Anda di halaman 1dari 11

MATA KULIAH

SEMINAR KEBIJAKAN, ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN

ANALISIS KASUS BUTA PERMANEN USAI OPERASI KATARAK OLEH


DOKTER SURABAYA EYE CLINIC TAHUN 2017

OLEH:
AYU PRASETYOWATI
NIM 101614453017

UNIVERSITAS AIRLANGGA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ADMINISTRASI DAN KEBIJAKAN KESEHATAN
MINAT MANAJEMEN KESEHATAN
SURABAYA
2017
Perkembangan ilmu dan teknologi kesehatan yang semakin pesat telah
membawa manfaat yang besar untuk terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang
optimal. Perkembangan ini juga diikuti dengan perkembangan hukum di bidang
kesehatan, sehingga secara bersamaan para pelaku kesehatan, terutama dokter,
menghadapi masalah hukum yang timbul dari kegiatan, perilaku, sikap dan kemampuan
menjalankan profesi kesehatan. Seiring dengan itu semakin banyak tuntutan hukum
tentang tindakan malapraktek. Banyak kasus dipengadilan tentang gugatan perdata atau
tuntutan pidana akibat terjadinya malpraktek atau kurang memadainya pelayanan
kesehatan yang diberikan kepada pasien. Kasus malpraktik tidak hanya merugikan
korban dan keluarga korban, namun juga berbagai pihak yang terkait, mulai dari tenaga
kesehatan yang menangani korban, fasilitas kesehatan tempat terjadinya kasus dan juga
masyarakat luas.

A. GAMBARAN KASUS
Mata Tatok Poerwanto usia 77 tahun mengalami buta permanen usai menjalani
operasi katarak di Surabaya Eye Clinic. Diduga Tatok mengalami malpraktik saat
menjalani operasi katarak di Surabaya Eye Clinic yang berlokasi di Jalan Jemursari,
Surabaya. Saat operasi katarak, Tatok ditangani oleh dr. Moestidjab, dokter sekaligus
Direktur Umum (Dirut) Surabaya Eye Clinic. Namun bukannya sembuh mata Tatok
malah tidak bisa melihat.
Menantu Totok, Eduard Rudy Suharto menjelaskan musibah ini berawal saat
Tatok mendapat perawatan medis di Surabaya Eye Clinic pada 28 April 2016 dan
ditangani oleh dr. Moestidjab. Saat itu Tatok diminta untuk segera menjalani operasi
katarak. Namun usai operasi, kondisi mata Tatok justru malah tidak membaik. Tatok
merasakan nyeri dimatanya, namun dr. Moestidjab mengatakan bahwa kondisi tersebut
merupakan hal yang wajar. Namun ternyata kondisi mata Tatok kian parah, sehingga
Tatok disarankan menjalani operasi di Rumah Sakit Graha Amerta Surabaya oleh dr.
Moestidjab dengan alasan peralatan di rumah sakit tersebut lebih lengkap.
Namun operasi yang dijanjikan berlangsung 30 menit molor hingga 5 jam dan
dr. Moestidjab menugaskan asistennya untuk menyampaikan hasil operasi kepada
pihak keluarga bahwa operasi tidak dapat dilanjutkan karena ada pendarahan dan
peralatan kurang canggih sehingga dr Moestidjab kemudian merujuk Tatok ke
Singapura. Namun menurut keluarga, ketika di Singapura lokasi yang disaran dr.
Moestidjab tidak representatif sehingga keluarga membawa Totok ke Singapore

