Anda di halaman 1dari 13

BAB II

MULTIPLE SCLEROSIS

2.1. DEFINISI
Multiple sklerosis adalah suatu peradangan yang terjadi di otak dan sumsum tulang
belakang yang menyerang daerah substansia alba dan merupakan penyebab utama kecacatan
pada dewasa muda. Penyebabnya dapat disebabkan oleh banyak faktor, terutama proses
autoimun. Focal lymphocytic infiltration atau sel T bermigrasi keluar dari lymph node ke
dalam sirkulasi menembus sawar darah otak (blood brain barrier) secara terus-menerus
menuju lokasi dan melakukan penyerangan pada antigen myelin pada sistem saraf pusat
seperti yang umum terjadi pada setiap infeksi. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya
inflamasi, kerusakan pada myelin (demyelinisasi), neuroaxonal injury, astrogliosis, dan
proses degenerative. Akibat demyelinasi neuron menjadi kurang efisien dalam potensial aksi.
Transmisi impuls yang disampaikan oleh neuron yang terdemyelinisasi akan menjadi buruk.
Akibat 'kebocoran' impuls tersebut, terjadi kelemahan dan kesulitan dalam mengendalikan
otot atau kegiatan sensorik tertentu di berbagai bagian tubuh.

Bila otak penderita MS dipotong, akan terlihat bercak-bercak induratif yang multipel
di substansia alba yang membuatnya dinamai multipel sklerosis. Lesi tersebut umumnya
berlokasi di periventrikel, korpus kalosum, nervus optikus, dan medula spinalis. Selain itu
dapat ditemukan di batang otak dan serebelum. Secara mikroskopis, lesi tersebut
menunjukkan destruksi myelin parsial/total. Juga ditemukan infiltrasi perivaskuler dari
monosit, limfosit serta makrofag, sedangkan astrosit dan oligodendrosit pada fase lanjut.
Pada lesi yang relatif aseluler umumnya aksonnya masih utuh dan terjadi remyelinisasi,
sedangkan pada lesi yang infiltratif terjadi degenerasi aksonal.

Gambar 2.1 Perbedaan Neuron yang Sehat dan yang Mengalami Demyelinisasi

2.2. ETIOLOGI
Etiologi dari kelainan tersebut masih belum jelas. Ada beberapa mekanisme penting yang
menjadi penyebab timbulnya bercak MS yaitu autoimun, infeksi, dan herediter. Meskipun
bukti yang meyakinkan kurang, faktor makanan dan paparan toksin telah dilaporkan ikut
berkontribusi juga. Mekanisme ini tidak saling berdiri sendiri melainkan merupakan
gabungan dari berbagai faktor.
a. Virus : infeksi retrovirus akanmenyebabkan kerusakan oligodendroglia
b. Bakteri : reaksi silang sebagai respon perangsangan heat shock protein sehingga
menyebabkan pelepasan sitokin
c. Defek pada oligodendroglia
d. Genetika : penurunan kontrol respon immun

e. Lain-lain : toksin, endokrin, stress

2.3. PATOFISIOLOGI
Mekanisme autoimun diduga terjadi melalui penurunan aktifitas limfosit T-supresor pada
sirkulasi pasien penderita MS serta adanya molecular mimicry antara antigen dan MBP
(myelin basic protein) yang mengaktifkan klon sel T yang spesifik terhadap MBP (MBP
specific T-cell clone). Limfosit T4 menjadi autoreaktif pada paparan antigen asing yang
strukturalnya mirip dengan MBP. Tidak hanya beberapa virus dan peptida bakteri saja yang
memiliki kesamaan struktural dengan MBP, tetapi beberapa dari mikroorganisme tersebut
dapat mengaktifkan MBP-spesifik T-sel klon pada pasien MS.

Beberapa infeksi virus diketahui menyebabkan demyelinasi pada manusia diantaranya


progressive multifocal leukoencephalopathy yang disebabkan oleh papilloma virus JC,
subakut sclerosing panencephalitis oleh virus campak. Pada MS studi serologis awal sulit
ditafsirkan. Namun, banyak pasien MS terdapat elevasi titer CSF terhadap virus campak dan
herpes simpleks (HSV), tetapi ini juga tidak spesifik.

