Anda di halaman 1dari 3

PENYALAHGUNAAN DISKRESI PADA

KEBIJAKAN MOBIL NASIONAL


A. Pendahuluan
Kajian mengenai topik ini dikategorikan kedalam lingkup hukum administrasi negara, yaitu salah satu
bidang hukum yang mengatur mengenai kedudukan, tugas dan fungsi pemerintah sebagai
administrator negara. Pemerintah adalah pengurus harian negara yang terdiri dari keseluruhan
jabatan/pejabat publik yang mempunyai tugas dan wewenang politik negara serta pemerintahan.
Dalam artian yang luas, hukum administrasi negara adalah hukum mengenai penyelenggaraan segala
sesuatu yang mengandung aspek policy pemerintah dan hukum publik.
Apa yang dijalankan oleh pemerintah beserta aparaturnya adalah tugas-tugas pemerintah, yaitu
tugas-tugas negara yang dilimpahkan atau dibebankan kepada pemerintah. Sedangkan tugas-tugas
lainnya dibebankan kepada MPR (badan konstitutif), presiden dan DPR (badan legislatif), DPR (badan
pengawas politik), DPA (badan konsultasi) dan BPK (badan pengawas finansial).
Pembahasan akan kami fokuskan kepada aspek tugas-tugas pemerintah, oleh karena pemerintah
yang memiliki tugas dan tanggung jawab terbanyak dan kompleks pada hampir semua bidang tugas-
tugas serta diprediksikan memiliki tingkat penyalahgunaan diskresi (detournement de pouvoir)
tertinggi bila dibandingkan tugas-tugas yang dibebankan kepada lembaga negara lainnya.
Diskresi (freies ermessen) adalah kebebasan bertindak atau mengambil keputusan pada pejabat
publik yang berwenang berdasarkan pendapat sendiri. Diskresi diperlukan sebagai pelengkap asas
legalitas, yaitu asas hukum yang menyatakan bahwa setiap tindak atau perbuatan administrasi
negara harus berdasarkan ketentuan undang-undang, akan tetapi tidak mungkin bagi undang-undang
untuk mengatur segala macam hal dalam praktek kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu diperlukan
adanya kebebasan atau diskresi pada pejabat publik dalam melaksanakan tugas, fungsi dan
kewajiban yang dibebankan kepadanya.
Sehingga dapat dikatakan bahwa untuk mengatur hal-hal yang lebih rinci dari pelaksanaan suatu
ketentuan undang-undang, pemerintah atau dalam hal ini pejabat publik diberikan kebebasan untuk
mengambil keputusan berdasarkan pendapat sendiri, namun ini tidak berarti tidak ada rambu-rambu
atau koridor-koridor hukum yang membatasinya. Pendapat pribadi pejabat publik tersebut tetap
harus merupakan pengejawantahan atau sekurang-kurangnya sejiwa dengan undang-undang yang
melandasinya tersebut, kemudian asas moralitas dan rasa keadilan masyarakat seharusnya tetap
dijiwai diskresi tersebut.
B. Permasalahan dan Pembahasan
Dalam bagian ini kami akan mencoba untuk mengambil beberapa contoh penyalahgunaan diskresi
dalam praktek penyelenggaraan negara terutama dimasa-masa lalu serta akan diperbandingkan
dengan hal-hal yang seharusnya dilakukan oleh seseorang pejabat publik dalam memanfaatkan asas
diskresi ini.
Proyek mobil nasional yang dicanangkan di masa rezim orde baru merupakan contoh nyata terjadinya
penyalahgunaan diskresi dalam praktek penyelenggaraan negara. Dengan dalih untuk memajukan
industri otomotif di Indonesia agar setaraf dengan negara maju, Soeharto sebagai seorang pejabat
publik telah dengan sengaja melakukan pelanggaran beberapa asas hukum yang seharusnya tetap
dipedomani, sekalipun kebijakan yang dibuatnya tersebut (jikapun bisa) dikategorikan kedalam suatu
bentuk diskresi, yaitu :
1.Keputusan pemerintah untuk memberikan keistimewan-keistimewaan pembebasan pajak
kepada PT. Timor Putra Nasional telah melanggar asas legalitas terhadap Undang-undang perpajakan
yang seharusnya dikenakan secara sama pada para pengusaha;
Saat diberlakukannya keputusan pemerintah tersebut, reaksi pasar baik didalam negeri maupun diluar
negeri sangat negatif tetapi pemerintah tetap memaksakan kebijakan yang menimbulkan heboh
tersebut, sehingga dapat dikatakan bahwa dengan reaksi tidak diterimanya kebijaksanaan pemerintah
tersebut oleh masyarakat Indonesia dan masyarakat internasional maka legitimitas keputusan
pemerintah tersebut sangat kurang dan oleh karenanya sangat tidak layak untuk tetap
dipertahankan;
2.Telah dilanggar prinsip-prinsip moralitas atau rasa keadilan masyarakat yang seharusnya
senantiasa diperhatikan dan dijunjung tinggi oleh pembuat kebijakan, dengan dalih apapun atau
