Anda di halaman 1dari 4

SRADHA DAN BHAKTI

Sebelum secara khusus membahas Sraddha maka terlebih dahulu akan dikaji
pengertian istilah Sraddha ini secara semantic dan aplikatif. Ada 2 jenis kata yang
sangat dekan bunyinya namun maknanya lain adalah kata Sraddha, yang berarti
upacara terakhir bagi seseorang setelah upacara pembakaran jenazah yang disebut
Antyesty dan penyucian roh yang disebut Pitrapinda. Upacara Sraddha ini
berdasarkan uraian kitab Negarakertagama dilaksanakan pula pada jaman kerajaan
Majapahit, saat itu raja Hayam Wuruk melakukan upacara Sraddha untuk neneknya
yang bernama Dyah Gayatri. Upacara Sraddha dilaksanakan pula di Bali yang kini
disebut Nuntun atau Ngglinggihang Dawehyang atau upacara Atmasiddhadewata.
Kata Sraddha yang merupakan topic dari tulisan ini mengandung makna yang
sangat luas yakni keyakinan atau keimanan. Untuk itu dalam rangka memperluas
wawasan kita tentang istilah ini, maka kami kutipan beberapa pengertian tentang kata
Sraddha ini seperti diuangkapkan Yaska dalam bukunya Nighantu (III.10), sebagai
berikut Kata Sraddha dari akar kata srat yang berarti kebenaran (satya nama). Sedang
Sayana memberikan interpretasi dalam pengertian berikut :
1. Adaratisaya atau bahumana, penghargaan yang tinggi, keyakinan atau
kepercayaan (Reg Weda, II. 12.5)
2. Purusagatobhilasawisesa, satu bentuk yang istimewa dari keinginan manusia
(Reg Weda, X. 151)
3. Sraddhadhnah sebagai karmamustanatatparah, Ia yang memiliki keyakinan
dan semangat untuk mempersembahkan upacara pemujaan (Atharwa Weda,
Vi. 122.3)
Di dalam Bhagawadgita (XVII.2.3) kita temukan tiga jenis sraddha yaitu:
sraddha yang bersifat satwa, rajas, dan tamas sesuai dengan sifat manusia. Keyakinan
tiap tiap individu tergantung pada sifat dan wataknya. Manusia itu terbentuk oleh
keyakinannya dan keyakinannya itulah sesungguhnya dia. Demikian antara lain
makna kata sraddha yang kiranya amat sulit mencari padanannya yang tepat dalam
kosakata bahasa Indonesia. Kinia timbul pertanyaan ajaran mana saja dalam Hindu
dapat dikatagorikan ke dalam sraddha. Tentang hal ini Bapak Drs. Ida Bagus Oka
Punia Atamaja (1971) telah merumuskannya dalam buku yang diberi judul Panca
Sraddha yang merupakan lima jenis keyakinan atau keimanan Hindu yaitu :
1. Widhi Tatwa atau Widhi Sraddha, keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
dengan berbagai macam manifestasinya.
2. Atma Tattwa atau Atma Sraddha, keimanan terhadap atman yang
menghidupkan semua makhluk.
3. Karmaphala Tattwa atau Karmaphala Sraddha, keimanan terhadap kebenaran
hokum sebab akibat atau buah dari perbuatan.
4. Samsara atau Punarbhawa Tattwa, keimanan terhadap kelahiran kembali.
5. Moksa Tattwa atau Moksa Sraddha, keimanan terhadap kebebasan tertinggi
bersatunya atman dengan Brahman.
Tentang pengamalam ajaran agama melalui pendalaman sraddha secara tegas
dijelaskan dalam Brahma Sutra maupun Bhagawadgita. Di dalam kitab Brahma
Sutra (11.3) dinyatakan Sastronitwat yang artinya Sastra suci sebagai sumber
pengetahuan yang benar. Berkenaan dengan Sutra ini Swamisiwananda menyatakan
bahwa sastra yang dimaksud adalah kitab suci Weda dan Sruti. Sruti adalah sabda
Tuhan Yang Maha Esa yang di dalamnya kita temukan ajaran suci sebagai sumber
ajaran Agama Hindu. Lebih jauh kitab Brahma Sutra (1.1.4) menyatakan
Tattusamanwayat yang artinya : Brahman hanya diketahui dengan kitab kitab
Wedanta adalah kitab kitab Upanisad yang di dalamnya terkandung ajaran
Sraddha (Panca Sraddha) yang diajarkan secara mendalam yang merupakan sumber
filsafat ajaran Agama Hindu.
Kitab Bhagawadgita (III.31, IV.39, 40) yang merupakan sabda Sri Kresna
kepada Arjuna menekankan tentang sraddha sebagai berikut :

Mereka yang selalu mengikuti ajaranKu dengan penuh keyakinan (sraddha)


serta bebas dari keinginan duniawi, juga bebas dari keterikatan

Ia yang memiliki keimanan yang mantap (sraddha) memperoleh ilmu


pengetahuan, menguasai panca indrianya setelah memiliki ilmu pengetahuan
dengan segera mencapai kedamaian yang abadi

