Anda di halaman 1dari 26

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Polip Hidung

2.1.1 Definisi

Polip hidung ialah massa lunak yang mengandung banyak cairan di


dalam rongga hidung, berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat
inflamasi mukosa. Bentuk menyerupai buah anggur, lunak dan dapat
digerakkan. Polip timbul dari dinding lateral hidung. Polip yang diakibatkan
proses inflamasi biasanya bilateral (Schlosser & Woodworth 2009;
Mangunkusumo & Wardani 2007).

2.1.2 Epidemiologi

Polip hidung biasanya diderita oleh orang dewasa usia 30-60


tahun. Laki-laki lebih dominan dengan perbandingan 2:1 sampai 4:1.
Prevalensi polip hidung dari seluruh orang dewasa Thailand sekitar 1-4%.
Prevalensi pada anak-anak jauh lebih rendah. Prevalensi polip hidung di
Swedia sekitar 2,7% dengan laki-laki lebih dominan 2,2:1. Di Finlandia,
prevalensi polip hidung sekitar 4,3%. Di Amerika Serikat dan Eropa,
prevalensi polip 2,1-4,3% (Storms, Yawn, Fromer 2007; Bachert, Watelet,
Gevaert, Cauwenberge 2005; Kirtsreesakul 2005; Akerlund, Melen,
Holmberg, Bende 2003).

Di Indonesia, Sardjono Soejak dan Sri Herawati melaporkan


penderita polip hidung sebesar 4,63% dari semua pengunjung poliklinik
THT-KL RS.Dr. Soetomo Surabaya. Rasio pria dan wanita 2-4:1. Di RSUP
H.Adam Malik Medan selama Maret 2004 sampai Februari 2005, kasus
polip hidung sebanyak 26 orang terdiri dari 17 pria (65%) dan 9 wanita
(35%). Selama Januari sampai Desember 2010 didapatkan kasus polip
hidung sebanyak 43 orang terdiri dari 22 pria (51,2%) dan 21 perempuan
(48,8%). Indrawati (2011) melakukan penelitian di RS DR. Sardjito

Universitas Sumatera Utara


Yogyakarta, melaporkan terdapat 24 penderita polip dimana tipe 1 sekitar
20,8%, tipe 2 sekitar 58,3%, tipe 3 sekitar 16,7% dan tipe 4 sekitar 4,2%.
(Dewi 2011; Munir 2008).

Faktor genetik dianggap berperan dalam etiologi polip hidung.


Sekitar 14% penderita polip memiliki riwayat keluarga menderita polip
hidung. Etnis dan geografis memiliki peranan dalam patofisiologi polip.
Pada populasi Caucasian dominan polip eosinofilik sementara di Asia
dominan neutrofilik (Aaron, Chandra, Conley & Kern 2010).

2.1.3 Patogenesis polip hidung

Alergi ditengarai sebagai salah satu faktor predisposisi polip hidung


karena mayoritas polip hidung mengandung eosinofil, ada hubungan polip
hidung dengan asthma dan pemeriksaan hidung menunjukkan tanda dan
gejala alergi. Suatu meta-analisis menemukan 19% dari polip hidung
mempunyai Ig E spesifik yang merupakan manifestasi alergi mukosa
hidung (Kirtsreesakul 2005).

Ketidakseimbangan vasomotor dianggap sebagai salah satu faktor


predisposisi polip hidung karena sebagian penderita polip hidung tidak
menderita alergi dan pada pemeriksaan tidak ditemukan alergen yang
dapat mencetuskan alergi. Polip hidung biasanya mengandung sangat
sedikit pembuluh darah. Regulasi vaskular yang tidak baik dan
meningkatnya permeabilitas vaskular dapat menyebabkan edema dan
pembentukan polip hidung (Kirtsreesakul 2005).

Fenomena Bernouilli terjadi karena menurunnya tekanan akibat


konstriksi. Tekanan negatif akan mengakibatkan inflamasi mukosa hidung
yang kemudian memicu terbentuknya polip hidung (Kirtsreesakul 2005).

Ruptur epitel mukosa hidung akibat alergi atau infeksi dapat


mengakibatkan prolaps lamina propria dari mukosa. Hal ini akan memicu
terbentuknya polip hidung (Kirtsreesakul 2005).

Universitas Sumatera Utara


Infeksi merupakan faktor yang sangat penting dalam pembentukan
polip hidung. Hal ini didasari pada percobaan yang menunjukkan rusaknya
epitel dengan jaringan granulasi yang berproliferasi akibat infeksi bakteri
Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus atau Bacteroides
fragilis (merupakan bakteri yang banyak ditemukan pada rhinosinusitis)
atau Pseudomonas aeruginosa yang sering ditemukan pada cystic fibrosis
(Lund 1995).

2.1.4 Makroskopis

Secara makroskopik polip hidung tampak sebagai lesi non-


neoplastik yang merupakan edema mukosa sinonasal, yang prolaps ke
dalam rongga hidung (Choi et al 2006).

