1
Segala aktivitas pendidikan di sekolah diorientasikan untuk peningkatan mutu pendidikan
sekolah yang bersangkutan. Kontribusi orang tua dan masyarakat terhadap sekolah tidak hanya
tanggung jawab finansial terhadap penyediaan sarana prasarana pendidikan di sekolah, tetapi juga
tanggung jawab terhadap pengendalian mutu sekolah. Fungsi pengawasan pun dilakukan oleh orang
tua dan masyarakat terhadap sekolah secara utuh dan menyeluruh.
Bertambahnya sekolah ber-MBS di seluruh Indonesia baik secara kuantitas maupun kualitas akan
semakin memunculkan sekolah unggulan. Sebuah obsesi jika semua sekolah ber-MBS
maka kompetisi unggul dari yang unggul menjadi wacana. Daya saing secara global dalam hal ini
akan memberi aroma positif terhadap pendidikan di Indonesia.
Kebijakan MBS memberi otonomi terhadap sekolah untuk menyelenggarakan pendidikan di
sekolah secara mandiri. Tetapi otonomi tersebut tidak serta merta menjadikan sekolah melepaskan diri
dari kontrol pemerintah. Aturan kelembagaan yang bersifat fungsional operasional sebagai bagian dari
lembaga negara di bidang pendidikan, tentu tetap berlaku.
Kondisi negara Indonesia yang pluralistik dengan berbagai suku bangsa dan daerah dari
kepulauan besar kecil serta wilayah terpisah di seluruh nusantara menjadi permasalahan tersendiri
dalam mengimplementasikan kebijakan MBS. Untuk kepentingan pemetaan dan penentuan jenis
pelayanan pemerintah dalam bidang pendidikan terhadap kebutuhan seluruh rakyat, ditetapkanlah
Standar Nasional Pendidikan (SNP).
2
2.1 Pengertian Kebijakan
Secara harifah ilmu kebijakan adalah terjemahan langsung dari kata policy science (Dror,
1968: 6-8 ). Beberapa penulis besar dalam ilmu ini, seperti William Dunn, Charles Jones, Lee
Friedman, dan lain-lain, menggunakan istilah public policy dan public policy analysis dalam
pengertian yang tidak berbeda. Istilah kebijaksanaan atau kebijakan yang diterjemahkan dari kata
policy memang biasanya dikaitkan dengan keputusan pemerintah karena pemerintahlah yang
mempunyai wewenang atau kekuasaan untuk mengarahkan masyarakat dan bertanggung jawab
melayani kepentingan umum. Ini sejalan dengan pengertian public itu sendiri dalam bahasa Indonesia
yang berarti pemerintah, masyarakat, atau umum.
Kata policy secara etimologis berasal dari kata polis dalam bahasa Yunani (Greek), yang
berarti negara-kota. Dalam bahasa latin kata ini menjadi politia, artinya negara. Masuk ke dalam
bahasa Inggris lama (Middle English), kata tersebut menjadi policie, yang pengertiannya berkaitan
dengan urusan perintah atau administrasi pemerintah (Dunn,1981:7). Dalam pengertian umum kata ini
seterusnya diartikan sebagai,a course of action intended to accomplish some end (Jones,
1977:4) atau sebagai whatever government chooses to do or not to do (Dye, 1975:1). Uniknya
dalam bahasa Indonesia, kata kebijaksanaan atau kebijakan yang diterjemahkan dari kata policy
tersebut mempunyai konotasi tersendiri. Kata tersebut mempunyai akar kata bijaksana atau bijak yang
dapat disamakan dengan pengertian wisdom, yang berasal dari kata sifat wise dalam bahasa Inggris.
Dengan pengertian ini, sifat bijaksana dibedakan orang dari sekedar pintar (clever) atau cerdas
(smart). Pintar bisa berarti ahli dalam satu bidang ilmu, sementara cerdas biasanya diartikan sebagai
sifat seseorang yang dapat berpikir cepat atau dapat menemukan jawaban bagi suatu persoalan yang
dihadapi secara cepat (Buchari Zainun dan Said Zainal Abidin, 1988:7-10).
