Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
1. Definisi
Dekubitus berasal dari bahasa latin decumbree yang berarti merebahkan
diri yang didefenisikan sebagai suatu luka akibat posisi penderita yang tidak
berubah dalam jangka waktu lebih dari 6 jam (Sabandar, 2008). National
Pressure Ulcer Advisory Panel (NPUAP) mengatakan dekubitus merupakan
nekrosis jaringan lokal yang cenderung terjadi ketika jaringan lunak tertekan
diantara tonjolan tulang dengan permukaan eksternal dalam jangka waktu
lama. Terjadi gangguan mikrosirkulasi jaringan lokal dan mengakibatkan
hipoksia jaringan (Potter & Perry, 2005).
Dekubitus sering disebut ulkus dermal / ulkus dekubitus atau luka tekan
terjadi akibat tekanan yang sama pada suatu bagian tubuh yang
mengganggu sirkulasi (Harnawatiaj, 2008). Dekubitus adalah kerusakan lokal
dari kulit dan jaringan dibawah kulit yang disebabkan penekanan yang terlalu
lama pada area tersebut (Ratna Kalijana, 2008)
Ulkus dekubitus adalah kerusakan kulit yang terjadi akibat kekurangan
aliran darah dan iritasi pada kulit yang menutupi tulang yang menonjol,
dimana kulit tersebut mendapatkan tekanan dari tempat tidur, kursi roda,
gips, pembidaian atau benda keras lainnya dalam jangka panjang (Susan L,
dkk. 2005)
2. Klasifikasi
Salah satu cara yang paling untuk mengklasifikasikan dekubitus
adalah dengan menggunakan sistem nilai atau tahapan. Sistem ini pertama
kali dikemukakan oleh Shea (1975 dalam Potter & Perry, 2005) sebagai salah
satu cara untuk memperoleh metode jelas dan konsisten untuk
menggambarkan dan mengklasifikasikan luka dekubitus. Sistem tahapan luka
dekubitus berdasarkan gambaran kedalaman jaringan yang rusak
(Maklebust, 1995 dalam Potter & Perry, 2005). Luka yang tertutup dengan
jaringan nekrotik seperti eschar tidak dapat dimasukkan dalam tahapan
hingga jaringan tersebut dibuang dan kedalaman luka dapat di observasi.
Peralatan ortopedi dan braces dapat mempersulit pengkajian dilakukan
(AHPCR, 1994 dalam Potter & Perry, 2005).
Tahapan dibawah ini berasal dari NPUAP (1992), dan tahapan ini
juga digunakan dalam pedoman pengobatan AHPCR (1994). Pada
konferensi konsensus NPUAP (1995) mengubah defenisi untuk tahap I yang
memperlihatkan karakteristik pengkajian pasien berkulit gelap. Berbagai
indikator selain warna kulit, seperti suhu, adanya pori-pori kulit jeruk,
kekacauan atau ketegangan, kekerasan, dan data laboratorium, dapat
membantu mengkaji pasien berkulit gelap (Maklebust & Seggreen, 1991
dalam Potter & Perry, 2005). Bennet (1995 dalam Potter & Perry, 2005).
menyatakan saat mengkaji kulit pasien berwarna gelap, memerlukan
pencahayaan sesuai untuk mengkaji kulit secara akurat. Dianjurkan berupa
cahaya alam atau halogen. Hal ini mencegah munculnya warna biru yang
dihasilkan dari sumber lampu pijar pada kulit berpigmen gelap, yang dapat
mengganggu pengkajian yang akurat. Menurut NPUAP (1995 dalam Potter &
Perry, 2005) ada perbandingan luka dekubitus derajat I sampai derajat IV
yaitu:
1. Derajat I
Eritema tidak pucat pada kulit utuh, lesi luka kulit yang diperbesar. Kulit
tidak berwarna, hangat, atau keras juga dapat menjadi indikator
2. Derajat II
Hilangnya sebagian ketebalan kulit meliputi epidermis dan dermis. Luka
superficial dan secara klinis terlihat seperti abrasi, lecet, atau lubang yang
dangkal.
3. Derajat III
Hilangnya seluruh ketebalan kulit meliputi jaringan subkutan atau nekrotik
yang mungkin akan melebar kebawah tapi tidak melampaui fascia yang
berada di bawahnya. Luka secara klinis terlihat seperti lubang yang dalam
dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya.