2
National Eye Centre. Hasil keterangan dari Singapore National Eye Centre menjelaskan
bahwa kondisi mata Tatok sudah tidak bisa ditangani lagi karena kesalahan saat operasi
pertama.
Pada 13 Januari 2017, menantu Tatok kemudian mendatangi dr. Moestidjab.
Setelah menantu Tatok menunjukkan hasil rekam medis dari Singapura, dr. Moestidjab
mengaku dan bersedia membuat surat permintaan maaf secara resmi kepada Tatok yang
kemudian membawa dugaan malpraktik itu ke ranah hukum. Kasus dugaan malapraktik
ini pun telah dilaporkan Tatok ke Polda Jatim dengan nomor laporan
LPB/75/I/2016/UM/Jatim. Dalam laporan ini, dr Moestidjab diduga melanggar tindak
pidana penipuan dan membuat surat palsu atau memalsukan surat, memberikan
keterangan palsu dalam akta otentik. Kasus ini juga telah dilaporkan ke Ikatan Dokter
Indonesia.
Sementara itu, dokter teradu dugaan pelaku malpraktik, dokter Moestidjab
memberikan klarifikasi bahwa ketika menangani pasien atas nama Tatok Poerwanto
untuk melakukan operasi katarak telah mejalankan sesuai SOP dan tidak menyalahi
aturan maupun etika kedokteran. dr. Moestidjab mengatakan bahwa yang terjadi ini
bukan sebuah kesalahan prosedur, namun lebih ke resiko medis. dr. Moestidjab juga
menyebutkan penyakit yang diderita pasien tersebut dalam stadium lanjut dan
mengakui tidak mampu untuk melakukan tindakan lanjutan, maka melakukan
perujukan.
Dokter Moestidjab, Direktur Utama (Dirut) Surabaya Eye Clinic juga
menggugat kembali Tatok Poerwanto. Gugatan tersebut diajukan untuk mencabut surat
permintaan maaf atas tindakan malpraktik yang dilakukannya terhadap Totok dan
disidangkan di Pengadilan Negeri Surabaya pada hari Kamis tanggal 16 Februari 2017.
Dalam gugatannya, dokter Moestidjab meminta agar majelis hakim mencabut surat
permintaan maafnya yang ditujukan kepada Tatok.
Sementara itu pihak keluarga merasa upaya dokter Moestidjab mencabut surat
permintaan maaf yang telah dikeluarkannya ini sebagai langkah yang sangat aneh.
Pasalnya, menurut keluarga, pencabutan dilakukan karena saat ini dokter Moestidjab
telah dilaporkan ke Polda Jatim dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Menurut keluarga,
upaya pencabutan surat permintaan maaf itu untuk menghapus pengakuan bersalahnya
selama menangani Tatok sebagai pasien. Rudy juga menambahkan, surat permintaan
maaf itu diketik sendiri oleh sekretaris dr. Moestidjab dan ditandatangani sendiri oleh
dr. Moestidjab.

3
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Wilayah Jatim melakukan langkah litigasi untuk
menyelesaikan kasus dugaan malpraktik operasi katarak yang terjadi di Surabaya Eye
Clinic (SEC) Jemursari Surabaya. Langkah ini diungkap Ketua Badan Hukum
Pembinaan dan Pembelaan Ikatan Dokter Indonesia Wilayah Jatim, Dr Edi Suyanto
SpF SH MH, saat jumpa pers di Surabaya. Dalam kasus ini IDI selaku organisasi profesi
memohon maaf kepada masyarakat dan sebagai upaya tanggung jawab, IDI berupaya
mendamaikan dan menyamakan presepsi agar tidak ada upaya hukum lebih. Dengan
langkah litigasi, IDI berharap kasus tersebut mendapatkan titik penyelesaian sehingga
dapat melindungi pasien dan juga anggotanya. IDI juga telah melakukan standart
mekanisme dalam mendalami sebuah perkara dengan beberapa tahapan, seperti
melakukan pememanggilan dokter bersangkutan, menganalisa, mengklarifikasi, rekam
medik, serta mendatangkan ahli untuk mendalami perkara tersebut.

