Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

GENERAL ANESTESI

Di Susun Oleh :

RIKA ELITA MARTIANA S

DIMAS HERVIAN PUTRA

M. AGUNG WICAKSONO

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI

RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA PONDOK KOPI

PERIODE 13 JUNI- 16 JULI 2016

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 DEFINISI
Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri sentral disertai hilangnya kesadaran yang
bersifat reversibel. Dengan anestesi umum akan diperoleh trias anestesia, yaitu:2

Hipnotik (tidur)
Analgesia (bebas dari nyeri)
Relaksasi otot (mengurangi ketegangan tonus otot)
Hanya eter yang memiliki trias anestesia. Karena anestesi modern saat ini menggunakan obat-
obat selain eter, maka anestesi diperoleh dengan menggabungkan berbagai macam obat.

1.2 METODE ANESTESI UMUM2


I. Parenteral
Anestesia umum yang diberikan secara parenteral baik intravena maupun intramuskular
biasanya digunakan untuk tindakan yang singkat atau untuk induksi anestesia.

II. Perektal
Metode ini sering digunakan pada anak, terutama untuk induksi anestesia maupun tindakan
singkat.

III. Perinhalasi
Yaitu menggunakan gas atau cairan anestetika yang mudah menguap (volatile agent) dan
diberikan dengan O2. Konsentrasi zat anestetika tersebut tergantunug dari tekanan
parsialnya; zat anestetika disebut kuat apabila dengan tekanan parsial yang rendah sudah
mampu memberikan anestesia yang adekuat.

1.3 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ANESTESI UMUM2


A. Faktor Respirasi
Hal-hal yang mempengaruhi tekanan parsial zat anestetika dalam alveolus adalah:

1. Konsentrasi zat anestetika yang diinhalasi; semakin tinggi konsentrasi, semakin cepat
kenaikan tekanan parsial
2. Ventilasi alveolus; semakin tinggi ventilasi, semakin cepat kenaikan tekanan parsial

2
B. Faktor Sirkulasi
Saat induksi, konsentrasi zat anestetika dalam darah arterial lebih besar daripada darah
vena. Faktor yang mempengaruhinya adalah:

Perubahan tekanan parsial zat anestetika yang jenuh dalam alveolus dan darah vena. Dalam
sirkulasi, sebagian zat anestetika diserap jaringan dan sebagian kembali melalui vena.
Koefisien partisi darah/gas yaitu rasio konsentrasi zat anestetika dalam darah terhadap
konsentrasi dalam gas setelah keduanya dalam keadaan seimbang.
Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung.
C. Faktor Jaringan
Perbedaan tekanan parsial obat anestetika antara darah arteri dan jaringan
Koefisien partisi jaringan/darah
Aliran darah dalam masing-masing 4 kelompok jaringan (jaringan kaya pembuluh
darah/JKPD, kelompok intermediate, lemak, dan jaringan sedikit pembuluh darah/JSPD)
D. Faktor Zat Anestetika
Potensi dari berbagai macam obat anestetika ditentukan oleh MAC (Minimal Alveolus
Concentration), yaitu konsentrasi terendah zat anestetika dalam udara alveolus yang mampu
mencegah terjadinya tanggapan (respon) terhadap rangsang rasa sakit. Semakin rendah nilai
MAC, semakin poten zat anestetika tersebut.

E. Faktor Lain
Ventilasi, semakin besar ventilasi, semakin cepat pendalaman anestesi
Curah jantung, semakin tinggi curah jantung, semakin lambat induksi dan pendalaman
anestesia
Suhu, semakin turun suhu, semakin larut zat anestesia sehingga pendalaman anestesia
semakin cepat.

