Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
Paresis memiliki arti kelemahan dan paraparesis digunakan untuk mendeskripsikan
kelemahan pada kedua tungkai. Pengertian ini kemudian meluas dengan memasukkan
kelainan pola jalan yang disebabkan oleh lesi UMN, bahkan pada keadaan yang tidak disertai
dengan kelemahan pada pemeriksaan otot secara manual.
Paresis merupakan bentuk parsial dari paralisis, dimana pada paresis terjadi
kelemahan karena kekuatan kontraksi otot berkurang. berdasarkan pemeriksaan klinis dan
studi fisiologis, dikenal 2 tipe paresis, yaitu : akibat keterlibatan upper motor neuron (UMN)
atau akibat keterlibatan lower motor neuron (LMN)
Berdasarkan umur, populasi lebih tua, penyebab terseringnya adalah metastase
tumor. Pada anak-anak dan orang dewasa muda, tanda dan gejala yang muncul bisa menjadi
lebih berat, ditambah dengan rasa nyeri karena gangguan ini sering disebabkan oleh acute
transverse myelitis. Hal ini mungkin terlihat pada anak-anak dan orang dewasa. Selain dari
gejala-gejala motorik yang timbul, gejala sensoris juga bermakna untuk menunjukkan letak
lesi penyebab gangguan tersebut.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Paraparese
2.1.1 Definisi Parese
Parese adalah kelemahan/kelumpuhan parsial yang ringan/tidak lengkap atau suatu
kondisi yang ditandai oleh hilangnya sebagian gerakan atau gerakan terganggu. Kelemahan
adalah hilangnya sebagian fungsi otot untuk satu atau lebih kelompok otot yang dapat
menyebabkan gangguan mobilitas bagian yang terkena. Parese pada anggota gerak dibagi
mejadi 4 macam, yaitu :
Monoparese adalah kelemahan pada satu ekstremitas atas atau ekstremitas bawah.
Paraparese adalah kelemahan pada kedua ekstremitas bawah.
Hemiparese adalah kelemahan pada satu sisi tubuh yaitu satu ekstremitas atas dan
satu ekstremitas bawah pada sisi yang sama.
Tetraparese adalah kelemahan pada keempat ekstremitas.
Paraparesis merupakan lesi intraspinal setinggi atau dibawah level medulla spinalis
thorakalis dengan deficit sensoris yang dapat diidentifikasi setinggi dermatom medulla
spinalis yang terkena lesi. Paraparesis juga dapat berasal dari lesi pada lokasi lain yang
mempengaruhi UMN (terutama lesi parasagital dan hidrocepalus) dan LMN (lesi pada cornu
anterior, kauda equina, dan neuropati perifer).
2.1.2 Etiologi
2
berkembang, akut paralisis poliomyelitis juga merupakan penyebab akut paraplegia.
Episode rekuren paraparesis biasanya disebabkan oleh adanya multiple sklerosis atau
adanya malformasi vascular medulla spinalis. Kelainan akut pada medulla spinalis dengan
deficit UMN biasanya menunjukkan gejala inkontinensia, hilangnya sensoris dari ekstremitas
bawah yang menjalar kearah rostral tubuh setinggi dermatom medulla spinalis yang terkena
lesi, tonus otot bersifat spastik dan reflex tendon meningkat, pada beberapa kasus, penegakan
diagnosis didasarkan pada pencitraan radiologis pada medulla spinalis.
Kelainan-kelainan UMN tersebut dapat berupa:
1. Lesi kompresif (seperti tumor epidural, abscess, ataupun hematoma)
2. Infark medulla spinalis (propriosepsi biasanya terganggu)
3. Fistula arteriovenous atau kelainan vaskular lainnya (trombosis arteri spinalis
anterior)
4. Mielitis transversa
Kompresi medulla spinalis timbul dengan gejala disfungsi motorik yang terutama
mengenai ektremitas bawah, dimanapun tingkat lesinya. Kompresi berhubungan dengan
tingkat sensoris dan tanda-tanda upper motor neuron (UMN< neuron motorik atas) di bawah
tingkat terjadinya lesi. Reflek abdomen hilang apabila lesi terjadi di atas T9. Keadaan ini
merupakan kegawatdaruratan medis apapun penyebabnya. MRI harus segera dilakukan dan
hasil pencitraan tersebut menentukan penatalaksanaanya. Medulla spinalis paling sering
mengalami kompresi akibat:
Diskus intervertebralis yang prolaps, yang bisanya mengalami herniasi ke lateral dan
menyebabkan timbulnya tanda-tanda yang asimetris, meskipun prolaps bagian tengah
diskus juga dapat terjadi.
Abses dan lesi inflamasi lainnya juga dapat menekan medulla spinalis.
Terapi biasanya dengan dekompresi secara bedah atau radioterapi untuk tumor ganas.
Definisi
Tumor medula spinalis adalah tumor di daerah spinal yang dapat terjadi pada daerah
cervical pertama hingga sacral, yang dapat dibedakan atas;
Tumor primer:
o Jinak yang berasal dari
tulang; osteoma dan kondroma,
serabut saraf disebut neurinoma (Schwannoma),
berasal dari selaput otak disebut Meningioma;
jaringan otak; Glioma, Ependimoma.
o Ganas yang berasal dari
jaringan saraf seperti; Astrocytoma, Neuroblastoma,
4
sel muda seperti Kordoma.
Tumor sekunder: merupakan anak sebar (metastase) dari tumor ganas di daerah
rongga dada, perut, pelvis dan tumor payudara.
Epidemiologi
Di Indonesia. jumlah penderita tumor medula spinalis belum diketahui secara pasti.
Jumah kasus tumor medula spinalis di Amerika Serikat mencapai 15% dari total jumlah
tumor yang terjadi pada susunan saraf pusat dengan perkiraan insidensi sekitar 0,5-2,5 kasus
per 100.000 penduduk per tahun. Jumlah penderita pria hampir sama dengan wanita dengan
sebaran usia antara 30 hingga 50 tahun. Diperkirakan 25% tumor terletak di segmen servikal,
55% di segmen thorakal dan 20% terletak di segmen lumbosakral.
Tumor intradural intramedular yang tersering adalah ependymoma, astrositoma dan
hemangioblastoma. Ependimoma lebih sering didapatkan pada orang dewasa pada usia
pertengahan (30-39 tahun) dan jarang terjadi pada usia anak-anak. Insidensi ependidoma kira-
kira sama dengan astrositoma. Dua per tiga dari ependydoma muncul pada daerah
lumbosakral.
Diperkirakan 3% dari frekuensi astrositoma pada susunan saraf pusat tumbuh pada
medula spinalis. Tumor ini dapat muncul pada semua umur, tetapi yang tersering pada tiga
dekade pertama. Astrositoma juga merupakan tumor spinal intramedular yang tersering pada
usia anak-anak, tercatat sekitar 90% dari tumor intramedular pada anak-anak dibawah umur
10 tahun, dan sekitar 60% pada remaja. Diperkirakan 60% dari astrositoma spinalis berlokasi
di segmen servikal dan servikotorakal. Tumor ini jarang ditemukan pada segmen torakal,
lumbosakral atau pada conus medularis. Hemangioblastoma merupakan tumor vaskular yang
tumbuh lambat dengan prevalensi 3% sampai 13% dari semua tumor intramedular medula
spinalis. Rata-rata terdapat pada usia 36 tahun, namun pada pasien dengan von Hippel-Lindau
syndrome (VHLS) biasanya muncul pada dekade awal dan mempunyai tumor yang multipel.
