Anda di halaman 1dari 15

KASUS

Identitas Pasien :
Nama : Ny. HS
Usia : 35 th
Alamat : Sewon,Bantul
Tgl. Masuk : 20 September 2008
Pasien merasa hamil 9 bulan, kenceng-kenceng teratur belum dirasakan, Air
kawah sudah keluar merembes sejak 1jam lalu, lendir darah belum keluar. 3 hari
lalu kontrol di Poliklinik kiriman Puskesmas karena tekanan darah tinggi. Tekanan
darah meningkat sejak umur kehamilan 8 bulan lebih. Pasien mengeluh sakit
kepala, pandangan kabur(-), nyeri ulu hati (-). ANC teratur di Puskesmas.
RPD : hipertensi (-), jantung (-), ginjal(-), asma (-), DM (-)
RPK : hipertensi (+) ayah, lainnya disangkal.
Riwayat Obstetri :
I: 1997, UK: 3bln, keguguran, dokter
II: 1999, UK: 9bln, spontan bidan, 2500, perempuan
HPHT : 26-12-2007
HPL : 02-10-2008
UK : 38minggu

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Preeklamsia dan eklamsia merupakan masalah kesehatan yang
memerlukan perhatian khusus karena preeklamsia adalah penyebab kematian
ibu hamil dan perinatal yang tinggi terutama di negara berkembang. Sampai
saat ini preeklamsia dan eklamsia masih merupakan the disease of theories,
karena angka kejadian preeklampsia-eklampsia tetap tinggi dan
mengakibatkan angka morbiditas dan mortilitas maternal yang tinggi.
Prevalensi preeklamsia dan eklamsia adalah 2,8% dari kehamilan di negara
berkembang, dan 0,6% dari kehamilan di negara maju (WHO, 2005).
Insiden hipertensi saat kehamilan pada populasi ibu hamil dari tahun
1997 hingga 2007 di Australia, Kanada, Denmark, Norwegia, Skotlandia,
Swedia dan Amerika berkisar antara 3,6% hingga 9,1%, preeklamsia 1,4%
hingga 4,0%, dan tanda awal preeklamsia sebanyak 0,3% hingga 0,7%
(Roberts, 2011).
Angka kematian ibu di dunia mencapai 529.000 per tahun, dengan
rasio 400 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup dimana 12% dari
kematian ibu disebabkan oleh preeklamsia (WHO, 2005). Preeklamsia juga
menjadi penyebab langsung kematian ibu di Inggris yaitu sebesar 15%
(Symonds,2010). Di Indonesia, pada tahun 2006 angka kematian ibu (AKI)
yang disebabkan oleh eklamsia dan preeklamsia adalah sebanyak 5,8%
(Depkes, 2007). Jika dilihat dari golongan sebab sakit, persentase eklamsia
dan preeklamsia memang lebih rendah dibanding data di dunia, namun jika
dilihat dari Case Fatality Rate (CFR), penyebab kematian terbesar adalah
eklamsia dan preeklamsi dengan CFR 2,1%. Pada tahun 2011 eklamsia
menempati urutan kedua sebagai penyebab kematian pada ibu melahirkan
yaitu sebanyak 24% (Depkes, 2012). Preeklamsia-eklamsia merupakan
merupakan penyebab utama kematian perinatal dan dapat mengakibatkan
retardasi mental pada anak (Knuppel, 1993). Selain itu preeklamsia dapat
mengakibatkan kematian ibu, terjadinya prematuritas, serta dapat

