsafat tentang Pancasila (yaitu hakekat Pancasila) atau
filsafat yang terdapat dalam Pancasila (yaitu muatan filsafatnya). Mengenai hal ini evidensi atau isyarat
yang tak dapat diragukan mengenai Pancasila terdapat naskah Pembukaan UUD 1945 dan dalam kata
"Bhinneka Tunggal Ika" dalam lambang negara Republik Indonesia. Dalam naskah Pembukaan UUD 1945
itu, Pancasila menjadi "defining characteristics" = pernyataan jatidiri bangsa = cita-cita atau tantangan
yang ingin diwujudkan = hakekat berdalam dari bangsa Indonesia. Dalam jatidiri ada unsur kepribadian,
unsur keunikan dan unsur identitas diri. Namun dengan menjadikan Pancasila jatidiri bangsa tidak dengan
sendirinya jelas apakah nilai-nilai yang termuat di dalamnya sudah terumus jelas dan terpilah-pilah.
Sesungguhnya dalam kata "Bhinneka Tunggal Ika" terdapat isyarat utama untuk mendapatkan informasi
tentang arti Pancasila, dan kunci bagi kegiatan merumuskan muatan filsafat yang terdapat dalam Pancasila.
Dalam konteks itu dapatlah diidentifikasikan mana yang bernilai universifal dan mana yang bersifat lokal
= ciri khas bangsa Indonesia.
Tugas. "Bhinneka Tunggal Ika" secara harafiah identik dengan "E Pluribus Unum" pada lambang negara
Amerika Serikat. Demikian pula dokumen Pembukaan UUD 1945 memiliki bobot sama dengan
"Declaration of Independence" negara tersebut. Buatlah suatu analisis mengenai perbedaan muatan dalam
kedua teks itu. Suatu kajian atas Pancasila dalam kacamata filsafat tentang manusia menurut aliran
eksistensialisme disumbangkan oleh N Driyarkara. Menurut Driyarkara, keberadaan manusia senantiasa
bersifat ada-bersama manusia lain. Oleh karena itu rumusan filsafat dari Pancasila adalah sebagai berikut:
Aku manusia mengakui bahwa adaku itu merupakan ada-bersama-dalam-ikatan-cintakasih ("liebendes
Miteinadersein") dengan sesamaku. Perwudjudan sikap cintakasih dengan sesama manusia itu disebut
"Perikemanusiaan yang adil dan beradab".
Perikemanusiaan itu harus kujalankan dalam bersama-sama menciptakan, memiliki dan menggunakan
barang-barang yang berguna sebagai syarat-syarat, alat-alat dan perlengkapan hidup. Penjelmaan dari
perikemanusiaan ini disebut "keadilan sosial".
Perikemanusiaan itu harus kulakukan juga dalam memasyarakat. Memasyarakat berarti mengadakan
kesatuan karya dan agar kesatuan karya itu betul-betul merupakan pelaksanaan dari perikemanusiaan,
setiap anggauta harus dihormati dan diterima sebagai pribadi yang sama haknya. Itulah demokrasi =
"kerakyatan yang dipimpin ".
Perikemanusiaan itu harus juga kulakukan dalam hubunganku dengan sesamaku yang oleh perjalanan
sejarah, keadaan tempat, keturunan, kebudayaan dan adat istiadat, telah menjadikan aku manusia konkrit
dalam perasaan, semangat dan cara berfikir. Itulah sila kebangsaan atau "persatuan Indonesia".
Selanjutnya aku meyakini bahwa adaku itu ada-bersama, ada-terhubung, serba-tersokong, serba
tergantung. Adaku tidak sempurna, tidak atas kekuatanku sendiri. Adaku bukan sumber dari adaku. Yang
menjadi sumber adaku hanyalah Ada-Yang-Mutlak, Sang Maha Ada, Pribadi (Dhat) yang mahasempurna,
Tuhan yang Maha Esa. Itulah dasar bagi sila pertama: "Ketuhanan yang Maha Esa".
Bagaimana asal-usul dan sosok sang Garuda dalam kepercayaan ataupun mitologi para nenek moyang dan
pendiri bangsa kita?
Dengan air suci mertha sari, para Naga berniat mandi untuk segera mendapatkan keabadian hidup.
Bersamaan dengan itu, Dewa Indra yang kebetulan melintas mengambil alih air suci. Dari wadah
Kamandalu, tersisalah percikan air pada sisa tali ilalang. Tanpa berpikir panjang, percikan air pada ilalang
tersebut dijilati oleh para Naga. Tali ilalang sangatlah tajam bagaikan sebuah mata pisau. Tatkala menjilati
ilalang tersebut, terbelahlah lidah para Naga menjadi dua bagian. Inilah asal-usul kenapa seluruh keluarga
besar Naga dan semua keturunannya memiliki lidah bercabang.
Kegigihan Garuda dalam membebaskan ibunda tercintanya dari belenggu perbudakan yang tidak mengenal
rasa peri kemanusiaan inilah yang kemudian oleh para foundingfathers kita diadopsi secara filosofis dan
disimbolisasikan dalam lambang negara kita. Garuda bermakna sebagai simbol pembebasan ibu pertiwi
dari belenggu perbudakan dan penjajahan. Dengan lambang Garuda yang gagah perkasa, para pendahulu
berharap Indonesia akan menjadi bangsa besar yang bebas dalam menentukan nasib dan masa depannya
sendiri.
Unsur kesejarahan Garuda Wisnu Kencana ini mengilhami akan dibangunnya patung raksasa Garuda
Wisnu Kencana di ujung selatan Pulau Dewata. Dengan rencana ketinggian patung sekitar 120 meter,
patung tersebut kelak akan menjadi patung landmark tertinggi di dunia. Garuda Wisnu Kencana
merupakan ikon dan landmark Pulau Bali, bahkan sudah tentu landmark bagi Indonesia. Megaproyek yang
sudah dimulai di akhir masa Orde Baru ini hingga kini masih tersendat pembangunannya. Dari keseluruhan
tubuh Garuda Wisnu Kencana baru beberapa bagian yang selesai terakit, diantaranya kepala Wisnu, kepala
Garuda dan bagian tangan Wisnu.
