PD
NIM:11-2013-311
Lebar 4-6 cm,tetapi mungkin sedikit bervariasi dengan perubahan sudut skening dan pada
bayi baru lahir sekitar 2 cm.
Ketebalan <3,5 cm,tetapi mungkin sedikit bervariasi dengan perubahan sudut skening.
Tebal korteks kira-kira 1/3-1/2 sinus renalis (sinus renalis:1/3 dari ginjal).
Hepar
--Hati disebut juga sebagai hepar merupakan suatu organ tubuh terbesar. Berbentuk seperti baji,
mengisi tempat di bagian hypochondrium, sebagian dari epigastrium, dan hypochondrium kiri.
Hepar memiliki berat 1,0-2,5 kg dan berwarna merah coklat. Hepar merupakan bagian dari
sistem reticuloendotelial.Ukuran transversal hepar berkisar 20 cm-22,5 cm,dan ukuran vertical
berkisar 15 cm-17,5 cm,dengan diameter anteroposterior terbesar sekitar 10 cm-12,5 cm.
Lien
--Ukuran normal limpa adalah adalah panjang 12 cm,lebar 7 cm,dan isi 250 cm3.
Anemia pada CKD
Ketika terjadi gangguan pada glomerulus maka fungsi ginjal pun terganggu, termasuk
fungsi endokrinnya . Anemia pada penyakit ginjal kronik dikaitkan dengan konsekuensi
patofisiologik yang merugikan, termasuk berkurangnya transfer oksigen ke jaringan dan
penggunaannya, peningkatan curah jantung, dilatasi ventrikel, dan hipertrofi ventrikel.
Hemolisis sedang yang disebabkan hanya karena gagal ginjal tanpa faktor lain yang
memperberat seharusnya tidak menyebabkan anemia jika respon eritropoesis mencukupi tetapi
proses eritropoesis pada gagal ginjal terganggu. Alasan yang paling utama dari fenomena ini
adalah penurunan produksi eritropoetin pada pasien dengan penyakit ginjal yang berat.
Defisiensi eritropoetin merupakan penyebab utama anemia pada pasien-pasien penyakit ginjal
kronik. Para peneliti mengatakan bahwa sel-sel peritubular yang menghasilkan eritropoetin rusak
sebagian atau seluruhnya seiring dengan progresivitas penyakit ginjalnya. Selanjutnya pada
penelitian terdahulu menggunakan teknik bio-assay menunjukkan bahwa dalam perbandingan
dengan pasien anemia tanpa penyakit ginjal, pasien anemia dengan penyakit ginjal menunjukkan
peningkatan konsentrasi serum eritropoetin yang tidak adekuat. Inflamasi kronik, menurunkan
produksi sel darah merah dengan efek tambahan terjadi defisiensi erotropoetin. Proses inflamasi
seperti glomerulonefritis, penyakit reumatologi, dan pielonefritis kronik, yang biasanya
merupakan akibat pada gagal ginjal terminal, pasien dialisis terancam inflamasi yang timbul
akibat efek imunosupresif. Defisiensi eritropoetin relatif pada penyakit ginjal kronik dapat
berespon terhadap penurunan fungsi glomerulus. Satu studi mengatakan bahwa untuk
mempertahankan kemampuan untuk meningkatkan kadar eritropoetin dengan cara tinggal pada
daerah yang tinggi. Selain itu, telah terbukti juga bahwa racun uremik juga dapat menginaktifkan
eritopoietin atau menekan respon sumsum tulangterhadap eritropoietin.
Dalam hal pengurangan jumlah eritropoetin, penghambatan respon sel prekursor eritrosit
terhadap eritropoetin dianggap sebagai penyebab dari eritropoesis yang tidak adekuat pada
pasien uremia. Terdapat toksin-toksin uremia yang menekan proses ertropoesis yang dapat
dilihat pada proses hematologi pada pasien dengan gagal ginjal terminal setelah terapi reguler
dialisis. Ht biasanya meningkat dan produksi sel darah merah yang diukur dengan kadar Fe yang
meningkat pada eritrosit, karena penurunan kadar eritropetin serum. Substansi yang menghambat
eritropoesis ini antara lain poliamin, spermin, spermidin, dan PTH. Spermin dan spermidin yang
kadar serumnya meningkat pada gagal ginjal kronik yang tidak hanya memberi efek
penghambatan pada eritropoesis tetapi juga menghambat granulopoesis dan trombopoesis.