Rasio laki-laki dengan perempuan 1,8 : 1.
Tumor intradural ekstramedular yang tersering adalah schwanoma, dan meningioma.
Schwanoma merupakan jenis yang tersering (53,7%) dengan insidensi laki-laki lebih sering
dari pada perempuan, pada usia 40-60 tahun dan tersering pada daerah lumbal. Meningioma
merupakan tumor kedua tersering pada kelompok intradural-ekstramedullar tumor.
Meningioma menempati kira-kira 25% dari semua tumor spinal. Sekitar 80% dari spinal
meningioma terlokasi pada segmen thorakal, 25% pada daerah servikal, 3% pada daerah
5
lumbal, dan 2% pada foramen magnum.
Klasifikasi
Berdasarkan asal dan sifat selnya, tumor pada medula spinalis dapat dibagi menjadi
tumor primer dan tumor sekunder. Tumor primer dapat bersifat jinak maupun ganas,
sementara tumor sekunder selalu bersifat ganas karena merupakan metastasis dari proses
keganasan di tempat lain seperti kanker paru-paru, payudara, kelenjar prostat, ginjal, kelenjar
tiroid atau limfoma. Tumor primer yang bersifat ganas contohnya adalah astrositoma,
neuroblastoma, dan kordoma, sedangkan yang bersifat jinak contohnya neurinoma, glioma,
dan ependimoma.
Berdasarkan lokasinya, tumor medula spinalis dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
tumor intradural dan ekstradural, di mana tumor intradural itu sendiri dibagi lagi menjadi
tumor intramedular dan ekstramedular. Macam-macam tumor medula spinalis berdasarkan
lokasinya dapat dilihat pada Tabel 1.
Gambar 2.1 (A) Tumor intradural-intramedular, (B) Tumor intradural-ekstramedular, dan (C)
Tumor Ekstradural
6
Tabel 1. Tumor Medula Spinalis Berdasarkan Gambaran Histologisnya
Intradural
Ekstra dural Intradural ekstramedular
intramedular
Chondroblastoma Ependymoma, tipe Astrocytoma
Chondroma myxopapillary Ependymoma
Hemangioma Epidermoid Ganglioglioma
Lipoma Lipoma Hemangioblastoma
Lymphoma Meningioma Hemangioma
Meningioma Neurofibroma Lipoma
Metastasis Paraganglioma Medulloblastoma
Neuroblastoma Schwanoma Neuroblastoma
Neurofibroma Neurofibroma
Osteoblastoma Oligodendroglioma
Osteochondroma Teratoma
Osteosarcoma
Sarcoma
Vertebral
hemangioma
9
Servikal Menimbulkan tanda-tanda sensorik dan motorik mirip lesi radikular
yang melibatkan bahu dan lengan dan mungkin juga menyerang
tangan. Keterlibatan tangan pada lesi servikalis bagian atas (misal,
diatas C4) diduga disebabkan oleh kompresi suplai darah ke kornu
anterior melalui arteria spinalis anterior. Pada umumnya terdapat
kelemahan dan atrofi gelang bahu dan lengan. Tumor servikalis yang
lebih rendah (C5, C6, C7) dapat menyebabkan hilangnya refleks
tendon ekstremitas atas (biseps, brakioradialis, triseps). Defisit
sensorik membentang sepanjang tepi radial lengan bawah dan ibu jari
pada kompresi C6, melibatkan jari tengah dan jari telunjuk pada lesi
C7, dan lesi C7 menyebabkan hilangnya sensorik jari telunjuk dan jari
tengah.
Torakal Seringkali dengan kelemahan spastik yang timbul perlahan pada
ekstremitas bagian bawah dan kemudian mengalami parestesia. Pasien
dapat mengeluh nyeri dan perasaan terjepit dan tertekan pada dada dan
abdomen, yang mungkin dikacaukan dengan nyeri akibat gangguan
intratorakal dan intraabdominal. Pada lesi torakal bagian bawah,
refleks perut bagian bawah dan tanda Beevor (umbilikus menonjol
apabila penderita pada posisi telentang mengangkat kepala melawan
suatu tahanan) dapat menghilang.
Lumbosakral Suatu situasi diagnostik yang rumit timbul pada kasus tumor yang
melibatkan daerah lumbal dan sakral karena dekatnya letak segmen
lumbal bagian bawah, segmen sakral, dan radiks saraf desendens dari
tingkat medula spinalis yang lebih tinggi. Kompresi medula spinalis
lumbal bagian atas tidak mempengaruhi refleks perut, namun
menghilangkan refleks kremaster dan mungkin menyebabkan
kelemahan fleksi panggul dan spastisitas tungkai bawah. Juga terjadi
kehilangan refleks lutut dan refleks pergelangan kaki dan tanda
Babinski bilateral. Nyeri umumnya dialihkan keselangkangan. Lesi
yang melibatkan lumbal bagian bawah dan segmen-segmen sakral
bagian atas menyebabkan kelemahan dan atrofi otot-otot perineum,
betis dan kaki, serta kehilangan refleks pergelangan kaki. Hilangnya
10
sensasi daerah perianal dan genitalia yang disertai gangguan kontrol
usus dan kandung kemih merupakan tanda khas lesi yang mengenai
daerah sakral bagian bawah.
Kauda Menyebabkan gejala-gejala sfingter dini dan impotensi. Tanda-tanda
Ekuina khas lainnya adalah nyeri tumpul pada sakrum atau perineum, yang
kadang-kadang menjalar ke tungkai. Paralisis flaksid terjadi sesuai
dengan radiks saraf yang terkena dan terkadang asimetris.
Tumor Ekstradural
Sebagian besar merupakan tumor metastase, yang menyebabkan kompresi pada
medula spinalis dan terletak di segmen thorakalis. Nyeri radikuler dapat merupakan gejala
awal pada 30% penderita tetapi kemudian setelah beberapa hari, minggu/bulan diikuti dengan
gejala mielopati. Nyeri biasanya lebih dari 1 radiks, yang mulanya hilang dengan istirahat,
tetapi semakin lama semakin menetap/persisten, sehingga dapat merupakan gejala utama,
walaupun terdapat gejala yang berhubungan dengan tumor primer. Nyeri pada tumor
metastase ini dapat terjadi spontan, dan sering bertambah dengan perkusi ringan pada
vertebrae, nyeri demikian lebih dikenal dengan nyeri vertebrae.
Tumor Intradural-Ekstramedular
Tumor ini tumbuh di radiks dan menyebabkan nyeri radikuler kronik progresif.