Banyak definisi yang dibuat oleh para ahli untuk menjelaskan arti kebijakan. Thomas Dye
menyebutkan kebijakan sebagai pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
(whatever government chooses to do or not to do). Definisi ini dibuatnya dengan menghubungkan
pada beberapa definisi lain dari David Easton, Lasswell dan Kaplan, dan Carl Friedrich. Easton
menyebutkan kebijakan pemerintah sebagai kekuasaan mengalokasi nilai-nilai untuk masyarakat
secara keseluruhan. Ini mengandung konotasi tentang kewenangan pemerintah yang meliputi
keseluruhan kehidupan masyarakat. Tidak ada suatu organisasi lain yang wewenangnya dapat
mencakup seluruh masyarakat kecuali pemerintah. Sementara Lasswell dan Kaplan yang melihat
kebijakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan, menyebutkan kebijakan sebagai program yang
diproyeksikan berkenaan dengan tujuan, nilai, dan praktik (a projected program of goals, values, and
practices). Carl Friedrich mengatakan bahwa yang paling pokok bagi suatu kebijakan adalah adanya
tujuan (goal), sasaran (objective) atau kehendak (purpose).
Bertolak dari definisi-definisi di atas, Jones merumuskan kebijakan sebagai behavioral
consistency and repeatitiveness associated with efforts in and through government to resolve public
problems (perilaku yang tetap dan berulang dalam hubungan dengan usaha yang ada di dalam dan
3
melalui pemerintah untuk memecahkan masalah umum). Membaca devinisi-definisi yang telah
disebutkan, dapatlah kita simpulkan bahwa kebijakan adalah suatu keputusan yang diambil untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu sesuai dengan tujuan, nilai, dan praktik yang di dalamnya
terdapat unsur legalitas (kepemerintahan). Definisi ini memberi makna bahwa kebijakan itu bersifat
dinamis.
1. Meningkatkan mutu pendidikan dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdaya sumber
daya dan potensi yang tersdia.
2. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan melalui
pengambilan keputusan bersama.
4
3. Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orangtua, sekolah, dan pemerintah tentang mutu
sekolah.
4. Meningkatkan kompetensi yang sehat antarsekolah untuk pencapaian mutu pendidikan yang
diharapkan.
1. Memiliki output, yaitu prestasi pembelajaran dan manajemen sekolah yang efektif.
2. Efektifitas proses belajar mengajar yang tinggi
3. Peran kepala sekolah yang kuat dalam mengkoordinasikan, menggerakkan, dan menyerasikan
semua sumber daya pendidikan yang tersedia.
4. Lingkungan dan iklim belajar yang aman, tertib, dan nyaman sehingga manajemen sekolah lebih
efektif.
5. Melakukan analisa kebutuhan, perencanaan, pengembangan, evaluasi kerja,, hubungan kerja, dan
imbalan jasa tenaga kependidikan dan guru yang dapat memenuhi kebutuhan nafkah hidupnya
sehingga mampu menjalankan tugasnya dengan baik.
6. Pertanggungjawaban sekolah terhdap keberhasilan program yang telah dilaksanakan.
7. Pengelolaan dan penggunaan anggaran yang sepantasnya dilakukan oleh sekolah sesuai
kebutuhan riil untuk meningkatkan mutu layanan belajar.
5
2.2.5 Pengertian MBS
Setelah mengetahui sejarah MBS, tujuan, prinsip, dan karakteristiknya, tersebutlah definisi
MBS. Istilah manajemen sekolah sering disandingkan dengan istilah administrasi sekolah. Berkaitan
dengan itu, terdapat tiga pandangan berbeda; pertama, mengartikan administrasi lebih luas dari pada
manajemen (manajemen merupakan inti dari administrasi); kedua, melihat manajemen lebih luas dari
pada administrasi (administrasi merupakan inti dari manajemen); dan ketiga yang menganggap bahwa
manajemen identik dengan administrasi.
Dalam makalah ini, istilah manajemen diartikan sama dengan istilah administrasi atau
pengelolaan, yaitu segala usaha bersama untuk mendayagunakan sumber-sumber, baik personal
maupun material, secara efektif dan efisien guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan di sekolah
secara optimal.
Berdasarkan fungsi pokoknya, istilah manajemen dan administrasi mempunyai fungsi yang
sama, yaitu:
1. Merencanakan (planning),
2. Mengorganisasikan (organizing),
3. Mengarahkan (directing),
4. Mengkoordinasikan (coordinating),
5. Mengawasi (controlling), dan
6. Mengevaluasi (evaluation).
Gaffar (1989) mengemukakan bahwa manjemen pendidikan mengandung arti sebagai suatu
proses kerja sama yang sistematik, sistemik, dan komprehensif dalam rangka mewujudkan tujuan
pendidikan nasional. Usaha mewujudkan pendidikan nasional salah satunya ditempuh melalui
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) atau (School Based Management). Di mancanegara, seperti
Amerika Serikat, pendekatan ini sebenarnya telah berkembang cukup lama. Munculnya gagasan ini
dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas
keterbatasan kewenangan yang mereka miliki untuk dapat mengelola sekolah secara mandiri.