2
mengakibatkan Intra Uterin Growth Retardation (IUGR) dan kelahiran mati
karena pada preeklamsia-eklamsia akan terjadi perkapuran di plasenta yang
menyebabkan makanan dan oksigen yang masuk ke janin berkurang (Benson,
2009). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya preeklamsia-
eklamsia menurut Yulaikhah (2009), Lyall (2007), dan Lindheimer (2009)
adalah usia kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun, peningkatan indeks
massa tubuh, primipara (ibu yang melahirkan untuk pertama kalinya), ukuran
plasenta yang besar, ibu yang merokok, primigravida muda, distensi rahim
yang berlebihan, adanya riwayat preeklamsia, riwayat hipertensi, kehamilan
ganda, dan penyakit yang menyertai kehamilan seperti diabetes melitus dan
kegemukan.
Menurut Manuaba (2007) berat badan sebelum hamil dan pertambahan
berat badan ibu hamil perlu perhatian khusus karena dapat mempengaruhi
tumbuh kembang janin serta dapat meningkatkan risiko penyulit kehamilan
seperti diabetes dan preeklamsia-eklamsia. Penambahan berat badan
sebaiknya hampir sama selama trimester kedua dan ketiga dengan rata-rata
sekitar 0,4 kg/minggu. Oleh karena itu ibu hamil dianjurkan untuk mengatur
pertambahan berat badan sesuai dengan rekomendasi dengan menjaga pola
makan agar dapat meminimalkan risiko dari pertambahan berat badan yang
berlebih atau kurang.
Fortner, dkk (2009) telah meneliti mengenai pengaruh obesitas
sebelum kehamilan dan pertambahan berat badan selama kehamilan terhadap
kejadian hipertensi kehamilan perempuan ras Latina. Penelitian yang
dilakukan di Nigeria Tenggara untuk membandingkan hasil obstetri antara
wanita obesitas dengan wanita normal pada awal kehamilan (Iyoke, 2013).
Dimana kedua penelitian tersebut mendapatkan hasil yaitu obesitas dapat
menjadi faktor risiko peningkatan morbiditas pada kehamilan serta memiliki
risiko lebih besar daripada wanita normal untuk mengalami preeklamsia.
Berdasarkan fakta bahwa preeklamsia-eklamsia merupakan salah satu
penyebab utama kematian ibu di negara berkembang serta angka kejadian
preeklamsia-eklamsia masih tinggi.

3
1.2 Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan Preeklampsia?
b. Apa yang dimaksud dengan Eklampsia?

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. PREEKLAMPSIA
1.1 Definisi
Preeklampsia adalah kelainan malfungsi endotel pembuluh darah
atau vaskular yang menyebar luas sehingga terjadi vasospasme setelah usia
kehamilan 20 minggu, mengakibatkan terjadinya penurunan perfusi organ
dan pengaktifan endotel yang menimbulkan terjadinya hipertensi, edema
nondependen, dan dijumpai proteinuria 300mg per 24 jam atau 30mg/dl
(+1 pada dipstick) dengan nilai sangat fluktuatif saat pengambilan urin
sewaktu. (Cunningham, 2014)
1.2 Klasifikasi
Dari berbagai gejala, preeklampsia dibagi menjadi preeklampsia
ringan dan preeklampsia berat.
a) Kriteria preeklampsia ringan :
1) Hipertensi dengan sistolik/diastolik > 140/90 mmHg, sedikitnya
enam jam pada dua kali pemeriksaan tanpa kerusakan organ.
2) Proteinuria > 300 mg/24 jam atau > 1 + dipstik.
3) Edema generalisata yaitu pada lengan, muka, dan perut.
(Cunningham, 2014)
Preeklampsia berat dibagi menjadi : preeklampsia berat tanpa
impending eclampsia dan preeklampsia berat dengan impending
eclampsia.
b) Kriteria preeklampsia berat :
1) Tekanan darah sistolik/diastolik > 160/110 mmHg sedikitnya enam
jam pada dua kali pemeriksaan. Tekanan darah ini tidak menurun
meskipun ibu hamil sudah dirawat di rumah sakit dan telah
menjalani tirah baring.
2) Proteinuria > 5 gram/24 jam atau > 3 + dipstik pada sampel urin
sewaktu yang dikumpulkan paling sedikit empat jam sekali.
3) Oliguria < 400 ml / 24 jam. ~ Kenaikan kadar kreatinin plasma >
1,2 mg/dl.
4) Gangguan visus dan serebral : penurunan kesadaran, nyeri kepala
persisten, skotoma, dan pandangan kabur.
5) Nyeri epigastrium pada kuadran kanan atas abdomen akibat
teregangnya kapsula glisson.