Entah sampai kapan perwujudan landmark Garuda Wisnu Kencana itu dapat terwujud menjadi satu
kesatuan yang utuh sehingga menampilkan kegagahan lambang negara kita yang bisa mengilhami anak
bangsa untuk lebih mencintai tanah ibu pertiwinya? Biarlah waktu yang angkat bicara.
Di dalam babad, sejarah atau cerita-cerita kuno negara-negara mandiri di Indonesia, sepertinya belum
pernah ada yang menyebut lambang burung Garuda, yang kita warisi dari sejarah kuno sekarang hanya
sang "Dwi Warna", yang pada waktu itu di sebut "Bendera Gulo Klopo"(jawa), atau sekarang di sebut
Sang Saka Merah Putih.
Dalam cerita pewayangan Ramayana juga disebutkan adanya burung Garuda, Jatayu. Jatayu adalah sosok
burung satria yang gugur dalam peperangan melawan Rahwanaraja dalam upaya merebut dewi Shinta.
Sedangkan Rahwanaraja adalah sosok raksasa yang berkepala sepuluh atau disebut juga Dasamuka.
Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, apakah di Indonesia ada burung garuda?
Kalau burung Garuda yang besarnya sebesar burung elang sudah pasti di Indonesia masih banyak
walaupun sekarang jumlahnya agak berkurang.
Mungkin banyak orang yang tidak percaya, kalau di Indonesia dulu benar dan nyata adanya burung Garuda
raksasa seperti yang di ceritakan dalam cerita pewayangan, bukan dongeng tapi nyata, tercatat dalam buku
harian salah satu nahkoda Portugis pada awal abad XVI di sekitar lautan Indonesia. Catatan harian
nahkoda portugis tersebut pernah di ceritakan di terbitan berkala "Marcopolo" yang di keluarkan oleh
kedutaan Besar Italia di Jakarta antara tahun 1950-1960 yang berbentuk buku dengan sampul karton. Buku
dengan tebal 70 - 100 halaman tersebut tidak hanya menceritakan tentang burung Garuda tapi juga serat
Niti Sruti dan Paniti Sastra, cerita tentang para saudagar dan nahkoda Portugis (terbagi dalam 3 seri).
Sumber cerita yang tercatat dalam buku harian nahkoda partugis tersebut adalah kisah penyelamatan
seorang anak dari Sulawesi yang terdampar di pulau Karimunjawa. Nah, di pulau Karimunjawa itulah
sosok burung Garuda raksasa terlihat sedang mencengkeram seekor kerbau. Coba kita bayangkan seberapa
besar burung Garuda tersebut...!
Banyak sekali cerita-cerita aneh tentang Nusantara ini yang di ceritakan dalam buku "Marcopolo" yang
diterbitkan oleh kedutaan besar Italia di Jakarta dari jaman petualangan para saudagar dan nahkoda
Portugis pada awal abad XVI (antara tahun 1510) sampai jaman kolonialis Belanda.
Bangsa dan negara-negara di dunia mungkin sudah biasa atau lazim mengunakan lambang dan symbol
Burung Garuda sebagai lambang resmi negara mereka termasuk Amerika Serikat dan Indonesia, Umur
lambang negara AS yang berbentuk burung Garuda kurang lebih berumur 237 tahun, sedangkan Garuda
Bhineka Tunggal Ika Republik Indonesia berumur sama dengan kemerdekaan bangsa Indonesia tahun
1945.
Apa yang menjadi Inspirasi bangsa-bangsa besar memakai burung Garuda sebagai lambang resmi
negara??termasuk Indonesia.Burung .
1. Pembukaan
Pada Pembukaan UUD 1945 mengandung norma yang merupakan dasar bagi
pembentukan konstitusi negara (staatsfundamentalnorm). Norma tersebut adalah Pancasila.
Pancasila haruslah dilihat sebagai cita hukum (rechtsidee). Posisi ini mengharuskan
pembentukan hukum positif sesuai dengan ide-ide dasar Pancasila. Dengan ditetapkannya
Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm maka pembentukan hukum, penerapannya dan
pelaksanaannya tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila.
Menurut Pendapat Hans Nawiazky yang merupakan murid dari Hans
Kelsen mengembangkan teori piramida hukum (stufentheorie) Hans Kelsen mengemukakan
bahwa : Norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai Norma Dasar (Basic Norm) pada
suatu negara sebaikanya tidak disebut
sebagai StaatsgrundNorm melainkan Staatsfundamentalnorm atau Norma Fundamental
Negara. Grundnorm pada dasarnya statis atau tidak berubah-ubah, sedangkan norma
tertinggi dapat berubah dengan cara Revolusi atau Kudeta.
2. Batang Tubuh
Batang tubuh UUD 1945 yang meliputi seluruh pasal-pasal yang terdapat dalam UUD
1945 ditempatkan sebagai ATURAN DASAR NEGARA (staatsgrundgesetz) , termasuk
didalamnya adalah TAP MPR dan Konvensi Ketatanegaraan.
Batang tubuh UUD 1945 ini merupakan arti sebenarnya dari Konstitusi Negara
Republik Indonesia. Batang Tubuh ini juga sebagai peletakan dasar sistem ketatanegaraan
Indonesia. Pada batang tubuh ini, juga meletakan Lembaga MPR sebagai lembaga tertinggi
Negara yang merupakan pencerminan kehendak rakyat Indonesia. Sehingga seluruh
lembaga-lembaga negara yang diatur dalam batang tubuh UUD 1945 ini pun haruslah
bertanggung jawab kepada MPR.
Pada akhirnya menempatkan Lembaga MPR sebagai lembaga Superior dalam sistem
Ketatanegaraan Indonesia. Bahkan seolah-olah Lembaga MPR kedudukannya lebih tinggi
dari Pancasila yang merupakan Norma Fundamental Negara (staatsfundamentalnorm).