Di Indonesia, gagasan penerapan pendekatan ini muncul sejalan dengan pelaksanaan otonomi
daerah sebagai paradigma baru dalam pengoperasian sekolah. Selama ini, sekolah hanyalah
kepanjangan tangan birokrasi pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan politik pendidikan.
Para pengelola sekolah sama sekali tidak memiliki banyak kelonggaran untuk mengoperasikan
sekolahnya secara mandiri.
Apa saja muatan kurikulum pendidikan di sekolah adalah urusan pusat, kepala sekolah dan
guru harus melaksanakannya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya. Anggaran
pendidikan mengalir dari pusat ke daerah menelusuri saluran birokrasi dengan begitu banyak simpul
6
yang masing-masing menginginkan bagian. Tidak heran jika nilai akhir yang diterima di tingkat
paling operasional telah menyusut lebih dari separuhnya.
MBS adalah upaya serius yang rumit, yang memunculkan berbagai isu kebijakan dan
melibatkan banyak lini kewenangan dalam pengambilan keputusan serta tanggung jawab dan
akuntabilitas atas konsekuensi keputusan yang diambil. Oleh sebab itu, semua pihak yang terlibat
perlu memahami benar pengertian MBS, manfaat, masalah-masalah dalam penerapannya, dan yang
terpenting adalah pengaruhnya terhadap prestasi belajar murid. Manajemen berbasis sekolah dapat
bermakna adalah desentralisasi yang sistematis pada otoritas dan tanggung jawab tingkat sekolah
untuk membuat keputusan atas masalah signifikan terkait penyelenggaraan sekolah dalam kerangka
kerja yang ditetapkan oleh pusat terkait tujuan, kebijakan, kurikulum, standar, dan akuntabilitas.
Tampaknya pemerintah dari setiap negara ingin melihat adanya transformasi sekolah.
Transformasi diperoleh ketika perubahan yang signifikan, sistematik, dan berlanjut terjadi,
mengakibatkan hasil belajar siswa yang meningkat di segala keadaan (setting), dengan demikian
memberikan kontribusi pada kesejahteraan ekonomi dan sosial suatu negara. Manajemen Berbasis
Sekolah selalu diusulkan sebagai satu strategi untuk mencapai transformasi sekolah.
7
Penerapan MBS yang efektif secara spesifik mengidentifikasi beberapa manfaat spesifik dari
penerapan MBS sebagai berikut :
1. Memungkinkan orang-orang yang kompeten di sekolah untuk mengambil keputusan yang akan
meningkatkan pembelajaran
2. Memberi peluang bagi seluruh anggota sekolah untuk terlibat dalam pengambilan keputusan
penting.
3. Mendorong munculnya kreativitas dalam merancang bangun program pembelajaran.
4. Mengarahkan kembali sumber daya yang tersedia untuk mendukung tujuan yang dikembangkan
di setiap sekolah.
5. Menghasilkan rencana anggaran yang lebih realistik ketika orang tua dan guru makin menyadari
keadaan keuangan sekolah, batasan pengeluaran, dan biaya program-program sekolah.
6. Meningkatkan motivasi guru dan mengembangkan kepemimpinan baru di semua level.
8
minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah atau madrasah. Legalisasi pelaksanaan
MBS juga termuat dalam peraturan turunan undang-undang sistem pendidikan nasional, yaitu dalam
PP No. 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan pasal 49 ayat 1: Pengelolaan satuan
pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasis
sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan
akuntabilitas. Keberadaan Komite Sekolah sebagai instrumen kunci dalam pelaksanaan MBS juga
tertuang dalam PP No. 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan pasal 49 ayat 2:
Pengambilan keputusan pada satuan pendidikan dasar dan menengah di bidang non-akademik
dilakukan oleh komite sekolah atau madrasah yang dihadiri oleh kepala satuan pendidikan.