2.4. KLASIFIKASI MULTIPLE SCLEROSIS


Berdasarkan perbedaan klinis dan gejala, terdapat beberapa tipe MS:
1. Relapsing-remitting MS. Banyak kasus umumnya berawal dari bentuk MS yang
gejalanya bersifat hilang timbul terutama pada dewasa muda. Merupakan perjalanan
klinis yang klasik dari multipel sklerosis dimana terdapat fase relaps dan remisi. Gejala
hanya memburuk ketika adanya serangan meskipun dapat berkembang menjadi
secondary progressive multiple sclerosis.
2. Chronic progressive MS. Gejala secara bertahap memburuk setelah episode serangan
pertama dan terus terjadi peningkatan kecacatan tanpa diselingi fase remisi sama sekali.
Sering melibatkan penurunan gerakan motorik tubuh, atau kinerja sensorik (terutama
penglihatan).
3. Benign MS. Gejala yang relatif kecil, perkembangan sangat lambat sehingga hampir tak
terlihat secara klinis, atau ada sedikit serangan selama masa waktu yang panjang
biasanya 15 tahun setelah diagnosis. Ada bukti yang menyebutkan bahwa perjalanan
MS mungkin awalnya jinak. Namun, bukti dari penelitian jangka panjang menyebutkan
kasus benign MS akhirnya mengakibatkan gejala dan kecacatan yang signifikan,
meskipun ini mungkin tidak terjadi selama 20 atau 30 tahun setelah diagnosis.
4. Secondary progressive MS. Relapsing-remitting MS dapat berubah menjadi bentuk
secondary progressive MS dimana mulai terjadi penurunan yang relatif stabil namun
frekuensi remisi cukup jarang.

2.5. MANIFESTASI KLINIS


Gambaran klinis yang muncul sesuai dengan daerah lesi yang terkena. Terdapat beberapa
gejala dan tanda yang timbul pada MS:
Disfungsi usus dan saluran kencing
Menurunnya persepsi nyeri, getaran, dan posisi
Kelelahan dan gangguan mobilitas
Depresi dan gangguan kognitif atau memori
Masalah penglihatan dan pendengaran
Tremor, hiperefleksia, spastisitas, dan tanda babinsky yang positif
Nistagmus, gangguan koordinasi dan keseimbangan

Gejala neurologis yang sering timbul pertama kali pada multipel sklerosis adalah
neuritis optika pada 14-23 % pasien dan lebih dari 50% pasien pernah mengalaminya. Gejala
yang dialami adalah penglihatan kabur, pada orang kulit putih biasanya mengenai satu mata,
sedangkan pada orang asia lebih sering pada kedua mata. Pada pemeriksaan fisik ditemukan
refleks pupil yang menurun, penurunan visus, gangguan persepsi warna dan skotoma sentral.
Funduskopi pada fase akut menunjukkan papil yang hiperemis tetapi dapat normal pada
neuritis optika posterior/retrobulbar. Sedangkan pada fase kronis dapat terlihat atrofi papil.
Selain itu pada neuritis optika umumnya pasien mengeluh nyeri pada orbita yang dapat
timbul spontan terus-menerus atau pada pergerakan bola mata. Selain itu terdapat suatu
fenomena yang unik yang disebut fenomena Uhthofff dimana gejala penurunan visus
(bersifat temporal) dieksaserbasi oleh suhu panas atau latihan fisik. Diplopia juga dapat
muncul pada MS meskipun lebih jarang dibandingkan neuritis optika.
Gangguan sensorik merupakan manifestasi klinis awal yang juga sering dialami oleh
21-55% pasien MS. Umumnya gejala yang timbul berupa rasa baal (hipestesi), kesemutan
(parestesi), rasa terbakar (disestesi) maupun hiperestesi. Kelainan tersebut dapat timbul pada
satu ekstremitas atau lebih, dan pada tubuh atau wajah. Selain itu proprioseptif, rasa vibrasi,
dan diskriminasi dua titik juga dapat terganggu sehingga menimbulkan kesulitan menulis,
mengetik atau mengancing baju. Gejala proprioseptif ini umumnya timbul bilateral dan bila
terdapat lesi di daerah lemniskus gangguan proprioseptif tersebut hanya mengenai lengan
yang dinamakan useless hand syndrome. Gejala tersebut umumnya mengalami remisi dalam
beberapa bulan. Tanda yang sering terjadi pada penderita MS meskipun tidak karakteristik
adalah tanda Lhermitte; bila kepala difleksikan secara pasif, timbul parestesi sepanjang bahu,
punggung dan lengan. Hal ini mungkin disebabkan akson yang mengalami demyelinisasi
sensitivitasnya meningkat terhadap tekanan ke spinal yang diakibatkan fleksi kepala.

