Anda di halaman 1dari 10

Materi SKI tentang arsitektur rumah ibadah masa Umayyah dan Abbasiyah

ARSITEKTUR RUMAH IBADAH PADA MASA UMAYYAH DAN ABASIYAH

A. Pendahuluan

Perkembangan bentuk arsitektur Islam pada masa zaman Bani Umayyah (661-750) dan

zaman Bani Abbas (750-puncak kejayaannya) sangatlah pesat. Di buktikan dengan adanya

bentuk masjid sekarang ini yang meniru bentuk masjid pada masa tersebut. Contohnya

halaman Masjid Nabawi yang berbentuk persegi empat dan terbuka terinspirasi dari halaman

Masjid Umayyah[1] bahkan adanya kubah pada masjid di lanjutkan sampai sekarang dan

menjadi ciri khas bangunan Islam.

Desain masjid pada zaman Bani Umayah dan Bani Abbasiah tentunya berbeda sesuai

dengan pengaruh yang ada pada zaman tersebut. Masjid pada masa Umayyah keseluruhannya

merupakan bangunan segi empat dan beratap rata. Perkembangan selanjutnya, masjid

memperoleh pengaruh dari luar, diantaranya dengan diambil alihnya bentuk gereja menjadi

masjid. Sedangkan pada masa Abbasiah, bangunan-bangunan banyak dipengaruhi oleh gaya

arsitektur Seljuk, terlihat kebiasaan membuat bangunan kuburan yang megah, maka dalam

perkembangan selanjutnya timbul penggabungan bentuk masjid dengan kuburan.

Oleh karena itu, makalah kami berfokus pada karakteristik desain bangunan masjid

pada masa Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah. Kami akan menjelaskan desain bangunan

masjid dari masing-masing masa serta contoh dari masjid-masjid serta penjelasan arsitektur

yang ada pada masjid-masjid tersebut.

B. Desain Bangunan Masjid Masa Bani Umayyah

Gambar 1. Contoh masjid masa Bani Umayyah


Pada saat Bani Umayyah

berkuasa, sekitar tahun 700-an

dibangun masjid-masjid dalam

bentuk bangunan di berbagai

tempat, misalnya di Basra, Kufah

dan Fustat (nama lama kota

Cairo). Masjid pada waktu itu

keseluruhannya merupakan bangunan segi empat dan beratap rata. Pada dinding yang beratap

di arah kiblat kembali ada penonjolan atap sebagai mihrab. Atapnya ditopang oleh sejumlah

tiang sehingga keseluruhan ruangannya seperti dipenuhi oleh barisan tiang-tiang. Ini

menunjukkan pada saat itu belum ditemukan cara pemakaian konstruksi pendukung atap

dengan jumlah tiang yang lebih sedikit. Namun bahan dinding sudah diperindah dengan batu-

batu merah serta mulai memakai tiang-tiang dari batu. Contoh yang menonjol dari tipe

bangunan yang memakai arsitektur semacam ini adalah masjid Ziyad di Kuffah (638-639)

dan Masjid Amar di Fustat.[2]

Pada perkembangan selanjutnya arsitektur Islam memperoleh pengaruh dari luar,

diantaranya dengan diambil alihnya bentuk gereja menjadi masjid di daerah-daerah yang

ditaklukan Islam di Damsyik (sekarang Damascus) oleh kaum Syiah dibangun sebuah masjid

yang pada mulanya adalah gereja dengan cara mengubah beberapa bagianya lalu dibuat

tonjolan mihrab-mihrab pada dinding yang mengarah ke kiblat. Pada saat ini dapat

disebutkan bahwa telah lahir bentuk arsitektur corak masjid gereja atau masjid basilika.