2.1.5 Mikroskopis

Secara mikroskopik didapatkan perubahan struktur epitel yaitu


hiperplasia sel goblet, metaplasia skuamosa serta infiltrasi sel-sel radang
seperti eosinofil, limfosit dan sel plasma. Selain itu terdapat pula edema
hebat lamina propria disertai dengan akumulasi matriks protein dan
penebalan membran basal. Pada tingkat seluler, proses inflamasi akan
melibatkan epitel, sel dendritik, sel endothelial dan sel inflamasi seperti
limfosit, eosinofil, neutrofil dan sel mast. Pada tingkat molekular banyak
sekali gen-gen pro-inflamasi yang sudah dapat diidentifikasi (Liu et al
2004).

2.1.6 Klasifikasi histopatologi polip hidung (Hellquist 1996)

1. Edematous, Eosinophilic Polyp (Allergic Polyp)


Gambaran histopatologi berupa edematous stroma, hyperplasia
goblet cells di epitel respiratori, didapatinya sejumlah besar eosinofil dan
sel mast di stroma polip dan penipisan bahkan adanya hialinisasi minimal
pada membran basalis yang terlihat jelas membatasi stroma yang edema
dengan epitel. Pada stroma terlihat sejumlah fibroblast yang jarang

Universitas Sumatera Utara


dimana terdapat juga sejumlah sel inflamasi. Stroma yang edema
sebagian terisi cairan yang membentuk rongga seperti pseudokista.
Infiltrasi sel inflamasi dapat sangat tegas. Polip edematous biasanya
bilateral.

A B

Gambar 1. A. Edematous, Eosinophilic Polyp. Terdapat banyak sel-sel inflamasi, paling


banyak adalah eosinofil dan sel mast. Terlihat adanya penipisan membran basal (tanda
panah). B. Edematous polyp dengan hiperplasia sel goblet, penipisan membran basal
(tanda panah) dan stroma longgar yang mengandung pseudocystic berisi cairan.

A B

Gambar 2. A. Adanya sejumlah sel goblet di epitel saluran nafas yang mengalami
hiperplasia. Kebanyakan sel-sel inflamasi tidak jelas, stroma yang edema didominasi
eosinofil. B. Sebuah polip dimana sebagian epitel saluran nafas menggantikan sel goblet.

Universitas Sumatera Utara


Gambar 3. Polip edematous dengan infiltrasi sel-sel inflamasi yang padat.

2. Chronic Inflammatory Polyp (Fibroinflammatory Polyp)


Tidak adanya edema stroma dan hiperplasia sel goblet adalah
tanda khas tipe histopatologi polip ini. Dijumpai sel goblet tetapi epitel
devoid hiperplasia sel goblet. Sering terlihat adanya epitel squamous dan
metaplasia epitel cuboidal. Terdapat penipisan membran basal walaupun
tidak sejelas penipisan membran basal pada tipe eosinofilik. Sering terlihat
adanya infiltrasi sel inflamasi dengan dominasi limfosit yang sering
bercampur dengan eosinofil. Stroma mengandung sejumlah fibroblast dan
tidak jarang terdapat fibrosis. Pada tipe ini sering kali terlihat adanya
hiperplasia minimal kelenjar seromusin dan dilatasi pembuluh darah sering
terlihat.

Gambar 4. Polip tipe inflamasi. Terdapat sebagian daeran epitel permukaan saluran
nafas yang mengalami metaplasia kuboidal tetapi tidak terdapat hiperplasia sel goblet.
Membran basal menunjukkan tidak adanya hialinisasi. Stroma mengandung jaringan ikat
dengan beberapa pembuluh darah yang mengalami dilatasi dan sejumlah besar dengan
infiltrasi limfosit. Terdapat banyak kelenjar seromusin, lebih banyak daripada polip
edematous.

3. Polyp with Hyperplasia of Seromucinous Glands


Tipe polip ini ditandai dengan didapatinya banyak kelenjar
seromusin dan stroma yang edema. Tipe ini mempunyai banyak
kesamaan dengan tipe edematous. Terdapat kelenjar yang sangat banyak
dengan kelenjarnya merupakan gambaran histopatologi yang khas tipe ini.
Hiperplasia kelenjar menyebabkan gambaran histopatologi tipe ini mirip
neoplasma glandular jinak dan sering disebut pada banyak literature

Universitas Sumatera Utara


sebagai tubulocytic adenoma. Polip disusun oleh banyak kelenjar dengan
sel silindris dengan inti sel ganjil terletak didepan bagian basal sel.
Kelenjar biasanya berhubungan dengan overlying epitel dan menunjukkan
ketiadaan atypia. Perbedaan dengan tumor kelenjar, pada tipe ini kelenjar
terletak terpisah satu sama lain, berbeda dengan tumor dimana kelenjar
sering kali saling bersentuhan bahkan lengket pada bagian leher satu
sama lain. Tipe polip ini sangat jarang, hanya sekitar 5% dari seluruh
polip.

Gambar 5. Polip hidung dengan hiperplasia kelenjar seromusin. Namun tidak terdapat
atipik.

4. Polyp with Stromal Atypia


Tipe ini adalah tipe yang paling jarang. Dapat dengan mudah
dianggap sebagai suatu neoplasma jika ahli patologi anatomi tidak familiar
dengan gambaran histopatologi ini. Secara makroskopis sama dengan
polip hidung yang lain tetapi gambaran histopatologi ditandai dengan
stroma yang atypik.

