Anda di halaman 1dari 8

SHARING JOURNAL

ROLE OF COMMUNITY NURSES IN THE PREVENTION OF


TUBERCULOSIS IN THE TSHWANE HEALTH DISTRICT
OF GAUTENG

OLEH:
PUTU AYU DIAN KHARISMASANTHI
140070300011206
PSIK K3LN

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015
KRITISI JURNAL
ROLE OF COMMUNITY NURSES IN THE PREVENTION OF
TUBERCULOSIS IN THE TSHWANE HEALTH DISTRICT OF GAUTENG

A. LATAR BELAKANG
Tuberkulosis (TB) merupakan penyebab tertinggi kedua kematian global
setelah human immunodeficiency virus (HIV) dan acquired immunodeficiency
syndrome (AIDS) karena menyebabkan kematian hampir dua juta orang setiap tahun.
Selama bertahun-tahun tuberkulosis (TB) telah menjadi salah satu penyakit pembunuh
di Afrika Selatan. Diperkirakan 2,4 juta kasus TB baru yang didiagnosis dan 540 000
kematian disebabkan oleh TB setiap tahun. Hal ini masih menjadi masalah kesehatan
utama. Tuberkulosis (TB) memiliki dampak serius pada perekonomian Afrika Selatan
karena tingkat kematian di antara orang-orang di usia produktif: 61% orang antara usia
20 dan 39 tahun dan 26% dari orang antara usia 40 dan 49 mungkin mati karena TB.
(Van Rensburg 2004). TB terkait dengan kondisi kemiskinan dan hidup yang buruk,
yang membuat seseorang sangat rentan terhadap TB jika ia datang ke dalam kontak
dengan orang yang terinfeksi (Vlok, 2006).
Mengontrol TB yang efektif bukan tanggung jawab petugas kesehatan saja,
melainkan tanggung jawab masing-masing individu untuk mencegah penyabaran TB.
Petugas kesehatan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hak mereka
untuk mengakses layanan TB secara efektif. Petugas kesehatan harus membuat
masyarakat sadar akan terapi DOTS.
Menurut Molefe (1999), didukung Dick et al. (2007), menyatakan bahwa
pendekatan saat ini untuk pengendaliat TB didasarkan pada tingkat pelayanan
kesehatan primer, namun ini menimbulkan masalah bag perawat komunitas karena
akan meningkatkan beban kerja dan tanggung jawab perawat. Sehingga hal ini
menyebabkan munculnya pertanyaan tentang apa peran perawat komunitas dalam
pencegahan TB, terutama dalam menghadapi peningkatan angka kejadian TB. JIka
kejadian TB meningkat lebih lanjut, ini akan memiliki pengaruh pada peran yang
dimainkan oleh erawat di masyarakat. Perawat harus menyadari bahwa mereka
adalah pilar pencegahan dan manajemen TB. Perawat komunitas memiliki
kesempatan untuk menilai, mendiagnosa, mengobati dan merujuk pasien dengan TB
untuk perawatan lebih lanjut.
Berdasarkan fenomena di atas penulis bertujuan untuk mengidentifikasi peran
perawat komunitas dalam pencegahan TB di Tshwane Health District Of Gauteng
dalam rangka meningkatkan manajemen yang komprehensif pasien TB serta untuk
mengidentifikasi masalah yang dialami oleh perawat komunitas ketika memenuhi
peran mereka dalam pencegahan TB di Tshwane Health District.

B. METODE
Metode penelitian yang diterapkan adalah kuantitatifdengan desain penelitian non-
experimental descriptive menggunakan kuesioner untuk mengumpulkan data dari
perawat komunitas mengenai peran mereka dalam pencegahan TB dan masalah yang
mereka alami ketika memenuhi peran di Tshwane Health District. Populasi untuk
penelitian ini terdiri dari semua perawat komunitas yang terdaftar dengan SANC yang
mengelola pasien TB di Tshwane Health District. Sampel penelitian adalah 59 perawat
komunitas yang dipilih dari klinik di Tshwane Health District. Teknik sampling yang
digunakan adalah systematic probability sampling. Kriteria inklusi penelitian ini adalah
perawat komunitas yang terdaftar dengan SANC dengan satu tahun atau lebih
pengalaman kerja keperawatan. Kuesioner didistribusikan ke klinik yang dipilih oleh
peneliti. Responden diharapkan untuk menyelesaikan kuesioner dalam waktu 45
menit. Data yang dikumpulkan dari Februari 2008 sampai April 2008.
C. HASIL PENELITIAN
Data demografi usia, kualifikasi dan pengalaman kerja
Berdasarkan data yang terkumpul hanya 26 (44,07%) dari 59 responden yang
mengisi usia mreka, sedangkan 33 (55,93) mengosongkan usia mreka. Dari 26
responden, sebanyak 9 (34,62%), berada di rentang usia 40-49 tahun, 6 (23,08%)
derada di rentang usia 30-39 tahun dan 50-59 tahun.