Gangguan serebelum juga sering terjadi pada MS meskipun jarang menjadi gejala
utama. Manifestasi klinisnya ataksia serebelaris, baik yang mengenai gerakan motorik halus
(dismetria, disdiadokokinesia, intention tremor), gait, maupun artikulasi (scanning speech,
disartria). Selain itu dapat timbul pula nistagmus, terutama yang horizontal bidireksional dan
vertikal.

Hemiparesis yang diakibatkan lesi kortikospinal dapat terjadi pada MS meski


frekuensinya lebih kecil. Demikian juga lesi di medula spinalis dapat menyebabkan sindroma
Brown-Sequard atau mielitis transversa yang mengakibatkan paraplegi (umumnya tidak
simetris), level sensorik dan gangguan miksi-defekasi. Refleks patologis dan/atau
hiperrefleksia bilateral dengan atau tanpa kelemahan motorik merupakan manifestasi yang
lebih sering dan merupakan tanda lesi kortikospinal bilateral. Yang karakteristik, meskipun
kelemahan hanya pada satu sisi, refleks patologis selalu bilateral. Spastisitas dapat
menyebabkan gejala kram otot pada pasien MS. Kelelahan/fatigue merupakan gejala non
spesifik pada MS dan terjadi pada hampir 90% pasien MS. Kelelahan dapat merupakan
kelelahan fisik pada waktu exercise berlebihan ataupun pada temperatur panas maupun
kelelahan/kelambatan mental.

Gangguan memori dapat terjadi pada pasien MS. Menurut penelitian Thornton dkk
memori jangka pendek, working memori dan memori jangka panjang umumnya terganggu
(13)
pada pasien MS . Selain itu juga didapatkan gangguan atensi. Gangguan emosi berupa
iritabilitas dan afek pseudobulbar berupa forced laughing atau forced crying umum terjadi
pada pasien MS disebabkan lesi hemisfer bilateral.
Gejala lainnya yang lebih jarang meliputi neuralgia trigeminal (bilateral), gangguan lain
pada batang otak berupa paresis n. facialis perifer (bilateral), gangguan pendengaran, tinitus,
vrtigo, dan sangat jarang penurunan kesadaran (stupor dan koma).

2.6. DIAGNOSIS MULTIPLE SCLEROSIS


Kriteria diagnostik yang umum dipakai adalah kriteria McDonald yang merupakan kriteria
MS dengan konsep asli tahun 2001 dan revisi terakhir tahun 2010. Kriteria McDonald
menekankan adanya pemisahan menurut waktu/disseminated in time (dua serangan atau
lebih) dan pemisahan oleh ruang/disseminated in space (dua atau lebih diagnosa topis yang
berbeda). Seseorang dinyatakan definite menderita MS bila terjadi pemisahan waktu dan
ruang yang dibuktikan secara klinis atau bila bukti secara klinis tidak lengkap tetapi didukung
oleh pemeriksaan penunjang (MRI, LCS atau VEP).

Tabel 2.1. Kriteria McDonald14

Attacks Clinical Requirements for diagnosis MS


lesion
2 or more 2 or None
more
2 or more 1 lesion Dissemination in space (DIS), demonstrated by: MRI
(CSF (+) or further clinical attack)
New criteria: DIS demonstrated by the presence of 1 or more 2
lesions in at least 2 of 4 of area CNS: Periventricular,
Juxtacortical, Infratentorial, or Spinal Cord.
1 attack 2 lesion Dissemination in time (DIT), demonstrated by: MRI or second
clinical attack
New criteria: No longer a need to have separate MRIs run; DIT
demonstrated by: Simultaneous presence of asymptomatic
gadolinium-enhancing
and nonenhancing lesions at any time; or A new T2 and/or
gadolinium-enhancing lesion(s) on follow-up MRI, irrespective
of its timing with reference to a baseline scan; or Await a second
clinical attack. [This allows for quicker diagnosis without
sacrificing specificity, while improving sensitivity.]
1 attack 1 lesion New criteria: DIS and DIT, demonstrated by:
For DIS: 1 or more T2 lesion in at least 2 of 4 MS-typical
regions of the CNS (periventricular, juxtacortical, infratentorial,
or spinal cord); or Await a second clinical attack implicating a
different CNS site; and For DIT: Simultaneous presence of
asymptomatic gadolinium-enhancing and nonenhancing lesions
at any time; or A new T2 and/or gadolinium-enhancing lesion(s)
on follow-up MRI, irrespective of its timing with reference to a
baseline scan; or Await a second clinical attack.
0 attack New criteria: One year of disease progression (retrospectively or
Insidious neurological prospectively determined) and two or three of the following:
progression 1. Evidence for DIS in the brain based on 1 or more T2 lesions
suggestive of MS in the MS-characteristic (periventricular, juxtacortical, or
infratentorial) regions
2. Evidence for DIS in the spinal cord based on 2 or more T2
lesions in the cord
3. Positive CSF (isoelectric focusing evidence of oligoclonal
bands and/or elevated IgG index)