Karena ketidakspesifikkan, leukopenia, dan trombositopenia bukan merupakan karakteristik dari
uremia, telah disimpulkan bahwa spermin dan spermidin tidak memiliki fungsi yang signifikan
pada patogenesis dari anemia pada penyakit ginjal kronik. Kadar PTH meningkat pada uremia
karena hiperparatiroidsm sekunder, tetapi hal ini masih kontroversi jika dikatakan bahwa PTH
memberikan efek penghambatan pada eritropoesis. Walaupun menurut penelitian, dilaporkan
paratiroidektomi menyebabkan peningkatan dari kadar Hb pada pasien uremia, peneliti lain
mengatakan tidak ada hubungan antara kadar PTH dengan derajat anemia pada pasien uremia.
Walaupun efek langsung penghambatan PTH pada eritropoesis belum dibuktikan secara final,
akibat yang lain dari peningkatan PTH seperti fibrosis sumsum tulang dan penurunan masa hidup
eritrosit ikut bertanggung jawab dalam hubungan antara hiperparatiroid dan anemia pada gagal
ginjal.
Pasien-pasien dengan penyakit ginjal kronis memiliki risiko kehilangan darah oleh karena
terjadinya disfungsi platelet. Penyebab utama kehilangan darah pada pasien-pasien ini adalah
dari hemodialisis. Pada suatu penelitian, dibuktikan pasien-pasien hemodialisis dapat kehilangan
darah rata-rata 4,6 L/tahun. Kehilangan darah melalui saluran cerna, sering diambil untuk
pemeriksaan laboratorium dan defisiensi asam folat juga dapat menyebabkan anemia.
Kekurangan asam folat bisa bersamaan dengan uremia, dan bila pasien mendapatkan terapi
hemodialisis, maka vitamin yang larut dalam air akan hilang melalui membran dialisis.
Kecendrungan terjadi perdarahan pada uremia agaknya disebabkan oleh gangguan kualitatif
trombosit dan dengan demikian menyebabkan gangguan adhesi.
Kekurangan zat besi dapat disebabkan karena kehilangan darah dan absorbsi saluran cerna
yang buruk (antasida yang diberikan pada hiperfosfatemia juga mengikat besi dalam usus).
Selain itu, proses hemodialisis dapat menyebabkan kehilangan 3 -5 gr besi per tahun.
Normalnya, kita kehilangan besi 1-2 mg per hari (Gambar 3), sehingga kehilangan besi pada
pasien-pasien dialisis 10-20 kali lebih banyak.
Homeostasis besi tampaknya terganggu pada penyakit ginjal kronik. Untuk alasan yang
masih belum diketahui (kemungkinan karena malnutrisi), kadar transferin pada penyakit ginjal
kronik setengah atau sepertiga dari kadar normal, menghilangkan kapasitas sistem transport besi.
Situasi ini yang kemudian mengganggu kemampuan untuk mengeluarkan cadangan besi dari
makrofag dan hepatosit pada penyakit ginjal kronik.
Masa hidup eritrosit pada pasien gagal ginjal hanya sekitar separuh dari masa hidup
eritrosit normal. Peningkatan hemolisis eritrosit ini tampaknya disebabkan oleh kelainan
lingkungan kimia plasma dan bukan karena cacat pada sel darah itu sendiri. Hemolisis pada
gagal ginjal terminal adalah derajat sedang. Pada pasien hemodialisis kronik, masa hidup eritrosit
diukur menggunakan 51Cr menunjukkan variasi dari sel darah merah normal yang hidup tetapi
rata-rata waktu hidup berkurang 25-30%.