4. Derajat IV
Hilangnya seluruh ketebalan kulit disertai destruksi ekstensif, nekrosis
jaringan; atau kerusakan otot, tulang, atau struktur penyangga misalnya
kerusakan jaringan epidermis, dermis, subkutaneus, otot dan kapsul
sendi.
3. Etiologi
Luka Dekubitus disebabkan oleh kombinasi dari faktor ekstrinsik dan
intrinsik pada pasien.
1) Faktor Ekstrinsik
a. Tekanan
kulit dan jaringan dibawahnya tertekan antara tulang dengan
permukaan keras lainnya, seperti tempat tidur dan meja operasi.
Tekanan ringan dalam waktu yang lama sama bahayanya dengan
tekanan besar dalam waktu singkat. Terjadi gangguan mikrosirkulasi
lokal kemudian menyebabkan hipoksi dan nekrosis. tekanan antar
muka ( interface pressure). Tekanan antar muka adalah kekuatan per
unit area antara tubuh dengan permukaan matras. Apabila tekanan
antar muka lebih besar daripada tekanan kapiler rata rata, maka
pembuluh darah kapiler akan mudah kolap, daerah tersebut menjadi
lebih mudah untuk terjadinya iskemia dan nekrotik. Tekanan kapiler
rata rata adalah sekitar 32 mmHg.
b. Gips, Traksi, Alat Ortotik dan Peralatan Lain
Gips dan traksi mengurangi mobilisasi pasien dan
ekstermitasnya. Pasien yang menggunakan gips beresiko tinggi terjadi
dekubitus karena adanya gaya friksi eksternal mekanik dari
permukaan gips yang bergesek pada kulit. Gaya mekanik kedua
adalah tekanan yang dikeluarkan gips pada kulit jika gips terlalu ketat
dikeringkan atau ekstremitasnya bengkak. Peralatan ortotik seperti
penyangga leher digunakan pada pengobatan pasien yang mengalami
fraktur spinal servikal bagian atas. Luka dekubitus merupakan potensi
komplikasi dari alat penyangga leher ini. Sebuah studi yang dilakukan
plaiser dkk, (1994) mengukur jumlah tekanan pada tulang tengkorak
dan wajah yang diberikan oleh emapt jenis penyangga leher yang
berbeda dengan subjek berada posisi terlentang dan upright (bagian
atas lebih tinggi). Hasilnya menunjukkan bahwa pada beberapa
penyangga leher, terdapat tekanan yang menutup kapiler. Perawat
perlu waspada terhadap resiko kerusakan kulit pada klien yang
menggunakan penyangga leher ini. Perawat harus mengkaji kulit yang
berada di bawah penyangga leher, alat penopang (braces), atau alat
ortotik lain untuk mengobservasi tanda-tanda kerusakan kulit (Potter &
Perry, 2005).
c. Gesekan dan pergeseran
gesekan berulang akan menyebabkan abrasi sehingga integritas
jaringan rusak. Kulit mengalami regangan, lapisan kulit bergeser
terjadi gangguan mikrosirkulasi lokal.
d. Kelembaban
akan menyebabkan maserasi, biasanya akibat inkontinensia, drain
dan keringat. Jaringan yang mengalami maserasi akan mudah
mengalami erosi. Selain itu kelembapan juga mengakibatkan kulit
mudah terkena pergesekan (friction) dan perobekan jaringan (shear).
Inkontinensia alvi lebih signifikan dalam perkembangan luka tekan
daripada inkontinensia urin karena adanya bakteri dan enzim pada
feses dapat merusak permukaan kulit.
e. Kebersihan tempat tidur, alat-alat tenun yang kusut dan kotor, atau
peralatan medik yang menyebabkan klien terfiksasi pada suatu sikap
tertentu juga memudahkan terjadinya dekubitus.
f. Merokok
Nikotin yang terdapat pada rokok dapat menurunkan aliran darah dan
memiliki efek toksik terhadap endotelium pembuluh darah. Menurut
hasil penelitian Suriadi (2002) ada hubungaan yang signifikan antara
merokok dengan perkembangan terhadap luka tekan.
2) Faktor Intrinsik
a. Usia
pada usia lanjut akan terjadi penurunan elastisitas dan
vaskularisasi. Pasien yang sudah tua memiliki resiko yang tinggi untuk
terkena luka tekan karena kulit dan jaringan akan berubah seiring
dengan penuaan. Penuaan mengakibatkan kehilangan otot,
penurunan kadar serum albumin, penurunan respon inflamatori,
penurunan elastisitas kulit, serta penurunan kohesi antara epidermis
dan dermis. Perubahan ini berkombinasi dengan faktor penuaan lain
akan membuat kulit menjadi berkurang toleransinya terhadap
tekanan, pergesekan, dan tenaga yang merobek. Selain itu, akibat
dari penuaan adalah berkurangnya jaringan lemak subkutan,
berkurangnya jaringan kolagen dan elastin. menurunnya efesiensi
kolateral kapiler pada kulit sehingga kulit menjadi lebih tipis dan
rapuh.
b. Penurunan sensori persepsi
Pasien dengan penurunan sensori persepsi akan mengalami
penurunan untuk merasakan sensari nyeri akibat tekanan diatas
tulang yang menonjol. Bila ini terjadi dalam durasi yang lama, pasien
akan mudah terkena luka tekan. karena nyeri merupakan suatu tanda
yang secara normal mendorong seseorang untuk bergerak.
Kerusakan saraf (misalnya akibat cedera, stroke, diabetes)
dan koma bisa menyebabkan berkurangnya kemampuan untuk
merasakan nyeri.
c. Gangguan Fungsi Motorik
Pasien yang tidak mampu mengubah posisi secara mandiri beresiko
tinggi terhadap dekubitus. Pasien tersebut dapat merasakan tekanan
tetapi, tidak mampu mengubah posisi secara mandiri untuk
menghilangkan tekanan tersebut. Hal ini meningkatkan peluang
terjadinya dekubitus. Pada pasien yang mengalami cedera medulla
spinalis terdapat gangguan motorik dan sensorik. Angka kejadian
dekubitus pada pasien yang mengalami cedera medula spinalis
diperkirakan sebesar 85%, dan komplikasi luka ataupun berkaitan
dengan luka merupakan penyebab kematian pada 8% populasi ini
(Ruller & Cooney, 1981 dalam Potter & Perry, 2005).
d. Penurunan kesadaran
Pasien bingung, disorientasi, atau mengalami perubahan tingkat
kesadaran tidak mampu melindungi dirinya sendiri dari luka dekubitus.
Pasien bingung atau disorientasi mungkin dapat merasakan tekanan,
tetapi tidak mampu memahami bagaimana menghilangkan tekanan
itu. Pasien koma tidak dapat merasakan tekanan dan tidak mampu
mengubah ke posisi yang labih baik. Selain itu pada pasien yang
mengalami perubahan tingkat kesadaran lebih mudah menjadi
bingung. Beberapa contoh adalah pada pasien yang berada di ruang
operasi dan untuk perawatan intensif dengan pemberian sedasi,
pasien dengan gangguan neurologis, trauma serta analgetik narkotik.
e. Malnutrisi
Orang-orang yang mengalami kekurangan gizi (malnutrisi) tidak
memiliki lapisan lemak sebagai pelindung dan kulitnya tidak
mengalami pemulihan sempurna karena kekurangan zat-zat gizi yang
penting. Karena itu klien malnutrisi juga memiliki resiko tinggi
menderita ulkus dekubitus. Selain itu, malnutrisi dapat mengganggu
penyembuhan luka. Biasanya berhubungan dengan hipoalbumin.
Hipoalbuminemia, kehilangan berat badan, dan malnutrisi umumnya
diidentifikasi sebagai faktor predisposisi untuk terjadinya luka tekan.
Menurut penelitian Guenter (2000) stadium tiga dan empat dari luka
tekan pada orang tua berhubungan dengan penurunan berat badan,
rendahnya kadar albumin, dan intake makanan yang tidak mencukupi.
f. Temperatur kulit
Menurut hasil penelitian Sugama (1992) peningkatan temperatur
merupakan faktor yang signifikan dengan resiko terjadinya luka tekan.
g. Kemampuan sistem kardiovaskuler menurun, sehingga perfusi kulit
menurun.
h. Anemia
Pasien anemia beresiko terjadi dekubitus. Penurunan level
hemoglobin mengurangi kapasitas darah membawa nutrisi dan
oksigen serta mengurangi jumlah oksigen yang tersedia untuk
jaringan. Anemia juga mengganggu metabolisme sel dan
mengganggu penyembuhan luka (Potter & Perry, 2005).
g. Mobilitas dan aktivitas
Mobilitas adalah kemampuan untuk mengubah dan mengontrol posisi
tubuh, sedangkan aktivitas adalah kemampuan untuk berpindah.
Pasien yang berbaring terus menerus ditempat tidur tanpa mampu
untuk merubah posisi beresiko tinggi untuk terkena luka tekan. Orang-
orang yang tidak dapat bergerak (misalnya lumpuh, sangat lemah,
dipasung). Imobilitas adalah faktor yang paling signifikan dalam
kejadian luka tekan.
i. Hipoalbuminemia, beresiko tinggi terkena dekubitus dan
memperlambat penyembuhannya.
j. Kakeksia
Kakeksia merupakan penyakit kesehatan dan malnutrisi
umum, ditandai kelemahan dan kurus. Kakeksia biasa berhubungan
dengan penyakit berat seperti kanker dan penyakit kardiopulmonal
tahap akhir. Kondisi ini meningkatkan resiko luka dekubitus pada
pasien. Pada dasarnya pasien kakesia mengalami kehilangan
jaringan adipose yang berguna untuk melindungi tonjolan tulang dari
tekanan ( Potter & Perry, 2005).
k. Obesitas
dapat mengurangi dekubitus. Jaringan adipose pada jumlah kecil
berguna sebagai bantalan tonjolan tulang sehingga melindungi kulit
dari tekanan. Pada obesitas sedang ke berat, jaringan adipose
memperoleh vaskularisasi yang buruk, sehingga jaringan adipose dan
jaringan lain yang berada dibawahnya semakin rentan mengalami
kerusakan akibat iskemi (Potter & Perry, 2005).
l. Infeksi
Infeksi disebabkan adanya patogen dalam tubuh. Pasien
infeksi biasa mengalami demam. Infeksi dan demam menigkatkan
kebutuhan metabolik tubuh, membuat jaringan yang telah hipoksia
(penurunan oksigen) semakin rentan mengalami iskemi akibat
(Skheleton & Litwalk, 1991 dalam Potter & Perry, 2005). Selain itu
demam menyebabkan diaporesis (keringatan) dan meningkatkan
kelembaban kulit, yang selanjutnya yang menjadi predisposisi
kerusakan kulit pasien (Potter & Perry, 2005).
m. Penyakit-penyakit yang merusak pembuluh darah juga mempermudah
terkena dekubitus dan memperburuk dekubitus.
4. Manifestasi Klinis
Terjadi pada pasien-pasien paraplegia, quadriplegia, spina bifida,
multiple sklerosis dan imobilisasi lama di rumah sakit. Selain itu, faktor lain
perlu diketahui dari riwayat penderita meliputi onset, durasi, riwayat
pengobatan sebelumnya, perawatan luka, riwayat operasi sebelumnya,
status gizi dan perubahan berat badan, riwayat alergi, konsumsi alkohol,
merokok serta keadaan sosial ekonomi penderita. Anamnesa sistem
termasuk di dalamnya antara lain demam, keringat malam, spasme (kaku),
kelumpuhan, bau, nyeri (Arwaniku, 2007).
Menurut NPUAP ( National Pressure Ulcer Advisory Panel ), luka tekan
dibagi menjadi empat tadium, yaitu :
1. Stadium Satu
Adanya perubahan dari kulit yang dapat diobservasi. Apabila
dibandingkan dengan kulit yang ormal, maka akan tampak salah satu
tanda sebagai berikut : perubahan temperatur kulit ( lebih dingin atau
lebih hangat ), perubahan konsistensi jaringan ( lebih keras atau lunak ),
perubahan sensasi (gatal atau nyeri). Pada orang yang berkulit putih, luka
mungkin kelihatan sebagai kemerahan yang menetap. Sedangkan pada
yang berkulit gelap, luka akan kelihatan sebagai warna merah yang
menetap, biru atau ungu.
2. Stadium Dua
Hilangnya sebagian lapisan kulit yaitu epidermis atau dermis, atau
keduanya. Cirinya adalah lukanya superficial, abrasi, melempuh, atau
membentuk lubang yang dangkal.
3. Stadium Tiga
Hilangnya lapisan kulit secara lengkap, meliputi kerusakan atau nekrosis
dari jaringn subkutan atau lebih dalam, tapi tidak sampai pada fascia.
Luka terlihat seperti lubang yang dalam
4. Stadium Empat
Hilangnya lapisan kulit secara lengkap dengan kerusakan yang luas,
nekrosis jaringan, kerusakan pada otot, tulang atau tendon. Adanya
lubang yang dalam serta saluran sinus juga termasuk dalam stadium IV
dari luka tekan.
5. Patofisiologi
6. Pemeriksaan Penunjang
1) Kultur dan analisis urin
Kultur ini dibutuhakan pada keadaan inkontinensia untuk melihat apakah
ada masalah pada ginjal atau infeksi saluran kencing, terutama pada
trauma medula spinalis.
2) Kultur Tinja
Pemeriksaan ini perlu pada keadaan inkontinesia alvi untuk melihat
leukosit dan toksin Clostridium difficile ketika terjadi pseudomembranous
colitis.
3) Biopsi
Biopsi penting pada keadaan luka yang tidak mengalami perbaikan
dengan pengobatan yang intensif atau pada ulkus dekubitus kronik untuk
melihat apakah terjadi proses yang mengarah pada keganasan. Selain
itu, biopsi bertujuan untuk melihat jenis bakteri yang menginfeksi ulkus
dekubitus. Biopsi tulang perlu dilakukan bila terjadi osteomyelitis.
4) Pemeriksaan Darah
Untuk melihat reaksi inflamasi yang terjadi perlu diperiksa sel darah putih
dan laju endap darah. Kultur darah dibutuhkan jika terjadi bakteremia dan
sepsis.
5) Keadaan Nutrisi
Pemeriksaan keadaan nutrisi pada penderita penting untuk proses
penyembuhan ulkus dekubitus. Hal yang perlu diperiksa adalah albumin
level, prealbumin level, transferrin level, dan serum protein level.
6) Radiologis: Pemeriksaan radiologi untuk melihat adanya kerusakan tulang
akibat osteomyelitis. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan sinar-X,scan
tulang atau MRI.
8) Komplikasi
Komplikasi sering terjadi pada luka dekubitus derajat III dan IV, walaupun
dapat terjadi pada luka yang superfisial. Menurut subandar (2008) komplikasi
yang dapat terjadi antara lain:
1. Infeksi, umumnya bersifat multibakterial baik aerobik maupun anaerobik.
2. Keterlibatan jaringan tulang dan sendi seperti periostitis, osteotitis,
osteomielitis, dan arthritis septik.
3. Septikimia
4. Animea
5. Hipoalbuminea
6. Kematian.
Asuhan Keperawatan
Resiko terjadi dkubitus jika skor total < 14 (sumber: Morison, Moya J.
2003)
3) Pantau lamanya waktu daerah kemerahan
4) Dapatkan data pengkajian nutrisi yang meliputi jumlah serum albumin,
jumlah protein total, jumlah hemoglobin, dan presentasi berat badan
ideal
5) Kaji pemahaman pasien dan keluarga tentang resiko dekubitus.
Keuntungan dari instrumen perkiraan adalah meningkatkan deteksi
dini perawat pada pasien beresiko maka intervensi yang tepat diberikan
untuk mempertahankan integritas kulit. pengkajian ulang untuk resiko luka
dekubitus harus dilakukan secara teratur ( AHPCR, 1992). Sanagt dianjurkan
manggunakan alat pengkajian yang tervalidasi untuk jenis populasi pasien
tertentu.
2. Kulit
Perawat harus mengkaji kulit terus-menerus dari tanda-tanda
munculnya luka pada kulit klien gangguan neurologi, berpenyakit kronik
dalam waktu lama, penurunan status mental, dan dirawat di ruang ICU,
berpenyakit onkologi, terminal, dan orthopedi berpotensi tinggi terjadi luka
dekubitus.
Pengkajian untuk indikator tekanan jaringan meliputi inspeksi visual
dan taktil pada kulit (Pires & Muller, 1991 dalam Potter & Perry, 2005).
Pengkajian dasar dilakukan untuk menetukan karakteristik kulit normal klien
dan setiap area yang potensial atau aktual mengalami kerusakan. Perawat
memberi perhatian khusus pada daerah dibawah gips, traksi, balutan, tongkat
penopang, penyangga leher, atau peralatan orthopedi lain. Jumlah
pemeriksaan tekanan tergantung jadwal pemakaian alat respon kulit terhadap
tekanan eksternal.
Ketika hiperemia ada maka perawat mencatat lokasi, dan warna lalu
mengkaji ulang area tersebut setelah satu jam. Apabila terlihat kelainan
hiperemia reaktif maka perawat dapat menandai area tersebut agar
pengkajian ulang menjadi lebih mudah. Tanda peringatan dini lain yang
menunjukkan kerusakan jaringan akibat tekanan adalah lecet atau bintil-bintil
pada area yang menanggung beban berat tubuh dan mungkin disertai
hiperemia. Pires & Muller (1991) melaporkan bahwa tanda dini akibat
tekanan yang sering diabaikan pada klien yang tidak mengalami trauma
adalah borok di area yang menanggung berat beban badan. Semua tanda-
tanda ini merupakan indikator dini gangguan integritas kulit, tapi kerusakan
kulit yang berada di bawahnya mungkin menjadi lebih progresif. Pengkajian
taktil memungkinkan perawat menggunakan teknik palpasi untuk
memperoleh data lebih lanjut mengenai indurasi dan kerusakan kulit maupun
jaringan yang di bawahnya.
Perawat melakukan palpasi pada jaringan di sekitarnya untuk
mengobservasi area hiperemi, mengkaji adanya pucat dan kembali ke warna
kulit normal klien yang berkulit terang. Selain itu, perawat mempalpasi
indurasi, mencatat indurasi disekitar area yang cedera dalam ukuran
milimeter atau sentimeter. Perawat juga mencatat perubahan suhu di sekitar
kulit dan jaringan (Pires & Muller, 1991 dalam Potter & Perry, 2005).
Perawat sering menginspeksi secara visual dan taktil pada area tubuh
yang paling sering beresiko luka dekubitus. Jika pasien berbaring di tempat
tidur atau duduk di atas maka berat badan terletak pada tonjolan tulang
tertentu. Permukaan tubuh yang paling terbebani berat badan ataupun
tekanan merupakan area beresiko tinggi terjadi dekubitus (Helt, 1991 dalam
Potter & Perry, 2005).
3. Mobilisasi
Pengkajian meliputi pendokumentasian tingkat mobilisasi pada
integritas kulit. Pengkajian mobilisasi juga harus memperoleh data tentang
kualitas tonus dan kekuatan otot. Klien yang mempunyai rentang gerak yang
adekuat untuk bergerak secara mandiri ke bentuk posisi yang lebih
terlindungi.
Mobilisasi harus dikaji sebagai bagian dari data dasar. Jika pasien
memiliki tingkat kemandirian mobilisasi maka perawat harus mendorong
pasien agar sering mengubah posisinya dan melakukan tindakan untuk
menghilangkan tekanan yang dialaminya. Frekuensi perubahan posisi
berdasarkan pengkajian kulit yang terus menerus dan dianggap sebagai
perubahan data (Potter & Perry,2005).
4. Status Nutrisi
Pengkajian nutrisi klien harus menjadi bagian integral dalam
pengkajian data awal pada pasien beresiko gangguan integritas kulit
(Breslow & Bergstrom, 1994; Water et el, 1994; Finucance, 1995;). Pasien
malnutrisi atau kakesia dan berat badan kurang dari 90% berat badan ideal
atau pasien yang berat badan lebih dari 110% berat badan ideal lebih
beresiko terjadi luka dekubitus (Hanan & Scheele, 1991 dalam Potter &
Perry, 2005). Walaupun presentase berat badan bukan indikator yang baik,
tapi jika ukuran ini digunakan bersama-sama dengan jumlah serum albumin
atau protein total yang rendah, maka presentase berat badan ideal pasien
dapat mempengaruhi timbulnya luka dekubitus (Potter & Perry, 2005).