11
Kejadiannya 70% dari tumor intradural, dan jenis yang terbanyak adalah neurinoma pada
laki-laki dan meningioma pada wanita.
a. Neurinoma (Schwannoma)
Memiliki karakteristik sebagai berikut:
Berasal dari radiks dorsalis
Kejadiannya 30% dari tumor ekstramedular
2/3 kasus keluhan pertamanya berupa nyeri radikuler, biasanya pada satu sisi dan
dialami dalam beberapa bulan sampai tahun, sedangkan gejala lanjut terdapat
tanda traktus piramidalis
39% lokasinya disegmen thorakal
b. Meningioma
Memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
80% terletak di regio thorakalis dan 60% pada wanita usia pertengahan
Pertumbuhan lambat
Pada 25% kasus terdapat nyeri radikuler, tetapi lebih sering dengan gejala traktus
piramidalis dibawah lesi, dan sifat nyeri radikuler biasanya bilateral dengan jarak
waktu timbul gejala lain lebih pendek
Tumor Intradural-Intramedular
Lebih sering menyebabkan nyeri funikuler yang bersifat difus seperti rasa terbakar
dan menusuk, kadang-kadang bertambah dengan rangsangan ringan seperti electric shock like
pain (Lhermitte sign).
a. Ependimoma
Memiliki karakteristik sebagai berikut:
Rata-rata penderita berumur di atas 40 tahun
Wanita lebih dominan
Nyeri terlokalisir di tulang belakang
Nyeri meningkat saat malam hari atau saat bangun
Nyeri disestetik (nyeri terbakar)
Menunjukkan gejala kronis
Jenis miksopapilari rata-rata pada usia 21 tahun, pria lebih dominan
b. Astrositoma
12
Memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Prevalensi pria sama dengan wanita
Nyeri terlokalisir pada tulang belakang
Nyeri bertambah saat malam hari
Parestesia (sensasi abnormal)
c. Hemangioblastoma
Memiliki karakter sebagai berikut:
Gejala muncul pertama kali saat memasuki usia 40 tahun
Penyakit herediter (misal, Von Hippel-Lindau Syndrome) tampak pada 1/3 dari
jumlah pasien keseluruhan.
Penurunan sensasi kolumna posterior
Nyeri punggung terlokalisir di sekitar lesi
Diagnosis
Selain dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosis tumor medula spinalis
dapat ditegakkan dengan bantuan pemeriksaan penunjang seperti di bawah ini.
a. Laboratorium
Cairan spinal (CSF) dapat menunjukkan peningkatan protein dan xantokhrom, dan
kadang-kadang ditemukan sel keganasan. Dalam mengambil dan memperoleh cairan
spinal dari pasien dengan tumor medula spinalis harus berhati-hati karena blok
sebagian dapat berubah menjadi blok komplit cairan spinal dan menyebabkan
paralisis yang komplit.
b. Foto Polos Vertebrae
Foto polos seluruh tulang belakang 67-85% abnormal. Kemungkinan ditemukan erosi
pedikel (defek menyerupai mata burung hantu pada tulang belakang lumbosakral
AP) atau pelebaran, fraktur kompresi patologis, scalloping badan vertebra, sklerosis,
perubahan osteoblastik (mungkin terajdi mieloma, Ca prostat, hodgkin, dan biasanya
Ca payudara.
c. CT-scan
CT-scan dapat memberikan informasi mengenai lokasi tumor, bahkan terkadang dapat
memberikan informasi mengenai tipe tumor. Pemeriksaan ini juga dapat membantu
13
dokter mendeteksi adanya edema, perdarahan dan keadaan lain yang berhubungan.
CT-scan juga dapat membantu dokter mengevaluasi hasil terapi dan melihat
progresifitas tumor.
d. MRI
Pemeriksaan ini dapat membedakan jaringan sehat dan jaringan yang mengalami
kelainan secara akurat. MRI juga dapat memperlihatkan gambar tumor yang letaknya
berada di dekat tulang lebih jelas dibandingkan dengan CT-scan.
Diagnosis Banding
Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS)
Lumbar (Intervertebral) Disk Disorders
Mechanical Back Pain
Brown-Sequard Syndrome
Infeksi Medula Spinalis
Cauda Equina Syndrome
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan untuk sebagian besar tumor baik intramedular maupun
ekstramedular adalah dengan pembedahan. Tujuannya adalah untuk menghilangkan
tumor secara total dengan menyelamatkan fungsi neurologis secara maksimal.
Kebanyakan tumor intradural-ekstramedular dapat direseksi secara total dengan
gangguan neurologis yang minimal atau bahkan tidak ada post operatif. Tumor-tumor
yang mempunyai pola pertumbuhan yang cepat dan agresif secara histologis dan tidak
secara total dihilangkan melalui operasi dapat diterapi dengan terapi radiasi post operasi.
Terapi yang dapat dilakukan pada tumor medulla spinalis adalah :
a. Deksamethason: 100 mg (mengurangi nyeri pada 85 % kasus, mungkin juga
menghasilkan perbaikan neurologis).
b. Penatalaksanaan berdasar evaluasi radiografik
Bila tidak ada massa epidural: rawat tumor primer (misalnya dengan sistemik
kemoterapi); terapi radiasi lokal pada lesi bertulang; analgesik untuk nyeri.
Bila ada lesi epidural, lakukan bedah atau radiasi (biasanya 3000-4000 cGy
pada 10x perawatan dengan perluasan dua level di atas dan di bawah lesi);
radiasi biasanya seefektif seperti laminektomi dengan komplikasi yang lebih
sedikit.
14
c. Penatalaksanaan darurat (pembedahan/ radiasi) berdasarkan derajat blok dan
kecepatan deteriorasi
bila > 80 % blok komplit atau perburukan yang cepat: penatalaksanaan
sesegera mungkin (bila merawat dengan radiasi, teruskan deksamethason
keesokan harinya dengan 24 mg IV setiap 6 jam selama 2 hari, lalu
diturunkan (tappering) selama radiasi, selama 2 minggu.
bila < 80 % blok: perawatan rutin (untuk radiasi, lanjutkan deksamethason 4
mg selama 6 jam, diturunkan (tappering) selama perawatan sesuai toleransi.
d. Radiasi
Terapi radiasi direkomendasikan umtuk tumor intramedular yang tidak dapat
diangkat dengan sempurna. Dosisnya antara 45 dan 54 Gy.
e. Pembedahan
Tumor biasanya diangkat dengan sedikit jaringan sekelilingnya dengan teknik
myelotomy. Aspirasi ultrasonik, laser, dan mikroskop digunakan pada pembedahan
tumor medula spinalis.
Indikasi pembedahan:
Tumor dan jaringan tidak dapat didiagnosis (pertimbangkan biopsi bila lesi
dapat dijangkau). Catatan: lesi seperti abses epidural dapat terjadi pada pasien
dengan riwayat tumor dan dapat disalahartikan sebagai metastase.
Medula spinalis yang tidak stabil (unstable spinal).
Kegagalan radiasi (percobaan radiasi biasanya selama 48 jam, kecuali
signifikan atau terdapat deteriorasi yang cepat); biasanya terjadi dengan tumor
yang radioresisten seperti karsinoma sel ginjal atau melanoma.
Rekurensi (kekambuhan kembali) setelah radiasi maksimal.
Komplikasi
Komplikasi yang mungkin pada tumor medula spinalis antara lain:
Paraplegia
Quadriplegia
Infeksi saluran kemih
Kerusakan jaringan lunak
Komplikasi pernapasan
2. Mielitis transversa
Myelitis transversalis adalah suatu proses inflamasi akut yang mengenai suatu area
fokal di medula spinalis dengan karakteristik klinis adanya perkembangan baik akut atau sub
akut dari tanda dan gejala disfungsi neurologis pada saraf motorik, sensorik dan otonom dan
traktus saraf di medula spinalis. Myelitis transversalis adalah suatu sindrom yang jarang
dengan insiden antara satu sampai delapan kasus baru setiap satu juta penduduk pertahun.