Hiasan mozaik yang tadinya memuat episode cerita gerejani diubah menjadi motif-motif hias

yang mencerminkan hiasan khas Islam yang terdiri dari motif tumbuh-tumbuhan yang

ditambah dengan unsur alam lainnya.[3]


Pada masa Bani Umayyah ini arsitektur masjid mengalami perubahan yang sangat

berarti terutama disebabkan dorongan dari para pemimpinya. Al-Walid, salah seorang

rajanya, adalah tokoh pembangunan masjid. Ia memperkenalkan penambahan kelengkapan

arsitetur islam (masjid) berupa menara yang kemudian menjadi bagian dari pembangunan

masjid, dan selanjutnya perkembangan arsitektur masjid dalam Islam menjadi beranekaragam

dalam bentuk dan coraknya. Demikian berkembangnya sehingga ada menara (minaret) yang

berbentuk segi delapan atau segi banyak yang menyerupai sudut-sudut bintang, bentuk

silindris, atau bentuk yang sangat ramping menjulang ke atas, atau dalam bentuk menara

yang mempunyai ruang-ruang bertingkat. Pada Masjid Jami Damasyik, misalnya, yang

merupakan perombakan dari gereja, dua buah menaranya berasal dari menara lonceng gereja.

Di Mesir banyak terdapat menara mercusuar dari peninggalan zaman Iskandar Zulkarnain

yang bentuknya lebih ramping sehingga menjulang. Contoh penerapan menara seperti ini

adalah Masjid Sidi Okba. Menara pada masjid-masjid di Iran berbentuk menara pilin, yakni

menara yang berbentuk spiral, sebagai hasil penampilan dari masuknya pengaruh-pengaruh

Babilonia, dan bentuk-bentuk silindris lebih banyak terdapat di Turki.

Pada masa berikutnya kepentingan penguasa turut memperkaya arsitektur Islam,

misalnya dengan munculnya maksura, sebuah tempat yang khusus dibuat menjadi tempat

penguasa melaksanakan shalat. Selanjutnya mimbar juga merupakan elemen arsitektur masjid

yang cemerlang. Mimbar kebanyakan dibuat dengan bahan dari kayu seperti yang terdapat di

Masjid Okba Qairawan. Hal itu memungkinkan para ahli ukir untuk menerapkan hiasan

megah pada bahan tersebut. Lama kelamaan bentuk masjid tidak lagi beratap rata tetapi

mengembang kearah pemakaian lengkung dan kubah.[4]

Kontruksi lengkung ini dinamakan iwan, yakni merupakan gapura atau gerbang dengan

beratapkan bentuk lengkung yang menutupi tiga bagian dinding dari bahan gapura, sedang

bagian dinding lainnya dalam keadaan terbuka yakni bagian yang terbuka ke bagian muka.
Arsitektur dengan pemakaian iwan ini dikembangkan dengan sempurna pada salah satu

Masjid Jami di Isfahan yang bergaya Seljuk, beberapa iwan tampil sebagai pintu gerbang

masjid yang kemudian menuju ke ruang besar dengan beratapkan iwan yang lebih besar

sebagai kubah penutup ruang induk. Dalam perkembangan selanjutnya lengkung-lengkung

iwan ini mengalami modifikasi bentuk dengan berbagai panampilan seperti berpuncak lancip

atau lengkung yang menonjol ke atas, sehingga kubah mendominasi seluruh penampilan

arsitektur masjid. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila bentuk ini pada masa-masa

kemudian bahkan sampai saat ini dihubungkan dengan ciri simbolis khas bangunan Islam.[5]

Ketika Harun ar- Rasyid, penguasa Baghdad, digantikan oleh Sultan Al-Muttakin ia

memindahkan pusat pemerintahan ke Samarra. Di Ibu kota yang baru ini ia mendirikan

Masjid Jami Askar (846-852). Penulis barat menyebut Masjid ini sebagai the Great Mosque

of Samarra. Masjid ini besar dan mempunyai kekhasan arsitektur Islam. Kekhasan arsitektur

Masjid ini adalah terdapatnya pengggunaan pilar yang merupakan kolom dari susunan batu-

batu yang ditempatkan di antara empat buah tiang yang mengapit kolom tersebut pada setiap

sudutnya. Bahan batu pengisi kolom itu terdiri dari susunan batu bata yanag dibakar,

selanjutnya, menaranya berbentuk spiral yang dikenal denga julukan Ma al-Wiyah.

C. Contoh Masjid pada Masa Bani Umayyah

1. Mezquita, Masjid Agung Cordoba

Gambar 2. Bagian Dalam Masjid Cordoba

Bangunan ini pertama dibangun

kira-kira pada 600 M, dalam bentuk

gereja St. Vincent dari Kristen Visigoth.