3
BAB II
PEMBAHASAN

Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an- yang berarti tidak, tanpa dan
aesthetos yang berarti persepsi, kemampuan untuk merasa). Kata anestesi pertama kali
diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes pada tahun 1846, yang menggambarkan keadaan
tidak sadar yang bersifat sementara, karena pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan
nyeri pembedahan. Anestesi memungkinkan pasien untuk mentoleransi prosedur bedah yang
akan menimbulkan sakit yang tak tertahankan, mempotensiasi eksaserbasi fisiologis yang
ekstrim, dan menghasilkan kenangan yang tidak menyenangkan.
Anestesi terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu anestesi umum dan anestesi local.
Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya
kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible). Anestesi umum adalah tindakan yang
menimbulkan keadaan tidak sadar selama prosedur medis dilakukan, sehingga pasien tidak
merasakan atau mengingat sesuatu yang terjadi.
Komponen anestesi yang ideal terdiri dari sedasi, analgesia, dan muscle relaxant.
Dalam anestesi umum, pasien akan mengalami keadaan tidak sadar dan hilangnya refleks
pelindung yang dihasilkan dari satu atau lebih agen anestesi umum.
Anestesi umum menggunakan agen intravena, inhalasi, intramuskular dan per rektal. Satu hal
yang perlu dicatat adalah bahwa anestesi umum mungkin tidak selalu menjadi pilihan terbaik,
tergantung pada presentasi klinis pasien, lokal atau anestesi regional mungkin lebih tepat.
Penyedia anestesi bertanggung jawab untuk menilai semua faktor yang mempengaruhi kondisi
medis pasien dan memilih teknik anestesi yang optimal sesuai.

Keuntungan anestesi umum :


- Mengurangi kesadaran pasien intraoperatif
- Memungkinkan relaksasi otot yang tepat untuk jangka waktu yang lama
- Memfasilitasi kontrol penuh terhadap jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi
- Dapat digunakan dalam kasus sensitivitas terhadap agen anestesi local
- Dapat disesuaikan dengan mudah untuk prosedur durasi tak terduga
- Dapat diberikan dengan cepat
- Dapat diberikan pada pasien dalam posisi terlentang

4
Kekurangan anestesi umum :
- Memerlukan beberapa derajat persiapan pra operasi pasien
- Terkait dengan komplikasi yang kurang serius seperti mual atau muntah, sakit
tenggorokan, sakit kepala, menggigil, dan memerlukan masa untuk fungsi mental yang
normal
- Terkait dengan hipertermia di mana paparan beberapa (tetapi tidak semua) agen anestesi
umum menyebabkan kenaikan suhu akut dan berpotensi mematikan, hiperkarbia, asidosis
metabolik, dan hiperkalemia.

Indikasi anestesi umum :


- Infant dan anak usia muda
- Dewasa yang memilih anestesi umum
- Pembedahan luas
- Penderita sakit mental
- Pembedahan lama
- Pembedahan dimana anestesi local tidak praktis atau tidak memuaskan
- Riwayat penderita toksik/alergi obat anestesi local
- Penderita dengan pengobatan antikoagulan

PROSEDUR ANESTESI UMUM

Persiapan pra anestesi umum


5
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan baik elektif maupun darurat harus
dipersiapkan dengan baik karena keberhasilan anestesi dan pembedahan sangat dipengaruhi oleh
persiapan pra anestesi. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif umumnya dilakukan 1-2 hari
sebelumnya, sedangkan pada bedah darurat waktu yang tersedia lebih singkat.
Tujuan kunjungan pra anestesi:
- Mempersiapkan mental dan fisik pasien secara optimal dengan melakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik, laboratorium, dan pemeriksaan lain.
- Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai keadaan fisik dan
kehendak pasien. Dengan demikian, komplikasi yang mungkin terjadi dapat ditekan
seminimal mungkin.
- Menentukan klasifikasi yang sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik, dalam hal ini dipakai
klasifikasi ASA (American Society of Anesthesiology) sebagai gambaran prognosis pasien
secara umum.