Karakteristik myelitis transversalis ditandai dengan adanya inflamasi di dalam medula
spinalis dan mempunyai manifestasi klinis berupa terjadinya disfungsi neural dari jaras-jaras
motorik, sensoris dan otonom sebagai akibat jaras tadi melewati daerah di batas rostral
inflamasi. Sering ditemukan keluhan adanya disfungsi sensoris dan bukti adanya inflamasi
akut dibuktikan dengan MRI dan punksi lumbal. Dr. Suchett-Kaye seorang neurologis dari
Inggris pada tahun 1948 mengenalkan terminologi acute transverse myelitis dalam
laporannya terhadap suatu kasus komplikasi myelitis transversalis setelah pneumonia.
Transverse menggambarkan secara klinis adanya band like area horizontal perubahan sensasi
di daerah leher atau torak. Sejak saat itu, sindrom paralisis progresif karena inflamasi di
medula spinalis dikenal sebagai myelitis transversalis. Inflamasi berarti adanya pengaktifan
16
sistem imun yang ada pada daerah lesi dan potensial menimbulkan kerusakan. Ketika level
maksimal defisit neurologi mendekati 50%, pasien sudah kehilangan seluruh gerakan tungkai,
disfungsi kandung kencing dan 8094% pasien mengeluh numbness, parestesia, dan
disestesia. Simptom otonom terdiri dari meningkatnya gangguan berkemih dan defekasi,
kesulitan atau tak dapat mengosongkannya atau adanya konstipasi saluran pencernaan serta
adanya gangguan seksual. Myelitis transversalis dapat terjadi idiopatik atau bersama-sama
dengan suatu penyakit inflamasi. Penderita myelitis transversalis harus ditawarkan untuk
mendapatkan terapi imunomodulator seperti steroid dan plasmapheresis (belum ada
konsensus sebagai suatu strategi terapi yang tepat). Kebanyakan pasien dengan myelitis
transversalis adalah penyakit monophasic.
Myelitis merupakan penyakit inflamasi yang terlokalisasi pada bagian tengah medulla
spinalis, timbul sebagai kelemahan akut dengan kehilangan tingkat sensoris secara ascendens,
sangat mirip dengan kompresi medulla spinalis akut (yang perlu disingkirkan dengan
pemeriksaan MRI segera). Sebagian pasien telah mengalami penyakit menyerupai flu dan
kondisi ini dapat terjadi sebagai komplikasi parainfeksi pada infeksi Mycoplasma atau
Legioneella spp., infeksi virus Epstein-Barr, infeksi herpes simpleks dan zoster, dan lainnya.
Pada mielitis gejala yang timbul berupa nyeri lokal yang hebat, paraparesis, parastesia
atau kombinasi dari gejala tersebut.Pencitraan mungkin menunjukkan adanya lesi fokal atau
bisa juga normal. Pada sebagian pasien, mielitis transversa merupakan manifestasi pertama
pada sklerosis multipel.
4. Sindrom Guillain-Barre
Sindrom ini mempunyai banyak sinonim, antara lain polineuritis akut pasca infeksi,
polyneuritis akut toksik, polyneuritis febril, poliradikulopati dan acute ascending paralysis.
Sindrom ini dicirikan oleh kelumpuhan otot ekstremitas yang akut dan progresif, biasanya
muncul sesudah infeksi.
Dahulu, sindrom ini diduga disebabkan oleh infeksi virus. Tetapi, akhir-akhir ini
terungkap bahwa ternyata virus bukan sebagai penyebab. Teori yang dianut sekarang ialah
suatu kelainan imunobiologik, baik secara primary immune respone maupun immune
mediated process.
Tanda dan gejala kelemahan motorik terjadi dengan cepat, tetapi progresivitasnya akan
berhenti setelah berjalan 4 minggu. Lebih kurang 50% akan terjadi kelemahan
menjelang 2 minggu, 80% menjelang 3 minggu, dan lebih dari 90% selama 4 minggu.
Kelumpuhan terjadi secara simetris, jarang asimetris. Kelumpuhan dapat ringan dan
terbatas pada kedua tungkai, dapat pula total pada keempat anggota gerak yang terjadi
secara cepat, dalam waktu kurang dari 72 jam. Keadaan ini disebut ascending paralysis
atau ascending Landrys paralysis.
Pada pemeriksaan darah tepi bisa diperoleh hasil normal ataupun mungkin
memperlihatkan tanda-tanda radang akut berupa leukositosis. Pada cairan serebrospinal
(CSS) didapatkan kadar protein yang tinggi, kadang-kadang dapat sampai 1.000 mg%; hal
18
demikian ini tidak sesuai dengan jumlah sel dalam CSS yang dapat dikatakan tidak
mengalami perubahan. Keadaan demikian ini disebut disosiasi sel albumin (albumin-
cytologic dissociation), dan mencapai puncaknya pada minggu ke 4-6. Peningkatan protein
ini diduga sebagai inflamasi yang luas. Sedangkan pada pemeriksaan elektroneuromiografi
menunjukkan adanya demielinisasi hampir semua penderita sindrom Guillain-Barre.
Kecepatan hantar saraf tepi (KHST) menurun.
Dapat dikatakan tidak ada drug of choice. Yang diperlukan adalah kewaspadaan terhadap
kemungkinan memburuknya situasi sebagai akibat perjalanan klinik yang memberat
sehingga mengancam otot-otot pernafasan.
Roboransia saraf dapat diberikan, terutama secara parenteral. Apabila terjadi kesulitan
mengunyah dan/atau menelan, maka perlu dipasang nasogastric tube.
Manfaat kortikosteroid untuk sindrom Guillain-Barre masih kontroversial. Namun
demikian, apabila keadaan menjadi gawat akibat terjadinya paralisis otot-otot pernafasan
maka kortikosteroid dosis tinggi dapat diberikan. Pemberian kortikosteroid ini harus
diiringi dengan kewaspadaan terhadap efek samping yang mungkin terjadi.
Plasmafaresis untuk beberapa penderita dapat memberi manfaat yang besar, terutama
untuk kasus akut. Di Negara-negara Barat, plasmafaresis mulai sering diberikan, namun
demikian belum diperoleh kesimpulan yang pasti.
Pengobatan dengan cara lain misalnya dengan imunoglobin dan immunomodulating
pernah dicoba, tetapi hasilnya masih diragukan. Terlepas dari obat apa yang diberikan,
maka perawatan terhadap penderita sindrom Guiilain-Barre harus tetap prima. Latihan
dan fisioterapi sangat diperlukan untuk mempercepat penyembuhan.
Pada sindrom Gullain-Barre, prognosis akan lebih baik apabila usia penderita lebih
muda, selama sakit tidak memerlukan pernafasan bantuan, perjalanan penyakit yang lebih
lambat, dan tidak terjadi kelumpuhan total. Kira-kira 90% penderita akan sembuh sempurna.
Kecepatan penyembuhan bervariasi dari beberapa minggu sampai beberapa bulan. Namun,
apabila terjadi paralisis otot-otot pernafasan maka prognosis akan lebih buruk. Hal demikian
ini akan lebih diperburuk lagi apabila rumah sakit tidak mempunyai fasilitas perawatan yang
memadai.
19
5. Spondilitis Tuberkulosa
A. Definisi
Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis tulang belakang adalah peradangan
granulomatosa yang bersifat kronis destruktif oleh Mycobacterium tuberculosis. Dikenal
pula dengan nama Potts disease of the spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis.
Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra T8 - L3 dan paling jarang pada
vertebra C1 2. Spondilitis tuberkulosis biasanya mengenai korpus vertebra, tetapi
jarang menyerang arkus vertebrae.