Setelah penaklukan Islam atas Kerajaan

Visigoth, Emir Abd ar-Rahman I


memberi gereja tersebut. Abd ar-Rahman I dan penerusnya melakukan pemugaran selama

lebih dari 2 abad dan menjadikannya sebagai masjid. Pemugaran ini dimulai pada tahun

784.[6]

Secara tradisional, mihrab masjid berada di arah tenggara, arah Makkah; dengan

menghadap mihrab, orang-orang yang shalat juga menghadap ke Makkah. Namun,

mihrabnya sendiri menghadap ke selatan. Ada yang berpendapat bahwa mihrab tersebut

menghadap ke selatan karena fondasi masjid tersebut berasal konstruksi Romawi dan

Visigoth lama. Ada pula yang berpendapat bahwa Abd ar-Rahman mengarahkan mihrab

tersebut arah selatan seolah-olah ia masih berada di ibu kota Dinasti Umayyah di Damaskus

dan tidak berada dalam pengasingan. Pendapat lain mengatakan bahwa hal itu terjadi karena

Emirat Cordoba menganut madzhab Maliki, shalat yang dilakukan seseorang tetap sah

meskipun arah shalatnya menyimpang dari letak Kabah yang sesungguhnya sebanyak 89

derajat. Masjid ini dihubungkan dengan istana khalifah oleh sebuah jalan. Adanya masjid di

dalam istana merupakan tradisi para penguasa muslim secara turun menurun.

Bangunan ini sangat terkenal dengan lengkungan-lengkungan raksasanya yang terdiri

dari 856 tiang yang terbuat dari jasper, onyx, marmer dan granit. Tiang-tiang ini dibuat dari

sisa-sisa kuil Romawi yang telah ada sebelumnya dan bangunan-bangunan Romawi yang

telah runtuh. Lengkungan gandanya merupakan model arsitektur terbaru pada zamannya dan

membantu untuk menopang beban berat dari langit-langit di atasnya. Lengkungan ganda

tersebut terdiri dari sebuah lengkungan berbentuk sepatu kuda di bagian bawah dan

lengkungan semi-melingkar di bagian atas. Voussoir hitam putih saling bergantian dari

lengkungannya terinspirasi dari voussoir Dome of the Rock. Model ini juga mirip dengan

Katedral Aachen yang dibangun pada waktu yang hampir bersamaan.[7]

Mezquita juga memiliki ceruk-ceruk yang disepuh. Kubah utamanya yang berbentuk

sarang madu memiliki ubin-ubin berwarna biru yang dihiasi oleh bintang-bintang. Mihrab
merupakan mahakarya seni arsitektur, dengan desain geometric dan tumbuh-tumbuhan.

Mezquita mencapai dimensinya sebagaimana yang ada sekarang pada tahun 987, dengan

selesainya pembangunan halaman luar yang dipenuhi pohon jeruk

Masjid ini mempunyai ruang shalat berbentuk persegi panjang menghadap kiblat.

Dinding yang menghadap ke kiblat memiliki lekukan di atasnya yang berfungsi sebagai

petunjuk arah Makkah. Ruang shalat ini cukup luas, memiliki langit-langit kayu yang

ditopang oleh lengkungan berbentuk sepatu kuda. Lengkungan-lengkungan itu berasal dari

penggunaan kembali tiang-tiang bangunan Romawi dan Visigoth. Dinding-dinding masjid

dihiasi oleh ayat-ayat Al-Quran di antara hal yang paling menonjol dari bangunan ini adalah

ruang terbuka (sahn) yang dikelilingi oleh lengkungan-lengkungan, layar-layar kayu, menara,

mosaic beraneka warna dan jendela-jendela kaca beraneka warna.

Masjid Agung Cordoba memiliki banyak kesamaan dengan Masjid Besar Damaskus.