5
6) Edema paru dan sianosis.
7) Hemolisis mikroangipatik karena meningkatnya enzim laktat
dehidrogenase.
8) Trombositopenia ( trombosit < 100.000 mm3 ).
9) Oligohidroamnion, pertumbuhan janin terhambat, dan abrupsio
plasenta.
10) Gangguan fungsi hepar karena peningkatan kadar enzim ALT dan
AST. (Cunningham, 2014)
1.3 Faktor Risiko dan Etiologi Preeklampsia
Beberapa faktor risiko untuk terjadinya preeklampsia antara lain :
a) Primigravida
Primigravida diartikan sebagai wanita yang hamil untuk
pertama kalinya.13 Preeklampsia tidak jarang dikatakan sebagai
penyakit primagravida karena memang lebih banyak terjadi pada
primigravida daripada multigravida. (Cunningham, 2014)
b) Primipaternitas
Primipaternitas adalah kehamilan anak pertama dengan suami
yang kedua.13 Berdasarkan teori intoleransi imunologik antara ibu dan
janin dinyatakan bahwa ibu multipara yang menikah lagi mempunyai
risiko lebih besar untuk terjadinya preeklampsia jika dibandingkan
dengan suami yang sebelumnya. (Cunningham, 2014)
c) Umur yang ekstrim
Kejadian preeklampsia berdasarkan usia banyak ditemukan
pada kelompok usia ibu yang ekstrim yaitu kurang dari 20 tahun dan
lebih dari 35 tahun. (Cunningham, 2014)

d) Hiperplasentosis
Hiperplasentosis ini misalnya terjadi pada mola hidatidosa,
kehamilan multipel, diabetes mellitus, hidrops fetalis, dan bayi besar.
(Cunningham, 2014)
e) Riwayat pernah mengalami preeklampsia
Wanita dengan riwayat preeklampsia pada kehamilan
pertamanya memiliki risiko 5 sampai 8 kali untuk mengalami
preeklampsia lagi pada kehamilan keduanya. Sebaliknya, wanita
dengan preeklampsia pada kehamilan keduanya, maka bila ditelusuri
ke belakang ia memiliki 7 kali risiko lebih besar untuk memiliki
riwayat preeklampsia pada kehamilan pertamanya bila dibandingkan

6
dengan wanita yang tidak mengalami preeklampsia di kehamilannya
yang kedua. (Cunningham, 2014)
f) Riwayat keluarga yang pernah mengalami preeklampsia
Riwayat keluarga yang pernah mengalami preeklampsia akan
meningkatkan risiko sebesar 3 kali lipat bagi ibu hamil. Wanita dengan
preeklampsia berat cenderung memiliki ibu dengan riwayat
preeklampsia pada kehamilannya terdahulu. (Cunningham, 2014)
g) Penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil
Pada penelitian yang dilakukan oleh Davies dkk dengan
menggunakan desain penelitian case control study dikemukakan
bahwa pada populasi yang diselidikinya wanita dengan hipertensi
kronik memiliki jumlah yang lebih banyak untuk mengalami
preeklampsia dibandingkan dengan yang tidak memiliki riwayat
penyakit ini. (Cunningham, 2014)
h) Obesitas
Obesitas merupakan suatu penyakit multifaktorial yang terjadi
akibat akumulasi jaringan lemak berlebihan sehingga dapat
menganggu kesehatan. Indikator yang paling sering digunakan untuk
menentukan berat badan lebih dan obesitas pada orang dewasa adalah
indeks massa tubuh (IMT). Seseorang dikatakan obesitas bila memiliki
IMT 25 kg/m2.Sebuah penelitian di Kanada menyatakan risiko
terjadinya preeklampsia meningkat dua kali setiap peningkatan indeks
massa tubuh ibu 5-7 kg/m2, terkait dengan obesitas dalam kehamilan,
dengan mengeksklusikan sampel ibu dengan hipertensi kronis, diabetes
mellitus, dan kehamilan multipel. Sedangkan penelitian yang
dilakukan di RSUP Dr Kariadi didapatkan ibu hamil dengan obesitas
memiliki risiko 3,9 kali lebih besar untuk menderita preeclampsia.
(Cunningham, 2014)
1.4 Patofisiologi Preeklampsia
Teori kelainan vaskularisasi plasenta menjelaskan bahwa pada
preeklampsia tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada lapisan otot arteri
spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis
menjadi tetap kaku dan keras sehingga lumen arteri spiralis tidak
memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya arteri
spiralis relatif mengalami vasokonstriksi dan terjadi kegagalan remodeling