A
Gambar 6. A. Polip dengan stroma atipik. Stroma lebih gembur dengan sel-sel inflamasi
tetapi terdapat sejumlah sel bizarre dan sebagian berbentuk seperti bintang berselubung.
Inti sel-sel tersebut atipik dan cenderung hiperkromatik. Tidak adanya mitosis. B. Tipe

Universitas Sumatera Utara


lain dari polip dengan stroma atipik. Sel-sel atipik terlihat berada di tengah gambar.
Terlihat inflamasi tegas di gambar A dan edema di gambar B.

2.1.7 Histomorfologi dan patomekanisme polip

Peradangan merupakan prinsip utama dalam patogenesis


pembentukan dan pertumbuhan polip. Karakteristik polip hidung yang
matang ditandai dengan proses peradangan yang tampak seperti
pembentukan pseudokista yang kosong dan penumpukan sel-sel radang
di subepitel, dimana eosinofil adalah sel yang dominan. Banyak penelitian
yang fokus terhadap rekruitmen dan usia eosinofil di polip hidung. Sitokin
dan kemokin bertindak sebagai mediator dalam proses ini. Pada polip
yang kecil yang tumbuh dari mukosa meatus media yang normal pada
penderita polip hidung bilateral, dijumpai sejumlah eosinofil pada masa
awal pertumbuhan polip. Dari sini diduga ada penumpukan protein plasma
yang diatur oleh eosinofil. Albumin dan protein plasma yang lain
menumpuk didalam pseudokista bersama infiltrasi eosinofil. Histomorfologi
polip didominasi oleh epitel yang rusak, membran basal yang menipis dan
meradang dan terdapat sedikit jaringan stroma yang mengalami fibrosis,
dengan minimal pembuluh darah dan kelenjar serta tidak adanya struktur
saraf.

Peradangan eosinofil pada polip diatur oleh sel T yang teraktivasi.


IL-5 memegang peranan penting dalam proses rekruitmen, aktivasi dan
inhibisi apoptosis eosinofil.

TGF-1, suatu sitokin dengan kerja menginhibisi sintesis IL-5.


Produksi IL-5 yang tinggi dan tidak adanya TGF-1 diduga menjadi
penyebab utama lamanya usia eosinofil dan menfasilitasi degradasi
jaringan matrix, kedua hal tersebut merupakan karakteristik struktur polip.

ICAM-1, E-selectin dan P-selectin juga terlihat pada epitel polip


yang berperan dalam rekruitmen eosinofil. VCAM-1 juga meningkat secara
bermakna pada polip. Pengobatan dengan steroid topikal menurunkan

Universitas Sumatera Utara


densitas eosinofil serta ekspresi VCAM-1 pada polip (Bachert, Watelet,
Gevaert & Cauwenberge 2005).

Tabel 1. Komponen Polip Hidung.

Albumin dan protein plasma yang lain Histamin

IL-1, IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-8 Interferon-

Faktor stimulasi koloni Granulosit-makrofag RANTES

Faktor pertumbuhan fibroblas dasar EOTAXIN

Faktor pertumbuhan endotel vaskular Selectin-P

Faktor stimulasi koloni Granulosit-makrofag Selectin-E

Faktor pertumbuhan pentransfer -1 and - MMP-7, MMP-9


1
Faktor pertumbuhan turunan Keratinosit CD 4+, CD 8+

Adhesi intersel molekul-1 Makrofag

Adhesi sel vaskular molekul-1 Sel Mast

Faktor nekrosis tumor

Sumber: Bachert, Watelet, Gevaert, Cauwenberge 2005; Shun et al 2005; Bateman,


Fahy, Woolford 2002.

Tabel 2. Teori pembentukan polip hidung

Penelitian Mekanisme pembentukan

Ramanathan et al1 Respon imun lokal berbasis Th-1


Aktivitas berbasis Th-2
Eosinofil

Ramanathan et al2 Reseptor mirip Toll-9

Lane et al Reseptor mirip Toll-2

Universitas Sumatera Utara


Qiu et al Ekspresi surviving

Kowalski et al Apoptosis eosinofil

Meyer et al Ekspresi eotaxin

Olze et al RANTES
Eosinofil

Rudack et al Eosinofil yang berhubungan dengan sitokin IL-5

Ohori et al VCAM-1 yang diperkuat oleh TNF-

Kim et al Ketiadaan limfangiogenesis pada inflamasi


mukosa hidung
Edem stroma dan pembentukan polip

Lechapat-Zalcman Meningkatnya regulasi MMP-9 di kelenjar dan


pembuluh darah

Bernstein et al Produksi super antigen stapilokokus aureus

Van Zele et al Aktivasi sitokin Th-1 dan Th-2

Cannady et al Abnormalitas metabolisme NO

Sumber: Aouad & Chiu 2011.

2.1.8 Diagnosis

2.1.8.1 Anamnesis

Keluhan utama penderita polip hidung adalah hidung tersumbat.