Tetapi mereka yang dungu, yang tidak memiliki ilmu pengetahuan tidak
memiliki keimanan dan diliputi keraguan orang yang demikian tidak akan
memperoleh kebahagiaan di dunia ini dan di dunia lain
Lebih jauh sraddha saja tanpa kebaktian dan penyerahan diri sepenuhnya tidak
akan pernah mencapai kesempurnaan. Sebaliknya seorang yogi akan mencapai
kesempurnaan bila kebaktian dan perbuatannya dilandasi sradha atau keyakinan
yang mantap terhadapNya. Perhatikan terjemahan sloka Bhagawadgita (VI.37 & 47)
berikut :

Seorang yang tidak mampu mengontrol dirinya sendiri walaupun ia memiliki


sraddha apabila pikirannya mengembara kemana mana jauh dari yoga, apakah
yang akhirnya diperoleh wahai Krisna, tentunya gagal mencapai kesempurnaan di
dalam Yoga

Di antara para Yogi yang memuja Aku dengan penuh keimanan yang
mantap, yang hatinya menyatu dengan Aku inilah yang menurutKu yogi yang paling
sempurna.

Sesungguhnya sraddha saja tanpa kebaktian tidaklah cukup hal ini ditegaskan
kembali dalam Bhagawadgita (VII.22) berikut :

Berpegang teguh pada keyakinannya itu, mereka berbakti melalui


keyakinanya itu daripadanya memperoleh apa yang diharapkan mereka, yang
sebenarnya akan terkabulkan olehKu

Terjemahan sloka di atas menunjukkan betapa toleransi atau penghargaan


terhadap keimanan atau keyakinan seseorang. Sebab pada hakikatnya kebaktiannya
itu akan terkabulkan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Untuk mendekatkan diri kepada
Tuhan Yang Maha Esa agama Hindu memberikan kebebasan kepada umatnya untuk
menempuh berbagai jalan yang dirasakan cocok oleh pribadi yang bersangkutan.
Jalan atau marga tersebut pada umumnya adalah bhakti marga, karma marga, jnana
marga, dan yoga marga. Di antara empat jalan yang umum tersebut, jalan bhakti
adalah jalan yang paling mudah dilaksanakan oleh umat Hindu umumnya.
Hidup manusia tidak selama manis dan menyenangkan tetapi terkadang juga
mengalami pasang surut laksana gelombang di tepi laut. Dalam pasang surut
kehidupan seorang yang tidak memiliki pegangan akan terhempas dan mungkin
terjerembab ke dalam lautan. Hidup dan kehidupan mestinya dinikmati bagaikan
seorang peselancar yang mahir selalu tersenyum riang menanti gelombang walaupun
sekali waktu ia harus tergulung ombak karena tiupan angina kencang.
Ajaran suci diturunkan oleh Sang Hyang Widhi, kemudian dirumuskan
menjadi ajaran agama merupakan pegangan hidup dan kehidupan umat manusia.
Seorang yang memiliki pegangan yang jelas, tidak akan khawatir meniti kehidupan.
Ajaran agama membimbing manusia bagaimana seharusnya hidup, bagaimana
bimbingan yang mengarahkan umat manusia menuju kesempurnaan hidup. Dalam
kehidupan banyak hal yang dapat menjerumuskan diri manusia menuju jurang
kehancuran. Kitab suci Bhagawadgita (XVI.21) menyatakan : ada tida sifat yang
mendorong manusia menuju kehancuran yaitu kama, krodha, lobha, yang
digambarkan sebagai tiga pintu gerbang menuju neraka. Ketiga sifat atau
kecendrungan itu sering menjerumuskan umat manusia dari kehancuran. Untuk
dapat mengatasi hal itu seseorang hal itu seorang harus kembali berpegang pada
ajaran agama yang diturunkan oleh Sang Hyang Widhi seperti tercantum dalam
kitab suci Weda dan Susastra Hindu lainnya. Dalam hal ini pendidikan spiritual,
moral, dan etika hendaknya semakin ditingkatkan dan direalisasikan dalam
kehidupan sehari hari baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat,
baik dalam lingkungan keluarga sosial, maupun dalam hubungan dengan kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Pendidikan spiritual, moral, dan etika merupakan hal yang sangat mendasar
dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Adapun yang
menjadi sumber pendidikan ini tidak lain adalah ajaran Agama. Pengenalan ajaran
agama bagi seseorang maupun kelompok masyarakat akan tercermin dalam
berperilaku di dalam keluarga dan masyarakat. Semakin arif dan bijaksana prilaku
seseorang maka orang tersebut dikatakan telah mengamalkan ajaran agama dengan
baik, sebab tidak ada artinya mengerti atau memahami.

Anda mungkin juga menyukai