Pemisahan secara waktu maksudnya adalah terjadinya dua serangan atau lebih dimana
jarak antara dua serangan minimal 30 hari dan satu episode serangan minimal berlangsung 24
jam. Sedangkan pemisahan oleh ruang adalah terdapatnya dua atau lebih gejala neurologis
obyektif yang mencerminkan dua lesi yang diagnosis topisnya berbeda.

Kriteria definite (disseminated in space) MRI harus meliputi 3 dari 4 kriteria:


1. Adanya 1 lesi yang besar atau minimal 9 lesi yang kecil
2. Minimal 1 lesi infratentorial
3. Minimal 1 lesi juxtakortikal

4. Minimal 3 lesi periventrikel.


Selain itu pada MRI dapat terlihat gambaran atrofi korteks yang didahului oleh
pembesaran ventrikel.
Gambar 2.2. MRI Otak Wanita 25 Tahun dengan Relapsing-Remitting MS

Pemeriksaan oligoclonal band dari cairan serebrospinalis/LCS sangat membantu


diagnosis MS. Sensitifitas pemeriksaan ini dikatakan dapat mencapai 95% dan bila terdapat
peningkatan oligoclonal band pada LCS maka hanya dibutuhkan 2 lesi pada MRI untuk
memenuhi kriteria disseminated in space.

Pemeriksaan VEP (visual evoked potential) merupakan pemeriksaan penunjang yang


cukup sensitif (dibandingkan pemeriksaan evoked potential lain) untuk MS dimana terjadi
pemanjangan latensi VEP yang disebabkan adanya demyelinisasi pada nervus optikus. VEP
secara dini dapat mendeteksi kelainan meskipun pada pasien MS yang secara klinis belum
terdapat gejala klinis neuritis optika.

2.7. PENATALAKSANAAN MULTIPLE SCLEROSIS


Managemen dan tatalaksana multiple sklerosis mengikuti Clinical Guideline 8 Multiple
Sclerosis National Institute for Clinical Excellence tahun 2003. Pola klasifikasi menggunakan
tingkatan rekomendasi (A, B, C, D, DS, HSC).
Tabel 2.2. Tingkatan rekomendasi
Grade Keterangan
A Kategori I
B Kategori II atau dengan penambahan kategori I
C Kategori III atau dengan penambahan kategori I atau II
D Kategori IV atau dengan penambahan kategori I, II atau III
DS Berdasarkan bukti diagnostic
HSC Berdasarkan pelayanan kesehatan 2002/2004
Kondisi Grade
Setiap yang mengalami episode akut (termasuk neuritis optik) menyebabkan
distres atau keterbatasan fisik harus diberikan kortikosteroid dosis tinggi. Hal
ini sebaiknya dilakukan sesegera mungkin setelah muncul relaps :
intravena metilprednisolon, 500 mg - 1 g sehari, selama 3 - 5 hari A