3. Penjelasan
Penjelasan UUD 1945 merupakan bagian dari keseluruhan UUD 1945, yang
menyatakan pokok-pokok pikiran yang meliputi suasana kebatinan dari UUD 1945. Pokok-
pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum (rechtsidee) yang menguasai hukum dasar
negara, baik hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis.
Pada Penjelasan juga diterangkan bahwa pembukaan UUD 1945 merupakan kesatuan
dengan pasal-pasal yang ada dalam batang tubuh UUD 1945. Sehingga dalam
penjelsannya Pancasila yang terkandung dalam Pembukaaan UUD 1945 merupakan bagian
yang menjadi satu kesatuan sebagai Konstitusi Negara. Kedudukan Pancasila tidak lebih
tinggi dari Konsitusi Negara. Pancasila tidak menjadi staatsfundamentalnorm atau Norma
Fundamental Negara.
Demikian juga yang terjadi terhadap Lembaga MPR, pada kondisi nyata dikendalikan
atau direkayasa oleh PRESIDEN. Lembaga ini hanya digunakan sebagai alat kekuasaan
Presiden saja. Sehingga yang terjadi kekuasaan Presiden sebagai pemegang kekuasaan
eksekutif sangat-sangat dominan yang pada akhirnya pemerintannyapun menjadi
pemerintahan yang Otoriter.
Amandemen UUD 1945 yang terjadi saat sekarang bermula dari adanya tuntutan
Reformasi yang terjadi pada tahun 1998. Ketika itu kekuasaan Orde Baru yang otoriter jatuh
dengan terjadinya tuntutan rakyat untuk mereformasi segala bentuk kekuasaannya. Adapun
tuntutan reformasi itu adalah :
Salah satu poin tuntutan reformasi adalah perubahan konstitusi yang demokrasi, ini
berarti luas adalah tuntutan untuk merubah sistem keukuasaan ketatanegaraan untuk
dengan senyatanya dikembalikan pada rakyat. Pengembalian kedaulatan rakyat ini, dengan
mengembalikan posisi falsafah Negara yaitu Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan
UUD 1945 pada makna dan fungsi yang sebenarnya.
Salah satu masalah pada masa lalu yang mengakibatkan Pancasila cenderung
digunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan dan lebih menjadi IDEOLOGI
TERTUTUP adalah karena adanya pendapat bahwa Pancasila berada di atas dan diluar
konstitusi. Pancasila disebut sebagai norma fundamental
negara (Staatsfundamentalnorm) dengan menggunakan teori Hans Kelsen dan Hans
Nawiasky. Pancasila sebagai Ideologi Tertutup berperan sebagai ideologi yang
menentukan tujuan-tujuan dan norma-norma politik dan sosial, yang ditasbihkan sebagai
kebenaran yang tidak boleh dipersoalkan lagi, melainkan harus diterima sebagai sesuatu
yang sudah jadi dan harus dipatuhi. Kebenaran suatu ideologi tertutup tidak boleh
dipermasalahkan berdasarkan nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral yang lain. Isinya dogmatis
dan apriori sehingga tidak dapat dirubah atau dimodifikasi berdasarkan pengalaman sosial.
Karena itu ideologi ini tidak mentolerir pandangan dunia atau nilai-nilai lain.
Salah satu ciri khas suatu ideologi tertutup adalah tidak hanya menentukan
kebenaran nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar saja, tetapi juga menentukan hal-hal yang
bersifat konkret operasional. Ideologi tertutup tidak mengakui hak masing-masing orang
untuk memiliki keyakinan dan pertimbangannya sendiri. Ideologi tertutup menuntut ketaatan
tanpa reserve. Ciri lain dari suatu ideologi tertutup adalah tidak bersumber dari masyarakat,
melainkan dari pikiran elit yang harus dipropagandakan kepada masyarakat. Sebaliknya,
baik-buruknya pandangan yang muncul dan berkembang dalam masyarakat dinilai sesuai
tidaknya dengan ideologi tersebut. Dengan sendirinya ideologi tertutup tersebut harus
dipaksakan berlaku dan dipatuhi masyarakat oleh elit tertentu, yang berarti bersifat otoriter
dan dijalankan dengan cara yang totaliter.
Selain Pancasila, telah banyak dikenal adanya empat pokok pikiran Pembukaan
UUD 1945, yaitu;
(1) bahwa Negara Indonesia adalah negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta mencakupi segala paham golongan
dan paham perseorangan;
(2) bahwa Negara Indonesia hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh warganya;
(3) bahwa Negara Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat. Negara dibentuk dan
diselenggarakan berdasarkan kedaulatan rakyat; dan
(4) bahwa Negara Indonesia adalah negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa menurut
dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.[3]
Penjelasan UUD 1945 yang merupakan bagian dari keseluruhan UUD 1945
menyatakan bahwa Pokok-pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan dari Undang-
Undang Dasar Negara Indonesia. Pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita
hukum (rechtsidee) yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum yang tertulis
(Undang-Undang Dasar) maupun hukum yang tidak tertulis. Undang-Undang Dasar
menciptakan pokok-pokok pikiran ini dalam pasal-pasalnya. Bahkan para founding
fathers juga menyadari akan perkembangan masyarakat sehingga tidak tergesa-gesa
memberi kristalisasi, memberi bentuk (Gelstaltung). Penjelasan ini sebenarnya memberi
ruang perubahan terhadap perwujudan pokok-pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945.