B. Epidemiologi
Insidensi spondilitis tuberkulosa bervariasi di seluruh dunia dan biasanya
berhubungan dengan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat yang tersedia
serta kondisi sosial di negara tersebut. Saat ini spondilitis tuberkulosa merupakan
sumber morbiditas dan mortalitas utama pada negara yang belum dan sedang
berkembang, terutama di Asia, dimana malnutrisi dan kepadatan penduduk masih
20
menjadi merupakan masalah utama. Pada negara-negara yang sudah berkembang atau
maju insidensi ini mengalami penurunan secara dramatis dalam kurun waktu 30 tahun
terakhir. Perlu dicermati bahwa di Amerika dan Inggris insidensi penyakit ini
mengalami peningkatan pada populasi imigran, tunawisma lanjut usia dan pada orang
dengan tahap lanjut infeksi HIV (Medical Research Council TB and Chest Diseases
Unit 1980). Selain itu dari penelitian juga diketahui bahwa peminum alkohol dan
pengguna obat-obatan terlarang adalah kelompok beresiko besar terkena penyakit ini.
Di Amerika Utara, Eropa dan Saudi Arabia, penyakit ini terutama mengenai
dewasa, dengan usia rata-rata 40-50 tahun sementara di Asia dan Afrika sebagian
besar mengenai anak-anak (50% kasus terjadi antara usia 1-20 tahun). Pola ini
mengalami perubahan dan terlihat dengan adanya penurunan insidensi infeksi
tuberkulosa pada bayi dan anak-anak di Hong Kong.
Pada kasus-kasus pasien dengan tuberkulosa, keterlibatan tulang dan sendi
terjadi pada kurang lebih 10% kasus. Walaupun setiap tulang atau sendi dapat terkena,
akan tetapi tulang yang mempunyai fungsi untuk menahan beban (weight bearing)
dan mempunyai pergerakan yang cukup besar (mobile) lebih sering terkena
dibandingkan dengan bagian yang lain. Dari seluruh kasus tersebut, tulang belakang
merupakan tempat yang paling sering terkena tuberkulosa tulang (kurang lebih 50%
kasus), diikuti kemudian oleh tulang panggul, lutut dan tulang-tulang lain di kaki,
sedangkan tulang di lengan dan tangan jarang terkena. Area torako-lumbal terutama
torakal bagian bawah (umumnya T 10) dan lumbal bagian atas merupakan tempat
yang paling sering terlibat karena pada area ini pergerakan dan tekanan dari weight
bearing mencapai maksimum, lalu dikuti dengan area servikal dan sacral.
Defisit neurologis muncul pada 10-47% kasus pasien dengan spondilitis
tuberkulosa. Di negara yang sedang berkembang penyakit ini merupakan penyebab
paling sering untuk kondisi paraplegia non traumatik. Insidensi paraplegia, terjadi
lebih tinggi pada orang dewasa dibandingkan dengan anakanak. Hal ini berhubungan
dengan insidensi usia terjadinya infeksi tuberkulosa pada tulang belakang, kecuali
pada dekade pertama dimana sangat jarang ditemukan keadaan ini.
C. Etiologi
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yg bersifat
acid-fastnon-motile (tahan terhadap asam pada pewarnaan, sehingga sering disebut
21
juga sebagai Basil/bakteri Tahan Asam [BTA]) dan tidak dapat diwarnai dengan baik
melalui cara yang konvensional. Dipergunakan teknik Ziehl-Nielson untuk
memvisualisasikannya. Bakteri tumbuh secara lambat dalam media egg-enriched
dengan periode 6-8 minggu. Produksi niasin merupakan karakteristik Mycobacterium
tuberculosis dan dapat membantu untuk membedakannnya dengan spesies lain
Spondilitis tuberkulosa merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di
tempat lain di tubuh, 95 % disebabkan oleh mikobakterium
tuberkulosis tipik ( 2/3 dari tipe human dan 1/3 dari tipe
bovin ) dan 10 % oleh mikobakterium tuberkulosa atipik.
Lokalisasi spondilitis tuberkulosa terutama pada daerah
vertebra torakal bawah dan lumbal atas, sehingga diduga
adanya infeksi sekunder dari suatu tuberkulosa traktus
urinarius, yg penyebarannya melalui pleksus Batson pada
vena paravertebralis.
Meskipun menular, tetapi orang tertular tuberculosis tidak semudah tertular
flu. Penularan penyakit ini memerlukan waktu pemaparan yg cukup lama dan intensif
dengan sumber penyakit (penular). Menurut Mayoclinic, seseorang yg kesehatan
fisiknya baik, memerlukan kontak dengan penderita TB aktif setidaknya 8 jam sehari
selama 6 bulan, untuk dapat terinfeksi. Sementara masa inkubasi TB sendiri, yaitu
waktu yg diperlukan dari mula terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6
bulan. Bakteri TB akan cepat mati bila terkena sinar matahari langsung. Tetapi dalam
tempat yg lembab, gelap, dan pada suhu kamar, kuman dapat bertahan hidup selama
beberapa jam. Dalam tubuh, kuman ini dapat tertidur lama (dorman) selama beberapa
tahun.
D. Patofisiologi
Spondilitis tuberkulosa merupakan suatu tuberkulosis tulang yang sifatnya
sekunder dari TBC tempat lain di dalam tubuh. Penyebarannya secara hematogen,
diduga terjadinya penyakit ini sering karena penyebaran hematogen dari infeksi
traktus urinarius melalui pleksus Batson. Infeksi TBC vertebra ditandai dengan proses
destruksi tulang progresif tetapi lambat di bagian depan (anterior vertebral body).
Penyebaran dari jaringan yang mengalami perkejuan akan menghalangi proses
pembentukan tulang sehingga berbentuk tuberculos squestra. Sedang jaringan
22
granulasi TBC akan penetrasi ke korteks dan terbentuk abses paravertebral yang dapat
menjalar ke atas atau bawah lewat ligamentum longitudinal anterior dan posterior.
Sedangkan diskus intervertebralis karena avaskular lebih resisten tetapi akan
mengalami dehidrasi dan penyempitan karena dirusak oleh jaringan granulasi TBC.
Kerusakan progresif bagian anterior vertebra akan menimbulkan kifosis.
Perjalanan penyakit spondilitis tuberkulosa terdiri dari lima stadium yaitu:
1. Stadium implantasi
Setelah bakteri berada dalam tulang, apabila daya tahan tubuh penderita menurun,
bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6-8
minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak-
anak pada daerah sentral vertebra.
2. Stadium destruksi awal
Selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra dan penyempitan yang ringan pada
diskus. Proses ini berlangsung selama 3-6 minggu.
3. Stadium destruksi lanjut
Pada stadium ini terjadi destruksi yang massif, kolaps vertebra, dan terbentuk
massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses, yang tejadi 2-3 bulan setelah
stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum dan kerusakan
diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di depan
(wedging anterior) akibat kerusakan korpus vertebra sehingga menyebabkan
terjadinya kifosis atau gibbus.
4. Stadium gangguan neurologis
Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi tetapi
ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Vertebra torakalis mempunyai
kanalis spinalis yang kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi di
daerah ini. Apabila terjadi gangguan neurologis, perlu dicatat derajat kerusakan
paraplegia yaitu:
i. Derajat I
Kelemahan pada anggota gerak bawah setelah beraktivitas atau berjalan jauh.
Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf sensoris.
ii. Derajat II
Kelemahan pada anggota gerak bawah tetapi penderita masih dapat
melakukan pekerjaannya.