Rinore mulai yang jernih sampai purulen atau post nasal drips, gangguan
penghidu, suara sengau serta rasa nyeri pada hidung disertai sakit kepala
(Lund 1995).

2.1.8.2 Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan rinoskopi anterior terlihat massa yang berwarna


pucat dan mudah digerakkan. Adanya fasilitas naso-endoskopi akan

Universitas Sumatera Utara


sangat membantu diagnosis kasus polip stadium dini (Mangunkusumo dan
Wardani 2007).

2.1.8.3 Pemeriksaan Histopatologi

Pemeriksaan histopatologi merupakan baku emas penegakan


diagnosa polip hidung. Menurut Hellquist (1996), ada empat tipe
histopatologi polip hidung, antara lain : Edematous, Eosinophilic Polyp
(Allergic Polyp), Chronic Inflammatory Polyp (Fibroinflammatory Polyp),
Chronic Inflammatory Polyp (Fibroinflammatory Polyp) dan Polyp with
Stromal Atypia.

2.1.8.4 Pemeriksaan radiologi

CT scan diindikasikan pada kasus polip yang gagal terapi


medikamentosa, ada komplikasi sinusitis dan rencana tindakan bedah
terutama bedah sinus endoskopi fungsional (Mangunkusumo dan Wardani
2007).

2.1.9 Stadium polip

Tabel 3. Stadium Polip Menurut Mackay and Lund 1995.

Kondisi Polip Stadium

Tidak ada polip 0

Polip terbatas pada meatus media 1

Polip sudah keluar dari meatus media tetapi belum 2


memenuhi rongga hidung

Polip yang massif (memenuhi rongga hidung) 3

Sumber: Assanasen & Naclerio 2001.

Tabel 4. Stadium Polip Menurut Yamada et al 2000.

Kondisi Polip Stadium

Universitas Sumatera Utara


Tidak ada polip 0

Polip di meatus media dan belum mencapai batas bawah 1


konka media

Polip belum mencapai titik tengah antara batas bawah 2


konka media dan batas atas konka inferior
Polip belum melewati batas bawah konka inferior 3

Polip melewati batas bawah konka inferior 4

Sumber: Yamada et al 2000.

Pada penelitian ini peneliti menggunakan naso-endoskopi untuk menilai


polip hidung dan menentukan stadium berdasarkan stadium polip menurut
Mackay and Lund.

2.1.10 Penatalaksanaan polip hidung

Penatalaksanaan polip hidung dengan medikamentosa, operasi


atau kombinasi. Berdasarkan guideline PERHATI-KL, stadium 1 (menurut
Mackay and Lund) dapat diterapi dengan medikamentosa (polipektomi
medikamentosa), untuk stadium 2 dapat diterapi medikamentosa atau
operasi dan stadium 3 dianjurkan untuk dioperasi (Aouad & Chiu 2011;
PERHATI-KL 2007).

Tujuan Penatalaksanaan Polip Hidung.


1. Eliminasi polip hidung atau mengurangi ukuran polip sebesar mungkin.
2. Membuka kembali jalan nafas melalui hidung.
3. Meredakan gejala.
4. Penciuman kembali normal.
5. Mencegah kekambuhan polip hidung.
6. Mencegah komplikasi
Sumber: Mygind & Lildholdt 1996; Badia & Lund 2001.

Universitas Sumatera Utara


Sarat Terapi Polip Hidung yang Ideal.
1. Kepatuhan pasien (dipengaruhi rasa nyeri atau ketidaknyamanan, biaya
pengobatan, lamanya pengobatan dan lamanya efek pengobatan.
2. Tidak ada efek samping yang berbahaya.
3. Tidak ada perubahan struktur normal dan fungsi hidung.
Sumber: Mygind & Lildholdt 1996.

Universitas Sumatera Utara


Keluhan
Sumbatan hidung dengan 1/> gejala:
Rinore purulen, anosmia/hiposmia, post nasal drips, sakit kepala frontal
Tampak massa dgn rinoskopi / naso-endoskopi

Massa polip hidung Jika mungkin: biopsi untuk tentukan tipe polip Curiga
Tentukan stadium (eosinofilik/netrofilik) dan/lakukan polipektomi keganasan
reduksi pada polip stadium 2 dan 3 untuk
memperbaiki airway.
Biopsi

Stadium 2 dan Stadium 1 dan Semua stadium Semua stadium


3: terapi bedah 2: terapi medik tipe netrofilik: tipe eosinofilik:
terapi bedah terapi medik

Persiapan pra
bedah: HDST Terapi medik:
dan CT Scan 1. Steroid topikal dan/atau
2. Polipektomi medikamentosa (HDST)

Terapi bedah Tidak ada perbaikan: Perbaikan: Perbaikan: hilang


Tetap/membesar/me Mengecil cukup
ngecil sedikit banyak

Tindak lanjut dengan steroid topikal


Pemeriksaan berkala dengan naso-endoskopi Sembuh

Polip rekuren:
- Cari faktor alergi - Kaustik /ekstraksi polip kecil
- Steroid topikal - Operasi ulang
- Steroid oral (HDST)
Sumber: Perhati (2007).