Jika Pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasalnya merupakan satu kesatuan, tentu
tidak dapat memisahkannya dengan menempatkan Pembukaan UUD 1945
sebagai staatsfundamentalnorms yang lebih tinggi dari pasal-pasalnya
sebagai staatsverfassung. Apalagi dengan menyatakan bahwa Pembukaan UUD 1945
adalah dasar pembentukan pasal-pasal UUD 1945 sebagai konstitusi, atau Pembukaan
UUD 1945 adalah presuposisi bagi validitas pasal-pasal UUD 1945. Pembukaan UUD 1945
(termasuk di dalamnya Pancasila) dan pasal-pasalnya adalah konstitusi tertulis bangsa
Indonesia. Pembukaan UUD 1945 walaupun merupakan pokok-pokok pikiran yang
abstraksinya tinggi dan dijabarkan dalam pasal-pasalnya, tetapi bukan merupakan dasar
keberlakuan pasal-pasal UUD 1945 dan berarti bukan pula presuposisi validitas pasal-pasal
tersebut. Pembukaan UUD 1945 bukan sekedar sebuah postulat dari juristic-thinking. UUD
1945 secara keseluruhan ditetapkan sebagai konstitusi (staatsverfassung) yang mengikat
dalam satu tindakan hukum, yaitu keputusan PPKI tanggal 18 Agustus 1945.
Dari pemahaman mengenai Ideologi Pancasila tersebut, maka pada era reformasi
melalui Sidang Tahunan MPR 1999, seluruh fraksi di MPR membuat kesepakatan tentang
arah perubahan UUD 1945, yaitu:[7]
4. sepakat untuk memindahkan hal-hal normatif yang ada dalam Penjelasan UUD 1945
ke dalam pasal-pasal UUD 1945; dan
5. sepakat untuk menempuh cara adendum dalam melakukan amandemen terhadap UUD
1945.
Perubahan Pertama dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 1999 yang
arahnya adalah membatasi kekuasaan Presiden dan memperkuat kedudukan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif.[8] Perubahan Kedua dilakukan dalam
sidang Tahunan MPR Tahun 2000 meliputi masalah wilayah negara dan pembagian
pemerintahan daerah, menyempurnakan perubahan pertama dalam hal memperkuat
kedudukan DPR, dan ketentuan-ketentuan yang terperinci tentang HAM.[9] Perubahan
Ketiga yang ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2001 meliputi ketentuan tentang
Asas-asas landasan bernegara, kelembagaan negara dan hubungan antar lembaga negara,
dan ketentuan-ketentuan tentang Pemilihan Umum.[10]
Perubahan keempat dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 2002. Materi
perubahan pada Perubahan Keempat adalah ketentuan tentang kelembagaan negara dan
hubungan antar lembaga negara, penghapusan Dewan Pertimbangan Agung (DPA),
ketentuan tentang pendidikan dan kebudayaan, ketentuan tentang perekonomian dan
kesejahteraan sosial, dan aturan peralihan serta aturan tambahan.[11]
Pemencaran kekuasaan dengan cara pembagian kekuasaan dari lembaga tertinggi negara
kepada lembaga-lembaga negara dibwahnya. Pada sistem ini terjadi supremasi satu
lembaga negara.
Dengan adanya prinsip checks and balances ini maka kekuasaan negara dapat diatur,
dibatasi bahkan dikontrol dengan sebaik-baiknya sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh
aparat penyelenggara negara atau pribadi-pribadi yang sedang menduduki jabatan dalam
lembaga-lembaga negara yang bersangkutan dapat dicegah dan ditanggulangi dengan
sebaik-baiknya
[1] Saafroedin Bahar, Ananda B. Kusuma, dan Nannie Hudawati (peny.), Risalah
Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 22 Agustus 1945, (Jakarta:
Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995), hal. 63, 69, dan 81. RM. A.B.
Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal. 117, 121, 128 129.
[3] Pokok-pokok pikiran Pembukaan UUD 1945 ini dimuat dalam Penjelasan UUD 1945
sebelum perubahan UUD 1945 yang menghilangkan penjelasan ini. Lihat juga Jimly
Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2004), hal. 51.
[7] Lima kesepakatan tersebut dilampirkan dalam Ketetapan MPR No. IX/MPR/1999
tentang Penugasan Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
untuk Melanjutkan Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
[8] Ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999. Meliputi Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9,
Pasal 13 ayat (2), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 ayat (2) dan (3), Pasal 20, dan Pasal 22 UUD
1945.
[9] Ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000. Meliputi Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B,
Pasal 19, Pasal 20 ayat (5), Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B, Bab IXA, Pasal 28A, Pasal 28B,
Pasal 28C, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I,
Pasal 28J, Bab XII, Pasal 30, Bab XV, Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C UUD 1945.
[10] Ditetapkan pada tanggal 9 November 2001. Mengubah dan atau menambah
ketentuan-ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan (3), Pasal 3 ayat (1), (3), dan (4), Pasal 6 ayat (1)
dan (2), Pasal 6A ayat (1), (2), (3), dan (5), Pasal 7A, Pasal 7B ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6),
dan (7), Pasal 7C, Pasal 8 ayat (1) dan (2), Pasal 11 ayat (2) dan (3), Pasal 17 ayat (4), Bab
VIIA, Pasal 22C ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 22D ayat (1), (2), (3), dan (4), Bab VIIB,
Pasal 22E ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6), Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23A, Pasal
23C, Bab VIIIA, Pasal 23E ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23F ayat (1), dan (2), Pasal 23G ayat
(1) dan (2), Pasal 24 ayat (1) dan (2), Pasal 24A ayat (1), (2), (3), (4), dan (5), Pasal 24 B ayat
(1), (2), (3), dan (4), Pasal 24C ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6) UUD 1945.
[11] Ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002. Perubahan dan atau penambahan dalam
Perubahan Keempat ini meliputi Pasal 2 ayat (1); Pasal 6A ayat (4); Pasal 8 ayat (3); Pasal 11
ayat (1); Pasal 16, Pasal 23B; Pasal 23D; Pasal 24 ayat (3); Bab XIII, Pasal 31 ayat (1), (2), (3),
(4), dan (5); Pasal 32 ayat (1), (2), (3), dan (4); Bab IV, Pasal 33 ayat (4) dan (5); Pasal 34
ayat (1), (2), (3), dan (4); Pasal 37 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5); Aturan Peralihan Pasal I, II,
dan III; Aturan Tambahan Pasal I dan II UUD 1945
Sejarah Amandemen UUD 1945
Sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Umum UUD 1945 ayat 1, undang-
undang dasar suatu negara ialah hanya sebagian dari hukumnya dasar Negara itu.