Sementara itu lampiran Permendiknas No. 19 Tahun 2007 tentang standar pengelolaan
pendidikan memuat secara lebih terperinci tentang (a) perencanaan program, (b) pelaksanaan rencana
kerja, (c) pengawasan dan evaluasi, (d) kepemimpinan sekolah atau madrasah, (e) sistem informasi
manajemen, dan (f) penilaian khusus.
Depdiknas memberikan 10 alasan dibalik pemberlakuan kebijakan MBS, sebagaimana berikut
(Irawan, dkk, 2004):
1. Bila sekolah memiliki otonomi yang lebih besar maka sekolah akan lebih leluasa dalam
mengekspresikan keaktifan atau kreatifitasnya dalam meningkatkan mutu sekolah;
2. Bila sekolah memiliki fleksibilitas yang lebih besar dalam mengelola sumber dayanya maka
sekolah akan lebih lincah dalam memanfaatkan sumber daya sekolah secara optimal untuk
meningkatkan mutu sekolah;
3. Bila sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang ada maka
sekolah dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia dalam memajukan
sekolah;
4. Bila sekolah lebih mengetahui input pendidikan lembaganya maka sekolah dapat
mendayagunakannya dalam proses pendidikan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan
peserta didik;
5. Pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sekolah lebih cocok untuk memenuhi kebutuhan
sekolah karena pihak sekolah yang paling tahu apa yang terbaik bagi sekolah;
6. Bila masyarakat sekitar sekolah mengontrol penggunaan sumber daya pendidikan maka
penggunaannya akan menjadi lebih efektif dan efisien;
7. Bila seluruh warga sekolah dan masyarakat terlibat dalam pengambilan keputusan sekolah maka
akan tercipta transparansi dan demokrasi yang sehat;
8. Bila sekolah bertanggung jawab secara langsung terhadap orang tua peserta didik, masyarakat,
dan pemerintah, maka sekolah akan berupaya secara optimal dalam pelaksanaan pencapaian mutu
pendidikan yang telah direncanakan;
9
9. Dengan dukungan orang tua peserta didik, masyarakat, dan pemerintah, maka sekolah dapat
melakukan persaingan yang sehat dengan sekolah lainnya dalam meningkatkan mutu pendidikan
melalui upaya yang lebih inovatif;
10. Sekolah dapat melakukan respon yang lebih cepat terhadap aspirasi masyarakat yang berubah
dengan cepat.
Dari kesepuluh alasan yang dikemukakan oleh Depdiknas tersebut, dapat disimpulkan bahwa
tujuan utama pemberlakuan kebijakan MBS adalah peningkatan mutu pendidikan melalui model
pengelolaan sekolah yang lebih demokratis. Menurut Slamet PH (Irawan, dkk, 2004) secara empiris,
memang MBS perlu diimplementasikan sebab model pengelolaan sekolah secara sentralistis yang
telah cukup lama diterapkan terbukti kurang mengakomodasi kebutuhan sekolah, menumpulkan daya
kreatifitas sekolah, dan mengikis habis sense of belonging warga sekolah terhadap sekolahnya.
Ada beberapa hasil penelitian yang dapat digolongkan sebagai pihak yang pro dan kontra
terhadap MBS. Sebagai contoh, Dimmock (1993) dan Caldwell (1994) menemukan bahwa MBS
memiliki lima keunggulan sebagai berikut:
1. MBS adalah lebih demokratis. MBS memungkinan guru dan orangtua siswa dapat mengambil
keputusan tentang pendidikan dengan cara-cara yang lebih demokratis daripada hanya sekedar
memberikan kewenangan kepada orang-orang yang terbatas atau satu kelompok orang pada
level pusat.
Dalin (1994), Carron dan Chau (1996) menemukan dalam penelitiannya bahwa kualitas
pendidikan lebih ditentukan oleh cara sekolah mengelola sumber daya ketimbang oleh
ketersediaan sumber dayanya sendiri. Sumber daya yang ada di sekolah boleh jadi akan menjadi
mala petaka bagi semua pihak jika kepala sekolah tidak dapat mengelolanya secara transparan.
Faktor lain yang mempengaruhi kualitas pendidikan adalah kemampuan kepala sekolah dalam
10
meningkatkan proses belajar mengajar. Dengan demikian, kedua faktor tersebut (ketersediaan
sumber daya dan proses belajar mengajar) harus dikelola secara profesional oleh pihak sekolah.