Pertanyaan tentang kualifikasi profesinal dijawab oleh 53 responden. Semua


responden menjawab perawat memiliki kualifikasi umum: 46 (86,79%) kebidanan, 39
(73, 58%) keperawatan kesehatan masyarakat, 27 (50,94%) keperawatan jiwa, 27
(50,94%) pelayanan kesehatan primer (PHC), dan 17 (32, 08%) kualifikasi lain seperti
pendidikan keperawatan dan manajemen keperawatan.

Berdasarkan tabel 1 di bawah dapat diketahui bahwa dari 48 responden yang


menjawab sebanyak 16 (33,33%) memiliki pengalaman mulai dari 10-19 tahun, diikuti
15 responden (31,25%) dengan pengalaman 20-29 tahun.

Pendapat, pandangan dan ide-ide tentang peran perawat komunitas dalam


pencegahan tuberculosis
Berdasarkan tabel 2 dibawah ini diketahui bahwa dari 59 responden yang
menjawab pertanyaan perawat komunitas harus dapat mengidentifikasi gejala TBC
dan mengisolasi pasien menular, sebanyak 1 responden (1,69%) menyatakan sangat
tidak setuju, 43 responden (72,88%) menyatakan setuju, dan 15 responden (25,42%)
sangat setuju.

Berdasarkan gambar dibawah ini dapat diketahui bahwa sebanyak 3


responden (5,08%) sangat tidak setuju dan 1 (1,69%) tidak setuju, 45 responden
(76,27%) setuju, 10 responden (16, 95%) sangat setuju tentang pentingnya pendidikan
kesehatan untuk anak-anak sekolah pada pencegahan TB.

Berdarsarkan gambar di bawah ini dapat diketahui bahwa dari 57 responden,


sebanyak 24 responden (42,11%) sangat tidak setuju, 23 responden (40,35%) tidak
setuju, 4 responden (7,02%) setuju, dan 6 responden (10, 53%) sangat setuju bahwa
perawat komunitas tidak lagi memenuhi peran mereka dalam pencegahan TB sejak
diperkenalkan program DOTS.

Berdasarkan gambar di bawah ini dapat diketahui bahwa dari 57 responden,


sebanyak 32% sangat tidak setuju atau tidak setuju dengan pernyataan bahwa
anggota masyarakat bisa berkontribusi untuk pencegahan TB, 68% setuju atau sangat
setuju dengan pernyataan.

Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui bahwa dari 57 responden, sebanyak 5


responden (8,77%) menganggap anggota masyarakat tidak pernah dilatih, 14
responen (24,56%) anggota masyarakat jaranf dilatih dalam pengobatan TB, 24
responden (42, 11%) anggota masyarakat dilatih, sementara 14 ( 24, 56%) melatih
mereka sepanjang waktu.
Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa dari 55 reponden, sebanyak 9
responden (16, 36%) jarang terlbat dalam penelitian, 26 (42,27%) jarang terlibat dalam
penelitian, 15 responden (27,27%) kadang terlibat dalam penelian, 5 responden
(9,09%) sering terlibat dalam penelitian.

Berdasarkan tabel 5 dapat diketahui bahwa sebanyak 33 responden (55,93%)


mengalami masalah dengan ketidakpatuhan dengan pengobatan, 25 responden (42,
37%) merasa kekurangan sumber daya adalah masalah utama, 16 responden (27,
12%) transportasi merupakan masalah besar, 15 responden (25,42%) yang
mengalami masalah dengan pasien lintas batas, orang asing, HIV dan AIDS dan
stigmatisasi, dan 11 responden (18,64%) yang merasa bahwa tidak memiliki
pendukung DOTS merupakan masalah utama

Berdasarkan tabel 6 dapat diketahui bahwa dari 39 responden yang menjawab,


sebanyak 23 responden (63,89%) ditangani masalah kepatuhan dan pantang melalui
DOTS, dan 13 responden (36,11%) memberikan dukungan dan pendidikan kesehatan
kepada pasien mereka.

Berdasarkan tabel 7 dapat diketahui bahwa dari 55 responden, sebanyak 19


responden (34,55%) menunjukkan bahwa mereka jarang mengalami komunikasi yang
buruk dengan pasien, 27 responden (49,09%) kadang menggalami komunikasi yang
buruk dengan pasien, dan 9 responden (16,36%) sering mengalami komunikasi yang
buruk

Berdasarkan tabel 8 dapat diketahui bahwa dari 47 responden, sebanyak 40


responden (85,11%) memiliki lima atau lebih sedikit perawat yang bekerja
dengan pasien TB di klinik mereka, dan 7 responden (14,89%) memiliki lebih
dari lima tetapi tidak lebih dari 10.