Dimaksud hanya sebagian adalah karena selain UUD (hukum tertulis) juga berlaku
hukum tidak tertulis. Sebagai konstitusi negara Indonesia UUD 1945 berada di posisi
tertinggi dalam tata urutan perundang-undangan. Semua hukum yang berlaku di
Indonesia haruslah sesuai dan berintisari dari UUD 1945. Akan tetapi biar
bagaimanapun UUD 1945 adalah hukum yang di ciptakan manusia dan tidak dapat
dikatakan sempurna. Setidaknya telah ada 4 sejarah amandemen UUD 1945.
Sebelum membahas sejarah amandemen UUD 1945 mungkin ada baiknya kita
sedikit mengulang bahasan sebelumnya tentang perbandingan undang-undang
dasar sebelum dan sesudah amandemen. Di sana saya sempat menjelaskan 3
macam UUD yang telah digunakan di Indonesia. Yang dimaksud ketiganya adalah
UUD 1945, UUD RIS 1949, dan UUDS 1950.
Beruntung saat ini kita tetap menggunakan produk pendiri bangsa kita sebagai
konstitusi negara, UUD 1945. Namun dalam perjalanannya bangsa Indonesia
semakin berkembang dan memiliki kebutuhan yang lebih beragam lagi. UUD 1945
yang diposisikan sebagai dasar negara ternyata memiliki beberapa kelemahan.
Wajar saja karena dalam prosesnya penyusunan UUD 1945 ini dilakukan dalam
situasi kondisi genting, sama halnya seperti proses perumusan pancasila.
Dalam sejarah amandemen UUD 1945 terhitung sudah 4 kali UUD 1945
mengalami amandemen (Amendment, Perubahan, tetapi bukan dalam pengertian
Pergantian). Setelah 4 kali diamandemen sebanyak 25 butir tidak dirubah, 46 butir
dirubah atau ditambah dengan ketentuan lainnya. Secara keseluruhan saat ini
berjumlah 199 butir ketentuan, 174 ketentuan baru. Mengapa harus diamandemen?
Berikut ini beberapa alasan mengapa perlu dilakukan amandemen.
Amandemen yang pertama kali ini disahkan pada tanggal 19 Oktober 1999 atas
dasar SU MPR 14-21 Oktober 1999. Amandemen yang dilakukan terdiri dari 9 pasal,
yakni:
Pasal 5, pasal 7, pasal 9, pasal 13, pasal 14, pasal 15, pasal 17, pasal 20, pasal 21.
Inti dari amandemen pertama ini adalah pergeseran kekuasaan Presiden yang
dipandang terlalu kuat (executive heavy).
-Amandemen II
Amandemen yang kedua disahkan pada tanggal 18 Agustus 2000 dan disahkan
melalui sidang umum MPR 7-8 Agustus 2000. Amandemen dilakukan pada 5 Bab
dan 25 pasal. Berikut ini rincian perubahan yang dilakukan pada amandemen kedua.
Pasal 18, pasal 18A, pasal 18B, pasal 19, pasal 20, pasal 20A, pasal 22A,
pasal 22B, pasal 25E, pasal 26, pasal 27, pasal 28A, pasal 28B, pasal 28C, pasal
28D, pasal 28E, pasal 28F, pasal 28G, pasal 28H, pasal 28I, pasal 28J,
pasal 30, pasal 36B, pasal 36C.
Bab IXA, Bab X, Bab XA, Bab XII, Bab XV, Ps. 36A ;
Amandemen III
Pasal 1, pasal 3, pasal 6, pasal 6A, pasal 7A, pasal 7B, pasal 7C, pasal 8, pasal 11,
pasal 17,
pasal 22C, pasal 22D, pasal 22E, pasal 23, pasal 23A, pasal23C, pasal 23E, pasal
23F, pasal 23G, pasal 24, pasal 24A, pasal24B, pasal24C.
Inti perubahan yang dilakukan pada amandemen ketiga ini adalah Bentuk dan
Kedaulatan Negara, Kewenangan MPR, Kepresidenan, Impeachment, Keuangan
Negara, Kekuasaan Kehakiman.
Amandemen IV
Sejarah amandemen UUD 1945 yang terakhir ini disahkan pada tanggal 10
Agustus 2002 melalui ST MPR 1-11 Agustus 2002. Perubahan yang terjadi pada
amandemen ke-4 ini terdiri dari 2 Bab dan 13 Pasal.
Pasal 2, pasal 6A, pasal 8, pasal 11, pasal16, pasal 23B, pasal 23D, pasal 24, pasal
31, pasal 32, pasal 33, pasal 34, pasal 37.
BAB I
PENDAHULUAN
Amandemen diambil dari bahasa Inggris yaitu "amendment". Amends artinya merubah, biasanya untuk
masalah hukum. The law has been amended (undang-undang itu telah di amandemen). Jadi yang dimaksud
dengan Amandemen UUD 45 pasal-pasal dari UUD 45 itu sudah mengalami perubahan yang tertulis atau
maknanya, barangkali. Kapan UUD 45 itu dimandemen ?. Perlu diketahui ada perbedaan antara rancangan
UUD yang dibuat oleh pantia BPUPKI dengan naskah UUD 45 yang disetujui dan ditetapkan pada tanggal
18 Agustus 1945. Jadi anggaplah dasar UUD 45 yang belum diamandemen adalah UUD 45 yang
tercantum dalam ketetapan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Memilih Soekarno dan
Hatta menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
Pekerjaan Presiden untuk sementara waktu dibantu oleh sebuah Komite Nasional. Dan memang dalam
Aturan Peralihan UUD 45, pasal IV tercantum : Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
perwakilan rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-undang Dasar ini, segala
kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional.