Ini membuktikan bahwa Masjid Besar Damaskus dijadikan model oleh Abd ar-Rahman

dalam membangun Masjid Cordoba. Selang 150 tahun setelah masjid ini dibangun, dibangun

pula tangga ke atap masjid, bersamaan dengan perluasan masjid ke bagian selatan, dan

sebuah jembatan yang menhubungkan ruang shalat dengan istana emir Cordoba. Masjid ini

kemudian diperluas lagi di bagian selatan. Pada waktu bersamaan, dibangun pula halaman

luar yang mengelilingi masjid besar ini.[8]

Masjid agung ini dibangun dalam empat tahap. Semua khalifah dan para pembesarnya

mempunyai sumbangsih terhadap pembangunannya. Masjid ini menjadi trademark arsitektur

Islam. Bagi masyarakat Andalusia, Keindahan masjid ini sangat memukau sehingga sulit

dilukiskan dengan kata-kata. Ketika Spanyol berhasil ditaklukkan oleh Ferdinand dan

Isabela, masjid ini dihiasi oleh lonceng-lonceng Katedral Santiago de Compostela dan

berubah fungsi menjdi katedral.


Pada 1236, Cordoba ditaklukkan oleh Raja Ferdinand III dari Castille dalam

Reconquista dan masjid ini kembali menjadi gereja Kristen. Alfonso X mengawasi

pembangunan Villaviciosa Chapel dan Royal Chapel di dalam masjid. Raja-raja setelahnya

turut menambahkan identitas-identitas Kristen. Misalnya, Raja Henry II membangun kembali

chapel pada abad ke-14. Menara masjid juga diubah menjadi menara lonceng dari katedral

tersebut.

Perubahan yang paling penting adalah dibangunnya Nave Katedral Renaissance di

tengah struktur bangunan. Pembangunan ini dilakukan atas izin Charles V, raja Castille dan

Aragon. Perubahan Masjid agung Cordoba menjadi gereja Kristen Catedral de Cordoba,

menyelamatkan bangunan dari kehancuran ketika terjadi inkuisisi Spanyol secara aktif.

Hingga akhir abad ke-18, bangunan ini masih mendapat polesan dari para seniman dan

arsitek.[9]

2. Masjid Umayyah

Gambar 3. Masjid Umayyah tampak depan

Sebelum menjadi sebuah masjid,

Masjid Umayyah adalah sebuah gereja

yang dibangun pada masa Romawi.

Sebelum menjadi gereja, bangunan itu

merupakan tempat pemujaan bangsa

Yunani, yang dibangun sekitar tahun

1000 SM.[10]

Meski bentuk dan arsitekturnya mengalami perubahan sesuai dengan fungsi masjid,

tetapi perubahan sesuai dengan fungsi masjid, tetapi perubahan itu tidak total. Dua dari tiga

buah balkon, misalnya, masih tetap dipertahankan. Berkat selera arsitektur Khalifah al-Walid

yang tinggi, akhirnya berdiri sebuah masjid dengan sentuhan teknologi modern dengan tetap
memperhatikan aspek estetika. Pada masa keemasan pemerintahan Islam, Masjid Umayyah

menjadi pusat kegiatan umat Islam.

Pada tahun 461 H, masjid ini terbakar. Bangunan masjid kemudian diganti sehingga

bentuknya berbeda dengan bentuknya semula. Bentuk bangunan mengikuti model masjid

biasa, dilengkapi empat buah mihrab, tiga buah kubah, tiga menara yang menjulang ke langit,

tiga buah saumaah, dan empat buah gapura.[11]

Menara pada Masjid Umayyah merupakan menara pertama pada bangunan masjid.

Awalnya, pada bekas bangunan gereja St. John Baptist Basilika tersebut terdapat dua buah

menara yang berfungsi sebagai penunjuk waktu, lonceng pada siang hari, dan kerlipan lampu

pada malam hari. Menara itu merupakan salah satu ciri khas bangunan Romawi. Kedua

menara peninggalan bangunan gereja tersebut berada di sisi barat dan timur. Menera sebelah

timur atau disebut Menara Isa diyakini sebagai tempat akan turunnya Nabi Isa as. Khalifah

al-Walid sengaja mempertahankan kedua menara yang bertengger di bangunan bekas gereja

tersebut. Bahkan, untuk menambah kemegahan Masjid Umayyah, beliau membangun lagi

sebuah menara di pelataran masjid sisi utara, tepat di atas Gerbang Firdaus. Menara ini biasa

disebut Menara Utara Masjid Umayyah.