23
iii. Derajat III
Kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi gerak atau aktivitas
penderita disertai dengan hipoestesia atau anestesia.
iv. Derajat IV
Gangguan saraf sensoris dan motoris disertai dengan gangguan defekasi dan
miksi.
TBC paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi secara dini atau lambat
tergantung dari keadaan penyakitnya. Pada penyakit yang masih aktif,
paraplegia terjadi karena tekanan ekstradural dari abses paravertebral atau
kerusakan langsung sumsum tulang belakang oleh adanya granulasi jaringan.
Paraplegia pada penyakit yang tidak aktif atau sembuh terjadi karena tekanan
pada jembatan tulang kanalis spinalis atau pembentukan jaringan fibrosis
yang progresif dari jaringan granulasi tuberkulosa. TBC paraplegia terjadi
secara perlahan dan dapat terjadi destruksi tulang disertai dengan angulasi
dan gangguan vaskuler vertebra.
5. Stadium deformitas residual
Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah stadium implantasi. Kifosis
atau gibbus bersifat permanen karena kerusakan vertebra yang massif di depan.
4. Bentuk atipikal
Dikatakan atipikal karena terlalu tersebar luas dan fokus primernya tidak dapat
diidentifikasikan. Termasuk didalamnya adalah tuberkulosa spinal dengan
keterlibatan lengkung syaraf saja dan granuloma yang terjadi di canalis
spinalis tanpa keterlibatan tulang (tuberkuloma), lesi di pedikel, lamina,
prosesus transversus dan spinosus, serta lesi artikuler yang berada di sendi
intervertebral posterior. Insidensi tuberkulosa yang melibatkan elemen
posterior tidak diketahui tetapi diperkirakan berkisar antara 2%-10%.
E. Manifestasi Klinis
25
Gambaran klinis spondilitis tuberkulosa yaitu:
a. Badan lemah, lesu, nafsu makan berkurang, dan berat badan menurun.
b. Suhu subfebril terutama pada malam hari dan sakit (kaku) pada punggung. Pada
anak-anak sering disertai dengan menangis pada malam hari.
c. Pada awal dijumpai nyeri interkostal, nyeri yang menjalar dari tulang belakang ke
garis tengah atas dada melalui ruang interkostal. Hal ini disebabkan oleh
tertekannya radiks dorsalis di tingkat torakal.
d. Nyeri spinal menetap dan terbatasnya pergerakan spinal
e. Deformitas pada punggung (gibbus)
f. Pembengkakan setempat (abses)
g. Adanya proses tbc (Tachdjian, 2005).
Kelainan neurologis yang terjadi pada 50 % kasus spondilitis tuberkulosa karena proses
destruksi lanjut berupa:
a. Paraplegia, paraparesis, atau nyeri radix saraf akibat penekanan medula spinalis
yang menyebabkan kekakuan pada gerakan berjalan dan nyeri.
b. Gambaran paraplegia inferior kedua tungkai yang bersifat UMN dan adanya batas
defisit sensorik setinggi tempat gibbus atau lokalisasi nyeri interkostal (Tachdjian,
2005).
F. Pemeriksaan Penunjang
26
Pemeriksaan penunjang pada spondilitis tuberkulosa yaitu:
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap didapatkan leukositosis dan LED meningkat.
b. Uji mantoux positif tuberkulosis.
c. Uji kultur biakan bakteri dan BTA ditemukan Mycobacterium.
d. Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional.
e. Pemeriksaan hispatologis ditemukan tuberkel.
f. Pungsi lumbal didapati tekanan cairan serebrospinalis rendah.
g. Peningkatan CRP (C-Reaktif Protein).
h. Pemeriksaan serologi dengan deteksi antibodi spesifik dalam sirkulasi.
i. Pemeriksaan ELISA (Enzyme-Linked Immunoadsorbent Assay) tetapi
menghasilkan negatif palsu pada penderita dengan alergi.
j. Identifikasi PCR (Polymerase Chain Reaction) meliputi denaturasi DNA kuman
tuberkulosis melekatkan nukleotida tertentu pada fragmen DNA dan amplifikasi
menggunakan DNA polimerase sampai terbentuk rantai DNA utuh yang
diidentifikasi dengan gel.
2. Pemeriksaan radiologis
a. Foto toraks atau X-ray untuk melihat adanya tuberculosis pada paru. Abses dingin
tampak sebagai suatu bayangan yang berbentuk spindle.
b. Pemeriksaan foto dengan zat kontras.
c. Foto polos vertebra ditemukan osteoporosis, osteolitik, destruksi korpus vertebra,
penyempitan diskus intervertebralis, dan mungkin ditemukan adanya massa abses
paravertebral.
d. Pemeriksaan mielografi.
e. CT scan memberi gambaran tulang secara lebih detail dari lesi
irreguler, skelerosis, kolaps diskus, dan gangguan sirkumferensi tulang.
f. MRI mengevaluasi infeksi diskus intervertebralis dan osteomielitis tulang
belakang serta menunjukkan adanya penekanan saraf (Lauerman, 2006).
G. Penatalaksanaan
Pada prinsipnya pengobatan spondilitis tuberkulosa harus dilakukan segera
untuk menghentikan progresivitas penyakit dan mencegah atau mengkoreksi
paraplegia atau defisit neurologis. Prinsip pengobatan Potts paraplegia yaitu:
27
1. Pemberian obat antituberkulosis.
2. Dekompresi medula spinalis.
3. Menghilangkan atau menyingkirkan produk infeksi.
4. Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft) (Graham, 2007).
H. Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh spondilitis tuberkulosa yaitu:
1. Potts paraplegia
a. Muncul pada stadium awal disebabkan tekanan ekstradural oleh pus
maupun sequester atau invasi jaringan granulasi pada medula
29
spinalis. Paraplegia ini membutuhkan tindakan operatif dengan cara
dekompresi medula spinalis dan saraf.
b. Muncul pada stadium lanjut disebabkan oleh terbentuknya fibrosis
dari jaringan granulasi atau perlekatan tulang (ankilosing) di atas
kanalis spinalis.
2. Ruptur abses paravertebra
a. Pada vertebra torakal maka nanah akan turun ke dalam pleura
sehingga menyebabkan empiema tuberkulosis.
b. Pada vertebra lumbal maka nanah akan turun ke otot iliopsoas
membentuk psoas abses yang merupakan cold absces (Lindsay,
2008).
3. Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya
tekanan ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra tulang,
sekuester dari diskus intervertebralis (contoh : Potts paraplegia prognosa
baik) atau dapat juga langsung karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan
granulasi tuberkulosa (contoh : menigomyelitis prognosa buruk). Jika cepat
diterapi sering berespon baik (berbeda dengan kondisi paralisis pada tumor).
MRI dan mielografi dapat membantu membedakan paraplegi karena tekanan
atau karena invasi dura dan corda spinalis.
30
BAB III
Laporan Kasus
IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. I
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 59 tahun
MR : 698051
Anamnesis : Autoanamnesis
Keluhan Utama : lemah kedua tungkai sejak 2 bulan yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Lemah kedua tungkai sejak 2 bulan yang lalu dan tidak bisa berjalan. Lemah
dirasakan perlahan-lahan
Awalnya pasien mulai rasakan lemah pada kedua tungkai sejak 2 bulan yang lalu
namun masih bisa berjalan dengan menyeret dan bertumpu pada dinding.