Dengan perkataan lain saat itu Presiden berkuasa tanpa batas karena beliau berfungsi ya sebagai eksekutif,
sebagai pimpinan legislatif. Ini kurang demokratis, padahal Republik Indonesia saat itu harus
menunjukkan sifatnya yang didukung rakyat. Kalau tidak, maka Belanda bakal berkoar-koar membenarkan
bahwa Pemerintahan Soekarno, fasistik ala Jepang. Makanya konstitusi kita dicermati harus diamandemen.
Sejarah menggambarkan bahwa muncullah petisi (kurang lebih 50 orang) untuk merubah KNIP (yang
tadinya sekadar badan pembantu Presiden) menjadi sebuah badan legislatif. Karena untuk memunculkan
apa yang tertulis dalam undang-undang yaitu terbentuknya MPR dan DPR, sulit direalisir saat itu. Jadi
mengapa tidak KNIP saja yang dirubah jadi MPR sementara. Pada tanggal 22 Agustus 1945, PPKI yang
berubah menjadi PK (Panitia Kemerdekaan) menetapkan pembentukan Komite nasional, Partai Nasional
Indonesia (Staat partij, bukan PNI partai politik) dan Badan Keamanan Rakyat. dan pada tanggal 29
Agustus 1945, anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) terbentuk dengan ketuanya Mr Kasman
Singodimedjo. Wakilnya ada 3 orang yaitu masing-masing, 1. Sutardjo Kartohadikoesoemo, 2. Mr Johanes
Latuharhary, dan Adam Malik.
Dalam sidangnya yang pertama dibalai Muslimin Jakarta, pada tanggal 16 Oktober 1945, KNIP
keadaannya kacau. Semua ingin bicara dan merasa perlu ikut bicara. Meskipun demikian hasilnya ada juga
yaitu meminta hak legislatif kepada Presiden sebelum terbentuknya MPR dan DPR. Seperti telah
disebutkan diatas, sejumlah 50 orang dipimpin oleh Soekarno membuat petisi untuk merubah fungsi dan
status KNIP. Sejumlah anggota kabinet seperti Amir Sjarifudin dan Hatta bisa menyetujui (Soekarno tidak
hadir dalam sidang KNIP pertama ini). Maka Wakil presiden Mohammad Hatta menerbitkan Maklumat
wakil Presiden no.X tapi dengan kop : Presiden Republik Indonesia. Isinya : Memutuskan : Bahwa KNIP
sebelum terbentuknya MPR dan DPR diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan GBHN serta
menyetujui bahwa pekerjaan KNIP sehari-hari berhubung dengan gentingnya keadaan dijalankan oleh
sebuah Badan Pekerja yang dipilih diantara mereka dan yang bertanggung jawab kepada KNIP.
Siapakah yang diangkat menjadi ketua BP KNIP itu ? Dialah Sutan Sjahrir. Dan Wakilnya diangkat Amir
Sjarifudin. Sekretaris Mr Soewandi. Jumlah anggota BP KNIP adalah 15 orang. Maka mulailah bekerja BP
KNIP ini dan kantornya di Jalan Cilacap Jakarta (sekarang dipakai UBK). Salah satu produk hukum yang
dibuat oleh BP KNIP adalah maklumat no.5 tentang pertanggung jawaban menteri-menteri dan susunan
dewan kementerian baru. Dokumen ini amat penting karena tanpa disadari merupakan rancangan
perubahan konstitusi yang amat mendasar. Konsekwensinya kalau disetujui, maka terjadilah perubahan
sistim kabinet presidentiel, menjadi kabinet ministriel. Lucunya Soekarno-Hatta menyetujui. Bahkan
Soekarno meminta Sjahrir bertindak sebagai Perdana menteri. Kabinet Sjahrir terbentuk dan serah terima
terjadi pada tanggal 14 November 1945. Anehnya ketika berlangsungnya sidang KNIP kedua Sjahrir masih
sebagai ketua BP KNIP dan sudah serah terima dengan kabinet lama. Padahal saat itu dia sudah Perdana
menteri. Demikianlah kisah sejarah dalam negeri yang namanya Republik Indonesia ini. Rupanya
amandemen bukan barang baru. Tidak aneh kalau Amin Rais Cs melakukannya tahun 2002. (Disarikan
dari berbagai sumber). Mungkin untuk menyiasati tantangan yang muncul yang menggoyahkan sendi
negara, para politikus, tidak segan-segan mengamandemen peraturan-perundangan yang sedang berlaku.
BAB II
PEMBAHASAN
MPR menganggap amandemen UUD 45 masih dibutuhkan. Hanya saja amandemen itu harus dilakukan
secara komprehensif. Alasanya ada sejumlah pasal-pasal yang memerlukan penyempurnaan untuk
pengelolaan ketatanegaraan yang lebih baik. Pada intinya FKB mendukung perubahan amandemen
terhadap UUD 45. Namun harus dilakukan secara komprehensif. Disamping itu, Perlunya amandemen itu
karena adanya kebutuhan untuk pengeloaan negara secara baik, misalnya ada beberapa pasal
ketatanegaraan yang perlu penyempurnaan
Pakar hukum Dr Adnan Buyung Nasuiton mengusulkan perlu dibentuk komisi negara yang mengkaji
secara khusus amandemen UUD 45. Sehingga perubahan dan perbaikan terhadap UUD 45 hasil
amandemen tidak menimbulkan persoalan baru. Perubahan UUD 45 hasil amandemen perlu dilakukan
secara menyeluruh dan tidak bisa dilakukan secara parsial, lebih jauh Adnan mengkhawatirkan jika
perubahan UUD 45 itu dilakukan secara parsial, atau bagian demi bagian dan tanpa melihat konteksnya
secara luas atau tanpa dibarengi suatu konsep perubahan baru. Justru akan menyisakan persoalan baru yang
sarat dengan tumpang tindih.