Gambar 7. Algoritma Penatalaksanaan Polip Hidung & Sinus Paranasal.

Universitas Sumatera Utara


2.2 Fisiologi Kortikosteroid

Steroid adalah hormon yang dibuat dari kolesterol di kortex adrenal.


Kelenjar adrenal adalah organ kecil yang terletak diatas ginjal. Kelenjar ini
mengandung banyak pembuluh darah yang mengalirkan darah dari dan
menuju kelenjar. Kelenjar ini menghasilkan epinefrin yang mengatur
tekanan darah dan fungsi saraf. Kortex adrenal menghasilkan dua jenis
steroid yakni androgen adrenal dan kortikosteroid. Kortikosteroid memiliki
banyak fungsi, antara lain mengatur metabolisme karbohidrat, protein dan
lemak, mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit, mengatur system
kardiovaskular dan saraf, ginjal, otot rangka dan fungsi organ yang lain.
Jika seseorang mendapat kortikosteroid diatas kemampuan kelenjar
adrenal memproduksi kortikosteroid maka akan menyebabkan insufisiensi
kelenjar adrenal. Penderita akan menderita demam, keletihan, tidak
bertenaga dan tekanan darah rendah. Gejala ini sangat mirip dengan
penderita infeksi yang berat. Tergantung berapa lama dan besarnya dosis
steroid yang didapat, penurunan dosis bertahap mutlak dilakukan dan
dapat berlangsung selama beberapa hari hingga beberapa minggu (Beck
2004).

2.3 Kortikosteroid

Tujuan penggunaan kortikosteroid adalah untuk mengurangi ukuran


dan jumlah polip, membuka jalan nafas melalui hidung, memperbaiki
kemampuan menghidu, mengurangi inflamasi, untuk mengurangi
intensitas operasi, menunda operasi atau bahkan menghilangkan polip
sehingga tidak perlu dioperasi lagi (Bachert 2011; VLckova et al 2009).

Apoptosis merupakan proses yang penting dalam mengurangi


jumlah sel-sel inflamasi. Kortikosteroid meng-induksi proses apoptosis sel-
sel inflamasi pada polip hidung pada in vitro. Pemberian steroid oral,
topikal maupun steroid injeksi intra polip terbukti meng-induksi apoptosis
pada polip hidung (Assanasen & Naclerio 2001).

Universitas Sumatera Utara


Polip hidung adalah manifestasi proses inflamasi maka
kortikosteroid adalah terapi yang efektif. Kortikosteroid semprot hidung
atau sistemik bekerja dengan mengurangi konsentrasi mediator inflamasi
dan sel-sel inflamasi dengan cara meng-inhibisi proliferasi sel dan meng-
induksi apoptosis. Efek anti inflamasi ini tidak hanya berdampak pada sel-
sel inflamasi seperti limfosit dan eosinofil tetapi juga sel-sel epitel dan
fibroblas. Efikasi klinis kortikosteroid sebagai anti inflamasi dapat dilihat
dari kemampuannya mengurangi infiltrasi eosinofil di saluran nafas
dengan cara mencegah peningkatan kemampuan hidup dan mencegah
aktifasi eosinofil. Kortikosteroid merupakan terapi konservatif pilihan untuk
polip baik sebagai terapi utama maupun untuk mencegah kekambuhan.
Fokkens et al mendapati angka kekambuhan sekitar 5%-10% setelah
operasi. Dalziel et al mendapati angka kekambuhan sekitar 28% setelah
bedah sinus endoskopi fungsional dan sekitar 35% setelah semprot
hidung polipektomi (Newton & Ah-See 2008; Ferguson & Orlandi 2006;
Watanabe, Kanaizumi, Shirasaki, Himi 2004).

Kortikosteroid menghambat pelepasan mediator vasoaktif sehingga


mengurangi vasodilatasi, ekstravasasi cairan dan deposit mediator.
Kortikosteroid mengurangi amplifikasi reaksi inflamasi dengan mengurangi
rekruitmen sel-sel inflamasi dan juga menghambat proliferasi fibroblast
dan sintesa matrix protein ekstraselular. Hal ini akan mengakibatkan
berkurangnya sitokin dan sel-sel inflamasi. Sel T sangat sensitif terhadap
kortikosteroid. Jumlah sel T yang berkurang sangat tergantung pada dosis
kortikosteroid. Rekruitmen sel-sel inflamasi dihambat dengan dihambatnya
ekspresi ikatan molekul seperti ICAM-1 dan VCAM-1, yang berperan
dalam proses influx basofil dan sel mast di lapisan epitel mukosa hidung.
Kortikosteroid mengurangi pelepasan mediator seperti histamin,
prostanoids dan leukotrien. Hal ini menyebabkan berkurangnya jumlah
sel-sel inflamasi di mukosa. Kortikosteroid menormalkan jumlah sel yang
mengalami influx. Walaupun demikian, kortikosteroid kelihatannya tidak

Universitas Sumatera Utara


mempunyai pengaruh terhadap makrofag dan neutrofil. Hal ini mungkin
yang menjadi alasan bahwa kortikosteroid topikal tidak menurunkan daya
tahan tubuh terhadap infeksi (Bachert, Watelet, Gevaert, Cauwenberge
2005).