Penerapan MBS di sekolah di banyak negara berkembang, walaupun bagaimana, sering tidak
memperoleh dukungan yang memadai dari pihak penguasa lokal maupun dari masyarakat.
Pemerintah daerah yang lemah tidak dapat diharapkan untuk mendukung pelaksanaan prinsip
manajemen modern (demokratis, transparan, dan akuntabel). Pelaksanaan MBS di sekolah, seperti
dalam mengelola dana BOS dan DAK, pihak kepala sekolah dan Komite Sekolah masih juga
memperoleh tekanan dari berbagai pihak. Campur tangan pemerintah daerah pada umumnya bukan
dalam bentuk supervisi yang positif, tetapi justru berupa intervensi negatif. Bahkan, tidak sedikit
kepala sekolah yang dikejar-kejar wartawan amplop yang sering nongkrong di sekolah untuk
menunggu datangnya kepala sekolah. Itulah sebabnya penerapakan MBS di sekolah pada sisi yang
lain menjadi ladang yang subur untuk tumbuhnya KKN di level birokrasi yang paling bawah
ini. Itulah sebabnya, ada kepala sekolah yang kemudian tidak mau pekerjaan manajemen yang
berat ini, karena alasan beban berat sebagai pemimpin instruksional (instructional leader) atau
pemimpin dalam bidang kependidikan (pedagogical leader) menjadi amburadul, lantaran
disibukkan oleh pekerjaan teknis administratif dan manajerial yang harus dituntaskan setiap hari.
Dengan beban pekerjaan yang berat ini, ada beberapa kepala sekolah di SD yang terpaksa harus
belanja komputer, buku pelajaran, alat tulis kantor (ATK), karena SD tidak memiliki staf
administrasi sebagaimana di SMP dan SMA. Akibatnya, pelaksanaan MBS di sekolah menjadi
dilema (Dempster, 2000). Bahkan penerapan MBS boleh jadi menimbulkan stres berat bagi kepala
sekolah (Whitaker, 2003 dan William, 2003).
Penerapan MBS ternyata juga sarat dengan masalah bias gender. Limerick dan Anderson,
1999) menengarai adanya masalah bias gender, karena banyak kepala sekolah wanita yang
merasakan keberatan untuk melaksanakan beban berat mengurus bidang administrasi dan
manajemen tersebut. Seorang kepala sekolah di SMA pernah mendatangi penulis dan menjelaskan
bahwa sekolahnya terpaksa menolak bantuan block grant dari pemerintah. Alasannya sudah jelas,
karena urusan teknis edukatif di sekolahnya menurutnya menjadi tidak terurus dengan baik lagi.
Penerapan MBS juga mengalami masalah, khususnya di daerah yang pedesaan atau daerah
yang terpencil (remote areas). Banyak orangtua siswa dan masyarakat di pedesaan yang tidak mau
terlibat dalam kegiatan Komite Sekolah. Masalahnya ternyata bukan hanya karena masalah
kapasitasnya yang rendah, tetapi lebih karena budaya yang hanya menyerahkan bulat-bulat urusan
pendidikan kepada pihak sekolah. Bahkan, dalam beberapa kasus, penerapan MBS lebih sebagai
instrumen politik untuk membangun kekuasaan. Dengan MBS, seakan-akan pemerintah telah
memberikan otonomi kepada sekolah, padahal sesungguhnya sekolah dan masyarakat belum siap
11
untuk menerima semua itu. Hal yang sama pun terjadi di negara maju seperti di negara bagian
Australia. Representasi dari masyarakat kelompok minoritas dinilai kecil dalam komposisi
kepengurusan Komite Sekolah (Ferguson, 1998).
Dampak negatif yang sama terjadi dalam pelaksanaan desentralisasi di Afrika Barat
(Lugaz dan De Grouwe), dimana penerapan MBS di sekolah justru dapat menyebabkan
meningkatnya monopoli kekuasaan di level pemerintah daerah. Orangtua dan pendidik hampir
tidak punya pengetahuan untuk mengontrol penggunaan uang sekolah yang telah diterima oleh
sekolah. Tidak adanya transparansi dalam penggunaan uang sekolah dari orangtua siswa tersebut
sering menimbulkan kesan terjadinya monopoli kekuasaan pada level pemerintah daerah.
Hasil penelitian tentang dampak penerapan MBS terhadap mutu pendidikan ternyata
sangat bervariasi. Ada penelitian yang menyatakan negatif. Ada yang kosong-kosong. Ada pula
yang positif.