7
arteri spiralis sehingga aliran darah utero plasenta menurun dan terjadilah
hipoksia dan iskemia plasenta. (Cunningham, 2014)
Plasenta yang mengalami iskemia akibat tidak terjadinya invasi
trofoblas secara benar akan menghasilkan radikal bebas. Salah satu radikal
bebas penting yang dihasilkan plasenta iskemia adalah radikal hidroksil.
Radikal hidroksil akan mengubah asam lemak tidak jenuh menjadi
peroksida lemak. Kemudian, peroksida lemak akan merusak membran sel
endotel pembuluh darah . Kerusakan membran sel endotel mengakibatkan
terganggunya fungsi endotel, bahkan rusaknya seluruh struktur sel endotel.
Keadaan ini disebut sebagai disfungsi endotel.Pada waktu terjadi
kerusakan sel endotel yang mengakibatkan disfungsi sel endotel, maka
akan terjadi gangguan metabolisme prostaglandin karena salah satu fungsi
sel endotel adalah memproduksi prostaglandin. Dalam kondisi ini terjadi
penurunan produksi prostasiklin (PGE2) yang merupakan suatu
vasodilator kuat. Kemudian, terjadi agregasi sel-sel trombosit pada daerah
endotel yang mengalami kerusakan. Agregasi trombosit memproduksi
tromboksan yang merupakan suatu vasokonstriktor kuat. Peningkatan
produksi bahan-bahan vasopresor (endotelin) dan penurunan kadar NO
(vasodilatator), serta peningkatan faktor koagulasi juga terjadi.
(Cunningham, 2014)
1.5 Gejala dan tanda Preeklampsia
Gejala dan tandanya dapat berupa :
a) Hipertensi
Hipertensi merupakan kriteria paling penting dalam diagnosa
penyakit preeklampsia. Hipertensi ini sering terjadi sangat tiba-tiba.
Banyak primigravida dengan usia muda memiliki tekanan darah sekitar
100-110/60-70 mmHg selama trimester kedua. Peningkatan diastolik
sebesar 15 mmHg atau peningkatan sistolik sebesar 30 mmHg harus
dipertimbangkan. (Cunningham, 2014)
b) Hasil pemeriksaan laboratorium
Proteinuria merupakan gejala terakhir timbul. Proteinuria
berarti konsentrasi protein dalam urin yang melebihi 0,3 gr/liter dalam
urin 24 jam atau pemeriksaan kualitatif menunjukan (+1 sampai 2+
dengan metode dipstik) atau > 1 gr/liter melalui proses urinalisis
dengan menggunakan kateter atau midstream yang diambil urin

8
sewaktu minimal dua kali dengan jarak waktu 6 jam. (Cunningham,
2014)
Hemoglobin dan hematokrit meningkat akibat
hemokonsentrasi. Trombositopenia biasanya terjadi. Terjadi
peningkatan FDP, fibronektin dan penurunan antitrombin III. Asam
urat biasanya meningkat diatas 6 mg/dl. Kreatinin serum biasanya
normal tetapi bisa meningkat pada preeklampsia berat. Alkalin
fosfatase meningkat hingga 2-3 kali lipat. Laktat dehidrogenase bisa
sedikit meningkat dikarenakan hemolisis. Glukosa darah dan elektrolit
pada pasien preeklampsia biasanya dalam batas normal. Urinalisis
ditemukan proteinuria dan beberapa kasus ditemukan hyaline cast.
(Cunningham, 2014)
c) Edema
Edema pada kehamilan normal dapat ditemukan edema
dependen, tetapi jika terdapat edema independen yang djumpai di
tangan dan wajah yang meningkat saat bangun pagi merupakan edema
yang patologis. Kriteria edema lain dari pemeriksaan fisik yaitu:
penambahan berat badan > 2 pon/minggu dan penumpukan cairan
didalam jaringan secara generalisata yang disebut pitting edema > +1
setelah tirah baring 1 jam. (Cunningham, 2014)
1.6 Diagnosis
Tabel I. Kriteria Diagnostik Preeklampsia dan Eklampsia (Cunningham, 2014)