B. KRONOLOGIS KASUS
1. 28 April 2016 Tatok Poerwanto, 77 tahun menjalani operasi katarak di Surabaya
Eye Clinic, namun bukannya sembuh mata Tatok malah tidak bisa melihat,
sehingga Tatok disarankan menjalani operasi di Rumah Sakit Graha Amerta
Surabaya oleh dr. Moestidjab dengan alasan peralatan di rumah sakit tersebut lebih
lengkap.
2. Pada 10 Mei 2016 Tatok menjalani operasi kedua di Rumah Sakit Graha Amerta
Surabaya, operasi berlangsung hingga 5 jam yang kemudian dr. Moestidjab
menugaskan asistennya untuk menyampaikan hasil operasi kepada pihak keluarga
bahwa operasi tidak dapat dilanjutkan karena ada pendarahan dan peralatan kurang
canggih sehingga dr Moestidjab kemudian merujuk Tatok ke Singapura.
3. Keluarga membawa Totok ke Singapore National Eye Centre. Hasil keterangan dari
Singapore National Eye Centre menjelaskan bahwa kondisi mata Tatok sudah tidak
bisa ditangani lagi karena kesalahan saat operasi pertama.
4. Pada 13 Januari 2017, keluarga Tatok mendatangi dr. Moestidjab dan menunjukkan
hasil rekam medis dari Singapura, dr. Moestidjab mengaku dan bersedia membuat
surat permintaan maaf secara resmi kepada Tatok.
5. Pada 20 Januari 2017 keluarga melaporkan kasus dugaan malpraktek ke Polda Jatim
dengan nomor laporan LPB/75/I/2016/UM/Jatim. Dalam laporan ini, dr Moestidjab
diduga melanggar tindak pidana penipuan dan membuat surat palsu atau
memalsukan surat, memberikan keterangan palsu dalam akta otentik, sebagaimana

4
diatur dalam pasal 378, 263 dan atau pasal 266 KUHP. Selain itu kasus ini juga
telah dilaporkan ke Ikatan Dokter Indonesia.
6. dr. Moestidjab memberikan klarifikasi bahwa ketika menangani pasien atas nama
Tatok Poerwanto untuk melakukan operasi katarak telah mejalankan sesuai SOP
dan tidak menyalahi aturan maupun etika kedokteran, dr. Moestidjab juga
mengatakan bahwa yang terjadi ini bukan sebuah kesalahan prosedur, namun lebih
ke resiko medis. dr. Moestidjab menyebutkan penyakit yang diderita pasien tersebut
dalam stadium lanjut dan mengakui tidak mampu untuk melakukan tindakan
lanjutan, maka melakukan perujukan.
7. Dokter Moestidjab, menggugat kembali Tatok Poerwanto. Gugatan tersebut
diajukan untuk mencabut surat permintaan maaf atas tindakan malpraktik yang
dilakukannya terhadap Tatok
8. Pada hari Kamis tanggal 16 Februari 2017 gugatan dr. Moestidjab disidangkan di
Pengadilan Negeri Surabaya, dalam gugatannya, dokter Moestidjab meminta agar
majelis hakim mencabut surat permintaan maafnya yang ditujukan kepada Tatok.
9. Pada hari Rabu 22 Maret 2017 dalam jumpa persnya Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
Wilayah Jatim melakukan langkah litigasi untuk menyelesaikan kasus dugaan
malpraktik operasi katarak yang terjadi di Surabaya Eye Clinic (SEC) Jemursari
Surabaya.

C. DASAR GUGATAN
Keluarga Tatok Poerwato melaporkan ke Polda Jatim dengan nomor laporan
LPB/75/I/2016/UM/Jatim. Dalam laporan ini, dr Moestidjab diduga melanggar tindak
pidana penipuan dan membuat surat palsu atau memalsukan surat, memberikan
keterangan palsu dalam akta otentik, sebagaimana diatur dalam pasal 378, 263 dan atau
pasal 266 KUHP.
Pasal 378 KUHP tentang penipuan berbunyi Barang siapa dengan maksud
untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan
memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan
rangkaian kebohongan menggerakan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda
kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam
karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun".