Konsentrasi Metilprednisolon intravena di plasma lebih tinggi jika


diberikan pada pukul 08.00 daripada diberikan pada pukul 16.00. Bersihan
metilprednisolon lebih tinggi 28% jika diberikan pada sore hari daripada
jika diberikan pada pagi hari. Efek klinis menjadi lebih adekuat dan
gangguan pada sirkardian cortisol akan lebih minimal jika kortikosteroid
diberikan pada pagi hari (Fisher et al 1992).

Beberapa penderita polip hidung tidak menunjukkan adanya


perbaikan dengan steroid. Hal ini mungkin dikarenakan jenis polip yang
tidak respon terhadap glukokortikoid seperti cystic fibrosis atau primary
ciliary dyskinesia, yang khas dengan infiltrasi lokal neutrofil bukan
eosinofil. Penyebab lain adalah adanya infeksi purulen sehingga polip
tidak respon secara temporer terhadap steroid atau dikarenakan distribusi
steroid semprot hidung yang tidak adekuat oleh karena hidung yang
dipenuhi massa polip (Mygind & Lildholdt 1996).

Tabel 5. Mediator Proinflamasi yang ditekan Kortikosteroid Intranasal

Mediator Komponen

Sitokin IL-6, IL-8; sintesis antibodi IgE

Sel-sel Langerhan Sintesis IgE dan stimulasi sel T


Limfosit Aktifasi sel T seperti CD 3+,CD 4+,CD8+ dan CD 25+

Sel Mast Pelepasan IgE tergantung histamin

Basofils Produksi IL-4 dan IL-13 dan pelepasan IgE bergantung


histamin

Eosinofil Sitokin seperti IL-4 dan IL-5

Sumber: Demoly 2007.

Universitas Sumatera Utara


2.3.1 Kortikosteroid semprot hidung

Food and Drug Administration sejak Januari 2005 hanya menerima


kortikosteroid semprot hidung sebagai terapi polip hidung. Sediaan steroid
nasal topikal dapat berupa drops atau spray. Tidak ada penelitian yang
membandingkan efikasi kedua sediaan ini (Aouad & Chiu 2011; Ferguson
& Orlandi 2006).

Bioavailabilitas adalah sejumlah obat yang masuk ke sirkulasi


sistemik. Rasio terapetik adalah potensi pencapaian efek yang diinginkan
dibandingkan dengan efek sistemik yang tidak diinginkan. Tujuan
pemberian kortikosteroid semprot hidung adalah untuk mencapai
perbandingan tertinggi antara efek lokal dengan efek sistemik.
Kortikosteroid semprot hidung adalah terapi terbaik pada polip hidung
meskipun mekanisme kerjanya pada polip hidung sampai saat ini belum
dapat dipahami dengan baik (Pornsuriyasak & Assanasen 2008;
Jankowski, Bouchoua, Coffinet, Vignaud 2002).

Tabel 6. Kortikosteroid Intranasal

Kortikosteroid Generasi

Triamcinolone acetonide ( TAA ) I

Flunisolide ( FLU ) I

Beclomethasone dipropionate ( BD ) I

Budesonide ( BUD ) I

Mometasone furoate ( MF ) II

Fluticasone propionate ( FP ) II

Ciclesonide aqueous ( CIC ) II

Fluticasone furoate ( FF ) II

Sumber: Sastre & Mosges 2012; Pornsuriyasak & Assanasen 2008.

Universitas Sumatera Utara


Tabel 7. Perkiraan Bioafibilitas Kortikosteroid Semprot Hidung

Kortikosteroid Bioavibilitas sistemik

Dexamethasone (oral) 76 %

Flunisolide 49 %

Triamcinolone acetonide 46 %

Beclomethasone dipropionate 44 %

Budesonide 34 %

Fluticasone propionate <1%

Fluticasone furoate 0,5 %

Mometasone furoate < 0,1 %

Ciclesonide aqueous Sangat rendah

Sumber: Sastre & Mosges 2012.

Universitas Sumatera Utara


Intranasal Kortikosteroid 200 g

Gut 70% Nasociliary clearance Nose 30%

140 g Deposition 60 g

77% hepatic first-pass 99 % hepatic first-pass No first-pass

14 g e.g. TAA 1,4 g e.g. MF/FP 60 g

Systemic circulation

Gambar 8. Metabolisme 200 g MF, FP, Bud dan TAA.


Sumber: Demoly 2007. Oleh karena aktifitas mukosiliar hidung maka sekitar 70% steroid
semprot hidung akan masuk ke saluran cerna. TAA lebih sedikit mengalami metabolisme
di hati sehingga bioavibilitas sistemiknya menjadi jauh lebih tinggi daripada MF dan FP.