Persiapan pasien
A. Anamnesis
Anamnesis dapat diperoleh dari pasien sendiri (autoanamnesis) atau melalui keluarga pasien
(alloanamnesis). Dengan cara ini kita dapat mengadakan pendekatan psikologis serta berkenalan
dengan pasien.
Yang harus diperhatikan pada anamnesis:
- Identifikasi pasien, missal: nama, umur, alamat, pekerjaan, dll.
- Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin dapat menjadi penyulit
dalam anestesi, antara lain: penyakit alergi, diabetes mellitus, penyakit paru-paru kronik
(asma bronchial, pneumonia, bronchitis), penyakit jantung dan hipertensi (infark
miokard, angina pectoris, dekompensasi kordis), penyakit hati, dan penyakit ginjal.
- Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin menimbulkan
interaksi dengan obat-obat anestetik. Misalnya kortikosteroid, obat antihipertensi, obat-
obat antidiabetik, antibiotika golongan aminoglikosida, obat penyakit jantung seperti
digitalis, diuretika, obat anti alergi, tranquilizer, monoamino oxidase inhibitor,
bronkodilator.
- Riwayat operasi dan anestesi yang pernah dialami diwaktu yang lalu, berapa kali, dan
selang waktunya. Apakah pasien mengalami komplikasi saat itu seperti kesulitan pulih
sadar, perawatan intensif pasca bedah.

6
- Kebiasaan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi jalannya anestesi
seperti: merokok dan alkohol.

B. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut,
lidah relative besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan
laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi.
Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan
seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.

C. Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan penyakit yang
sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang mengharuskan uji laboratorium secara rutin
walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor, misalnya pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit,
masa perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien di atas 50 tahun ada
anjuran pemeriksaan EKG dan foto toraks. Praktek-praktek semacam ini harus dikaji ulang
mengingat biaya yang harus dikeluarkan dan manfaat minimal uji-uji semacam ini.
Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium, selanjutnya
dibuat rencana mengenai obat dan teknik anestesi yang akan digunakan. Misalnya pada diabetes
mellitus, induksi tidak menggunakan ketamin yang dapat menimbulkan hiperglikemia. Pada
penyakit paru kronik, mungkin operasi lebih baik dilakukan dengan teknik analgesia regional
daripada anestesi umum mengingat kemungkinan komplikasi paru pasca bedah. Dengan
perencanaan anestesi yang tepat, kemungkinan terjadinya komplikasi sewaktu pembedahan dan
pasca bedah dapat dihindari.

D. Kebugaran untuk anestesi


Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar pasien dalam
keadaan bugar, sebaliknya pada operasi cito penundaan yang tidak perlu harus dihindari.

E. Masukan oral

7
Refleks laring mengalami penurunan selama anesthesia. Regurgitasi isi lambung dan kotoran
yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama pada pasien-pasien yang menjalani
anesthesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi
elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu
sebelum induksi anestesia. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan
pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anesthesia.
Minuman bening, air putih, the manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih
dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anesthesia.

F. Klasifikasi status fisik


Berdasarkan status fisik pasien pra anestesi, ASA (The American Society of
Anesthesiologists) membuat klasifikasi yang membagi pasien kedalam 5 kelompok atau kategori
sebagai berikut:
ASA I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
ASA II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
ASA III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin terbatas.
ASA IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktivitas rutin dan
penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.
ASA V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan hidupnya tidak akan
lebih dari 24 jam.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat (cito) dengan mencantumkan tanda
darurat (E=emergency), misalnya ASA I E atau III E.

G. Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan tujuan untuk
melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya :
- Meredakan kecemasan dan ketakutan
- Memperlancar induksi anesthesia
- Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
- Meminimalkan jumlah obat anestetik
- Mengurangi mual muntah pasca bedah

8
- Menciptakan amnesia
- Mengurangi isi cairan lambung
- Mengurangi refleks yang membahayakan

Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seorang dihadapkan pada situasi yang tidak
pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat membangun kepercayaan dan
menenteramkan pasien. Obat pereda kecemasan bisa digunakan diazepam peroral 10-15 mg
beberapa jam sebelum induksi anestesia. Jika disertai nyeri karena penyakitnya, dapat diberikan
opioid misalnya petidin 50 mg intramuskular.
Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis asam. Untuk
meminimalkan kejadian diatas dapat diberikan antagonis reseptor H2 histamin misalnya oral
simetidin 600 mg atau oral ranitidin (zantac) 150 mg 1-2 jam sebelum jadwal operasi.
Untuk mengurangi mual muntah pasca bedah sering ditambahkan premedikasi suntikan
intramuscular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg atau ondansentron 2-4 mg (zofran, narfoz).