Penelitian yang dilakukan oleh Leithwood dan Menzies (1998a) dengan 83 studi empirikal tentang
MBS menyatakan bahwa penerapan MBS terhadap mutu pendidikan ternyata negatif, there is
virtually no firm. Fullan (1993) juga menyatakan kesimpulan yang kurang lebih sama. There is
also no doubt that evidence of a direct cause-and-effect relationship between self-management and
improved outcomes is minimal. Tidak diragukan lagi bahwa hubungan sebab akibat hubungan
antara MBS dengan peningkatan mutu hasil pendidikan adalah minimal. Hal ini dapat dimengerti
karena penerapan MBS tidak secara langsung terkait dengan kejadian di ruang kelas.
12
absenteeism. Jemenez dan Sawada (1998) menyimpulkan bahwa pelibatan masyarakat dan
orangtua siswa mempunyai dampak jangka panjang dalam peningkatan hasil belajar.
2.5.1 Pengaruh MBS Terhadap Peran Pemerintah Pusat, Daerah, dan Dewan Sekolah
MBS menyebabkan pejabat pusat dan kepala dinas serta seluruh jajarannya lebih banyak
berperan hanya sebagai fasilitator pengambilan keputusan di tingkat sekolah. Pemerintah pusat, dalam
rangka pemeliharaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tentu saja masih menjalankan politik
pendidikan secara nasional. Pemerintah pusat menetapkan standar nasional pendidikan yang antara
lain mencakup standar kompetensi, standar fasilitas dan peralatan sekolah, standar kepegawaian,
standar kualifikasi guru, dan sebagainya.
Penerapan standar disesuaikan dengan keadaan daerah. Standar ini kemudian
dioperasionalkan oleh pemerintah daerah (Dinas Pendidikan) dengan melibatkan sekolah-sekolah di
daerahnya. Namun, pemerintah pusat dan daerah harus lebih rela untuk memberi kesempatan bagi
setiap sekolah yang telah siap untuk menerapkannya secara kreatif dan inovatif. Jika tidak, sekolah
akan tetap tidak berdaya dan guru akan terpasung kreativitasnya untuk berinovasi. Pemerintah harus
mampu memberikan bantuan jika sekolah tertentu mengalami kesulitan menerjemahkan visi
pendidikan yang ditetapkan daerah menjadi program-program pendidikan yang berkualitas tinggi.
Pemerintah daerah juga masih bertanggung jawab untuk menilai sekolah berdasarkan standar yang
telah ditetapkan.
13
b. MBS lebih mungkin berhasil jika diterapkan secara bertahap.
c. Kemungkinan diperlukan lima tahun atau lebih untuk menerapkan MBS secara berhasil.
d. Staff sekolah dan kantor dinas harus memperoleh pelatihan penerapannya, pada saat yang
sama juga harus belajar menyesuaikan diri dengan peran dan saluran komunikasi yang baru.
e. Harus disediakan dukungan anggaran untuk pelatihan dan penyediaan waktu bagi staf untuk
bertemu secara teratur.
f. Pemerintah pusat dan daerah harus mendelegasikan wewenang kepada kepala sekolah, dan
kepala sekolah selanjutnya berbagi kewenangan ini dengan para guru dan orang tua murid.
14
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama
ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang
berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan
kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.
6. Kesulitan Koordinasi
Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam mengharuskan adanya
koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri ke
tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah. Apabila
pihak-pihak yang berkepentingan telah dilibatkan sejak awal, mereka dapat memastikan bahwa setiap
hambatan telah ditangani sebelum penerapan MBS. Dua unsur penting adalah pelatihan yang cukup
tentang MBS dan klarifikasi peran dan tanggung jawab serta hasil yang diharapkan kepada semua
pihak yang berkepentingan. Selain itu, semua yang terlibat harus memahami apa saja tanggung jawab
pengambilan keputusan yang dapat dibagi, oleh siapa, dan pada level mana dalam organisasi.
Berdasarkan hasil penelitian MCW (Malang Corruption Watch) di kota Malang dan ICW
(Indonesia Corruption Watch) di kota Jakarta terdapat beberapa hal yang menyebabkan gagalnya
penerapan MBS dalam dunia pendidikan di sekolah, diantaranya adalah:
1. Kurangnya pemahaman kepala sekolah dan guru untuk terlibat dalam pengembangan MBS
disebabkan karena mereka sudah terbiasa dan terpola dengan model manajemen lama yang
begitu sentralistis, walaupun mereka sudah mendapatkan petunjuk mengenai implementasi
MBS secara teknis. Selain itu, guru juga kurang memahami bagaimana melakukan sinergi
antara MBS dengan proses belajar mengajar di kelas.