Arsitektur Masjid Umayyah telah memberi pengaruh bagi seni arsitektur masjid di

seluruh dunia. Dari masjid inilah, arsitektur Islam mulai mengenal lengkungan (horseshoe

arch), menara segi empat, dan maksurah. Bangunan Masjid Umayyah memperlihatkan proses

percampuran budaya Romawi dan Islam. Meskipun telah dilakukan beberapa perubahan pada

arsitektur gereja, bagian-bagian khas gereja masih tampak pada kompleks masjid ini,

termasuk sumur tempat pembaptisan bayi-bayi. Di masjid ini pula terdapat kuburan kepala

Nabi Yahya as. (yang dipenggal oleh umatnya sendiri), Nabi Hud as., dan Nabi Khidir.

Pembangunan Masjid Damaskus, yang merupakan masjid terbesar pertama di abad ke-8

M itu, ternyata melibatkan para seniman dan tukang bangunan dari Mesir, Persia, India,
Afrika Utara, dan Bizantium. Ketika Khalifah al-Walid hendak membangun masjid tersebut,

dirinya mengumpulkan semua seniman dan arsitek terkemuka pada zamannya. Mereka

diminta untuk memikirkan model masjid yang akan dibangun. Khalifah mengeluarkan dana

sebanyak 400 kotak dan setiap kotak berisi uang 14 ribu dinar. Proses pembangunan masjid

pun dimulai dan berlangsung selama sembilan tahun.[12]

Pembangunan Masjid Umayyah menggunakan marmer dan batu pualam. Bagian atas

dinding masjid, baik dinding luar maupun dalam, berlapis mamrmer. Seluruh tiangnya adalah

berasal dari batu pualam murni. Di bagian atas tiang dibentuk ornament hiasan bunga,

sedangkan bagian bawah tiang mesjid bergambar hiasan tangkai pepohonan. Lantai masjid

terbuat dari bahan marmer. Pantulan sinar matahari dari lantai masjid mampu menyilaukan

mata yang memandangnya. Arsitek Barat K.A.C. Creswell dan Strzygowski (1930) dalam

bukunya, Early Muslim Architecture, mengatakan, Masjid Agung Umayyah adalah murni

hasil kerja umat Islam yang terinspirasi oleh gaya

Persia. [13]

3. Masjid Agung Alleppo (paduan seni hias Romawi,

Gothic dan Arab)

Gambar 4. Masjid Alleppo

Alleppo adalah kota nomor dua terbesar di

Suriah setelah Damaskus, terletak di bagian utara.

Kota ini dipandang sebagai salah satu kota tertua di

dunia; sudah abad ke sebelas sebelum masehi (SM).

Alleppo kuno sempat mencapai masa kejayaannya

pada masa kekuasaan Raja Hammurabi, Babilonia. Ketika dikuasai romawi pada abad ke

lima M, agama kristenpun menyebar dibumi Alleppo. Kota ini juga dikenal sebagai kota
kebudayaan Islam. Bangunan berarsitektur Islam sejak abad ke tujuh Masehi masih kokoh

berdiri hingga saat ini di Alleppo.[14]

Arsitektur Masjid Agung Alleppo meniru arsitektur Masjid Damaskus. Kemungkinan,

pembangunannya yang hampir bersamaan menyebabkan arsitektur kedua masjid ini tampak

serupa. Menara berbentuk segiempat. Ciri khas dari Masjid Agung Alleppo adalah pada

bagian menara dengan ketinggian 50 meter. Menara masjid Agung Alleppo memiliki bentuk

yang unik dibandingkan menara masjid lainnya pada masa itu. Menara Masjid ini sepenuhnya

berbentuk segiempat dari dasar hingga puncak. Menara segiempat ini merupakan trend baru

bentuk menara masjid pada masa itu.

Pengaruh Romawi terlihat pada dekorasi menara berupa molding (hasil catakan) dan

pelengkung-pelengkung mati. Pengaruh Arab juga cukup besar, berupa hiasan kaligrafi yang

mengelilingi dinding dan muqarnas di bawah balkon pada puncak menara. Arsitektur masjid

didominasi pola hypostyle (melengkung) dan mempunyai sahn (halaman terbuka) pada

bagian tengah bangunan masjid. Pada bagian tengah sahn terdapat tempai wudhu beratap

yang dilengkapi dengan keran air mancur. Di sisi tempat wudhu terdapat gardu.[15]

Anda mungkin juga menyukai