9
Keterangan:
AST: Aspartate aminotransferase; SGOT: Serum glutamic-oxalate transferase; ALT:
Alanine aminotransferase; SGPT: Serum glutamic-pyruvate transferase

1.7 Penatalaksanaan Preeklampsia


Tujuan utama penanganan preeklampsia adalah mencegah
terjadinya eklampsia, melahirkan bayi tanpa asfiksia dengan skor APGAR

A. Preeklampsia ringan
1. Tekanan darah > 140/90 mmHg setelah usia kehamilan 20 minggu
2. Proteinuria > 300 mg/24 jam atau > 1+ pada dipstik
3. Edema: edema lokal tidak dimasukkan dalam kriteria preeklampsia, kecuali
edema pada lengan, muka dan perut, serta edema generalisata
B. Preeklampsia berat, bila ditemukan salah satu atau lebih gejala berikut:
1. Tekanan darah > 160/110 mmHg
2. Proteinuria 2 g/24 jam atau > 2+ pada dipstik
3. Oliguria, yaitu produksi urin < 500 ml/24 jam
4. Kenaikan kadar kreatinin plasma
5. Gangguan serebral: penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma, atau
gangguan penglihatan
6. Edema paru
7. Gangguan fungsi hepar: peningkatan kadar AST (SGOT) atau ALT (SGPT) >
2 kali batas atas nilai normal
8. Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen
9. Trombositopenia berat: jumlah trombosit < 100.000 sel/l
10. Pertumbuhan janin intrauterin yang terhambat
11. Sindrom HELLP (hemolysis, elevated levels of liver enzymes, low platelet count)
C. Eklampsia
Timbulnya kejang menyeluruh atau koma pada penderita preeklampsia
baik, dan mencegah mortalitas maternal dan perinatal.
a) Preeklampsia ringan
Istirahat di tempat tidur merupakan terapi utama dalam
penanganan preeklampsia ringan. Istirahat dengan berbaring pada sisi
tubuh menyebabkan aliran darah ke plasenta dan aliran darah ke ginjal
meningkat, tekanan vena pada ekstremitas bawah menurun dan
reabsorpsi cairan bertambah.Selain itu dengan istirahat di tempat tidur
mengurangi kebutuhan volume darah yang beredar dan juga dapat
menurunkan tekanan darah. Apabila preeklampsia tersebut tidak
membaik dengan penanganan konservatif, dalam hal ini kehamilan
harus diterminasi jika mengancam nyawa maternal. (Purwadianto,
2017)
b) Preeklampsia berat
Pada pasien preeklampsia berat segera harus diberi obat sedatif
kuat untuk mencegah timbulnya kejang. Apabila sesudah 12 24 jam

10
bahaya akut sudah diatasi, tindakan terbaik adalah menghentikan
kehamilan. Sebagai pengobatan mencegah timbulnya kejang, dapat
diberikan larutan magnesium sulfat (MgSO4) 20% dengan dosis 4
gram secara intravena loading dose dalam 4-5 menit. Kemudian
dilanjutkan dengan MgSO4 40% sebanyak 12 gram dalam 500 cc
ringer laktat (RL) atau sekitar 14 tetes/menit. Tambahan magnesium
sulfat hanya dapat diberikan jika diuresis pasien baik, refleks patella
positif dan frekuensi pernafasan lebih dari 16 kali/menit. Obat ini
memiliki efek menenangkan, menurunkan tekanan darah dan
meningkatkan diuresis. Selain magnesium sulfat, pasien dengan
preeklampsia dapat juga diberikan klorpromazin dengan dosis 50 mg
secara intramuskular ataupun diazepam 20 mg secara intramuskular.
(Purwadianto, 2017)