2. Penerapan MBS dipahami oleh kepala sekolah hanya sebatas membentuk Komite Sekolah
sebagai pengganti BP3 dan dijadikan alat untuk melegitimasi mengambil keputusan untuk
menaikkan SPP dan iuran lainnya seperti sumbangan pembangunan gapura, pagar, gedung
sekolah, dan lain-lain. Demikian pula dengan perencanaan anggaran sekolah yang
pembuatannya masih dimonopoli oleh kepala sekolah, pelibatan komite sekolah hanya sebatas
cap stempel belaka.
3. Kultur masyarakat yang masih begitu feodalistik sehingga sulit untuk menjalankan aktifitas
yang demokratis. Masyarakat yang telah terbunuh karakter dan kreatifitasnya selama puluhan
tahun dibawah rezim yang otoriter, tentu akan mengalami kesulitan yang teramat sangat bila
diberikan keleluasaan dalam bertindak sebab mereka telah terbiasa hidup dibawah panduan.
4. Hegemoni pemerintah terhadap segala bentuk kehidupan masyarakat. Prinsip MBS
pengelolaan pendidikan secara desentralisasi, namun kenyataannya jumlah peraturan
perundang-undangan yang mengatur pengelolaan pendidikan hingga bagian paling teknis
sekalipun, justru semakin banyak, yang jelas-jelas sangat bertentangan dengan konsep MBS,
misalnya antara UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dengan PP No.19 Tahun 2005
15
tentang Standar Nasional Pendidikan dan Permendiknas No.19 Tahun 2007 tentang Standar
Pengelolaan.
5. Intervensi pihak asing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang penuh dengan
kepentingan. Penerbitan kebijakan pendidikan berbasis ketersediaan proyek lembaga donor
asing sudah bukan temuan baru lagi. Fakta mengungkapkan puluhan proyek MBS yang
digulirkan oleh lembaga donor asing ternyata dana totalnya mencapai puluhan trilyun rupiah.
Implementasi MBS berbasis proyek menyebabkan penerapan MBS yang asal-asalan dan ala
kadarnya, hanya sekedar untuk memenuhi target laporan.
6. Pemerintah tidak memiliki filsafat pendidikan yang jelas dalam gerak langkah pembangunan
pendidikan di Indonesia. Hal ini menyebabkan kesimpangsiuran aktifitas yang terjadi di dunia
pendidikan karena tidak adanya sinergi antara pemerintah dengan masyarakat (Tilaar, 2004).
3. Simpulan
Kebijakan adalah suatu keputusan yang diambil untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu sesuai dengan tujuan, nilai, dan praktik yang di dalamnya terdapat unsur legalitas
(kepemerintahan). Kebijakan pemerintah dalam administrasi (manajemen) pendidikan yang terbaru
adalah MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS merupakan suatu pendekatan politik yang
bertujuan untuk melakukan redesain terhadap pengelolaan sekolah dengan memberikan kekuasaan
pada kepala sekolah dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah
yang mencakup guru, siswa, kepala sekolah, orang tua siswa, dan masyarakat.
Landasan yuridis terhadap pelaksanaan MBS terdapat dalam perundangan-undangan, yaitu
UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada bagian penjelasan pasal 51 ayat 1
dan juga peraturan turunan undang-undang sistem pendidikan nasional, yaitu dalam PP No. 19 Tahun
2005 tentang standar nasional pendidikan pasal 49 ayat 1.
MBS menyebabkan pejabat pusat dan kepala dinas serta seluruh jajarannya lebih banyak
berperan hanya sebagai fasilitator pengambilan keputusan di tingkat sekolah. Penerapan MBS
memberikan berbagai dampak dalam peningkatan mutu pendidikan. Diantara dampaknya seperti
terciptanya lingkungan belajar yang efektif bagi siswa dan dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.
Namun, juga banyak terdapat hambatan dalam menjalankannya seperti pihak-pihak struktural sekolah
yang tidak ingin mendapat tambahan pekerjaan dan ketidakpahaman mereka terhadap aplikasi MBS
itu sendiri.
16