Menurutnya, sampai saat ini ada beberapa kelompok yang menolak hasil amandemen UUD 45 dan
menuntut kembali ke UUD 45 yang asli. Keberatan itu, sebenarnya terkait dengan tiga hal, pertama-
persoalan konsep negara [staatsidee] yang berkenaan dengan paham kedaulatan rakyat dan pemeritahan
demokratis konstitusional. Kedua, persoalan dasar negara yang mencakup dasar Negara Islam Vs Pancasila
yang dikhawatirkan adalah munculnya kekuatan yang memaksakan memasukkan Islam yang secara
substantif menggeser Pancasila sebagai dasar negara. Dan ketiga, soal kepentingan politik yang
menyangkut pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat dan tidak melalui forum
MPR.
Yang jelas, kata Adnan, hasil amandemen ke empat UUD 45 telah membawa perbaikan, diantaranya
pembatasan masa kekuasaan presiden, adanya perlindungan hak azasi manusia dan jaminan kesejahteraan
rakyat. Sejumlah perubahan mendasar itu cukup baik, namun masih ada kelemahannya, secara konseptual
maupun teknis yuridis.
B. Pasal-Pasal yang diamandemen
1. Perubahan pertama
Pasal-pasal yang mengalami perubahaatau penambahan pada perubahan pertama adalahpasal 5, ayat 1
diubah: pasal 7 diubah; pasal 9 diubah; pasal 13 ayat 2 diubah dan ditambah satu ayat; pasal 20 diubah
menjadi empat ayat; pasal 21 ayat 1 diubah.
2. Perubahan kedua
Pemerintahan daerah
Keanggotaan, fungsi, hak, serta para pengisian keanggotaan
Wilayah Negara
Hak asasi manusia
Pertahanan keamanan Negara
Mengenai bendera, bahasa, lambang, Negara dan lagu kebangsaan
C. Kedudukan Konstitusi
Demikian pula negara, pada umumnya selalu memiliki naskah yang disebut sebagai konstitusi atau
Undang-Undang Dasar. Bahkan negara yang tidak memiliki satu naskah konstitusi seperti Inggris, tetap
memiliki aturan-aturan yang tumbuh1 menjadi konstitusi dalam pengalaman praktek ketatanegaraan dan
para ahli tetap dapat menyebut adanya konstitusi dalam konteks hukum tata negara Inggris, sebagaimana
dikemukakan oleh Phillips Hood and Jackson sebagai berikut : a body of laws, customs and conventions
that define the composition and powers of the organs of the State and that regulate the relations of the
various State organs to one another and to the private citizen.
Dengan demikian, ke dalam konsep konstitusi itu tercakup juga pengertian peraturan tertulis dan tidak
tertulis. Peraturan tidak tertulis berupa kebiasaan dan konvensi-konvensi kenegaraan (ketatanegaraan) yang
menentukan susunan dan kedudukan organ-organ negara, mengatur hubungan antar organ-organ negara
itu, dan mengatur hubungan organ-organ negara tersebut dengan warga negara.
Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau
prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Jika negara itu menganut paham kedaulatan rakyat,
maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyat. Jika yang berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka
raja yang menentukan berlaku tidaknya suatu konstitusi. Hal inilah yang disebut oleh para ahli sebagai
constituent power3 yang merupakan kewenangan yang berada di luar dan sekaligus di atas sistem yang
diaturnya. Karena itu, di lingkungan negara-negara demokrasi, rakyatlah yang dianggap menentukan
berlakunya suatu konstitusi.
Hal itu dapat dilakukan secara langsung oleh rakyat, misalnya melalui referendum, seperti yang dilakukan
di Irlandia pada tahun 1937, atau dengan cara tidak langsung melalui lembaga perwakilan rakyat. Dalam
hubungannya dengan kewenangan mengubah UUD, cara tidak langsung ini misalnya dilakukan di
Amerika Serikat dengan menambahkan naskah perubahan Undang-Undang Dasar secara terpisah dari
naskah aslinya. Meskipun, dalam pembukaan Konstitusi Amerika Serikat (preambule) terdapat perkataan
We the people, tetapi yang diterapkan sesungguhnya adalah sistem perwakilan, yang pertama kali
diadopsi dalam konvensi khusus (special convention) dan kemudian disetujui oleh wakil-wakil rakyat
terpilih dalam forum perwakilan negara yang didirikan bersama.
Dalam hubungan dengan pengertian constituent power tersebut di atas, muncul pula pengertian constituent
act. Dalam hubungan ini, konstitusi dianggap sebagai constituent act, bukan produk peraturan legislatif
yang biasa (ordinary legislative act). Constituent power mendahului konstitusi, dan konstitusi mendahului
organ pemerintahan yang diatur dan dibentuk berdasarkan konstitusi. Seperti dikatakan oleh Bryce,
konstitusi tertulis merupakan:
The instrument in which a constitution is embodied proceeds from a source different from that whence
spring other laws, is regulated in a different way, and exerts a sovereign force. It is enacted not by the
ordinary legislative authority but by some higher and specially empowered body. When any of its
provisions conflict with the provisions of the ordinary law, it prevails and the ordinary law must give
way.
Karena itu, dikembangkannya pengertian constituent power berkaitan pula dengan pengertian hirarki
hukum (hierarchy of law). Konstitusi merupakan hukum yang lebih tinggi atau bahkan paling tinggi serta
paling fundamental sifatnya, karena konstitusi itu sendiri merupakan sumber legitimasi atau landasan
otorisasi bentuk-bentuk hukum atau peraturan-peraturan perundang-undangan lainnya. Sesuai dengan
prinsip hukum yang berlaku universal, maka agar peraturan-peraturan yang tingkatannya berada di bawah
Undang-Undang Dasar dapat berlaku dan diberlakukan, peraturan-peraturan itu tidak boleh bertentangan
dengan hukum yang lebih tinggi tersebut. Atas dasar logika demikian itulah maka Mahkamah Agung
Amerika Serikat menganggap dirinya memiliki kewenangan untuk menafsirkan dan menguji materi
peraturan produk legislatif (judicial review) terhadap materi konstitusi, meskipun Konstitusi Amerika tidak
secara eksplisit memberikan kewenangan demikian kepada Mahkamah Agung.