A. EKLAMPSIA
1.1 Definisi
Eklampsia merupakan keadaan dimana ditemukan serangan kejang
tiba-tiba yang dapat disusul dengan koma pada wanita hamil, persalinan
atau masa nifas yang menunjukan gejala preeklampsia sebelumnya.
Kejang disini bersifat grand mal dan bukan diakibatkan oleh kelainan
neurologis. (Sarwono, 2014)
Istilah eklampsia berasal dari bahasa Yunani yang berarti halilintar.
Kata-kata tersebut dipergunakan karena seolah-olah gejala eklampsia
timbul dengan tiba-tiba tanpa didahului tanda-tanda lain. (Sarwono, 2014)
Eklampsia dibedakan menjadi eklampsia gravidarum (antepartum),
eklampsia partuirentum (intrapartum), dan eklampsia puerperale
(postpartum), berdasarkan saat timbulnya serangan. Eklampsia banyak
terjadi pada trimester terakhir dan semakin meningkat saat mendekati
kelahiran. (Sarwono, 2014)
Pada kasus yang jarang, eklampsia terjadi pada usia kehamilan
kurang dari 20 minggu. Sektar 75% kejang eklampsia terjadi sebelum
melahirkan, 50% saat 48 jam pertama setelah melahirkan, tetapi kejang
juga dapat timbul setelah 6 minggu postpartum. (Sarwono, 2014)

11
Sesuai dengan batasan dari National Institutes of Health (NIH)
Working Group on Blood Pressure in Pregnancy preeklampsia adalah
timbulnya hipertensi disertai dengan proteinuria pada usia kehamilan lebih
dari 20 minggu atau segera setelah persalinan. Saat ini edema pada wanita
hamil dianggap sebagai hal yang biasa dan tidak spesifik dalam diagnosis
preeklampsia. Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah
sistolik 140 mmHg atau tekanan diastolik 90 mmHg. Proteinuria
adalah adanya protein dalam urin dalam jumlah 300 mg/dl dalam urin
tampung 24 jam atau 30 mg/dl dari urin acak tengah yang tidak
menunjukkan tanda-tanda infeksi saluran kencing. (Sarwono, 2014)
1.2 Diagnosis dan Gambaran Klinik Eklampsia
Seluruh kejang eklampsia didahului dengan preeklampsia.
Preeklampsia dibagi menjdai ringan dan berat. Penyakit digolongkan berat
bila ada satu atau lebih tanda dibawah ini :
a) Tekanan sistolik 160 mmHg atau lebih, atau tekanan diastolik 110
mmHg atau lebih.
b) Proteinuria 5 gr atau lebih dalam24 jam; 3+ atau 4+ pada pemetiksaan
kualitatif
c) Oliguria, diuresis 400 ml atau kurang dalam 24 jam
d) Keluhan serebral, gangguan penglihatan atau nyeri di daerah
epigastrium
e) Edema paru atau sianosis. (Sarwono, 2014)
Pada umumnya serangan kejang didahului dengan memburuknya
preeklampsia dan terjadinya gejala-gejala nyeri kepala di daerah frontal,
gangguan penglihatan, mual keras, nyeri di daerah epigastrium, dan
hiperrefleksia. (Sarwono, 2014)
Menurut Sibai terdapat beberapa perubahan klinis yang
memberikan peringatan gejala sebelum timbulnya kejang, adalah sakit
kepala yang berat dan menetap, perubahan mental sementara, pandangan
kabur, fotofobia, iritabilitas, nyeri epigastrik, mual, muntah. Namun, hanya
sekitar 50% penderita yang mengalami gejala ini. Prosentase gejala
sebelum timbulnya kejang eklampsia adaah sakit kepala yang berat dan
menetap (50-70%), gangguan penglihatan (20-30%), nyeri epigastrium
(20%), mual muntah (10-15%), perubahan mental sementara (5-10%).
(Sarwono, 2014)