atau
dosis tinggi metilprednisolon oral 500 mg - 2 g sehari, selama 3 - 5
hari.
Pasien harus diberi penjelasan tentang risiko dan keuntungan penggunaan
D
kortikosteroid.
Frekuensi penggunaan kortikosteroid lebih dari 3 minggu dan lebih dari 3 kali
D
setahun harus dihindari
Penggunaan obat lain pada terapi akut saat relaps sebaiknya tidak digunakan
D
kecuali ada protokol lain
Penderita MS harus disarankan mengkonsumsi asam linoleat 17-23 g/hari agar
mengurangi perkembangan kecacatan. Sumber makanan kaya akan asam A
linoleat termasuk bunga matahari, jagung, kedelai dan minyak safflower.
Tatalaksana berikut tidak boleh dilakukan kecuali dalam
keadaan khusus:
setelah diskusi lengkap dan melalui pertimbangan semua risiko
dengan evaluasi, sebaiknya dengan studi prospektif lain D
dilakuakan oleh eorang pakar dalam penggunaan obat-obat dibawah ini
dengan pemantauan ketat untuk efek samping.
pengobatan:
azathioprine
mitoxantrone
intravena imunoglobulin
plasma exchange
intermiten (4-bulan) pendek (1-9 hari) program
A
metilprednisolon dosis tinggi.

Tatalaksana berikut tidak boleh digunakan karena bukti penelitian tidak


menunjukkan efek menguntungkan pada:
siklofosfamid
anti-virus (misalnya, asiklovir, tuberkulin)
cladribine A
pengobatan jangka panjang dengan kortikosteroid
hiperbarik oksigen
linomide
iradiasi seluruh tubuh
basic protein myelin (tipe apapun).
Terapi simptomatik
Selain primary care, terapi simptomatik juga harus dipertimbangkan diantaranya adalah :
1. Spasticity, spastisitas ringan dapat dikurangi dengan peregangan dan program exercise
seperti yoga, terapi fisik, atau terapi lainnya. Medikasi diberikan ketika ada kekakuan,
spasme, atau klonus saat beraktivitas atau kondisi tidur. Baclofen, tizanidine, gabapentin,
dan benzodiazepine efektif sebagai agen antispastik.
2. Paroxysmal disorder. Pada berbagai kasus, penggunaan carbamazepin memberikan
respon yang baik pada spasme distonik. Nyeri paroxysmal dapat diberikan antikonvulsan
atau amitriptilin.
3. Bladder dysfunction. Urinalisis dan kultur harus dipertimbangkan dan pemberian terapi
infeksi jika dibutuhkan. Langkah pertama yang dilakukan ada mendeteksi problem
apakah kegagalan dalam mengosongkan bladder atau menyimpan urin. Obat
antikolinergik Oxybutinin dan Tolterodine efektif untuk kegagalan dalam menyimpan
urin diluar adanya infeksi.
4. Bowel symptom. Konstipasi merupakan masalah umum pada pasien MS dan harus
diterapi sesegera mungkin untuk menghindari komplikasi. Inkontinensia fekal cukup
jarang. Namun bila ada, penambahan serat dapat memperkeras tinja sehingga dapat
membantu spingter yang inkompeten dalam menahan pergerakan usus. Penggunaan
antikolinergik atau antidiare cukup efektif pada inkontinensia dan diare yang terjadi
bersamaan.
5. Sexual symptom. Masalah seksual yang muncul antara lain penurunan libido, gangguan
disfungsi ereksi, penurunan lubrikan, peningkatan spastisitas, rasa sensasi panas dapat
terjadi. Pada beberapa pasien MS, gangguan disfungsi ereksi dapat diatasi dengan
sildenafil.
6. Neurobehavior manifestation. Depresi terjadi lebih dari separuh dari pasien dengan MS.
Pasien dengan depresi ringan dan transien dapat dilakukan terapi suportif. Pasien dengan
depresi berat sebaiknya diberikan Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs) yang
memiliki efek sedative yang lebih kecil disbanding antidepresan lain. Amitriptilin dapat
digunakan bagi pasien yang memiliki kesulitan tidur atau memiliki sakit kepala.
7. Fatigue. Kelelahan dapat diatasi dengan istirahat cukup atau penggunaan medikasi.
Amantadine 100 mg dua kali perhari cukup efektif. Modafinil, obat narcolepsy yang
bekerja sebagai stimulant SSP telah ditemukan memiliki efek yang bagus pada pasien
MS. Obat diberikan dengan dosis 200 mg satu kali sehari pada pagi hari. SSRIs juga
dapat menghilangkan kelelahan pada pasien MS. Amantadine memiliki efek anti
influenza A dan baik diberikan pada Oktober hingga Maret.
Terapi relaps
1. Adrenal Kortikosteroid. Kortikosteroid merupakan terapi andalan dalam mengurangi
gejala-gejala MS relaps akut. Agen ini bekerja melalui efek imunomodulator dan
antiinflamasi, pemulihan blood brain barier, dan pengurangi edema. kortikosteroid juga
dapat meningkatkan konduksi aksonal. Terapi kortikosteroid memperpendek durasi
relaps akut dan mempercepat pemulihan. Namun, kortikosteroid belum bisa
meningkatkan pemulihan secara keseluruhan MS.
Jika seorang pasien menjadi cacat setalah mendapat serangan akut, dokter harus
mempertimbangkan pengobatan dengan intravena metilprednisolon selama tiga hingga
lima hari (atau kortikosteroid yang setara) dalam dosis 1 g diberikan secara intravena
dalam 100 mL normal salin selama 60 menit sekali sehari di pagi hari.
2. Perawatan lainnya. Pada pasien dengan MS, fisoterapi harus selalu dilakukan untuk
meningkatkan fungsi dan kualitas hidup dari ketergantungan obat therapy. Perawatan
pendukung berupa konseling, terapi okupasi, saran dari sosial, masukan dari perawat,
dan partisipasi dalam patient support group merupakan bagian dari perawatan kesehatan
dengan pendekatan tim dalam pengelolaan MS.
Pasien dengan MS sering tergoda untuk mencoba terapi alternatif seperti diet khusus,
vitamin, sengatan lebah, atau akupunktur. Meskipun bukti definitif efektivitas perawatan
ini kurang.