5
Berdasarkan rumusan pasal tersebut, unsur-unsur dalam perbuatan penipuan
adalah:
1. Dengan menggunakan salah satu upaya atau cara penipuan (memakai nama palsu,
martabat palsu, tipu muslihat, rangkaian kebohongan). Mengenai unsur upaya/cara
tersebut adalah unsur utama untuk menentukan apakah perbuatan tersebut dapat
dikategorikan sebagai penipuan. Hal ini sebagaimana kaidah dalam Yurisprudensi
Mahkamah Agung No. 1601.K/Pid/1990 tanggal 26 Juli 1990 yang menyebutkan :
Unsur pokok delict penipuan (ex Pasal 378 KUHP) adalah terletak pada cara/upaya
yang telah digunakan oleh si pelaku delict untuk menggerakan orang lain agar
menyerahkan sesuatu barang.
2. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri dengan melawan hukum.
3. Menggerakkan orang untuk menyerahkan barang sesuatu atau supaya memberi
hutang maupun menghapuskan piutang.
Sedangkan dalam Pasal 263 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP)
yang berbunyi:
(1). Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat
menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang
diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai
atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan
tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian,
karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
(2). Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat
palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat
menimbulkan kerugian.
Selanjutnya, di dalam Pasal 264 KUHP ditegaskan bahwa:
(1). Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, jika
dilakukan terhadap:
1. Akta-akta otentik;
2. Surat hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu negara atau bagiannya ataupun
dari suatu lembaga umum;
3. Surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari suatu perkumpulan,
yayasan, perseroan atau maskapai:

6
4. Talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan
dalam 2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat
itu;
5. Surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan.
(2). Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat
tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang dipalsukan seolah-
olah benar dan tidak dipalsu, jika pemalsuan surat itu dapat menimbulkan
kerugian.
R Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 195) mengatakan bahwa yang
diartikan dengan surat dalam bab ini adalah segala surat, baik yang ditulis dengan
tangan, dicetak, maupun ditulis memakai mesin tik, dan lain-lainnya. Surat yang
dipalsukan itu harus surat yang:
1. Dapat menimbulkan sesuatu hak (misalnya: ijazah, karcis tanda masuk, surat andil,
dan lain-lain);
2. Dapat menerbitkan suatu perjanjian (misalnya surat perjanjian piutang, perjanjian
jual beli, perjanjian sewa, dan sebagainya);
3. Dapat menerbitkan suatu pembebasan hutang (kuitansi atau surat semacam itu);
atau
4. Surat yang digunakan sebagai keterangan bagi suatu perbuatan atau peristiwa
(misalnya surat tanda kelahiran, buku tabungan pos, buku kas, buku harian kapal,
surat angkutan, obligasi, dan lain-lain).
Adapun bentuk-bentuk pemalsuan surat itu menurut Soesilo dilakukan dengan
cara:
1. Membuat surat palsu: membuat isinya bukan semestinya (tidak benar).
2. Memalsu surat: mengubah surat sedemikian rupa sehingga isinya menjadi lain dari
isi yang asli. Caranya bermacam-macam, tidak senantiasa surat itu diganti dengan
yang lain, dapat pula dengan cara mengurangkan, menambah atau merubah sesuatu
dari surat itu.
3. Memalsu tanda tangan juga termasuk pengertian memalsu surat.
4. Penempelan foto orang lain dari pemegang yang berhak (misalnya foto dalam ijazah
sekolah).