12
Tanpa memandang waktu dari onset kejang, gerakan kejang
biasanya dimulai dari daerah mulut sebagai bentuk kejang di daerah wajah.
Beberapa saat kemuadian seluruh tubuh menjadi kaku karena kontraksi
otot yang menyeluruh, fase ini dapat berlangsung 10 sampai 15 detik. Pada
saat yang bersamaan rahang akan terbuka dan tertutup dengan keras,
demikian juga hal ini akan terjadi pada kelopak mata, otot-otot wajah yang
lain dan akhirnya seluruh otot mengalami kontraksi dan relaksasi secara
bergantian dalam waktu yang cepat. Keadaan ini kadang-kadang begitu
hebatnya sehingga dapat mengakibatkan penderita terlempar dari tempat
tidurnya, bila tidak dijaga. Lidah penderita dapat tergigit oleh karena
kejang otot-otot rahang. Fase ini dapat berlangsung sampai satu menit,
kemudian secara berangsur kontraksi otot menjadi semakin lemah dan
jarang dan pada akhirnya penderita tak bergerak. (Sarwono, 2014)
Setelah kejang diafragma menjadi kaku dan pernapasan berhenti.
Selama beberapa detik penderita seperti meninggal karena henti napas,
namun kemudian penderita bernapas panjang dan dalam, selanjutnya
pernapasan kembali normal. Apabila tidak ditangani dengan baik, kejang
pertama ini akan diikuti dengan kejang-kejang berikutnya yang bervariasi
dari kejang yang ringan sampai kejang yang berkelanjutan yang disebut
status epileptikus. (Sarwono, 2014)
Setelah kejang berhenti, penderita mengalami koma selama
beberapa saat. Lamanya koma setelah kejang eklampsia bervariasi.
Apabila kejang yang terjadi jarang, penderita biasanya segera pulih
kesadarannya segera setelah kejang. Namun, pada kasus-kasus yang berat,
keadaan koma belangsung lama, bahkan penderita dapat mengalami
kematian tanpa sempat pulih kesadarannya. Pada kasus yang jarang,
kejang yang terjadi hanya sekali namun dapat diikuti dengan koma yang
lama bahkan kematian. (Sarwono, 2014)
Frekuensi pernapasan biasanya meningkat setelah kejang
eklampsia dan dapat mencapai 50 kali per menit. Hal ini dapat
menyebabkan hiperkarbia dampai asidosis laktat, tergantung derajat
hipoksianya. Pada kasus yang berat ditemukan sianosis. Demam tinggi
merupakan keadaan yang jarang terjadi, apabla hal tersebut terjadi maka

13
penyebabnya adalah perdarahan pada susunan saraf pusat. (Sarwono,
2014)
Proteinuria hampir selalu didapatkan, produksi urin berkurang,
bahkan kadang kadang sampai anuria dan pada umumnya terdapat
hemoglobinuria. Setelah persalinan urin output akan meningkat dan ini
merupakan tanda awal perbaikan kondisi penderita. Proteinuria dan edema
menghilang dalam waktu beberapa hari sampai dua minggu setelah
persalinan apabila keadaan hipertensi menetap setelah persalinan maka hal
ini merupakan akibat penyakit vaskuler kronis. (Sarwono, 2014)
1.3 Penatalaksanaan eklampsia
Tujuan utama penanganan eklampsia adalah menstabilisasi fungsi
vital penderita dengan terapi suportif Airway, Breathing, Circulation
(ABC), mengendalikan kejang, mengendalikan tekanan darah khususnya
jika terjadi hipertensi krisis sehingga penderita mampu melahirkan janin
dengan selamat pada kondisi optimal. Pengendalian kejang dapat diterapi
dengan pemberian magnesium sulfat pada dosis muatan (loading dose) 4
6 gram IV diikuti 1,5 2 g/jam dalam 100 ml infus rumatan IV. Hal ini
dilakukan untuk mencapai efek terapeutik 4,8 8,4 mg/dl sehingga kadar
magnesium serum dapat dipertahankan dari efek toksik. (Purwadianto,
2017)

14
Daftar Pustaka

Cunningham. 2014. Obstetri Williams. Volume 1. Edisi 23. Jakarta. EGC.


Purwadianto dkk. 2017. Kedauratan Medik Disertai Contoh Kasus Klinis. Edisi
Revisi. Jakarta. Binarupa Aksara Publisher.

Sarwono. 2014. Ilmu Kebidanan. Jakarta. PT Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.

15

Anda mungkin juga menyukai