Berdasarkan tabel 9 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden 22


responden (38,60%) mengalami kekurangan staf di klinik mereka sepanjang waktu, 19
responden (33,33%), yang mengalami hal ini sebagian besar waktu, 13 responden
(22,81%), yang jarang mengalami hal ini, dan 3 responden (5.26 %), yang tidak pernah
mengalami kekurangan staf.

Berdasarkan tabel 10 dapat dikatahui bahwa sebanyak 28 responde (50.00%)


pernah mengalami kekurangan obat TB di klinik mereka, 25 responden (44,64%)
kekurangan jarang mengalami, 2 responden (3,57%) kadang-kadang mengalami
kekurangan, dan 1 (1,79%) mengalami kekurangan sepanjang waktu

Berdasarkan tabel 11 dapat diketahui bahwa dari 57 responden, sebanyak 42


responden (73,68%) menunjukkan bahwa mereka jarang mengalami masalah perawat
komunitas tertular TB saat kontak dengan pasien TB, sementara 8 responden
(14,04%) menunjukkan bahwa mereka mengalami hal ini sebagian besar waktu.

Berdasarkan tabel 12 dapat diketahui bahwa dari 55 responden, sebanyak 24


responden (43,64%) menyatakan bahwa mereka ingin pemerintah untuk menyediakan
mereka dengan pakaian pelindung pribadi, dan 24 responden (43,64%) menunjukkan
bahwa mereka ingin pemerintah untuk memberikan perawat komunitas dengan
pengobatan profilaksis, serta skrining untuk TB dan penyakit lain sebelum
penempatan. Dari 24 responden yang menyatakan pemerintah perlu menyediakan
pakaian pelindung pribadi maupun sskrining unruk paerawat komunitas, sebanyak 22
responden (40.00%) ingin pemerintah untuk memastikan bahwa klinik lingkungan
kondusif untuk penyediaan perawatan yang memadai, karena sebagian besar klinik
pengap dan sesak, 8 responden (14,55%) menunjukkan kebutuhan akan informasi
atau pelatihan tentang penyakit baru-baru ini, dan 4 responden (7.27%) menunjukkan
bahwa mereka ingin insentif.

D. KESIMPULAN
Pengendalian TB yang efektif dapat dicapai jika pelayanan kesehatan dapat
bekerja sama dengan pasien, keluarga pasien dan masyarakat pada umumnya. Data
tentang peran perawat komunitas dalam pencegahan TB di Tshwane Health District
of Gueteg, yang diperoleh dari responden yang menyelesaikan kuesioner terstruktur,
didukung oleh informasi yang diperoleh dari literatur. Kontrol literatur dilanjutkan
dengan pengumpulan data dan analisis dikonfirmasi peran perawat komunitas dalam
mencegah dan memerangi TB di Tshwane Health District of Gueteg. Analisis data dan
kontrol literatur lebih lanjut mengungkapkan bahwa perawat komunitas mengalami
masalah ketika memenuhi peran mereka dalam hal ini, dan tindakan yang diperlukan
untuk menghilangkan masalah ini. Berdasarkan hasil penelitian ini, langkah-langkah
untuk melindungi masyarakat perawat dari tertular TB harus menjadi prioritas.

E. APLIKASI KEPERAWATAN
Implikasi penelitian ini terhadap bidangkeperawatan adalah memberikan
informasi pada perawat komunitas di lapangan untuk lebih interaktif dalam
mempromosikan kesehatan, khususnya perilaku kesehatan untuk mencegah dan
mengelola penyakit tuberculosis (TB) di lingkup masyarakat agar menerapkan teori
penelitian untuk komunitas dan berpedoman pada penelitian-penelitian ter-up-to-date.
Pentingnya pemberdayaan perawat komunitas dalam melakukan deteksi diri untuk
penemuan kasus, pencatatan dan pelaporan kasus TB akan memberikan kontribusi
yang besar bagi masyarakat dan fasilitas pelayanan kesehatan primer (Puskesmas,
karena penyakit TB merupakan penyebab kematian kedua di dunia, dimana jumlahnya
dari tahun ke tahun terus meningkat.
Hal yang bisa diterapkan di RW 05 desa Sidosadar, Kecamatan Kedung
Kandang adalah bekerjasama dengan pihak Puskesmas dan masyarakat RW 05 desa
Sidosadar untuk pembentkan kader TB dan pelatihan deteksi dini (screening),
pencatatan dan pelaporan kasus TB di daerah tersebut, serta menunjuk PMO pada
keluarga pasien TB untuk megawasi pasien menelan obat.

Anda mungkin juga menyukai