Mometasone furoate dan FP adalah kortikosteroid lipofilik yang


memiliki banyak reseptor di mukosa. Keduanya sangat efisien,
dimetabolisme di hati dan bioavibilitas sistemik minimal sehingga potensi
efek samping sistemik sangat rendah. Triamcinolone adalah kortikosteroid
sintetis yang memiliki struktur yang sama dengan hydrocortison,
fludrocortison dan dexametason; adalah anti inflamasi dengan efek
mineralkortikoid yang minimal. Dibandingkan dengan mometasone, TAA
lebih nyaman digunakan, efek iritasi lebih kecil, aroma lebih lembut, lebih
terasa nyaman saat mengenai mukosa hidung serta rasa yang lebih
ringan. Fluticasone furoate adalah kortikosteroid sintetis terbaru yang
diperkenalkan pada tahun 2007. Fluticasone furoate mempunyai cakupan
yang luas terhadap reseptor glukokortikoid dengan efek anti inflamasi
yang sangat kuat. Fluticasone furoate semprot hidung tersedia dalam

Universitas Sumatera Utara


bentuk suspensi mikro FF 27,5 g FF dalam 50 g suspensi tiap semprot.
Mula kerja FF sangat cepat, 8 jam setelah semprotan pertama, berbeda
dengan FP pada hari kedua setelah pemberian pertama. FF mempunyai
afinitas terbesar terhadap reseptor glukokortikoid jika digunakan semprot
hidung dan berikatan dengan reseptor paling lama. Masa kerja lebih lama
(24 jam) dengan dosis sekali semprot setiap hari. Pemberian FF sekali
semprot sehari menunjukkan efektifitas yang sama dengan pemberian FP
dua kali semprot sehari. Dosis yang dianjurkan 110 g sekali sehari
terbagi dalam dua kali semprot (27,5 g/semprot) tiap hidung/polip.
Fluticasone furoate yang masuk kedalam saluran cerna akan metabolisme
di hati oleh isozim P450, CYP3A4, sehingga efek sistemik sangat minimal
(< 0,5 %). Harus dipertimbangkan pemberian FF pada penderita
gangguan fungsi hati. Fluticasone Furoate tidak diidentifikasi di urin orang
yang mendapat semprot hidung sehingga tidak perlu penyesuaian dosis
pada penderita dengan gangguan ginjal. Pemberian bersama
ketokonazole atau obat lain yang bersifat inhibitor kuat CYP3A4 seperti
ritonavir sebaiknya dihindari. Efek samping yang timbul umumnya ringan
serta dapat sembuh sendiri dan paling sering timbul adalah epistaksis,
faringitis, mukosa hidung terasa kering dan panas (Sastre and Mosges
2012; Kumar, Kumar, Parakh 2011; Djupesland 2010; Pornsuriyasak &
Assanasen 2008; Doggrell & Sheila 2003; Mann 2003).

Tabel 8. Cara pemakaian kortikosteroid semprot hidung yang disarankan.

1. Posisi kepala netral, menatap keatas.


2. Rongga hidung bersih.

3. Masukkan nozzle kedalam rongga hidung.

4. Semprotkan kearah lateral


5. Gunakan atas saran dokter.
6. Bernafas lembut saat rongga hidung disemprot.
7. Bernafas melalui hidung.
Sumber: Sastre and Mosges (2012).

Universitas Sumatera Utara


Tabel 9. Perbandingan Kortikosteroid Semprot Hidung.

FP MF BUD CIC FF

Bioavibilatas (%) <2 Minim 34 <1 1,26

Ikatan protein (%) 91 99 85 99 99

Ekskresi F 95 % F 55 % F 34 % F 66 % F 90 %
U 5% U 45 U 66 % U 20 U 1%
% %
Waktu paruh (jam) 7,8 5,8 2-3 6-7 15,1

Afinitas reseptor 1775 900 855 120 2989

Telah diterima FDA 4 2 6 6 2


(years)

Onset reaksi (jam) 12 11 4 1 6-8

Dosis semprot (g) 50 50 32 50 27,5

Diterima FDA (year) 1994 1997 1999 2006 2007

Sumber: Kumar,Kumar,Parakh (2011). Keterangan: F= feses, U= urin.

Naclerio and Mackay (2001) melaporkan bahwa penggunaan


kortikosteroid semprot hidung selama 4-6 minggu, efektif mengurangi
ukuran polip hidung. Pada penelitian ini peneliti akan menggunakan
Fluticasone furoate 110 g sekali sehari yang diberikan dalam dua kali
semprot (27,5 g/semprot) untuk tiap polip hidung.

2.3.2 Kortikosteroid oral

Penggunaan steroid oral hanya dalam jangka pendek (2-3 minggu)


oleh karena resiko efek samping sistemik. Steroid oral kontraindikasi
pada penderita infeksi akut, ulkus peptikum, psikosis dan osteoporosis.
Namun penggunaan steroid oral masih direkomendasikan untuk
penderita rinosinusitis kronik dengan polip hidung dan untuk
penatalaksanaan exaserbasi gejala yang berat pada penderita tersebut.