7
Unsur-unsur pidana dari tindak pidana pemalsuan surat selain yang disebut di
atas adalah: (Ibid, hal. 196)
1. Pada waktu memalsukan surat itu harus dengan maksud akan menggunakan atau
menyuruh orang lain menggunakan surat itu seolah-olah asli dan tidak dipalsukan;
2. Penggunaannya harus dapat mendatangkan kerugian. Kata dapat maksudnya
tidak perlu kerugian itu betul-betul ada, baru kemungkinan saja akan adanya
kerugian itu sudah cukup;
3. Yang dihukum menurut pasal ini tidak saja yang memalsukan, tetapi juga sengaja
menggunakan surat palsu. Sengaja maksudnya bahwa orang yang menggunakan itu
harus mengetahui benar-benar bahwa surat yang ia gunakan itu palsu. Jika ia tidak
tahu akan hal itu, ia tidak dihukum. Sudah dianggap mempergunakan misalnya
menyerahkan surat itu kepada orang lain yang harus mempergunakan lebih lanjut
atau menyerahkan surat itu di tempat dimana surat tersebut harus dibutuhkan.
4. Dalam hal menggunakan surat palsu harus pula dibuktikan bahwa orang itu
bertindak seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, demikian pula perbuatan
itu harus dapat mendatangkan kerugian.
Lebih lanjut, menurut Pasal 264 ayat (1) angka 1 KUHP, bahwa tindak pidana
pemalsuan surat sebagaimana Pasal 263 KUHP lebih berat ancaman hukumannya
apabila surat yang dipalsukan tersebut adalah surat-surat otentik. Surat otentik, menurut
Soesilo adalah surat yang dibuat menurut bentuk dan syarat-syarat yang ditetapkan
undang-undang, oleh pegawai umum seperti notaris.
Sedangkan Pasal 266 KUHP menyebutkan bahwa:
(1). Barang siapa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik
mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan
maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah
keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam, jika pemakaian itu dapat
menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun;
(2). Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat
tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang dipalsukan seolah-
olah benar dan tidak dipalsu, jika pemalsuan surat itu dapat menimbulkan
kerugian.
Dalam penjelasan dari pasal 266 KUHP tersebut adalah bahwa yang menyuruh
memasukkan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik yang menjadi subjek, suatu
akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang

8
oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat akta itu dibuat.
Akta otentik yang dimaksud dalam hal ini hanya terbatas kepada akta yang berfungsi
sebagai bukti bahwa apa yang tertulis didalamnya adalah sesuai dengan kenyataan
dan sesuai dengan yang sebenarnya.
Namun keluarga Tatok Poerwanto tidak menggunakan Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan, Pasal 84 yang menerangkan bahwa Setiap
Tenaga Kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan Penerima
Pelayanan Kesehatan luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun.

D. YANG DIGUGAT
Dalam kasus ini pihak terdapat 2 pihak yang digugat antara lain dr.
Moestidjab,SpM-KVR selaku Direktur Utama PT Surabaya Eye Clinic dan staf medis
di Surabaya Eye Clinic (Klinik Mata Surabaya) dalam hal ini masuk dalam ranah kasus
pidana. Sedangkan pihak kedua adalah Tatok Poerwanto selaku korban dugaan
malpraktek dokter di Surabaya Eye Clinic, dalam hal ini masuk dalam ranah kasus
perdata.

E. DAMPAK KASUS
1. Citra Surabaya Eye Clinic menjadi buruk di mata masyarakat, bahkan pada Rabu

tanggal 1 Maret 2017 kelompok massa yang tergabung dalam Aliansi Surabaya

Pembela Pasien ini menuntut agar IDI Surabaya segera menuntaskan kasus dugaan

malpraktik yang dilakukan oleh dokter Moestidjab, Direktur Utama (Dirut)

sekaligus dokter Surabaya Eye Clinic.

2. Kasus kebutaan pasien tersebut menimbulkan tuntutan hukum pidana yang

dilakukan oleh keluarga pasien kepada dokter.