Tungkai kanan lebih berat dibandingkan tungkai yang kiri
Lemah disertai dengan berkurangnya rasa raba ditungkai kanan sejak 2 minggu yang
lalu.
Riwayat trauma punggung dan kepala disangkal
Nyeri punggung disangkal
Riwayat BB menurun disangkal
Riwayat batuk lama disangkal.
Demam disangkal.
BAB dan BAK normal.
Sekresi keringat normal.
Thoraks
a. Paru-paru
Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris, bentuk dada normal.
Palpasi : Gerak dinding dada simetris
32
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru.
Auskultasi : vesikuler +/+, Ronkhi -/-, wheezing -/-
b. Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat.
Palpasi :Ictus cordis tidak teraba
Perkusi :
- Batas jantung kanan: SIC IV linea parasternalis dekstra.
- Batas jantung kiri : SIC V 1 jari lateral linea midclavicula sinistra.
Auskultasi : Bunyi jantung I & II reguler, gallop (-), Murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : Bentuk datar, distensi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal.
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), tidak ada pembesaran hepar dan lien
Perkusi : Timpani.
Ekstremitas
Superior : Akral hangat, CRT < 2 detik, edema -/-, kelemahan -/-
Inferior : Akral hangat, CRT < 2 detik, edema -/-, kelemahan +/+
Status neurologikus:
1. Tanda Rangsangan Selaput Otak
Kaku kuduk : negatif Brudzinski I : negatif
Brudzinski II : negatif Tanda Kernig : negatif
2. Tanda Peningkatan Intrakranial
Pupil :isokor,diameter 3mm/3mmm, Reflek cahaya +/+
3. Pemeriksaan Nervus Kranialis
33
N.II (N. Optikus)
Penglihatan Kanan Kiri
Tajam penglihatan Normal Normal
Lapang pandang Normal Normal
Melihat warna Normal Normal
Funduskopi Tidak dinilai Tidak dinilai
N. IV (N. Trochlearis)
Kanan Kiri
Gerakan mata ke bawah Normal Normal
Sikap bulbus Normal Normal
Diplopia Tidak ada Tidak ada
N. V (N. Trigeminus)
Kanan Kiri
Motorik :
Membuka mulut Normal Normal
34
Menggerakkan rahang Normal Normal
Menggigit Normal Normal
Mengunyah Normal Normal
Sensorik :
Divisi Optalmika
Refleks kornea Normal Normal
Sensibilitas Normal Normal
Divisi Maksila
Refleks masseter Normal Normal
Divisi Mandibula
Normal Normal
Sensibilitas
N. VI (N. Abduscen)
Kanan Kiri
Gerakan mata lateral Normal Normal
Sikap bulbus Normal Normal
Diplopia Tidak ada Tidak ada
35
N. VIII (N. Vestibulocochlearis)
Kanan Kiri
Suara berbisik Normal Normal
Detik arloji Normal Normal
Rinne test Tidak dinilai Tidak dinilai
Scwabach test Tidak dinilai Tidak dinilai
Webber test : Tidak dinilai Tidak dinilai
Memanjang Tidak dinilai Tidak dinilai
Memendek Tidak dinilai Tidak dinilai
Nistagmus :
Pendular Tidak ada Tidak ada
Vertikal Tidak ada Tidak ada
Siklikal Tidak ada Tidak ada
Pengaruh posisi kepala Tidak ada Tidak ada
N. IX (N. Glossopharingeus)
Kanan Kiri
Sensasi lidah 1/3 belakang Normal Normal
Refleks muntah/Gag reflek Normal Normal
N. X (N. Vagus)
Kanan Kiri
Arkus faring Normal Normal
Uvula Normal Normal
Menelan Normal Normal
Artikulasi Normal Normal
Suara Normal Normal
Nadi
36
N. XI (N. Assesorius)
Kanan Kiri
Menoleh ke kanan Normal Normal
Menoleh ke kiri Normal Normal
Mengangkat bahu ke Normal Normal
kanan
Mengangkat bahu ke kiri Normal Normal
B. Pemeriksaan Koordinasi
Tandem walking Tidak dinilai Disatria Negative
Romberg test Tidak dinilai Disgrafia Tidak dinilai
Ataksia Tidak dinilai Supinasi-pronasi Tidak dinilai
Rebound phenomen Tidak dinilai Tes jari-hidung Tidak dinilai
Tes tumit-lutut Tidak dinilai Tes hidung-hidung Tidak dinilai
37
Gerakan spontan hipoaktif Hipoaktif
Tremor Tidak ada Tidak ada
Atetosis Tidak ada Tidak ada
Mioklonik Tidak ada Tidak ada
Khorea Tidak ada Tidak ada
D. Pemeriksaan Sensibilitas
Sensibilitas taktil Normal
Sensibilitas nyeri Normal
Sensibilitas termis Tidak dinilai
Sensibilitas kortikal Tidak dinilai
Stereognosis Tidak dinilai
Pengenalan 2 titik Normal
Pengenalan rabaan Normal
E. Sistem Refleks
Refleks Fisiologis Kanan Kiri
Kornea Normal Normal
Berbangkis Tidak dinilai Tidak dinilai
Laring Normal Normal
Masseter Normal Normal
Dinding perut
Atas Normal Normal
Bawah Normal Normal
38
Tengah Normal Normal
Biseps + +
Triseps + +
APR + +
KPR + +
Bulbokavernosus Tidak dinilai Tidak dinilai
Kremaster Tidak dinilai
Sfingter Tidak dinilai
3. Fungsi Otonom
Miksi : Normal
Defekasi : Normal
Sekresi keringat : Normal
4. Fungsi Luhur
Kesadaran Tanda Demensia
Reaksi bicara Normal Reflek glabella Tidak ada
Fungsi intelek Normal Reflek snout Tidak ada
Reaksi emosi Normal Reflek menghisap Tidak ada
Reflek memegang Tidak ada
39
Refleks palmomental Tidak ada
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Darah Rutin:
- Hb : 12,6 gr%
- Leu : 5.500/mm3
- Ht : 35,1 %
- Tro : 237.000/mm3
Gula Darah:
- GDS : 180 mg/dl
Fungsi Hati:
- SGOT :-
- SGPT :-
Fungsi Ginjal:
- Cre :-
- Ure :-
EKG :-
Elektrolit:
- Natrium : 105 Mmol/L (normal)
- Kalium : 3,8 Mmol/L (rendah)
- Chlorida : 133 Mmol/L (normal)
DIAGNOSIS
Diagnosis klinik : paraparese inferior tipe UMN
Diagnosis topik : medulla spinalis setinggi thorakal 12 kebawah
40
Diagnosis etiologi : suspect. Myelitis transversa
Diagnosis skunder : Hipertensi stage I
TERAPI
1. Umum
Diet Makan biasa
Bed rest
2. Khusus
Metil prednisolon 4x1 amp (IV) tapering off
Ranitidin 2x1 amp (IV)
Mecobalamin (B12) 500 mg 1x1 (IV)
Amlodipin 1x10 mg (p.o)
41
BAB III
PEMBAHASAN
Seorang perempuan berinisial I. berusia 59 tahun, datang dengan keluhan lemah pada
kedua tungkai yang telah diderita sejak 2 bulan lalu, dimulai dengan perasaan kebas dari
telapak kaki menjalar sampai ke lutut sebelah kanan yang terjadi sehabis bangun tidur, dan
kemudian bila pasien berjalan agak pincang, selanjutnya satu minggu berikutnya keluhan
menjalar ke tungkai sebelah kiri dengan cara yang sama dimulai dari telapak kaki naik
sampai ke lutut, tetapi pasien masih sanggup berdiri. Satu minggu kemudian keluhan
bertambah dengan kedua tungkai terasa berat bila melangkah sehingga perlu bantuan orang
lain bila berjalan. Satu minggu kemudian pasien sudah tidak dapat berjalan lagi, dan sejak
saat itu mengalami kesulitan dalam berkemih dengan sulit buang air besar, Setelah 1 bulan
menderita penyakit tersebut. Riwayat trauma punggung dan kepala tidak ada, riwayat batuk
lama tidak ada, riwayat demam 2 bulan yang lalu, riwayat vaksinasi sebelumnya tidak ada.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran kompos mentis, tekanan darah 140/90 mmHg,
nadi 88 kali/menit, pernapasan 22 kali/menit, suhu tubuh 36,4 0C. Kepala, mata, THT,
jantung, paruparu, abdomen dalam batas normal. Ekstremitas paraparesis. Pada pemeriksaan
perangsangan meningeal dan tanda peninggian TIK tidak dijumpai. Pada pemeriksaan nervi
kranialis dalam batas normal. Sistem motorik dijumpai paraparesis tipe UMN dengan
kekuatan motorik kanan 3 dan kiri 4, dengan sisi kanan lebih berat dibandingkan dengan sisi
kiri. Pemeriksaan reflek fisologis dijumpai peningkatan reflek APR/KPR kanan. Pada
pemeriksaann sensibilitas eksteroseptik didapatkan hipestesia setinggi Th 12 ke bawah
dengan propioseptik terganggu. Koordinasi lenggang sulit dinilai. Fungsi luhur baik.