Disease-Modifying Therapies
Terapi yang diberikan hanya meminimalkan timbulnya serangan, mengurangi efek serangan,
dan memperpanjang masa remisi. Disease-modifying therapies untuk pengelolaan awal MS
saat ini yang tersedia di Amerika Serikat: intramuskular interferon beta-1a (Avonex),
subkutan interferon beta-1a (Rebif), interferon beta-1b (Betaseron), dan glatiramer asetat
(Copaxone). Agen kelima, mitoxantrone (Novantrone), telah disetujui oleh Food and Drug
Administration (FDA) untuk pengobatan relapsingremitting MS dan sekunder progresif MS
yang memburuk.

1. Interferon beta. Interferon beta merupakan sitokin alami yang berfungsi sebagai
imunomodulasi dan memiliki aktivitas antivirus. Tiga interferon beta disetujui FDA yang
digunakan untuk MS telah terbukti mengurangi kekambuhan sekitar sepertiga dan
direkomendasikan sebagai terapi lini pertama atau untuk pasien yang intoleran dengan
glatiramer pada relapsing-remitting MS. Pada studi randomized double blind placebo
control trial, penggunaan interferon beta dapat mengurangi 50 sampai 80 persen lesi
inflamasi yang divisualisasikan pada MRI otak. Ada juga bukti bahwa obat ini
meningkatkan kualitas hidup dan fungsi kognitif.
Influenza-like symptom seperti demam, menggigil, malaise, nyeri otot, dan kelelahan,
terjadi pada sekitar 60 persen pasien yang diobati dengan interferon beta-1a atau
interferon beta-1b. Gejala ini biasanya menghilang dengan terapi lanjutan dan
premedikasi dengan obat anti-inflamasi non-steroid. Untuk mengurangi gejala dapat
dilakukan dengan pengaturan dosis titrasi pada waktu inisial terapi interferon beta.
Efek samping lain dari interferon beta termasuk reaksi alergi pada tempat injeksi,
depresi, anemia ringan, trombositopenia, dan meningkatnya kadar transaminase. Efek
samping ini biasanya tidak berat dan jarang menyebabkan penghentian pengobatan.
2. Glatiramer. Obat ini merupakan campuran polipeptida yang pada awalnya dirancang
untuk meyerupai dan bersaing dengan protein dasar myelin. Glatiramer dalam dosis 20
mg subkutan sekali sehari telah terbukti mengurangi frekuensi kambuh MS sekitar
sepertiga. Obat ini juga direkomendasikan sebagai pengobatan lini pertama pada pasien
dengan Relapsing-Remitting MS dan bagi pasien yang tidak dapat mentolerir interferon
beta. Hasil terapi glatiramer mampu mengurangi sepertiga proses inflamasi yang terlihat
pada MRI.
Glatiramer umumnya dapat ditoleransi dengan baik dan tidak menimbulkan influenza-
like symptoms. Reaksi post injeksi termasuk peradangan lokal dan reaksi yang tidak
umum seperti flushing, sesak dada dengan jantung berdebar, gelisah, atau dispnea dapat
sembuh spontan tanpa gejala sisa. Pemantauan rutin laboratorium tidak diperlukan pada
pasien yang diobati dengan glatiramer, dan kempuan antibodi dalam mengikat antigen
juga tidak terganggu.
3. Mitoxantrone. Sebuah studi klinis menemukan bahwa mitoxantrone, sebuah agen
antineoplastik anthracenedione, dapat mengurangi jumlah relaps MS sebesar 67 persen
dan memperlambat perkembangan. Mitoxantrone dianjurkan untuk digunakan pada
pasien dengan bentuk Progressive MS.
Efek samping akut mitoxantrone termasuk mual dan alopecia. Karena juga adanya
cardiotoxicity kumulatif, obat dapat digunakan hanya untuk dua sampai tiga tahun (atau
untuk dosis kumulatif 120-140 mg per m2). Mitoxantrone adalah agen kemoterapi yang
harus diresepkan dan dikelola oleh para perawat kesehatan profesional yang
berpengalaman.