3. Kasus ini juga menimbulkan tuntutan hukum perdata karena dr. Moestidjab,

menggugat kembali Tatok Poerwanto, gugatan tersebut diajukan untuk mencabut

surat permintaan maaf atas tindakan malpraktik yang dilakukannya terhadap Tatok

9
4. Jika terbukti kebutaan pasien adalah akibat dari kesalahan penanganan dokter di

Surabaya Eye Clinic, maka dokter yang terlibat dalam kasus tersebut akan dikenai

sanksi. Dan jika kebutaan pasien bukan merupakan kesalahan penanganan dokter,

namun lebih ke resiko medis maka surat permohonan maaf dr. Moestidjab dapat

dicabut.

F. KESIMPULAN
1. Dalam melaksanakan tugasnya seorang dokter harus sesuai SOP dan tidak

menyalahi aturan maupun etika kedokteran.

2. Setiap fasilitas kesehatan harus memberikan pelayanan prima dan memperhatikan

keselamatan pasien.

3. IDI selaku organisasi profesi harus dapat melindungi pasien dan juga anggotanya.

4. Dalam kasus ini merupakan kasus kelalaian namun KUHP yang dipakai hanyalah

kasus penipuan terkait pencabutan surat permohonan maaf dr. Moestidjab.

5. Keluarga tidak menggunakan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang

Tenaga Kesehatan, Pasal 84 yang didalamnya jelas menerangkan bahwa Setiap

Tenaga Kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan Penerima

Pelayanan Kesehatan luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)

tahun.

6. Keluarga bisa buat jawaban gugatan perdata dr. Moestidjab dengan menggugat

balik (rekontensi) sebab surat permohonan maaf dibuat secara sukarela setelah

membaca hasil rekam medis dari Rumah Sakit di Singapura yang dalam hal ini

menunjukkan bahwa dokter mengakui ada kelalaian yang mengakibatkan korban

mengalami kerugian baik kerugian moril maupun materiil.

10
DAFTAR PUSTAKA

----, 2017. Diduga Jadi Korban Malpraktik, Pasien Polisikan Dirut Surabaya Eye
Clinic. https://surabayapost.net/2017/01/diduga-jadi-korban-malpraktik-
pasien-polisikan-dirut-surabaya-eye-clinic/ (Sitasi 15 Mei 2017)
----, 2017. Kasus malpraktek, Dirut Surabaya eye clinic gugat surat permohonan
maafnya sendiri. http://www.lensaindonesia.com/2017/02/17/kasus-
malpraktek-dirut-surabaya-eye-clinic-gugat-surat-permohonan-maafnya-
sendiri.html (Sitasi 15 Mei 2017)
----, 2017. Buta Permanen Setelah Operasi Katarak, Pria di Surabaya ini
Laporkan Dokter ke Polisi.
http://surabaya.tribunnews.com/2017/01/20/buta-permanen-setelah-
operasi-katarak-pria-di-surabaya-ini-laporkan-dokter-ke-polisi (Sitasi 15
Mei 2017)
-----, 2017. IDI Litigasi Dugaan Malpraktik Operasi Katarak di Eye Clinic
Jemursari.http://beritajatim.com/pendidikan_kesehatan/293165/idi_litigas
i_dugaan_malpraktik_operasi_katarak_di_eye_clinic_jemursari.html
(Sitasi 15 Mei 2017)
-----, 2017. Warga Demo Dokter Moestidjab di IDI Surabaya.
http://beritajatim.com/pendidikan_kesehatan/291362/warga_demo_dokter
_moestidjab_di_idi_surabaya.html (Sitasi 15 Mei 2017)
-----, 2017. Buta Permanen Usai Operasi Katarak.
http://www.surabayapagi.com/read/149220/2017/01/26/Buta_Permanen_
Usai_Operasi_Katarak.html (Sitasi 15 Mei 2017)
Indonesia. 1981. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), LN
No.76 Tahun 1981, TLN No. 3209
Soesilo, R. 1994. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Serta Komentarnya Pasal
Demi Pasal. Bogor: Politeia;

11

Anda mungkin juga menyukai