Universitas Sumatera Utara


Beberapa penelitian menunjukkan adanya perbaikan gejala yang cepat
dan perubahan ukuran polip hidung dengan penggunaan steroid oral.
Pemberian kortikosteroid oral jangka pendek preoperatif diikuti
kortikosteroid semprot hidung postoperatif menunjukkan penurunan angka
kekambuhan setelah operasi yang bermakna. Adapun steroid oral yang
sering digunakan pada terapi polip hidung antara lain: Metilprednisolon,
Dexametason dan Prednisone. Lildholdt mendapatkan polipektomi dengan
steroid oral jangka pendek menunjukkan hasil yang sama dengan
polipektomi dengan menggunakan snare. Komplikasi yang dapat timbul
berupa imunosupresi, gangguan penyembuhan luka, ulkus peptikum,
mudah memar, meningkatnya kadar gula darah, meningkatnya tekanan
darah, meningkatnya tekanan intra ocular, supresi adrenal, katarak,
perubahan distribusi lemak tubuh, retensi cairan, kehilangan potassium
dan calcium, menurunnya kepadatan tulang, kelemahan otot, hirsutism,
emosi yang labil hingga psychosis (Bachert 2011; Kowalski 2011; Al-
Husban, Nawasreh, Al-Raggad 2010; Perhati 2007; Ferguson & Orlandi
2006; Jankowski, Bouchoua, Coffinet, Vignaud 2002)

Pemberian kortikosteroid oral harus dengan dosis yang diturunkan


secara bertahap. Penurunan dosis dapat dilakukan dengan mengurangi
setengahnya setiap 5 hari sekali hingga mencapai dosis 8 mg. Pemberian
seperti ini dapat dilakukan sampai 4 kali dalam setahun jika tidak ada
kontra indikasi pada individu tersebut (Bachert, Watelet, Gevaert,
Cauwenberge 2005).

Pada penelitian ini peneliti menggunakan Metilprednisolon 64 mg


tappering off selama kurang lebih 3 minggu sebagai terapi. Dosis
diturunkan setengahnya setiap 5 hari sekali.

Universitas Sumatera Utara


2.4 Kerangka Teori Penelitian.

Kortikosteroid

Sel T Sekresi Sitokin Pelepasan Proliferasi


dan Kemokin Mediator Fibroblast

TGF-1 Ekspresi ICAM-1


dan VCAM-1

Interleukin 5 Jumlah sel-sel Influx Basofil


radang dan Sel Mast

Ukuran polip

Gambar 9. Kerangka Teori Penelitian

Universitas Sumatera Utara


2.5 Kerangka Konsep
Kortikosteroid

Fluticasone furoate semprot Metilprednisolon oral


hidung

Polip hidung Polip hidung

Sel-sel inflamasi Sel-sel inflamasi

Apoptosis Apoptosis

Jumlah sel radang polip hidung

Ukuran polip

Gambar 10. Kerangka Konsep Penelitian.

2.6 Anatomi Hidung

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan


ke belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi
kavum nasi kanan dan kiri. Tiap kavum nasi mempunyai 4 dinding, yaitu
dinding medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah
septum nasi. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan
dan periosteum pada bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi oleh
mukosa hidung.

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Konka inferior


merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksil a dan labirin
etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan
bagian dari labirin etmoid. Diantara konka-konka dan dinding lateral
hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Meatus inferior
terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral

Universitas Sumatera Utara


rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat ostium duktus
nasolakrimalis. Meatus medius terletak diantara konka media dan dinding
lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal,
maksila dan etmoid anterior. Pada konka superior yang merupakan ruang
diantara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid
posterior dan sinus sfenoid.

Keterangan gambar dari


atas ke bawah:

- Konka superior
- Meatus nasi
superior
- Konka media
- Meatus nasi media
- Konka inferior
- Meatus nasi
inferior

Gambar 11. Dinding lateral hidung (Ballenger 2003).

Kompleks Ostiomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding


lateral hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea.
Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus
unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger
nasi dan resesus frontal. KOM merupakan unit fungsional yang
merupakan tempat ventilasi dan drainase dari sinus-sinus yang letaknya di
anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan frontal (Soetjipto 2007).

Epitel yang melapisi vestibulum adalah keratinized, squamous cell


epithelium dan ditumbuhi rambut hidung serta mengandung kelenjar
sebasea. Dari tepi konka inferior menuju posterior, epitel berubah menjadi
cuboidal epithelium dan pseudostratified ciliated columnar respiratory
epithelium. Pada bagian posterior nasofaring, epitel berubah lagi menjadi
nonkeratinized, squamous cell epithelium (Hwang and Abdalkhani 2009).

Universitas Sumatera Utara


2.7 Fisiologi Hidung
Menurut Corey dan Yilmaz (2009), ada lima fungsi hidung:

1. Fungsi respirasi.
2. Fungsi pertahanan lokal.
Adanya rambut hidung dan klirens mukosiliar adalah bagian
terpenting dalam mekanisme pertahanan terhadap patogen dan
toxin yang terhirup bersama udara.
3. Sebagai pengatur suhu dan kelembaban udara.
Hidung sangat berperan penting dalam mengatur suhu dan
kelembaban udara yang akan memasuki pari-paru.
4. Fungsi penghidu.
Di rongga hidung terdapat mukosa olfaktorius dan reservoir udara
untuk menampung stimulus penghidu.
5. Fungsi resonansi suara
Kualitas suara sangat ditentukan oleh vibrasi suara di faring,
rongga mulut dan rongga hidung.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai