Anda di halaman 1dari 28

ULKUS DECUBITUS

1. Definisi
Dekubitus berasal dari bahasa latin decumbree yang berarti merebahkan
diri yang didefenisikan sebagai suatu luka akibat posisi penderita yang tidak
berubah dalam jangka waktu lebih dari 6 jam (Sabandar, 2008). National
Pressure Ulcer Advisory Panel (NPUAP) mengatakan dekubitus merupakan
nekrosis jaringan lokal yang cenderung terjadi ketika jaringan lunak tertekan
diantara tonjolan tulang dengan permukaan eksternal dalam jangka waktu
lama. Terjadi gangguan mikrosirkulasi jaringan lokal dan mengakibatkan
hipoksia jaringan (Potter & Perry, 2005).
Dekubitus sering disebut ulkus dermal / ulkus dekubitus atau luka tekan
terjadi akibat tekanan yang sama pada suatu bagian tubuh yang
mengganggu sirkulasi (Harnawatiaj, 2008). Dekubitus adalah kerusakan lokal
dari kulit dan jaringan dibawah kulit yang disebabkan penekanan yang terlalu
lama pada area tersebut (Ratna Kalijana, 2008)
Ulkus dekubitus adalah kerusakan kulit yang terjadi akibat kekurangan
aliran darah dan iritasi pada kulit yang menutupi tulang yang menonjol,
dimana kulit tersebut mendapatkan tekanan dari tempat tidur, kursi roda,
gips, pembidaian atau benda keras lainnya dalam jangka panjang (Susan L,
dkk. 2005)

2. Klasifikasi
Salah satu cara yang paling untuk mengklasifikasikan dekubitus
adalah dengan menggunakan sistem nilai atau tahapan. Sistem ini pertama
kali dikemukakan oleh Shea (1975 dalam Potter & Perry, 2005) sebagai salah
satu cara untuk memperoleh metode jelas dan konsisten untuk
menggambarkan dan mengklasifikasikan luka dekubitus. Sistem tahapan luka
dekubitus berdasarkan gambaran kedalaman jaringan yang rusak
(Maklebust, 1995 dalam Potter & Perry, 2005). Luka yang tertutup dengan
jaringan nekrotik seperti eschar tidak dapat dimasukkan dalam tahapan
hingga jaringan tersebut dibuang dan kedalaman luka dapat di observasi.
Peralatan ortopedi dan braces dapat mempersulit pengkajian dilakukan
(AHPCR, 1994 dalam Potter & Perry, 2005).
Tahapan dibawah ini berasal dari NPUAP (1992), dan tahapan ini
juga digunakan dalam pedoman pengobatan AHPCR (1994). Pada
konferensi konsensus NPUAP (1995) mengubah defenisi untuk tahap I yang
memperlihatkan karakteristik pengkajian pasien berkulit gelap. Berbagai
indikator selain warna kulit, seperti suhu, adanya pori-pori kulit jeruk,
kekacauan atau ketegangan, kekerasan, dan data laboratorium, dapat
membantu mengkaji pasien berkulit gelap (Maklebust & Seggreen, 1991
dalam Potter & Perry, 2005). Bennet (1995 dalam Potter & Perry, 2005).
menyatakan saat mengkaji kulit pasien berwarna gelap, memerlukan
pencahayaan sesuai untuk mengkaji kulit secara akurat. Dianjurkan berupa
cahaya alam atau halogen. Hal ini mencegah munculnya warna biru yang
dihasilkan dari sumber lampu pijar pada kulit berpigmen gelap, yang dapat
mengganggu pengkajian yang akurat. Menurut NPUAP (1995 dalam Potter &
Perry, 2005) ada perbandingan luka dekubitus derajat I sampai derajat IV
yaitu:
1. Derajat I
Eritema tidak pucat pada kulit utuh, lesi luka kulit yang diperbesar. Kulit
tidak berwarna, hangat, atau keras juga dapat menjadi indikator
2. Derajat II
Hilangnya sebagian ketebalan kulit meliputi epidermis dan dermis. Luka
superficial dan secara klinis terlihat seperti abrasi, lecet, atau lubang yang
dangkal.
3. Derajat III
Hilangnya seluruh ketebalan kulit meliputi jaringan subkutan atau nekrotik
yang mungkin akan melebar kebawah tapi tidak melampaui fascia yang
berada di bawahnya. Luka secara klinis terlihat seperti lubang yang dalam
dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya.
4. Derajat IV
Hilangnya seluruh ketebalan kulit disertai destruksi ekstensif, nekrosis
jaringan; atau kerusakan otot, tulang, atau struktur penyangga misalnya
kerusakan jaringan epidermis, dermis, subkutaneus, otot dan kapsul
sendi.

3. Etiologi
Luka Dekubitus disebabkan oleh kombinasi dari faktor ekstrinsik dan
intrinsik pada pasien.
1) Faktor Ekstrinsik
a. Tekanan
kulit dan jaringan dibawahnya tertekan antara tulang dengan
permukaan keras lainnya, seperti tempat tidur dan meja operasi.
Tekanan ringan dalam waktu yang lama sama bahayanya dengan
tekanan besar dalam waktu singkat. Terjadi gangguan mikrosirkulasi
lokal kemudian menyebabkan hipoksi dan nekrosis. tekanan antar
muka ( interface pressure). Tekanan antar muka adalah kekuatan per
unit area antara tubuh dengan permukaan matras. Apabila tekanan
antar muka lebih besar daripada tekanan kapiler rata rata, maka
pembuluh darah kapiler akan mudah kolap, daerah tersebut menjadi
lebih mudah untuk terjadinya iskemia dan nekrotik. Tekanan kapiler
rata rata adalah sekitar 32 mmHg.
b. Gips, Traksi, Alat Ortotik dan Peralatan Lain
Gips dan traksi mengurangi mobilisasi pasien dan
ekstermitasnya. Pasien yang menggunakan gips beresiko tinggi terjadi
dekubitus karena adanya gaya friksi eksternal mekanik dari
permukaan gips yang bergesek pada kulit. Gaya mekanik kedua
adalah tekanan yang dikeluarkan gips pada kulit jika gips terlalu ketat
dikeringkan atau ekstremitasnya bengkak. Peralatan ortotik seperti
penyangga leher digunakan pada pengobatan pasien yang mengalami
fraktur spinal servikal bagian atas. Luka dekubitus merupakan potensi
komplikasi dari alat penyangga leher ini. Sebuah studi yang dilakukan
plaiser dkk, (1994) mengukur jumlah tekanan pada tulang tengkorak
dan wajah yang diberikan oleh emapt jenis penyangga leher yang
berbeda dengan subjek berada posisi terlentang dan upright (bagian
atas lebih tinggi). Hasilnya menunjukkan bahwa pada beberapa
penyangga leher, terdapat tekanan yang menutup kapiler. Perawat
perlu waspada terhadap resiko kerusakan kulit pada klien yang
menggunakan penyangga leher ini. Perawat harus mengkaji kulit yang
berada di bawah penyangga leher, alat penopang (braces), atau alat
ortotik lain untuk mengobservasi tanda-tanda kerusakan kulit (Potter &
Perry, 2005).
c. Gesekan dan pergeseran
gesekan berulang akan menyebabkan abrasi sehingga integritas
jaringan rusak. Kulit mengalami regangan, lapisan kulit bergeser
terjadi gangguan mikrosirkulasi lokal.
d. Kelembaban
akan menyebabkan maserasi, biasanya akibat inkontinensia, drain
dan keringat. Jaringan yang mengalami maserasi akan mudah
mengalami erosi. Selain itu kelembapan juga mengakibatkan kulit
mudah terkena pergesekan (friction) dan perobekan jaringan (shear).
Inkontinensia alvi lebih signifikan dalam perkembangan luka tekan
daripada inkontinensia urin karena adanya bakteri dan enzim pada
feses dapat merusak permukaan kulit.
e. Kebersihan tempat tidur, alat-alat tenun yang kusut dan kotor, atau
peralatan medik yang menyebabkan klien terfiksasi pada suatu sikap
tertentu juga memudahkan terjadinya dekubitus.
f. Merokok
Nikotin yang terdapat pada rokok dapat menurunkan aliran darah dan
memiliki efek toksik terhadap endotelium pembuluh darah. Menurut
hasil penelitian Suriadi (2002) ada hubungaan yang signifikan antara
merokok dengan perkembangan terhadap luka tekan.
2) Faktor Intrinsik
a. Usia
pada usia lanjut akan terjadi penurunan elastisitas dan
vaskularisasi. Pasien yang sudah tua memiliki resiko yang tinggi untuk
terkena luka tekan karena kulit dan jaringan akan berubah seiring
dengan penuaan. Penuaan mengakibatkan kehilangan otot,
penurunan kadar serum albumin, penurunan respon inflamatori,
penurunan elastisitas kulit, serta penurunan kohesi antara epidermis
dan dermis. Perubahan ini berkombinasi dengan faktor penuaan lain
akan membuat kulit menjadi berkurang toleransinya terhadap
tekanan, pergesekan, dan tenaga yang merobek. Selain itu, akibat
dari penuaan adalah berkurangnya jaringan lemak subkutan,
berkurangnya jaringan kolagen dan elastin. menurunnya efesiensi
kolateral kapiler pada kulit sehingga kulit menjadi lebih tipis dan
rapuh.
b. Penurunan sensori persepsi
Pasien dengan penurunan sensori persepsi akan mengalami
penurunan untuk merasakan sensari nyeri akibat tekanan diatas
tulang yang menonjol. Bila ini terjadi dalam durasi yang lama, pasien
akan mudah terkena luka tekan. karena nyeri merupakan suatu tanda
yang secara normal mendorong seseorang untuk bergerak.
Kerusakan saraf (misalnya akibat cedera, stroke, diabetes)
dan koma bisa menyebabkan berkurangnya kemampuan untuk
merasakan nyeri.
c. Gangguan Fungsi Motorik
Pasien yang tidak mampu mengubah posisi secara mandiri beresiko
tinggi terhadap dekubitus. Pasien tersebut dapat merasakan tekanan
tetapi, tidak mampu mengubah posisi secara mandiri untuk
menghilangkan tekanan tersebut. Hal ini meningkatkan peluang
terjadinya dekubitus. Pada pasien yang mengalami cedera medulla
spinalis terdapat gangguan motorik dan sensorik. Angka kejadian
dekubitus pada pasien yang mengalami cedera medula spinalis
diperkirakan sebesar 85%, dan komplikasi luka ataupun berkaitan
dengan luka merupakan penyebab kematian pada 8% populasi ini
(Ruller & Cooney, 1981 dalam Potter & Perry, 2005).
d. Penurunan kesadaran
Pasien bingung, disorientasi, atau mengalami perubahan tingkat
kesadaran tidak mampu melindungi dirinya sendiri dari luka dekubitus.
Pasien bingung atau disorientasi mungkin dapat merasakan tekanan,
tetapi tidak mampu memahami bagaimana menghilangkan tekanan
itu. Pasien koma tidak dapat merasakan tekanan dan tidak mampu
mengubah ke posisi yang labih baik. Selain itu pada pasien yang
mengalami perubahan tingkat kesadaran lebih mudah menjadi
bingung. Beberapa contoh adalah pada pasien yang berada di ruang
operasi dan untuk perawatan intensif dengan pemberian sedasi,
pasien dengan gangguan neurologis, trauma serta analgetik narkotik.
e. Malnutrisi
Orang-orang yang mengalami kekurangan gizi (malnutrisi) tidak
memiliki lapisan lemak sebagai pelindung dan kulitnya tidak
mengalami pemulihan sempurna karena kekurangan zat-zat gizi yang
penting. Karena itu klien malnutrisi juga memiliki resiko tinggi
menderita ulkus dekubitus. Selain itu, malnutrisi dapat mengganggu
penyembuhan luka. Biasanya berhubungan dengan hipoalbumin.
Hipoalbuminemia, kehilangan berat badan, dan malnutrisi umumnya
diidentifikasi sebagai faktor predisposisi untuk terjadinya luka tekan.
Menurut penelitian Guenter (2000) stadium tiga dan empat dari luka
tekan pada orang tua berhubungan dengan penurunan berat badan,
rendahnya kadar albumin, dan intake makanan yang tidak mencukupi.
f. Temperatur kulit
Menurut hasil penelitian Sugama (1992) peningkatan temperatur
merupakan faktor yang signifikan dengan resiko terjadinya luka tekan.
g. Kemampuan sistem kardiovaskuler menurun, sehingga perfusi kulit
menurun.
h. Anemia
Pasien anemia beresiko terjadi dekubitus. Penurunan level
hemoglobin mengurangi kapasitas darah membawa nutrisi dan
oksigen serta mengurangi jumlah oksigen yang tersedia untuk
jaringan. Anemia juga mengganggu metabolisme sel dan
mengganggu penyembuhan luka (Potter & Perry, 2005).
g. Mobilitas dan aktivitas
Mobilitas adalah kemampuan untuk mengubah dan mengontrol posisi
tubuh, sedangkan aktivitas adalah kemampuan untuk berpindah.
Pasien yang berbaring terus menerus ditempat tidur tanpa mampu
untuk merubah posisi beresiko tinggi untuk terkena luka tekan. Orang-
orang yang tidak dapat bergerak (misalnya lumpuh, sangat lemah,
dipasung). Imobilitas adalah faktor yang paling signifikan dalam
kejadian luka tekan.
i. Hipoalbuminemia, beresiko tinggi terkena dekubitus dan
memperlambat penyembuhannya.
j. Kakeksia
Kakeksia merupakan penyakit kesehatan dan malnutrisi
umum, ditandai kelemahan dan kurus. Kakeksia biasa berhubungan
dengan penyakit berat seperti kanker dan penyakit kardiopulmonal
tahap akhir. Kondisi ini meningkatkan resiko luka dekubitus pada
pasien. Pada dasarnya pasien kakesia mengalami kehilangan
jaringan adipose yang berguna untuk melindungi tonjolan tulang dari
tekanan ( Potter & Perry, 2005).
k. Obesitas
dapat mengurangi dekubitus. Jaringan adipose pada jumlah kecil
berguna sebagai bantalan tonjolan tulang sehingga melindungi kulit
dari tekanan. Pada obesitas sedang ke berat, jaringan adipose
memperoleh vaskularisasi yang buruk, sehingga jaringan adipose dan
jaringan lain yang berada dibawahnya semakin rentan mengalami
kerusakan akibat iskemi (Potter & Perry, 2005).
l. Infeksi
Infeksi disebabkan adanya patogen dalam tubuh. Pasien
infeksi biasa mengalami demam. Infeksi dan demam menigkatkan
kebutuhan metabolik tubuh, membuat jaringan yang telah hipoksia
(penurunan oksigen) semakin rentan mengalami iskemi akibat
(Skheleton & Litwalk, 1991 dalam Potter & Perry, 2005). Selain itu
demam menyebabkan diaporesis (keringatan) dan meningkatkan
kelembaban kulit, yang selanjutnya yang menjadi predisposisi
kerusakan kulit pasien (Potter & Perry, 2005).
m. Penyakit-penyakit yang merusak pembuluh darah juga mempermudah
terkena dekubitus dan memperburuk dekubitus.

4. Manifestasi Klinis
Terjadi pada pasien-pasien paraplegia, quadriplegia, spina bifida,
multiple sklerosis dan imobilisasi lama di rumah sakit. Selain itu, faktor lain
perlu diketahui dari riwayat penderita meliputi onset, durasi, riwayat
pengobatan sebelumnya, perawatan luka, riwayat operasi sebelumnya,
status gizi dan perubahan berat badan, riwayat alergi, konsumsi alkohol,
merokok serta keadaan sosial ekonomi penderita. Anamnesa sistem
termasuk di dalamnya antara lain demam, keringat malam, spasme (kaku),
kelumpuhan, bau, nyeri (Arwaniku, 2007).
Menurut NPUAP ( National Pressure Ulcer Advisory Panel ), luka tekan
dibagi menjadi empat tadium, yaitu :
1. Stadium Satu
Adanya perubahan dari kulit yang dapat diobservasi. Apabila
dibandingkan dengan kulit yang ormal, maka akan tampak salah satu
tanda sebagai berikut : perubahan temperatur kulit ( lebih dingin atau
lebih hangat ), perubahan konsistensi jaringan ( lebih keras atau lunak ),
perubahan sensasi (gatal atau nyeri). Pada orang yang berkulit putih, luka
mungkin kelihatan sebagai kemerahan yang menetap. Sedangkan pada
yang berkulit gelap, luka akan kelihatan sebagai warna merah yang
menetap, biru atau ungu.
2. Stadium Dua
Hilangnya sebagian lapisan kulit yaitu epidermis atau dermis, atau
keduanya. Cirinya adalah lukanya superficial, abrasi, melempuh, atau
membentuk lubang yang dangkal.
3. Stadium Tiga
Hilangnya lapisan kulit secara lengkap, meliputi kerusakan atau nekrosis
dari jaringn subkutan atau lebih dalam, tapi tidak sampai pada fascia.
Luka terlihat seperti lubang yang dalam
4. Stadium Empat
Hilangnya lapisan kulit secara lengkap dengan kerusakan yang luas,
nekrosis jaringan, kerusakan pada otot, tulang atau tendon. Adanya
lubang yang dalam serta saluran sinus juga termasuk dalam stadium IV
dari luka tekan.

Menurut stadium luka tekan diatas, luka tekan berkembang dari


permukaan luar kulit ke lapisan dalam ( top-down).Namun menurut hasil
penelitian saat ini, luka tekan juga dapat berkembang dari jaringan bagian
dalam seperti fascia dan otot walapun tanpa adanya adanya kerusakan pada
permukaan kulit. Ini dikenal dengan istilah injuri jaringan bagian dalam (Deep
Tissue Injury). Hal ini disebabkan karena jaringan otot dan jaringan subkutan
lebih sensitif terhadap iskemia daripada permukaan kulit. Kejadian DTI sering
disebabkan karena immobilisasi dalam jangka waktu yang lama, misalnya
karena periode operasi yang panjang. Penyebab lainnya adalah seringnya
pasien mengalami tenaga yang merobek (shear).
Jenis luka tekan ini lebih berbahaya karena berkembang dengan
cepat daripada luka tekan yang dimulai dari permukaan kulit. Kebanyakan
DTI juga lebih sulit disembuhkan walaupun sudah diberikan perawatan yang
adekuat. NPUAP dan WOCN (2005) menyimpulkan bahwa DTI masuk ke
dalam kategori luka tekan, namun stadium dari DTI masih diperdebatkan
karena stadium yang selama ini ada merepresentasikan luka tekan yang
dimulai dari permukaan menuju kedalam jaringan (top-down), sedangkan DTI
dimulai dari dalam jaringan menuju ke kulit superficial ( bottom-up).
Selama ini perawat sulit untuk mengidentifikasi adanya DTI karena
kerusakan pada bagian dalam jaringan sulit untuk dilihat dari luar[15]. Yang
selama ini sering digunakan sebagai tanda terjadinya DTI pada pasien yaitu
adanya tanda trauma yang dalam atau tanda memar pada jaringan. Pada
orang yang berkulit putih, DTI sering nampak sebagai warna keunguan atau
kebiruan pada kulit. Saat ini terdapat metode yang reliabel untuk mengenali
adanya DTI, yaitu dengan menggunakan ultrasonografi. Bila hasil
ultrasonografi menunjukan adanya daerah hypoechoic, maka ini berarti
terdapat kerusakan yang parah pada jaringan bagian dalam, meskipun tidak
ada kerusakan dipermukaan kulit atau hanya minimal. Gambar 4 menunjukan
adanya daerah hypoechoic (lingkaran merah) pada pemeriksaan dengan
menggunakan ultrasonografi.

Beberapa tempat yang paling sering terjdinya dekubitus adalah sakrum,


tumit, siku, maleolus lateral, trokonter besar, dan tuberostis iskial (Meehan,
1994). Menurut Bouwhuizen (1986) dan menyebutkan daerah tubuh yang
sering terkena luka dekubitus adalah:
a) Pada penderita pada posisi terlentang: pada daerah belakang kepala,
daerah tulang belikat, daerah bokong dan tumit.
b) Pada penderita dengan posisi miring: daerah pinggir kepala (terutama
daun telinga), bahu, siku, daerah pangkal paha, kulit pergelangan kaki dan
bagian atas jari-jari kaki.
c) Pada penderita dengan posisi tengkurap: dahi, lengan atas, tulang iga,
dan lutut.

5. Patofisiologi

Tiga elemen yang menjadi dasar terjadinya dekubitus yaitu:


1. Intensitas tekanan dan tekanan yang menutup kapiler
2. Durasi dan besarnya tekanan
3. Toleransi jaringan
Dekubitus terjadi sebagai hasil hubungan antar waktu dengan
tekanan (Stortts, 1988 dalam Potter & Perry, 2005). Semakin besar tekanan
dan durasinya maka semakin besar pula insidensinya terbentuknya luka (
Potter & Perry, 2005).
Kulit dan jaringan subkutan dapat mentoleransi beberapa tekanan.
Tapi pada tekanan eksternal terbesar dari pada tekanan dasar kapiler akan
menurunkan atau menghilangkan aliran darah ke dalam jaringan sekitarnya.
Jaringan ini menjadi hipoksia sehinggan terjadi cedera iskemi. Jika tekanan
ini lebih besar dari 32 mmHg dan tidak dihilangkan dari tempat yang
mengalami hipoksia, maka pembuluh darah kolaps dan trombosis
(Maklebust, 1987 dalam Potter & Perry, 2005). Jika tekanan dihilangkan
sebelum titik kritis maka sirkulasi pada jaringan akan pulih kembali melalui
mekanisme fisiologis hiperemia reaktif, karena kulit mempunyai kemampuan
yang lebih besar untuk mentoleransi iskemi dari otot, maka dekubitus dimulai
di tulang dengan iskemi otot yang berhubungan dengan tekanan yang
akhirnya melebar ke epidermis (Maklebust, 1995 dalam Potter & Perry,
2005).
Pembentukan luka dekubitus juga berhubungan dengan adanya gaya
gesek yang terjadi saat menaikkan posisi klien di atas tempat tidur. Area
sakral dan tumit merupakan area yang paling rentan (Maklebust, 1987 dalam
Potter & Perry, 2005). Efek tekanan juga dapat di tingkatkan oleh distribusi
berat badan yang tidak merata. Seseorang mendapatkan tekanan konstan
pada tubuh dari permukaan tempatnya berada karena adanya gravitasi
(Berecek, 1975 dalam Potter & Perry, 2005). Jika tekanan tidak terdistribusi
secara merata pada tubuh maka gradien tekanan jaringan yang
mendapatkan tekanan akan meningkat dan metabolisme sel kulit di titik
tekanan mengalami gangguan.

6. Pemeriksaan Penunjang
1) Kultur dan analisis urin
Kultur ini dibutuhakan pada keadaan inkontinensia untuk melihat apakah
ada masalah pada ginjal atau infeksi saluran kencing, terutama pada
trauma medula spinalis.

2) Kultur Tinja
Pemeriksaan ini perlu pada keadaan inkontinesia alvi untuk melihat
leukosit dan toksin Clostridium difficile ketika terjadi pseudomembranous
colitis.
3) Biopsi
Biopsi penting pada keadaan luka yang tidak mengalami perbaikan
dengan pengobatan yang intensif atau pada ulkus dekubitus kronik untuk
melihat apakah terjadi proses yang mengarah pada keganasan. Selain
itu, biopsi bertujuan untuk melihat jenis bakteri yang menginfeksi ulkus
dekubitus. Biopsi tulang perlu dilakukan bila terjadi osteomyelitis.
4) Pemeriksaan Darah
Untuk melihat reaksi inflamasi yang terjadi perlu diperiksa sel darah putih
dan laju endap darah. Kultur darah dibutuhkan jika terjadi bakteremia dan
sepsis.
5) Keadaan Nutrisi
Pemeriksaan keadaan nutrisi pada penderita penting untuk proses
penyembuhan ulkus dekubitus. Hal yang perlu diperiksa adalah albumin
level, prealbumin level, transferrin level, dan serum protein level.
6) Radiologis: Pemeriksaan radiologi untuk melihat adanya kerusakan tulang
akibat osteomyelitis. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan sinar-X,scan
tulang atau MRI.

7) Penilaian resiko luka dekubitus


Empat instrumen yang digunakan mengkaji resiko terjadi dekubitus
dapat segera mengidentifikasi klien beresiko tinggi. Pencegahan dan
pengobatan dekubitus merupakan prioritas utama keperawatan, beberapa
skala pengkajian resiko yang dikembangkan perawat yaitu diantara lain:
a) Skala Norton
Skala tersebut menilai lima faktor resiko: kondisi fisik, kondisi
mental, aktivitas, mobilisasi, dan inkontinensia. Total nilai berada diantara
5 sampai 2, total nilai rendah mengindikasikan resiko tinggi terjadi
dekubitus. Saat ini nilai 16 adalah sebagai nilai yang beresiko (Norton,
1989)
b) Skala Gosnell
Skala tersebut menilai lima faktor resiko: Nutrisi, status mental,
kontinensia, mobilisasi, dan aktivitas. Total nilai berada dalam rentang
antara 5 sampai 20, dimana nilai total tertinggi mengindikasikan resiko
dekubitus (Gosnell, 1989).
c) Skala Knoll
Delapan faktor resiko meliputi status kesehatan umum, status
mental, status aktivitas, mobilisasi, inkontinensia, asupan nutrisi melalui
oral, asupan cairan melalui oral, dan penyakit yang menjadi faktor
predisposisi. Total nilai berada di rentang 0 sampai 33, total nilai tinggi
mengindikasikan risiko dekubitus. Nilai risiko berada pada nilai 12 atau
lebih.
d) Skala Braden
Skala braden terdiri dari 6 subskala, yaitu: persepsi sensori,
kelembapan, aktivitas, mobilitas, nutrisi, friksi dan gesekan. Nilai total
berada pada rentang dari 6 sampai 23, total nilai rendah menunjukkan
resiko tinggi terjadi dekubitus (Braden dan Bergstorm, 1989).

8) Komplikasi

Komplikasi sering terjadi pada luka dekubitus derajat III dan IV, walaupun
dapat terjadi pada luka yang superfisial. Menurut subandar (2008) komplikasi
yang dapat terjadi antara lain:
1. Infeksi, umumnya bersifat multibakterial baik aerobik maupun anaerobik.
2. Keterlibatan jaringan tulang dan sendi seperti periostitis, osteotitis,
osteomielitis, dan arthritis septik.
3. Septikimia
4. Animea
5. Hipoalbuminea
6. Kematian.
Asuhan Keperawatan

Data dasar pengkajian yang terus-menerus memberi informasi penting


integritas kulit pasien dan peningkatan resiko terjadinya dekubitus. Pengkajian
dekubitus tidak terlepas pada kulit karena dekubitus mempunyai banyak faktor
etiologi. Oleh karena itu, pengkajian awal pasien luka dekubitus memiliki
beberapa dimensi (AHPCR, 1994 dalam Potter & Perry, 2005).
1. Ukuran Perkiraan
Pada saat seseorang masuk ke rumah sakit perawatan akut dan
rehabilitasi, rumah perawatan, program perawatan rumah, fasilitas perawatan
lain maka pasien harus dikaji resiko terjadi dekubitus (AHPCR, 1992).
Pengkajian resiko luka dekubitus harus dilakukan secara sistematis (NPUAP,
1989) seperti
Pengkajian Resiko Luka Dekubitus Identifikasi resiko terjadi pada pasien:
a Identifikasi resiko terjadi pada pasien:
1) Paralisis atau imobilisasi yang disebabkan oleh alat-alat yang
membatasi gerakan pasien.
2) Kehilangan sensorik
3) Gangguan sirkulasi
4) Penurunan tingkat kesadaran, sedasi, atau anastesi
5) Gaya gesek, friksi
6) Kelembaban: inkontensia, keringat, drainase luka dan muntah
7) Malnutrisi
8) Anemia
9) Infeksi
10) Obesitas
11) Kakesia
12) Hidrasi: edema atau dehidrasi
13) Lanjut usia
14) Adanya dekubitus
b Kaji kondisikulit disekitar daerah yang mengalami penekanan pada area
sebagai berikut:
1) Hireremia reaktif normal
2) Warna pucat
3) Indurasi
4) Pucat dan belang-belang
5) Hilangnya lapisan kulit permukaan
6) Borok, lecet atau bintik-bintik
c. Kaji daerah tubuh pasien yang berpotensi mengalami tekanan:
1) Lubang hidung
2) Lidah, bibir
3) Tempat pemasangan intravena
4) Selang drainase
5) Kateter foley
d. Observasi posisi yang lebih disukai pasien saat berada di atas tempat
tidur atau kursi
1) Observasi mobilisasi dan kemampuan pasien untuk melakukan dan
membantu dalam mengubah posisi.
2) Tentukan nilai resiko: Skala Norton

Resiko terjadi dkubitus jika skor total < 14 (sumber: Morison, Moya J.
2003)
3) Pantau lamanya waktu daerah kemerahan
4) Dapatkan data pengkajian nutrisi yang meliputi jumlah serum albumin,
jumlah protein total, jumlah hemoglobin, dan presentasi berat badan
ideal
5) Kaji pemahaman pasien dan keluarga tentang resiko dekubitus.
Keuntungan dari instrumen perkiraan adalah meningkatkan deteksi
dini perawat pada pasien beresiko maka intervensi yang tepat diberikan
untuk mempertahankan integritas kulit. pengkajian ulang untuk resiko luka
dekubitus harus dilakukan secara teratur ( AHPCR, 1992). Sanagt dianjurkan
manggunakan alat pengkajian yang tervalidasi untuk jenis populasi pasien
tertentu.
2. Kulit
Perawat harus mengkaji kulit terus-menerus dari tanda-tanda
munculnya luka pada kulit klien gangguan neurologi, berpenyakit kronik
dalam waktu lama, penurunan status mental, dan dirawat di ruang ICU,
berpenyakit onkologi, terminal, dan orthopedi berpotensi tinggi terjadi luka
dekubitus.
Pengkajian untuk indikator tekanan jaringan meliputi inspeksi visual
dan taktil pada kulit (Pires & Muller, 1991 dalam Potter & Perry, 2005).
Pengkajian dasar dilakukan untuk menetukan karakteristik kulit normal klien
dan setiap area yang potensial atau aktual mengalami kerusakan. Perawat
memberi perhatian khusus pada daerah dibawah gips, traksi, balutan, tongkat
penopang, penyangga leher, atau peralatan orthopedi lain. Jumlah
pemeriksaan tekanan tergantung jadwal pemakaian alat respon kulit terhadap
tekanan eksternal.
Ketika hiperemia ada maka perawat mencatat lokasi, dan warna lalu
mengkaji ulang area tersebut setelah satu jam. Apabila terlihat kelainan
hiperemia reaktif maka perawat dapat menandai area tersebut agar
pengkajian ulang menjadi lebih mudah. Tanda peringatan dini lain yang
menunjukkan kerusakan jaringan akibat tekanan adalah lecet atau bintil-bintil
pada area yang menanggung beban berat tubuh dan mungkin disertai
hiperemia. Pires & Muller (1991) melaporkan bahwa tanda dini akibat
tekanan yang sering diabaikan pada klien yang tidak mengalami trauma
adalah borok di area yang menanggung berat beban badan. Semua tanda-
tanda ini merupakan indikator dini gangguan integritas kulit, tapi kerusakan
kulit yang berada di bawahnya mungkin menjadi lebih progresif. Pengkajian
taktil memungkinkan perawat menggunakan teknik palpasi untuk
memperoleh data lebih lanjut mengenai indurasi dan kerusakan kulit maupun
jaringan yang di bawahnya.
Perawat melakukan palpasi pada jaringan di sekitarnya untuk
mengobservasi area hiperemi, mengkaji adanya pucat dan kembali ke warna
kulit normal klien yang berkulit terang. Selain itu, perawat mempalpasi
indurasi, mencatat indurasi disekitar area yang cedera dalam ukuran
milimeter atau sentimeter. Perawat juga mencatat perubahan suhu di sekitar
kulit dan jaringan (Pires & Muller, 1991 dalam Potter & Perry, 2005).
Perawat sering menginspeksi secara visual dan taktil pada area tubuh
yang paling sering beresiko luka dekubitus. Jika pasien berbaring di tempat
tidur atau duduk di atas maka berat badan terletak pada tonjolan tulang
tertentu. Permukaan tubuh yang paling terbebani berat badan ataupun
tekanan merupakan area beresiko tinggi terjadi dekubitus (Helt, 1991 dalam
Potter & Perry, 2005).
3. Mobilisasi
Pengkajian meliputi pendokumentasian tingkat mobilisasi pada
integritas kulit. Pengkajian mobilisasi juga harus memperoleh data tentang
kualitas tonus dan kekuatan otot. Klien yang mempunyai rentang gerak yang
adekuat untuk bergerak secara mandiri ke bentuk posisi yang lebih
terlindungi.
Mobilisasi harus dikaji sebagai bagian dari data dasar. Jika pasien
memiliki tingkat kemandirian mobilisasi maka perawat harus mendorong
pasien agar sering mengubah posisinya dan melakukan tindakan untuk
menghilangkan tekanan yang dialaminya. Frekuensi perubahan posisi
berdasarkan pengkajian kulit yang terus menerus dan dianggap sebagai
perubahan data (Potter & Perry,2005).
4. Status Nutrisi
Pengkajian nutrisi klien harus menjadi bagian integral dalam
pengkajian data awal pada pasien beresiko gangguan integritas kulit
(Breslow & Bergstrom, 1994; Water et el, 1994; Finucance, 1995;). Pasien
malnutrisi atau kakesia dan berat badan kurang dari 90% berat badan ideal
atau pasien yang berat badan lebih dari 110% berat badan ideal lebih
beresiko terjadi luka dekubitus (Hanan & Scheele, 1991 dalam Potter &
Perry, 2005). Walaupun presentase berat badan bukan indikator yang baik,
tapi jika ukuran ini digunakan bersama-sama dengan jumlah serum albumin
atau protein total yang rendah, maka presentase berat badan ideal pasien
dapat mempengaruhi timbulnya luka dekubitus (Potter & Perry, 2005).
5. Nyeri
Sampai saat ini, hanya sedikit tulisan atau penelitian yang dilakukan
tentang nyeri dan luka dekubitus, AHPCR (1994) telah merekomendasi
pengkajian dan manajemen nyeri termasuk dalam perawatan pasien luka
dekubitus. Selain itu AHPCR (1994) menegaskan perlunya penelitian tentang
nyeri pada pasien luka dekubitus. Salah satu studi yang pertama kali
menghitung pengalaman nyeri pasien yang dirawat di rumah sakit karena
luka dekubitus telah dilakukan oleh Dallam et el (1995). Pada studi ini 59,1%
pasien melaporkan adanya nyeri dangan menggunakan skala analog visual,
68,2% melaporkan adanya nyeri akibat luka dekubitus dengan menggunakan
skala urutan nyeri faces.
Berlawanan dengan banyaknya nyeri yang dilaporkan, obat-obatan
nyeri yang telah digunakan klien sebesar 2,3%. Beberapa implikasi praktik
yang disarankan para peneliti (Dallam dkk, 1995 dalam Potter & Perry, 2005)
adalah menambah evaluasi tingkat nyeri pasien kedalam pengkajian
dekubitus, yaitu pengontrolan nyeri memerlukan pengkajian ulang yang
teratur untuk mengevaluasi efektifitas, dan program pendidikan diperlukan
untuk meningkatkan sensitifitas pemberi pelayanan kesehatan terhadap nyeri
akibat luka dekubitus.

Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul :


1. Kerusakan integritas jaringan kulit berhubungan dengan destruksi
mekanis jaringan sekunder terhadap tekanan, gesekan dan fraksi.
2. Kerusakan mobilisasi fisik berhubungan dengan pembatasan gerak yang
diharuskan, kehilangan control motorik.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan pemasukkan oral,anoreksia.
4. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pemajanan dasar
dekubitus, penekanan respons inflamasi.
5. Nyeri berhubungan dengan proses peradangan di area dekubitus.

Intervensi Keperawatan
1. Kerusakan integritas jaringan kulit berhubungan dengan destruksi
mekanis jaringan sekunder terhadap tekanan, gesekan dan fraksi.
Diagnosa Rencana keperawatan
Keperawatan/
Tujuan dan Kriteria Intervensi
Masalah
Hasil
Kolaborasi
Kerusakan NOC: NIC :
integritas jaringan 1. Tissue integrity : Pressure ulcer prevention
berhubungan skin and mucous Wound care
dengan: membranes 1. Anjurkan pasien untuk
Gangguan 2. Wound healing : menggunakan pakaian yang
sirkulasi, iritasi primary and longgar
kimia (ekskresi secondary 2. Jaga kulit agar tetap bersih dan
dan sekresi tubuh, intention kering
medikasi), defisit Setelah dilakukan 3. Mobilisasi pasien (ubah posisi
cairan, kerusakan tindakan pasien) setiap dua jam sekali
mobilitas fisik, keperawatan selama 4. Monitor kulit akan adanya
keterbatasan . kerusakan kemerahan
pengetahuan, integritas jaringan 5. Oleskan lotion atau minyak/baby
faktor mekanik pasien teratasi oil pada daerah yang tertekan
(tekanan, dengan kriteria hasil: 6. Monitor aktivitas dan mobilisasi
gesekan),kurangn 1. Perfusi jaringan pasien
ya nutrisi, radiasi, normal 7. Monitor status nutrisi pasien
faktor suhu (suhu 2. Tidak ada tanda- 8. Memandikan pasien dengan
yang ekstrim) tanda infeksi sabun dan air hangat
DO : 3. Ketebalan dan 9. Kaji lingkungan dan peralatan
1. Kerusakan tekstur jaringan yang menyebabkan tekanan
jaringan normal 10. Observasi luka : lokasi, dimensi,
(membran 4. Menunjukkan kedalaman luka,
mukosa, pemahaman karakteristik,warna cairan,
integumen, dalam proses granulasi, jaringan nekrotik,
subkutan) perbaikan kulit tanda-tanda infeksi lokal, formasi
dan mencegah traktus
terjadinya cidera 11. Ajarkan pada keluarga tentang
berulang luka dan perawatan luka
5. Menunjukkan 12. Kolaborasi ahli gizi pemberian
terjadinya proses diet TKTP, vitamin
penyembuhan 13. Cegah kontaminasi feses dan
luka urin
14. Lakukan tehnik perawatan luka
dengan steril
15. Berikan posisi yang mengurangi
tekanan pada luka
16. Hindari kerutan pada tempat tidur

2. Gangguan mobilisasi fisik berhubungan dengan pembatasan gerak yang


diharuskan, kehilangan control motorik.
Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan
Masalah Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Intervensi
Hasil

Gangguan mobilitas fisik NOC : NIC :


Berhubungan dengan : 1. Joint Movement : Exercise therapy :
1. Gangguan Active ambulation
metabolisme sel 2. Mobility Level 1. Monitoring vital sign
2. Keterlembatan 3. Self care : ADLs sebelm/sesudah
perkembangan 4. Transfer latihan dan lihat
3. Pengobatan performance respon pasien saat
4. Kurang support Setelah dilakukan latihan
lingkungan tindakan keperawatan 2. Konsultasikan dengan
5. Keterbatasan selama.gangguan terapi fisik tentang
ketahan kardiovaskuler mobilitas fisik teratasi rencana ambulasi
6. Kehilangan dengan kriteria hasil: sesuai dengan
integritas struktur tulang 1. Klien meningkat kebutuhan
7. Terapi pembatasan dalam aktivitas fisik 3. Bantu klien untuk
gerak 2. Mengerti tujuan menggunakan tongkat
8. Kurang dari peningkatan saat berjalan dan
pengetahuan tentang mobilitas cegah terhadap
kegunaan pergerakan 3. Memverbalisasikan cedera
fisik perasaan dalam 4. Ajarkan pasien atau
9. Indeks massa tubuh meningkatkan tenaga kesehatan lain
diatas 75 tahun percentil kekuatan dan tentang teknik
sesuai dengan usia kemampuan ambulasi
10. Kerusakan persepsi berpindah 5. Kaji kemampuan
sensori 4. Memperagakan pasien dalam
11. Tidak nyaman, nyeri penggunaan alat mobilisasi
12. Kerusakan Bantu untuk 6. Latih pasien dalam
muskuloskeletal dan mobilisasi (walker) pemenuhan
neuromuskuler kebutuhan ADLs
13. Intoleransi secara mandiri sesuai
aktivitas/penurunan kemampuan
kekuatan dan stamina 7. Dampingi dan Bantu
14. Depresi mood atau pasien saat mobilisasi
cemas dan bantu penuhi
15. Kerusakan kognitif kebutuhan ADLs ps.
16. Penurunan kekuatan 8. Berikan alat Bantu jika
otot, kontrol dan atau klien memerlukan.
masa 9. Ajarkan pasien
17. Keengganan untuk bagaimana merubah
memulai gerak posisi dan berikan
18. Gaya hidup yang bantuan jika
menetap, tidak diperlukan
digunakan,
deconditioning
19. Malnutrisi selektif
atau umum
DO:
20. Penurunan waktu
reaksi
21. Kesulitan merubah
posisi
22. Perubahan gerakan
(penurunan untuk
berjalan, kecepatan,
kesulitan memulai
langkah pendek)
23. Keterbatasan
motorik kasar dan halus
24. Keterbatasan ROM
25. Gerakan disertai
nafas pendek atau tremor
26. Ketidak stabilan
posisi selama melakukan
ADL
27. Gerakan sangat
lambat dan tidak
terkoordinasi

3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


ketidakmampuan pemasukkan oral,anoreksia.
Diagnosa Rencana keperawatan
Keperawatan/
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Masalah Kolaborasi

Ketidakseimbangan NOC: 1. Kaji adanya alergi makanan


nutrisi kurang dari 1. Nutritional status: 2. Kolaborasi dengan ahli gizi
kebutuhan tubuh Adequacy of untuk menentukan jumlah
Berhubungan nutrient kalori dan nutrisi yang
dengan : 2. Nutritional Status : dibutuhkan pasien
Ketidakmampuan food and Fluid 3. Yakinkan diet yang dimakan
untuk memasukkan Intake mengandung tinggi serat
atau mencerna 3. Weight Control untuk mencegah konstipasi
nutrisi oleh karena Setelah dilakukan 4. Ajarkan pasien bagaimana
faktor biologis, tindakan keperawatan membuat catatan makanan
psikologis atau selama.nutrisi kurang harian.
ekonomi. teratasi dengan indikator: 5. Monitor adanya penurunan
DS: 1. Albumin serum BB dan gula darah
1. Nyeri 2. Pre albumin serum 6. Monitor lingkungan selama
abdomen 3. Hematokrit makan
2. Muntah 4. Hemoglobin 7. Jadwalkan pengobatan dan
3. Kejang 5. Total iron binding tindakan tidak selama jam
perut capacity makan
4. Rasa penuh 6. Jumlah limfosit 8. Monitor turgor kulit
tiba-tiba 9. Monitor kekeringan, rambut
setelah kusam, total protein, Hb dan
makan kadar Ht
DO: 10. Monitor mual dan muntah
1. Diare 11. Monitor pucat, kemerahan,
2. Rontok dan kekeringan jaringan
rambut yang konjungtiva
berlebih 12. Monitor intake nuntrisi
3. Kurang 13. Informasikan pada klien dan
nafsu keluarga tentang manfaat
makan nutrisi
4. Bising usus 14. Kolaborasi dengan dokter
berlebih tentang kebutuhan
5. Konjungtiva suplemen makanan seperti
pucat NGT/ TPN sehingga intake
6. Denyut nadi cairan yang adekuat dapat
lemah dipertahankan.
15. Atur posisi semi fowler atau
fowler tinggi selama makan
16. Kelola pemberan anti
emetik:.....
17. Anjurkan banyak minum
18. Pertahankan terapi IV line
19. Catat adanya edema,
hiperemik, hipertonik papila
lidah dan cavitas oval

4. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pemajanan dasar


dekubitus, penekanan respons inflamasi.
Diagnosa Rencana keperawatan
Keperawatan/
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Masalah Kolaborasi
Risiko infeksi NOC : NIC :
1. Immune Status 1. Pertahankan teknik
Faktor-faktor risiko : 2. Knowledge : aseptif
1. Prosedur Infection control 2. Batasi pengunjung bila
Infasif 3. Risk control perlu
2. Kerusakan Setelah dilakukan 3. Cuci tangan setiap
jaringan dan tindakan keperawatan sebelum dan sesudah
peningkatan selama pasien tidak tindakan keperawatan
paparan mengalami infeksi 4. Gunakan baju, sarung
lingkungan dengan kriteria hasil: tangan sebagai alat
3. Malnutrisi 1. Klien bebas dari pelindung
4. Peningkatan tanda dan gejala 5. Ganti letak IV perifer
paparan infeksi dan dressing sesuai
lingkungan 2. Menunjukkan dengan petunjuk umum
patogen kemampuan untuk 6. Gunakan kateter
5. Imonusupre mencegah timbulnya intermiten untuk
si infeksi menurunkan infeksi
6. Tidak 3. Jumlah leukosit kandung kencing
adekuat dalam batas normal 7. Tingkatkan intake
pertahanan 4. Menunjukkan nutrisi
sekunder perilaku hidup sehat 8. Berikan terapi
(penurunan 5. Status imun, antibiotik:.......................
Hb, gastrointestinal, ..........
Leukopenia, genitourinaria dalam 9. Monitor tanda dan
penekanan batas normal gejala infeksi sistemik
respon dan lokal
inflamasi) 10. Pertahankan teknik
7. Penyakit isolasi k/p
kronik 11. Inspeksi kulit dan
8. Imunosupre membran mukosa
si terhadap kemerahan,
9. Malnutrisi panas, drainase
10. Pertahan 12. Monitor adanya luka
primer tidak 13. Dorong masukan cairan
adekuat 14. Dorong istirahat
(kerusakan 15. Ajarkan pasien dan
kulit, trauma keluarga tanda dan
jaringan, gejala infeksi
gangguan 16. Kaji suhu badan pada
peristaltik) pasien neutropenia
setiap 4 jam

5. Nyeri berhubungan dengan proses peradangan di area dekubitus.

Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan


Masalah Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Nyeri akut berhubungan NOC : NIC :


dengan: 1. Pain Level, 1. Lakukan pengkajian
Agen injuri (biologi, 2. pain control, nyeri secara
kimia, fisik, psikologis), 3. comfort level komprehensif
kerusakan jaringan Setelah dilakukan termasuk lokasi,
tinfakan keperawatan karakteristik, durasi,
DS: selama . Pasien tidak frekuensi, kualitas
1. Laporan secara mengalami nyeri, dengan dan faktor presipitasi
verbal kriteria hasil: 2. Observasi reaksi
DO: 1. Mampu mengontrol nonverbal dari
1. Posisi untuk nyeri (tahu ketidaknyamanan
menahan nyeri penyebab nyeri, 3. Bantu pasien dan
2. Tingkah laku mampu keluarga untuk
berhati-hati menggunakan tehnik mencari dan
3. Gangguan tidur nonfarmakologi menemukan
(mata sayu, untuk mengurangi dukungan
tampak capek, nyeri, mencari 4. Kontrol lingkungan
sulit atau bantuan) yang dapat
gerakan kacau, 2. Melaporkan bahwa mempengaruhi nyeri
menyeringai) nyeri berkurang seperti suhu
4. Terfokus pada dengan ruangan,
diri sendiri menggunakan pencahayaan dan
5. Fokus manajemen nyeri kebisingan
menyempit 3. Mampu mengenali 5. Kurangi faktor
(penurunan nyeri (skala, presipitasi nyeri
persepsi waktu, intensitas, frekuensi 6. Kaji tipe dan sumber
kerusakan dan tanda nyeri) nyeri untuk
proses berpikir, 4. Menyatakan rasa menentukan
penurunan nyaman setelah intervensi
interaksi dengan nyeri berkurang 7. Ajarkan tentang
orang dan 5. Tanda vital dalam teknik non
lingkungan) rentang normal farmakologi: napas
6. Tingkah laku 6. Tidak mengalami dala, relaksasi,
distraksi, contoh gangguan tidur distraksi, kompres
: jalan-jalan, hangat/ dingin
menemui orang 8. Berikan analgetik
lain dan/atau untuk mengurangi
aktivitas, nyeri: ...
aktivitas 9. Tingkatkan istirahat
berulang-ulang) 10. Berikan informasi
7. Respon tentang nyeri seperti
autonom (seperti penyebab nyeri,
diaphoresis, berapa lama nyeri
perubahan akan berkurang dan
tekanan darah, antisipasi
perubahan ketidaknyamanan
nafas, nadi dan dari prosedur
dilatasi pupil) 11. Monitor vital sign
8. Perubahan sebelum dan
autonomic sesudah pemberian
dalam tonus otot analgesik pertama
(mungkin dalam kali
rentang dari
lemah ke kaku)
9. Tingkah laku
ekspresif
(contoh :
gelisah, merintih,
menangis,
waspada,
iritabel, nafas
panjang/berkelu
h kesah)
10. Perubahan
dalam nafsu
makan dan
minum
DAFTAR PUSTAKA

Guenter P., Malyszck R.,Bliss D.Z.,et al. Survey of nutritional status in


newly hospitalized patiens with stage III or stage IV pressure ulcers. Advances in
Wound Care.2000;13:164-168
Pendland, Susan L., dkk.Skin and Soft Tissue Infections. Dalam Joseph
T. DiPiro, kk, editor. Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach.Edisi 6.
Chicago: McGrawHill Company; 2005. p1998-90
Potter & Perry, 2005, Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,
Proses, dan Praktik, Jakarta: EGC
Sugama., J., Sanada, H., Kanagawa, K., et al . Risk factors of pressure
sore development, intensive care unit, Pressure relieving care, the Japanese
version of the Braden Scale. Kanazawa Junior Collage, 1992, 16, 55-59
Suriadi, Sanada H, Kitagawa A, et.al. Study of reliability and validity of the
braden scale translated into indonesia. 2002. Master thesis. Kanazawa
University, Japan
Wilkinson, Judith M. 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan: Diagnosis
NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC. Ed 9. Jakarta: EGC.
Faktor Intrinsik
Faktor Ekstrinsik - Usia - Merokok
- Penurunan persepsi sensori - Malnutrisi
- Tekanan
- Penurunan kesadaran - Tirah baring
- Geseskan dan pergoresan
- Temperature kulit - Anemia
- Kelembaban
- Hipoalbuminemia - Kebiasaan makan
- Kebersihan tembat tidur
- System kardiovaskuler menurun

Kulit & jaringan tidak dapat metoleransi Kulit & jaringan dapat metoleransi beberapa
tekanan

Menghilangkan aliran darah ke jaringan

Akan pulih dengan mekanisme fisiologis


hyperemia reaktif
Jaringan menjadi hipoksi

Tekanan dihilangkan sebelum titik kritis


Cidera Iskemik

Tekanan tidak di hilangkan

Nyeri Kerusakan Jaringan

Resiko Infeksi Terjadi di ekstrimitas

Gangguan
mobilisasi fisik

Anda mungkin juga menyukai