Persiapan peralatan anestesi


Tindakan anestesi yang aman tidak terlepas dari kelengkapan peralatan anestesi yang
baik. Baik tidak berarti harus canggih dan mahal, tetapi lebih berarti berfungsi, sesuai dengan
tujuan kita member anesthesia yang lancer dan aman.

Mesin anestesi
Fungsi mesin anestesi (mesin gas) ialah menyalurkan gas atau campuran gas anestetik yang
aman ke rangkaian sirkuit anestetik yang kemudian dihisap oleh pasien dan membuang sisa
campuran gas dari pasien. Rangkaian mesin anestesi sangat banyak ragamnya, mulai dari yang
sangat sederhana sampai yang diatur oleh computer. Mesin yang aman dan ideal ialah mesin
yang memenuhi persyaratan berikut:
- Dapat menyalurkan gas anestetik dengan dosis tepat
- Ruang rugi (dead space) minimal
- Mengeluarkan CO2 dengan efisien
- Bertekanan rendah
- Kelembaban terjaga dengan baik
- Penggunaannya sangat mudah dan aman

9
Komponen dasar mesin anestetik terdiri dari:
- Sumber O2, N2O, dan udara tekan.
Dapat tersedia secara individual menjadi satu kesatuan mesin anestetik atau dari sentral
melalui pipa-pipa. Rumah sakit besar biasanya menyediakan O2, N2O, dan udara tekan
secara sentral untuk disalurkan ke kamar bedah sentral, kamar bedah rawat jalan, ruang
obstetric, dll.
- Alat pantau tekanan gas (pressure gauge)
Berfungsi untuk mengetahui tekanan gas pasok. Kalau tekanan gas O2 berkurang, maka
akan ada bunyi tanda bahaya (alarm)
- Katup penurun tekanan gas (pressure reducing valve)
Berfungsi untuk menurunkan tekanan gas pasok yang masih tinggi, sesuai karakteristik
mesin anestesi.
- Meter aliran gas (flowmeter)
Untuk mengatur aliran gas setiap menitnya.
- Satu atau lebih penguap cairan anestetik (vaporizers)
Dapat tersedia satu, dua, tiga, sampai empat.
- Lubang keluar campuran gas (common gas outlet)
- Kendali O2 darurat (oxygen flush control)
Berfungsi untuk keadaan darurat yang dapat mengalirkan O2 murni sampai 35-37
liter/menit tanpa melalui meter aliran gas.

Tabung gas beserta alat tambahannya dan penguap diberi warna khusus untuk
menghindari kecelakaan yang mungkin timbul. Kode warna internasional yang telah disepakati
ialah:
Oksigen N2O Udara CO2 Halotan Enfluran Isofluran Desfluran Sevofluran
Putih Biru Putih- Abu- Merah Jingga Ungu Biru kuning
hitam abu
kuning

Sirkuit anestesi
Sirkuit anestesi atau sistem penghantar gas atau sistem anestesi ialah alat yang bukan saja
menghantarkan gas atau uap anestetik dan oksigen dari mesin ke jalan napas atas pasien, tetapi
juga harus sanggup membuang CO2 dengan mendorongnya dengan aliran gas segar atau dengan
menghisapnya dengan kapur soda.

10
Sirkuit anestesi umumnya terdiri dari:
- Sungkup muka, sungkup laring, atau pipa trakea
- Katup ekspirasi dengan per atau pegas (expiratory loaded spring valve, pop-off valve,
APL, adjustable pressure limiting valve)
- Pipa ombak, pipa cadang (corrugated tube, reservoir tube)
Bahan karet hitam (karbon) atau plastic transparent anti static, anti tertekuk
- Kantong cadang (reservoir bag)
- Tempat masuk campuran gas anestetik dan O2 (fresh gas inlet).
Untuk mencegah terjadinya barotraumas akibat naiknya tekanan gas yang mendadak
tinggi, katup membatasi tekanan sampai 50 cm H2O
Sirkuit anestesi yang popular sampai saat ini ialah sirkuit lingkar (circle system), sirkuit
Magill, sirkuit Bain, dan system pipa T atau pipa Y dari Ayre.

Sungkup muka
Pemakaian sungkup muka berguna untuk menyalurkan oksigen atau gas anestesi ke
pasien. Terdapat beberapa jenis sungkup. Dengan sungkup trasparan berguna untuk obervasi
kelembapan udara yang diekshalasi dan mengetahui jika pasien muntah. Sungkup karet hitam
dapat digunakan untuk mengadaptasi struktur muka yang tidak biasa.
Ventilasi efektif memerlukan baik sungkup yang kedap udara dan jalan nafas yang baik.
Teknik sungkup muka yang salah dapat berakibat deflasi yang berkelanjutan pada reservoir bag
saat katup tekanan ditutup, biasanya mengindikasikan adanya kebocoran di sekitar sungkup.
Sebaliknya pembentukan tekanan pernapasan yang tinggi dengan gerakan dada minimal dan
suara pernafasan menandakan obstruksi jalan nafas.
Sungkup dipegang melawan muka dengan tekanan ke bawah pada badan sungkup
dilakukan dengan jempol kiri dan jari telunjuk. Jari tengah dan manis memegang mandibula
untuk membantu ekstensi sendi atlantooksipital. Jari kelingking diletakkan di bawah sudut
rahang dan digunakan untuk menahan dagu ke depan, maneuver paling penting untuk ventilasi
pasien.

Endotracheal tube (ETT)


ETT dapat digunakan untuk memberikan gas anestesi secara langsung ke trakea dan
memberikan ventilasi dan oksigenasi terkontrol. Bentuk dan kekerasan ETT dapat diubah dengan

11
stilet. Resistensi terhadap aliran udara tergantung pada diameter tabung, tetapi juga dipengaruhi
oleh panjang tabung dan kurvatura.
Ukuran ETT yang digunakan pada wanita dewasa diameter internal 7-7.5 mm dengan
panjang 24 cm. pada pria dewasa diameter internal 7.5-9 mm dengan panjang 24cm.

Sungkup laring (Laringeal mask airway = LMA)


LMA digunakan untuk menggantikan sungkup muka atau ETT saat pemberian anestesi,
untuk membantu ventilasi dan jalur untuk ETT pada pasien dengan jalan nafas sulit dan
membantu ventilasi saat bronkoskopi.
Pemakaian LMA memerlukan anestesi lebih kuat dibandingkan dengan insersi jalan nafas
oral. Kontraindikasi LMA pada pasien dengan patologi faring seperti abses, obstruksi faring,
perut penuh seperti hamil atau komplians paru rensah seperti penyaki jalan nafas restriktif.

Induksi anestesi
Induksi anestesi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar,
sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Setelah pasien tidur akibat
induksi anestesi langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesi sampai tindakan
pembedahan selesai.
Sebelum memulai induksi anestesi selayaknya disiapkan peralatan dan obat-obatan yang
diperlukan, sehingga seandainya terjadi keadaan gawat dapat diatasi dengan lebih cepat dan lebih
baik. Untuk persiapan induksi anestesi, sebaiknya diingat kata STATICS:
S : Scope Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringoskop pilih bilah atau
daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.

12
T : Tubes Pipa trakea. Pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan usia > 5
tahun dengan balon (cuffed).
A : Airway Pipa mulut-faring (Guedel,orotracheal airway) dan pipa hidung-faring (naso-
tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga supaya
lidah tidak menyumbat jalan napas.
T : Tape Plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut
I : Introducer Mandrin atau stillet untuk memandu agar pipa trakea mudah dimasukkan
C : Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anesthesia
S : Suction Penyedot lender, ludah, dan lain-lainnya

Induksi anestesi dapat dikerjakan dengan secara intravena, inhalasi, intramuscular, atau
rectal.
a. Induksi intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah terpasang jalur
vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi intravena hendaknya dikerjakan dengan
hati-hati, perlahan-lahan, lembut, dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikkan dalam
kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi, dan
tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan
pada pasien yang kooperatif.
Tiopental (tiopenton, pentotal) diberikan secara intravena dengan kepekatan 2,5% dan
dosis antara 3-7 mg/kgBB. Keluar vena menyebabkan nyeri. Pada anak dan manula
digunakan dosis rendah dan dewasa muda sehat dosis tinggi.
Propofol (recofol, diprivan) intravena dengan kepekatan 1% menggunakan dosis 2-3
mg/kgBB. Suntikan propofol intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga satu menit
sebelumnya sering diberikan lidokain 1 mg/kgBB secara intravena.
Ketamin (ketalar) intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB. Pasca anestesi dengan ketamin
sering menimbulkan halusinasi, karena itu sebelumnya dianjurkan menggunakan sedativa
seperti midasolam (dormikum). Ketamin tidak dianjurkan pada pasien dengan tekanan
darah tinggi (tekanan darah > 160 mmHg). Ketamin menyebabkan pasien tidak sadar,
tetapi dengan mata terbuka.
b. Induksi intramuscular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara intramuscular
dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.

13
c. Induksi inhalasi
a. N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida) berbentuk

gas, tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat

udara. Pemberian harus disertai O2 minimal 25%. Bersifat anastetik lemah,

analgesinya kuat, sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang

persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang digunakan sendirian, tapi dikombinasi

dengan salah satu cairan anastetik lain seperti halotan.

b. Halotan (fluotan)
Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan anestesinya

cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan analgesi semprot lidokain 4%

atau 10% sekitar faring laring.


Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus simpatis, terjadi

hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi miokard,

dan inhibisi refleks baroreseptor. Merupakan analgesi lemah, anestesi kuat.

Halotan menghambat pelepasan insulin sehingga mininggikan kadar gula darah.

c. Enfluran (etran, aliran)


Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan enfluran lebih iritatif

disbanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi lebih kuat dibanding halotan, tetapi

lebih jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik

disbanding halotan.

d. Isofluran (foran, aeran)


Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial. Peninggian aliran

darah otak dan tekanan intracranial dapat dikurangi dengan teknik anestesi

hiperventilasi, sehingga isofluran banyak digunakan untuk bedah otak.

14
Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga digemari

untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan

gangguan koroner.

e. Desfluran (suprane)
Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%), bersifat

simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi. Efek depresi napasnya

seperti isofluran dan etran. Merangsang jalan napas atas sehingga tidak digunakan

untuk induksi anestesi.

f. Sevofluran (ultane)
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan isofluran. Baunya

tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas, sehingga digemari untuk

induksi anestesi inhalasi disamping halotan.


d. Induksi per rectal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau midazolam.
Pelumpuh otot nondepolarisasi Tracurium 20 mg (Antracurium)
o Berikatan dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tidak menyebabkna depolarisasi,

hanya menghalangi asetilkolin menempatinya, sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja.


o Dosis awal 0,5-0,6 mg/kgBB, dosis rumatan 0,1 mg/kgBB, durasi selama 20-45 menit,

kecepatan efek kerjanya -2 menit.


o Tanda-tanda kekurangan pelumpuh otot:
Cegukan (hiccup)
Dinding perut kaku
Ada tahanan pada inflasi paru
Tanda-tanda induksi berhasil adalah hilangnya refleks bulu mata. Jika bulu mata disentuh,
tidak ada gerakan pada kelopak mata.

Teknik anestesi
- Teknik anestesi nafas spontan dengan sungkup muka
Indikasi : untuk tindakan yang singkat (0,5-1 jam) tanpa membuka rongga perut, keadaan
umum pasien cukup baik, lambung harus kosong.