sebodoh apapun masyarakat Indonesia pasti mengetahui bahwa kebijakan yang dibuat oleh Soeharto
adalah upaya memperkaya diri sendiri, keluarga atau kroni-kroninya.
Lebih lanjut Prajudi Atmosudirdjo mengem ukakan bahwa pembuatan keputusan pemerintah yang
dibuat oleh pejabat publik terikat kepada 3 (tiga) asas hukum, yaitu :
Asas yuridikitas (rechtsmatigheid), artinya keputusan pemerintah tidak boleh melanggar hukum;
Asas legalitas (wetmatigheid), artinya keputusan pemerintah harus diambil berdasarkan suatu
ketentuan perundang-undangan;
Asas diskresi (freies ermessen), artinya pejabat publik tidak boleh menolak mengambil keputusan
dengan alasan tidak ada peraturannya, dan oleh karena itu diberi kebebasan untuk mengambil
keputusan menurut pendapatnya sendiri asalkan tidak melanggar asas yuridikitas dan asas legalitas
tersebut di atas.
Jika kita merujuk kepada asas-asas suatu pemerintahan yang baik dan bersih (good governance),
maka dalam kasus Proyek Mobil Nasional, Soeharto sebagai seorang pejabat publik pada saat itu
dinilai telah melakukan penyalahgunaan jabatan dan wewenang atau paling kurang tidak berupaya
bagi pencapaian dan pemeliharaan suatu pemerintahan yang baik dan bersih, yaitu dengan
ditegakkannya asas-asas :
Orang-orang yang ikut menentukan atau dapat mempengaruhi terjadinya keputusan tidak boleh
mempunyai kepentingan pribadi (vested interest) di dalam keputusan tersebut, baik secara langsung
maupun tidak langsung;
Jika kita merujuk kepada prinsip ini, maka kebijakan proyek mobil nasional harus batal demi hukum
tanpa memeriksa lagi kasusnya, oleh karena bukan hanya vested interest yang telah terjadi disini
melainkan hal yang lebih parah,yaitu unsur-unsur korupsi, kolusi dan nepotisme;
2. Asas Larangan Kesewenang-wenangan, dalam kasus Proyek Mobil Nasional tersebut Soeharto telah
melakukan suatu kebijakan tanpa mempertimbangkan semua faktor yang relevan secara lengkap dan
wajar, sehingga secara logika tampak atau terasa adanya ketimpangan. Sikap sewenang-wenang
tersebut dikategorikan telah terjadi oleh karena ia menolak untuk meninjau kembali keputusannya
yang oleh masyarakat yang bersangkutan dianggap tidak wajar. Keputusan tersebut dapat digugat
pada pengadilan perdata sebagai perbuatan penguasa yang melawan hukum (onrechtmatige
overheidsdaad);
Asas larangan penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) , yaitu Soeharto
menyalahgunakan wewenang diskresi yang diberikan kepadanya, oleh karena secara substansi
kebijakan diskresi tersebut dipergunakan untuk tujuan yang bertentangan dengan atau menyimpang
dari yang apa-apa yang dimaksudkan oleh undang-undang yaitu memperkaya diri sendiri, keluarga
dan kroninya;
Asas larangan melakukan diskriminasi hukum , dalam kasus Proyek Mobil Nasional ini Soeharto dinilai
bahwa tidak mampu untuk berpikir, mempertimbangkan segala sesuatunya, dan melakukan evaluasi
sedemikian rupa sehingga memperlakukan anggota masyarakat lain (dalam hal ini para pengusaha)
secara sama dan sebanding. Dalam penunjukan kepada PT. Timor Putra Nasional yang nota-bene
merupakan milik anak dan kroni-kroninya sendiri, maka secara jelas ia telah melakukan tindakan
pandang bulu, pilih kasih. Padahal Soeharto sangat mengetahui bahwa tindakan-tindakan seperti ini
sangat terlarang, karena merusak tujuan dari hukum obyektif, sehingga pada akhirnya akan
merongrong hukum dan wibawa negara dengan timbulnya suatu kesan bahwa negara adalah milik
dari rakyat golongan tertentu saja.
Penutup
Demikian secara singkat kami uraikan makalah tentang penyalahgunaan diskresi pada kasus Proyek
Mobil Nasional yang dihubungkan dengan asas-asas hukum yang harus dipenuhi bagi pembuatan
suatu kebijakan dan asas-asas mengenai penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Bilamana asas-
asas hukum tersebut tidak dijunjung tinggi, maka bonafiditas dan kebersihan suatu pemerintahan
tidak akan tercapai, dan keputusan-keputusannya serta tindakan-tindakannya tidak akan mempunyai
wibawa serta efek yang diharapkan.
Bogor, 3 Juni 2003
Atmosudirdjo, Prajudi, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, 1988, hal. 13
Ibid, hal. 87
Ibid, hal. 87
Siagian, Sondang P., Patologi Birokrasi-Analisis, Identifikasi dan Terapinya, Ghalia Indonesia, hal. 1

Anda mungkin juga menyukai