Basis pokok berlakunya konstitusi adalah adanya kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) di
antara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Organisasi negara
itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau
dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara. Kata kuncinya
adalah konsensus atau general agreement. Jika kesepakatan umum itu runtuh, maka runtuh pula legitimasi
kekuasaan negara yang bersangkutan, dan pada gilirannya perang saudara (civil war) atau revolusi dapat
terjadi. Hal ini misalnya, tercermin dalam tiga peristiwa besar dalam sejarah umat manusia, yaitu revolusi
penting yang terjadi di Perancis tahun 1789, di Amerika pada tahun 1776, dan di Rusia pada tahun 1917,
ataupun di Indonesia pada tahun 1945, 1965 dan 1998.
Salah satu keberhasilan yang dicapai oleh bangsa Indonesia pada masa reformasi adalah reformasi
konstitusional (constitutional reform). Reformasi konstitusi dipandang merupakan kebutuhan dan agenda
yang harus dilakukan karena UUD 1945 sebelum perubahan dinilai tidak cukup untuk mengatur dan
mengarahkan penyelenggaraan negara sesuai harapan rakyat, terbentuknya good governance, serta
mendukung penegakan demokrasi dan hak asasi manusia.
Perubahan UUD 1945 dilakukan secara bertahap dan menjadi salah satu agenda Sidang MPR dari 1999
hingga 2002. Perubahan pertama dilakukan dalam Sidang Umum MPR Tahun 1999. Arah perubahan
pertama UUD 1945 adalah membatasi kekuasaan Presiden dan memperkuat kedudukan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif.
Perubahan kedua dilakukan dalam sidang Tahunan MPR Tahun 2000. Perubahan kedua menghasilkan
rumusan perubahan pasal-pasal yang meliputi masalah wilayah negara dan pembagian pemerintahan
daerah, menyempumakan perubahan pertama dalam hal memperkuat kedudukan DPR, dan ketentuan-
ketentuan terperinci tentang HAM.
Perubahan ketiga ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR 2001. Perubahan tahap ini mengubah dan atau
menambah ketentuan-ketentuan pasal tentang asas-asas landasan bemegara, kelembagaan negara dan
hubungan antarlembaga negara, serta ketentuan-ketentuan tentang Pemilihan Umum. Sedangkan
perubahan keempat dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 2002. Perubahan Keempat tersebut
meliputi ketentuan tentang kelembagaan negara dan hubungan antarlembaga negara, penghapusan Dewan
Pertimbangan Agung (DPA), pendidikan dan kebudayaan, perekonomian dan kesejahteraan sosial, dan
aturan peralihan serta aturan tambahan.
Empat tahap perubahan UUD 1945 tersebut meliputi hampir keseluruhan materi UUD 1945. Naskah asli
UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, sedangkan perubahan yang dilakukan menghasilkan 199 butir
ketentuan. Saat ini, dari 199 butir ketentuan yang ada dalam UUD 1945, hanya 25 (12%) butir ketentuan
yang tidak mengalami perubahan. Selebihnya, sebanyak 174 (88%) butir ketentuan merupakan materi yang
baru atau telah mengalami perubahan.
Dari sisi kualitatif, perubahan UUD 1945 bersifat sangat mendasar karena mengubah prinsip kedaulatan
rakyat yang semula dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR menjadi dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar. Hal itu menyebabkan semua lembaga negara dalam UUD 1945 berkedudukan sederajat dan
melaksanakan kedaulatan rakyat dalam lingkup wewenangnya masing-masing. Perubahan lain adalah dari
kekuasaan Presiden yang sangat besar (concentration of power and responsibility upon the President)
menjadi prinsip saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances). Prinsip-prinsip tersebut
menegaskan cita negara yang hendak dibangun, yaitu negara hukum yang demokratis.
Setelah berhasil melakukan perubahan konstitusional, tahapan selanjutnya yang harus dilakukan adalah
pelaksanaan UUD 1945 yang telah diubah tersebut. Pelaksanaan UUD 1945 harus dilakukan mulai dari
konsolidasi norma hukum hingga dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai hukum
dasar, UUD 1945 harus menjadi acuan dasar sehingga benar-benar hidup dan berkembang dalam
penyelenggaraan negara dan kehidupan warga negara (the living constitution).
BAB III
PENUTUP
Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945.
Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan
tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat/MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan
rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu "luwes" (sehingga
dapat menimbulkan multitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara
negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara,
kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-
hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan
kesepakatan diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan susunan
kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem pemerintahan presidensiil.
Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amandemen) yang ditetapkan
dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR :
- Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14 Oktober-21 Oktober 1999 Perubahan Pertama UUD 1945
- Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7 Agustus-18 Agustus 2000 Perubahan Kedua UUD 1945
- Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1 November-9 November 2001 Perubahan Ketiga UUD 1945
- Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1 Agustus-11 Agustus 2002 Perubahan Keempat UUD 1945
DAFTAR PUSTAKA
Alrasid, Harun. Naskah UUD 1945 Sesudah Empat Kali Diubah Oleh MPR. Revisi Cetakan Pertama.
Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2003.
Asshiddiqie, Jimly. Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi Dan Pelaksanaannya Di Indonesia.
Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1994.
Mahfud MD., Moh. Dasar Dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta,
2001.
Montesquieu. The Spirit of the laws. Translated by Thomas Nugent. London: G. Bell & Sons, Ltd, 1914.
Simanjuntak, Marsillam. Pandangan Negara Integralistik: Sumber, Unsur, dan Riwayatnya dalam
Persiapan UUD 1945. Jakarta: Pustaka Grafiti, 1993.
Tim Nasional Reformasi Menuju Masyarakat Madani, Pokok-pokok Usulan Amandemen Undang-Undang
Dasar 1945 dan Pemilihan Presiden Secara Langsung, dipresentasikan di hadapan Pimpinan dan Anggota
Dewan Pertimbangan Agung RI pada tanggal 15 Juni 1999 di Jakarta.
Yamin, Muhammad. Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Jilid Pertama. Jakarta: Yayasan
Prapanca, 1959.