15
Selesai dilakukan induksi, sampai pasien tertidur dan reflek bulu mata hilang, sungkup
muka ditempatkan pada muka. Sebaiknya dagu ditahan atau sedikit ditarik kebelakang
(posisi kepala ekstensi) agar jalan napas bebas dan pernafasan lancer.
N2O mulai diberikan 4 L dengan O2 2 L/menit untuk memperdalam anestesi, bersamaan
dengan ini halotan dibuka sampai 1% dan sedikit demi sedikit dinaikkan dengan 1%
sampai 3 atau 4 % tergantung reaksi dan besar tubuh penderita
Kedalaman anestesi dinilai dari tanda-tanda mata (bola mata menetap), nadi tidak cepat,
dan terhadap rangsang operasi tidak banyak berubah. Kalau stadium anesthesia sudah
cukup dalam, rahang sudah lemas, masukan pipa orofaring (guedel). Halotan kemudian
dikurangi menjadi 1-1,5% tergantung respon terhadap rangsang operasi. Halotan
dikurangi dan dihentikan beberapa menit sebelum operasi selesai. Selesai operasi, N2O
dihentikan dan penderita diberi O2 100% beberapa menit untuk mencegah hipoksi difusi.
- Teknik anestesi nafas spontan dengan pipa endotrakea
Indikasi: operasi lama, kesulitan mempertahankan jalan nafas bebas pada anestesi dengan
sungkup muka.
Setelah induksi, dapat dilakukan intubasi. Balon pipa endotrakea dikembangkan sampai
tidak ada kebocoran pada waktu melakukan nafas buatan dengan balon nafas. Harus
yakin bahwa pipa endotrakea ada di dalam trakea dan tidak masuk terlalu dalam yaitu di
salah satu bronkus atau di eosofagus. Pipa endotrakea di fiksasi, lalu pasang guedel di
mulut supaya pipa endotrakea tidak tergigit. Lalu mata ditutup dengan plester supaya
tidak terbuka dan kornea tidak menjadi kering. Lalu pipa endotrakea dihubungkan dengan
konektor pada sirkuit nafas alat anestesi.
- Teknik anestesi dengan pipa endotrakea dan nafas kendali
Teknik induksi anestesi dan intubasi sama seperti diatas.
Nafas dikendalikan secara manual atau dengan respirator. Bila menggunakan respirator
setiap inspirasi (volume tidal) diusahakan + 10 ml/kgBB dengan frekuensi 10/14 per
menit. Apabila nafas dikendalikan secara manual, harus diperhatikan pergerakan dada
kanan dan kiri yang simetris. Menjelang akhir operasi setelah menjahit lapisan otot
selesai diusahakan nafas spontan dengan membantu usaha nafas sendiri secara manual.
Halotan dapat dihentikan sesudah lapisan fasi kulit terjahit. N2O dihentikan kalau lapisan
kulit mulai dijahit.
Ekstubasi dapat dilakukan setelah nafas spontan normal kembali dengan volume tidal 300
ml. O2 diberi terus 5-6 L selama 2-3 menit untuk mencegah hipoksia difusi.
- Ekstubasi

16
Mengangkat keluar pipa endotrakea (ekstubasi) harus mulus dan tidak disertai batuk dan
kejang otot yang dapat menyebabkan gangguan nafas, hipoksia sianosis.

Rumatan anestesi (maintenance)


Rumatan anestesi dapat dikerjakan dengan secara intravena (anesthesia intravena total)
atau dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan anestesi biasanya
mengacu pada trias anestesi yaitu tidur ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup,
diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang
cukup.
Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50
ug/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga
tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid
dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama
dengan anestesi total intravena menggunakan opioid, pelumpuh otot, dan ventilator. Untuk
mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O + O2.
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 3:1 ditambah halotan
0,5-2 vol% atau enfluran 2-4 vol%, atau isofluran 2-4 vol%, atau sevofluran 2-4 vol%
bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu (assisted), atau dikendalikan (controlled).

TATALAKSANA JALAN NAPAS


Hubungan jalan napas dan dunia luar melalui 2 jalan:
1. Hidung
Menuju nasofaring
2. Mulut
Menuju orofaring

Hidung dan mulut dibagian depan dipisahkan oleh palatum durum dan

palatum molle dan dibagian belakang bersatu di hipofaring. Hipofaring menuju

esophagus dan laring dipisahkan oleh epiglotis menuju ke trakea. Laring terdiri

dari tulang rawan tiroid, krikoid, epiglotis dan sepasang aritenoid, kornikulata dan

kuneiform.

17
A. Manuver tripel jalan napas
Terdiri dari:
1. Kepala ekstensi pada sendi atlanto-oksipital.
2. Mandibula didorong ke depan pada kedua angulus mandibula
3. Mulut dibuka

Dengan maneuver ini diharapkan lidah terangkat dan jalan napas bebas, sehingga gas

atau udara lancer masuk ke trakea lewat hidung atau mulut.