5. Nyeri
Sampai saat ini, hanya sedikit tulisan atau penelitian yang dilakukan
tentang nyeri dan luka dekubitus, AHPCR (1994) telah merekomendasi
pengkajian dan manajemen nyeri termasuk dalam perawatan pasien luka
dekubitus. Selain itu AHPCR (1994) menegaskan perlunya penelitian tentang
nyeri pada pasien luka dekubitus. Salah satu studi yang pertama kali
menghitung pengalaman nyeri pasien yang dirawat di rumah sakit karena
luka dekubitus telah dilakukan oleh Dallam et el (1995). Pada studi ini 59,1%
pasien melaporkan adanya nyeri dangan menggunakan skala analog visual,
68,2% melaporkan adanya nyeri akibat luka dekubitus dengan menggunakan
skala urutan nyeri faces.
Berlawanan dengan banyaknya nyeri yang dilaporkan, obat-obatan
nyeri yang telah digunakan klien sebesar 2,3%. Beberapa implikasi praktik
yang disarankan para peneliti (Dallam dkk, 1995 dalam Potter & Perry, 2005)
adalah menambah evaluasi tingkat nyeri pasien kedalam pengkajian
dekubitus, yaitu pengontrolan nyeri memerlukan pengkajian ulang yang
teratur untuk mengevaluasi efektifitas, dan program pendidikan diperlukan
untuk meningkatkan sensitifitas pemberi pelayanan kesehatan terhadap nyeri
akibat luka dekubitus.
Intervensi Keperawatan
1. Kerusakan integritas jaringan kulit berhubungan dengan destruksi
mekanis jaringan sekunder terhadap tekanan, gesekan dan fraksi.
Diagnosa Rencana keperawatan
Keperawatan/
Tujuan dan Kriteria Intervensi
Masalah
Hasil
Kolaborasi
Kerusakan NOC: NIC :
integritas jaringan 1. Tissue integrity : Pressure ulcer prevention
berhubungan skin and mucous Wound care
dengan: membranes 1. Anjurkan pasien untuk
Gangguan 2. Wound healing : menggunakan pakaian yang
sirkulasi, iritasi primary and longgar
kimia (ekskresi secondary 2. Jaga kulit agar tetap bersih dan
dan sekresi tubuh, intention kering
medikasi), defisit Setelah dilakukan 3. Mobilisasi pasien (ubah posisi
cairan, kerusakan tindakan pasien) setiap dua jam sekali
mobilitas fisik, keperawatan selama 4. Monitor kulit akan adanya
keterbatasan . kerusakan kemerahan
pengetahuan, integritas jaringan 5. Oleskan lotion atau minyak/baby
faktor mekanik pasien teratasi oil pada daerah yang tertekan
(tekanan, dengan kriteria hasil: 6. Monitor aktivitas dan mobilisasi
gesekan),kurangn 1. Perfusi jaringan pasien
ya nutrisi, radiasi, normal 7. Monitor status nutrisi pasien
faktor suhu (suhu 2. Tidak ada tanda- 8. Memandikan pasien dengan
yang ekstrim) tanda infeksi sabun dan air hangat
DO : 3. Ketebalan dan 9. Kaji lingkungan dan peralatan
1. Kerusakan tekstur jaringan yang menyebabkan tekanan
jaringan normal 10. Observasi luka : lokasi, dimensi,
(membran 4. Menunjukkan kedalaman luka,
mukosa, pemahaman karakteristik,warna cairan,
integumen, dalam proses granulasi, jaringan nekrotik,
subkutan) perbaikan kulit tanda-tanda infeksi lokal, formasi
dan mencegah traktus
terjadinya cidera 11. Ajarkan pada keluarga tentang
berulang luka dan perawatan luka
5. Menunjukkan 12. Kolaborasi ahli gizi pemberian
terjadinya proses diet TKTP, vitamin
penyembuhan 13. Cegah kontaminasi feses dan
luka urin
14. Lakukan tehnik perawatan luka
dengan steril
15. Berikan posisi yang mengurangi
tekanan pada luka
16. Hindari kerutan pada tempat tidur
Kulit & jaringan tidak dapat metoleransi Kulit & jaringan dapat metoleransi beberapa
tekanan
Gangguan
mobilisasi fisik