2.8. KOMPLIKASI
1. Depresi
2. Kesulitan dalam menelan
3. Kesulitan berppikir dan berkonsentrasi
4. Hilang dan menurunnya kemampuan merawat diri sendiri
5. Membutuhkan kateter
6. Osteoporosis
7. Infeksi saluran kemih

2.9. PROGNOSIS
Jika tidak diobati, lebih dari 30% pasien dengan MS akan memiliki cacat fisik yang
signifikan dalam waktu 20-25 tahun setelah onset. Kurang dari 5-10% dari pasien memiliki
fenotipe MS klinis ringan, di mana tidak ada cacat fisik yang signifikan terakumulasi
meskipun berlalu beberapa dekade setelah onset (kadang-kadang terlepas dari lesi baru
yang terlihat pada MRI). Pemeriksaan rinci dalam banyak kasus, mengungkapkan
beberapa tingkat kerusakan kognitif.
Pasien laki-laki dengan MS progresif primer memiliki prognosis terburuk, dengan
respon yang kurang menguntungkan untuk pengobatan dan cepat menimbulkan kecacatan.
Insiden yang lebih tinggi dari lesi sumsum tulang belakang di MS progresif primer juga
merupakan faktor dalam perkembangan pesat dari kecacatan.
Harapan hidup dipersingkat hanya sedikit pada orang dengan MS, dan tingkat
kelangsungan hidup terkait dengan kecacatan. Kematian biasanya terjadi akibat komplikasi
sekunder (50-66%), seperti penyebab paru atau ginjal, tetapi juga dapat disebabkan oleh
komplikasi utama, bunuh diri, dan menyebabkan tidak berhubungan dengan MS. Marburg
varian dari MS adalah bentuk akut dan klinis fulminan penyakit yang dapat menyebabkan
koma atau kematian dalam beberapa hari.
DAFTAR PUSTAKA
1. Fisher, Naomi D. L., Williams, Gordon H. Hypertensive Vascular Disease.
Harrison's Principles of Internal Medicine. 16th Edition. McGraw Hill. USA. 2005.
2. Munger.K, Levin L, Holis B, Howard M, Ascherio A. Serum 25-Hidroksivitamin D
Levels and Risk of Multiple Sclerosis. Report: JAMA 2006:296:2832-2838
3. Simon R. Motor Deficit. Clinical Neurology.7 th. McGraw Hill. USA. 2009.
th
4. Malan LK, Stump SE. Krauses. Food, Nutrition, and Diet Theraphy. 11 Edition.
Saunders. USA. 2004:1109-1111
5. Kira. J, Tobimatsu S, Gotto I. Vitamin B 12 Metabolisme and Massive Dose Methyl
Vitamin B12 Therapy in Japanese Patients ith Multiple Sclerosis. Report :Internal
Medicine 1994:33:82-86
6. About MS. 2012. Bayer HealthCare Pharmaceuticals. Available from:
http://www.multiplesclerosis.com/global/about_ms.php was accessed on October 19th,
2012
7. Multiple sclerosis. 2012. Medscape References. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1146199-overview was accessed on October
19th, 2012
8. McDonald Criteria. 2011. Wikipedia. Available from:
http://en.wikipedia.org/wiki/McDonald_criteria was accessed on October 19th, 2012
9. Multiple Sclerosis. Pubmed Health Medicine. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0001747/ was accessed on October
19th, 2012

Anda mungkin juga menyukai