Pemeriksaan penunjang darah lengkap, kadar gula darah sewaktu didapatkan hasil dalam
batas normal, tes fungsi hati tidak dilakukan Foto rutin thorak dan foto vertebra thorak dalam
batas normal. EKG tidak dilakukan.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan neurologis serta
pemeriksaan penunjang ditegakkan suatu diagnosis Paraparesis tipe UMN + Hipestesi
setinggi th 12 suspek Myelitis transversalis. Penderita diterapi dengan pemberian metil
prednisolon injeksi intravena 4x1 ampul, ranitidin 2x1 (amp), Mecobalamin(B12) 500 mg
1x1 intravena, dan Amlodipin 1x10 mg secara oral. Klinis penderita membaik setelah
pemberian terapi selama 3 hari dengan dapat digerakannya kedua tungkai penderita.
Simptom myelitis transversalis berkembang cepat dari beberapa jam sampai beberapa
42
minggu. Sekitar 45% pasien mengalami perburukan secara maksimal dalam 24 jam. Sesuai
dengan kriteria diagnostik (Tabel dibawah ini), untuk menegakkan diaganostik pada
penderita ini ditandai dengan karakteristik secara klinis berkembangnya tanda dan gejala dari
disfungsi neurologi pada saraf motorik, sensoris dan otonom dan traktus saraf di medula
spinalis baik akut maupun subakut. Inflamasi di dalam medula spinalis memutus jaras-jaras
ini dan menyebabkan hadirnya simptom umum dari myelitis transversalis. Kelemahan
digambarkan sebagai paraparesis yang berlangsung progresif cepat, dimulai dari kaki dan
sebagai tambahan dapat juga diikuti keterlibatan tangan. Kelemahan mungkin yang pertama
dicatat dengan adanya tanda gambaran keterlibatan traktus piramidal yang berlangsung
perlahan-lahan pada minggu kedua setelah pasien sakit. Keterlibatan level sensoris dapat
ditemukan hampir pada semua kasus. Nyeri dapat timbul pada punggung, ekstremitas atau
perut. Parastesia merupakan tanda awal yang paling umum myelitis transversalis pada orang
dewasa dan tidak pada anak-anak. Sensasi berkurang di bawah level keterlibatan medula
spinalis pada sebagian besar pasien, begitu pula nyeri dan suhu. Pada pemeriksaan
sensibilitas penderita pada kasus kali ini dijumpai hipoestesia setinggi th 12 kebawah.
Simptom otonom bervariasi terdiri dari peningkatan urinary urgency, inkontinesia urin dan
alvi kesulitan atau tak dapat buang air, pengosongan yang tidak sempurna atau konstipasi
perut. Lebih dari 80% pasien mendapatkan tanda klinis pada tingkat yang paling parah dalam
10 hari sesudah onset dari simptom, walaupun perburukan fungsi neurologis bervariasi dan
berlangsung progresif, biasanya berlangsung dalam 4-21 hari.
Myelitis transversalis merupakan suatu myelitis non infeksius tipe inflamasi. Kategori
ini diambil dari suatu bentuk leukomyelitis baik demyelinisasi atau nekrosis dari traktus di
medula spinalis, dan di dalam patogenesisnya didapatkan gambaran penting proses respons
imun terhadap suatu infeksi yang sering timbul setelah infeksi virus. Pada kasus myelitis
transversalis post-infeksius, mekanisme sistem imun lebih memegang peranan penting dalam
menimbulkan kerusakan medula spinalis. Pada penyakit autoimun, sistem imun yang
seharusnya bertanggung jawab melindungi tubuh dari organisme asing, beraksi sebaliknya
menyerang jaringan tubuhnya sendiri dan menyebabkan inflamasi dan menghancurkan
myelin di dalam medula spinalis. Ketika myelitis transversalis tidak dijumpai penyakit yang
mendasarinya maka disebut sebagai idiopatik. Penyebab myelitis transversalis idiopatik tidak
diketahui, tetapi banyak bukti mendukung adanya suatu proses autoimun, artinya pasien yang
mempunyai sistem imun yang abnormal menstimulasi adanya serangan terhadap medulla
spinalis yang menimbulkan inflamasi dan kerusakan jaringan. Pemulihan dapat tidak terjadi,
43
sebagian atau komplit dan secara umum dimulai dalam satu sampai tiga bulan. Dan
pemulihan tampaknya tidak akan terjadi, jika tidak ada perkembangan dalam tiga bulan.
Myelitis transversalis biasanya adalah penyakit monofasik dan jarang rekuren.
Diagnosis banding kasus ini adalah tumor medula spinalis, Guillain Barre Syndrome dan
Spondilitis TB.
44
DAFTAR PUSTAKA
1. Ovedoff, David. 2002. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Binarupa Aksara. Jakarta.
2. Baehr M, Frostscher M. 2010. Diagnosis Topik Neurologi DUUS Edisi 4. EGC.
Jakarta.
3. Candelise L, Evidence Based Neurology Management of Neurological Disorder.
2007. Blackwell Publishing. USA.
4. Harrop, D.S. and Sharan, A.D. 2009. Spinal Cord Tumors - Management of
Intradural Intramedullary Neoplasms. [serial online].
http://emedicine.medscape.com/article/249306-print.
5. Moore KL, Agur AMR. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta: Hipokrates; 2002. Hal. 214-
6. Lumbantobing S.M. Neurologi Klinik, Pemeriksaan Fisik dan Mental. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Balai Penerbit UI. 2008
7. Tapihery,L.et al,. Laporan Kasus Myelitis Transversalis, majalah kedokteran
Nusantara Volume 40. No.3 September 2007. Hal 230-237
8. Mardjono, Mahar. Neurologi Klinik Dasar:Balai Penerbit UI. Jakarta, 2007.
45