B. Jalan napas faring


Jika maneuver tripel kurang berhasil, maka dapat dipasang jalan napas mulut-

faring lewat mulut (oro-pharyngeal airway) atau jalan napas lewat hidung (naso-

pharyngeal airway).
C. Sungkup muka
Mengantar udara / gas anestesi dari alat resusitasi atau system anestesi ke jalan

napas pasien. Bentuknya dibuat sedemikian rupa sehingga ketika digunakan untuk

bernapas spontan atau dengan tekanan positif tidak bocor dan gas masuk semua ke

trakea lewat mulut atau hidung.

D. Sungkup laring (Laryngeal mask)


Merupakan alat jalan napas berbentuk sendok terdiri dari pipa besar berlubang

dengan ujung menyerupai sendok yang pinggirnya dapat dikembang-kempiskan

seperti balon pada pipa trakea. Tangkai LMA dapat berupa pipa kerasdari polivinil

atau lembek dengan spiral untuk menjaga supaya tetap paten.


Dikenal 2 macam sungkup laring:
1. Sungkup laring standar dengan satu pipa napas
2. Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar dan lainnya pipa

tambahan yang ujung distalnya berhubungan dengan esophagus.


E. Pipa trakea (endotracheal tube)
Mengantar gas anestesi langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat dari bahan

standar polivinil-klorida. Pipa trakea dapat dimasukan melalui mulut (orotracheal

tube) atau melalui hidung (nasotracheal tube).


F. Laringoskopi dan intubasi

18
Fungsi laring ialah mencegah bedan asing masuk paru. Laringoskop merupakan

alat yang digunakan untuk melihat laring secara langsung supaya kita dapat

memasukkan pipa trakea dengan baik dan benar. Secara garis besar dikenal dua

macam laringoskop:
1. Bilah, daun (blade) lurus (Macintosh) untuk bayi-anak-dewasa
2. Bilah lengkung (Miller, Magill) untuk anak besar-dewasa.
Klasifikasi tampakan faring pada saat membuka mulut terbuka maksimal dan

lidah dijulurkan maksimal menurut Mallapati dibagi menjadi 4 gradasi.

Gradasi Pilar faring Uvula Palatum Molle

1 + + +
2 - + +
3 - - +
4 - - -

Indikasi intubasi trakea

Intubasi trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui

rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita

suara dan bifurkasio trakea. Indikasi sangat bervariasi dan umumnya digolongkan sebagai

berikut:

1. Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun.

Kelainan anatomi, bedah kasus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret jalan napas,

dan lain-lainnya.

2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi

19
Misalnya saat resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien,

ventilasi jangka panjang.


3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi

Kesulitan intubasi

1. Leher pendek berotot


2. Mandibula menonjol
3. Maksila/gigi depan menonjol
4. Uvula tak terlihat
5. Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
6. Gerak vertebra servikal terbatas

Komplikasi intubasi

1. Selama intubasi
a. Trauma gigi geligi
b. Laserasi bibir, gusi, laring
c. Merangsang saraf simpatis
d. Intubasi bronkus
e. Intubasi esophagus
f. Aspirasi
g. Spasme bronkus
2. Setelah ekstubasi
a. Spasme laring
b. Aspirasi
c. Gangguan fonasi
d. Edema glottis-subglotis
e. Infeksi laring, faring, trakea

Ekstubasi

1. Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika:


a. Intubasi kembali akan menimbulkan kesulitan
b. Pasca ekstubasi ada risiko aspirasi
2. Ekstubasi dikerjakan pada umumnya pada anestesi sudah ringan dengan catatan tak

akan terjadi spasme laring.


3. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut laring faring dari sekret dan cairan

lainnya.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi kedua.
Jakarta. Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI; 2010.p.29-90.
2. Muhiman M, Thaib MR, Sunatrio S. Anestesiologi. Edisi pertama. Jakarta. Penerbit
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI; 2002.p.34-98.
3. Wrobel M, Werth M. Pokok-pokok Anestesi. Edisi pertama. Jakarta. Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2009.p.79-82.

21
4. Omoigui S. Obat-obatan Anestesia. Edisi kedua. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran
EGC; 2012.

22

Anda mungkin juga menyukai