Penyebab hemolisis terjadi di ekstraseluler karena sel darah merah normal yang
ditransfusikan kepada pasien uremia memiliki waktu hidup yang memendek, ketika sel darah
merah dari pasien dengan gagal ginjal ditransfusikan kepada resipien yang sehat memiliki waktu
hidup yang normal. Efek faktor yang terkandung pada uremic plasma pada Na-ATPase membran
dan enzim dari Pentosa phospat shunt pada eritrosit diperkirakan merupakan mekanisme yang
menyebabkan terjadinya hemolisis. Kelainan fungsi dari Pentosa phospat shunt mengurangi
ketersediaan dari glutation reduktase, dan oleh karena itu mengartikan kematian eritrosit menjadi
oksidasi Hb dengan proses hemolisisis. Kerusakan ini menjadi semakin parah apabila oksidan
dari luar masuk melalui dialisat atau sebagai obat-obatan.
Peningkatan kadar hormon PTH pada darah akibat sekunder hiperparatioidsm juga menyebabkan
penurunan sel darah merah yang hidup pada uremia, sejak PTH yang utuh atau normal terminal
fragmen meningkatkan kerapuhan osmotik dari SDM manusia secara in vitro, kemungkinan oleh
karena peningkatan kerapuhan seluler. Hyperparatiroidism dapat menekan produksi sel darah
merah melalui 2 mekanisme.yang pertama, efek langsung penekanan sumsum tulang akibat
peningkatan kadar PTH, telah banyak dibuktikan melalui percobaan pada hewan. Yang kedua,
efek langsung pada osteitis fibrosa, yang mengurangi respon sumsum tulang terhadap
eritropoetin asing. Terdapat laporan penelitian yang menyatakan adanya peningkatan Hb setelah
dilakukan paratiroidektomi pada pasien dengan uremia.
Mekanisme lainnya yang menyebabkan peningkatan rigiditas eritrosit yang mengakibatkan
hemolisis pada gagal ginjal adalah penurunan fosfat intraseluler (hipofosfatemia) akibat
pengobatan yang berlebihan dengan pengikat fosfat oral, dengan penurunan intracellular
adenine nucleotides dan 2,3- diphosphoglycerate (DPG). Hemolisis dapat timbul akibat
kompliksai dari prosedur dialisis atau dari interinsik imunologi dan kelainan eritrosit. Kemurnian
air yang digunakan untuk menyiapkan dialisat dan kesalahan teknik selama proses rekonstitusi
dapat menurunkan jumlah sel darah merah yang hidup, bahkan terjadi hemolisis. Filter karbon
bebas kloramin yang tidak adekuat akibat saturasi filter dan ukuran filter yang tidak mencukupi,
dapat mengakibatkan denaturasi hemoglobin, penghambatan hexose monophosphate shunt, dan
hemolisis kronik. Lisisnya sel juga dapat disebabkan tercemarnya dialisat oleh copper, nitrat,
atau formaldehide. Autoimun dan kelainan biokomia dapat menyebabkan pemendekan waktu
hidup eritrosit. Hipersplenisme merupakan gejala sisa akibat transfusi, yang distimulasi oleh
pembentukan antibodi, fibrosis sumsum tulang, penyakit reumatologi, penyakit hati kronis dapat
mengurangi sel darah merah yang hidup sebanyak 75% pada pasien dengan gagal ginjal terminal.
Ada beberapa mekanisme lainnya yang jarang , yang dapat menyebabkan hemolisis seperti
kelebihan besi pada darah, Zn, dan formaldehid, atau karena pemanasan berlebih. Perburukan
hemolisis pada gagal ginjal juga dapat disebabkan karena proses patologik lainnya seperti
splenomegali atau mikroangiopati yang berhubungan dengan periarteritis nodosa, SLE, dan
hipertensi maligna.
Penyebab lain yang mempengaruhi eritropoiesis pada pasien dengan gagal ginjal terminal
dengan reguler hemodialisis adalah intoksikasi aluminium akibat terpapar oleh konsentrasi tinggi
dialisat alumunium dan atau asupan pengikat fosfat yang mengandung aluminium. Aluminium
menyebabkan anemia mikrositik yang kadar feritin serumnya meningkat atau normal pada pasien
hemodialisis, menandakan anemia pada pasien tersebut kemungkinan diperparah oleh intoksikasi
alumnium. Patogenesisnya belum sepenuhnya dimengerti tetapi terdapat bukti yang kuat yang
menyatakan bahwa efek toksik aluminium pada eritropoesis menyebabkan hambatan sintesis dan
ferrochelation hemoglobine. Akumulasi aluminium dapat mempengaruhi eritropoesis melalui
penghambatan metabolisme besi normal dengan mengikat transferin, melalui terganggunya
sintesis porfirin, melalui terganggunya sirkulasi besi antara prekursor sel darah merah pada
sumsum tulang.
Inflamasi
Anemia pada inflamasi juga ditandai dengan kadar besi serum yang rendah, saturasi
transferin yang rendah dan gangguan pengeluaran cadangan besi yang bermanifestasi dengan
tingginya serum feritin. Peningkatan jumlah sitokin-sitokin inflamasi di sirkulasi seperti
interleukin 6 berhubungan dengan respon yang buruk terhadap pemberian eritropoetin pada
pasien-pasien gagal ginjal terminal.
Gambar 3.Hemostasis Anemia pada CKD
--Asidosis metabolic pada CKD terjadi karena nefron yang rusak tidak dapat mengekskresikan
asam yang dihasilkan dari metabolisme tubuh(kemampuan tubulus distal mereabsorpsi
bikarbonat menurun).Asidosis metabolik pada pasien CKD biasanya merupakan kombinasi
adanya anion gap yang normal maupun peningkatan anion gap. Pada CKD, ginjal tidak mampu
membuat ammonia yang cukup pada tubulus proksimal untuk mengekskresikan asam endogen
ke dalam urin dalam bentuk ammonium. Peningkatan anion gap biasanya terjadi pada CKD
stadium 5. Anion gap terjadi karena akumulasi dari fosfat, sulfat, dan anion anion lain yang
tidak terekskresi dengan baik. Asidosis metabolik pada CKD dapat menyebabkan gangguan
metabolisme protein. Selain itu asidosis metabolic juga merupakan salah satu faktor dalam
perkembangan osteodistrofi ginjal.
Hipokalsemi pada CKD dan hubungan kelenjar paratiroid sampai terjadinya hipokalsemi
CKD
--Hipokalsemi pada CKD disebabkan karena berkurangnya laju filtrasi glomerulus,Ginjal tidak
mampu mengekskresikan vitamin D ke bentuk yang aktif,yaitu 1,25-
dihidroksikolekalsiferol.Vitamin D yang aktif ini diperlukan untuk mengabsorpsi kalsium dari
traktus gastrointestinal dan mneyimpan kalsium dalam tulang.
Gangguan tulang pada CKD terutama stadium akhir disebabkan karena banyak sebab,
salah satunya adalah penurunan sintesis 1,25-dihydroxyvitamin D atau kalsitriol, yang akan
menyebabkan kegagalan mengubah bentuk inaktif Ca sehingga terjadi penurunan absorbsi Ca.
Penurunan absorbsi Ca ini akan menyebabkan hipokalsemia dan osteodistrofi. Pada CKD akan
terjadi hiperparatiroidisme sekunder yang terjadi karena hipokalsemia, hiperfosfatemia, resistensi
skeletal terhadap PTH. Kalsium dan kalsitriol merupakan feedback negatif inhibitor, sedangkan
hiperfosfatemia akan menstimulasi sintesis dan sekresi PTH.
Karena penurunan laju filtrasi glomerulus, maka ginjal tidak mampu untuk
mengekskresikan zat zat tertentu seperti fosfat sehingga timbul hiperfosfatemia.
Hiperfosfatemia akan menstimulasi FGF-23, growth faktor ini akan menyebabkan inhibisi 1-
hydroxylase. Enzim ini digunakan dalam sintesis kalsitriol. Karena inhibisi oleh FGF-23 maka
sintesis kalsitriol pun akan menurun. Akan terjadi resistensi terhadap vitamin D. Sehingga
feedback negatif terhadap PTH tidak berjalan. Terjadi peningkatan hormon parathormon.
Akhirnya akan timbul hiperparatiroidisme sekunder.
Pengeluaran kelebihan fosfat dari cairan tubuh yang dipicu oleh HPT ini penting untuk
mencegah pengendapan ulang kalsium yang dibebaskan dari tulang.Karena sifat kelarutan garam
kalsium fosfat,hasil kali konsentrasi kalsium plasma dan konsentrasi fosfat plasma harus berada
dalam nilai yang relative konstan.Dengan demikian,terdapat hubungan terbalik antara
konsentrasi kalsium dan fosfat dalam plasma,sebagai contoh,saat kadar fosfat plasma meningkat
,sebagian dari kalsium plasma dipaksa kembali ke dalam tulang melalui pembentukan Kristal
hidroksipatit,sehingga kadar kalsium plasma berkurang dan kalsium fosfat tetap dalam CES
berada dalam keseimbangan dengan kristal-kristal tulang.
Ingatlah bahwa kalsium dan fosfat dibebaskan dari tulang saat HPT meningkatkan
disolusi tulang.Karena HPT disekresikan hanya saat kadar kalsium plasma turun di bawah
normal,kalsium yang dibebaskan diperlukan untuk memulihkan kalsium plasma ke
normal,namun fosfat yang dibebaskan cenderung meningkatkan kadar fosfat diatas
normal.Apabila kadar fosfat plasma dibiarkan meningkat melebihi normal,sebagian kalsium
plasma akan terus mengendap kembali ke tulang bersama dengan fosfat agar produk kalsium
fosfat tetap konstan.Pengendapan kembali kalsium ini akan menurunkan kadar kalsium
plasma,bertentangan dengan efek yang diinginkan.Dengan demikian,HPT bekerja pada ginjal
untuk mengurangi reabsorpsi fosfat oleh tubulus ginjal.Keadaan ini meningkatkan ekskresi fosfat
melalui urin dan menurunkan konsentrasi elektrolit ini di dalam plasma,walaupun terjadi
pelepasan tambahan fosfat dari tulang ke dalam darah.Tindakan semacam ini mencegah
redeposisi kalsium yang dibebaskan kembali ke tulang.
Efek penting ketiga HPT pada ginjal selain meningkatkan reabsorpsi kalsium dan
menurunkan reabsropsi fosfat adalah meningkatkan pengaktifan vitamin D oleh ginjal.
Koreksi albumin
Keterangan
Koreksi Kalium
Koreksi Natrium
Defisit Na=total air tubuh (TBW)x (serum Na yang diinginkan-serum saat ini)
Dimana Y=
-Anak=0,6
-Pria dewasa=0,6
-Wanita Dewasa=0,5
-Pria tua=0,5
-Wanita tua=0,45
Prosedur Koreksi Asidosis Metabolic
a. Secara umum koreksi dilakukan hingga tercapai pH 7,2 atau kadar ion HCO3 12 mEq/L
b. Pada keadaan khusus:
-Pada penurunan fungsi ginjal,koreksi dapat dilakukan secara penuh hingga mencapai
kadar ion HCO3 20-22 mEq/L.Pada ketoasidosis diabetic atau asidosis laktat type
A,koreksi dilakukan bila kadar ion HCO3 dalam darah kurang atau sama dengan 5
mEq/L,terdapat hiperkalemi berat,setelah koreksi insulin pada diabetes mellitus,koreksi
oksigen pada asidosis belum terkendali.Koreksi dilakukan sampai kadar ion HCO3 10
mEq/L
-Pada asidosis metabolic yang terjadi bersamaan dengan asidosis respiratorik dan tidak
menggunakan ventilator,koreksi harus dilakukan secara hati-hati atas pertimbangan
depresi pernapasan.
Koreksi dilakukan dengan pemberian Na-Bikarbonat yangs ecukupnya untuk menaikkan HCO3-
menjadi 15 mEq/L dan ph kira-kira sampai 7,20 dalam jangka waktu 12 jam.
Larutan ringer laktat IV biasanya merupakan cairan pilihan untuk memperbaiki keadaan asidosis
metabolic dengan selisih anion serta kekurangan volume ECF yang sering menyertai ini.Natrium
laktat dimetabolisme secara perlahan dalam tubuh menjadi NaHCO3 dan memperbaiki keadaan
asidosis secara perlahan.