Anda di halaman 1dari 16

TUGAS IPD TARAKAN-dr Nuniek Sp.

PD

Nama :Nastalia Sindy

NIM:11-2013-311

Ginjal:Panjang 9-12 cm dan pada bayi baru lahir sekitar 4 cm

Lebar 4-6 cm,tetapi mungkin sedikit bervariasi dengan perubahan sudut skening dan pada
bayi baru lahir sekitar 2 cm.

Ketebalan <3,5 cm,tetapi mungkin sedikit bervariasi dengan perubahan sudut skening.

Ukuran ginjal dewasa normal adalah :

Ukuran ginjal kanan :8-14 cm(rata-rata 10,74 cm)

Ukuran ginjal kiri :7-12 cm (rata-rata 11,10 cm)

Tebal korteks kira-kira 1/3-1/2 sinus renalis (sinus renalis:1/3 dari ginjal).

Gambar 1.Struktur Ginjal Normal


Gambar 2.USG normal

Hepar

--Hati disebut juga sebagai hepar merupakan suatu organ tubuh terbesar. Berbentuk seperti baji,
mengisi tempat di bagian hypochondrium, sebagian dari epigastrium, dan hypochondrium kiri.
Hepar memiliki berat 1,0-2,5 kg dan berwarna merah coklat. Hepar merupakan bagian dari
sistem reticuloendotelial.Ukuran transversal hepar berkisar 20 cm-22,5 cm,dan ukuran vertical
berkisar 15 cm-17,5 cm,dengan diameter anteroposterior terbesar sekitar 10 cm-12,5 cm.

--Diameter vena porta normal:15-20 mm.

Lien

--Ukuran normal limpa adalah adalah panjang 12 cm,lebar 7 cm,dan isi 250 cm3.
Anemia pada CKD

Tabel 1. Etiologi Anemia pada Penyakit Ginjal Kronik

Etiologi Penjabaran etiologi


Penyebab utama - Defisiensi relatif dari eritropoietin
Penyebab tambahan Kekurangan zat besi
Inflamasi akut dan kronik
pPendeknya masa hidup eritrosit
Bleeding diathesis
Hiperparatiroidisme/ fibrosis sumsum tulang
Kondisi komorbiditas - Hemoglobinopati, hipotiroid, hipertiroid, kehamilan,
penyakit HIV, penyakit autoimun, obat imunosupresif

Ketika terjadi gangguan pada glomerulus maka fungsi ginjal pun terganggu, termasuk
fungsi endokrinnya . Anemia pada penyakit ginjal kronik dikaitkan dengan konsekuensi
patofisiologik yang merugikan, termasuk berkurangnya transfer oksigen ke jaringan dan
penggunaannya, peningkatan curah jantung, dilatasi ventrikel, dan hipertrofi ventrikel.

Hemolisis sedang yang disebabkan hanya karena gagal ginjal tanpa faktor lain yang
memperberat seharusnya tidak menyebabkan anemia jika respon eritropoesis mencukupi tetapi
proses eritropoesis pada gagal ginjal terganggu. Alasan yang paling utama dari fenomena ini
adalah penurunan produksi eritropoetin pada pasien dengan penyakit ginjal yang berat.
Defisiensi eritropoetin merupakan penyebab utama anemia pada pasien-pasien penyakit ginjal
kronik. Para peneliti mengatakan bahwa sel-sel peritubular yang menghasilkan eritropoetin rusak
sebagian atau seluruhnya seiring dengan progresivitas penyakit ginjalnya. Selanjutnya pada
penelitian terdahulu menggunakan teknik bio-assay menunjukkan bahwa dalam perbandingan
dengan pasien anemia tanpa penyakit ginjal, pasien anemia dengan penyakit ginjal menunjukkan
peningkatan konsentrasi serum eritropoetin yang tidak adekuat. Inflamasi kronik, menurunkan
produksi sel darah merah dengan efek tambahan terjadi defisiensi erotropoetin. Proses inflamasi
seperti glomerulonefritis, penyakit reumatologi, dan pielonefritis kronik, yang biasanya
merupakan akibat pada gagal ginjal terminal, pasien dialisis terancam inflamasi yang timbul
akibat efek imunosupresif. Defisiensi eritropoetin relatif pada penyakit ginjal kronik dapat
berespon terhadap penurunan fungsi glomerulus. Satu studi mengatakan bahwa untuk
mempertahankan kemampuan untuk meningkatkan kadar eritropoetin dengan cara tinggal pada
daerah yang tinggi. Selain itu, telah terbukti juga bahwa racun uremik juga dapat menginaktifkan
eritopoietin atau menekan respon sumsum tulangterhadap eritropoietin.
Dalam hal pengurangan jumlah eritropoetin, penghambatan respon sel prekursor eritrosit
terhadap eritropoetin dianggap sebagai penyebab dari eritropoesis yang tidak adekuat pada
pasien uremia. Terdapat toksin-toksin uremia yang menekan proses ertropoesis yang dapat
dilihat pada proses hematologi pada pasien dengan gagal ginjal terminal setelah terapi reguler
dialisis. Ht biasanya meningkat dan produksi sel darah merah yang diukur dengan kadar Fe yang
meningkat pada eritrosit, karena penurunan kadar eritropetin serum. Substansi yang menghambat
eritropoesis ini antara lain poliamin, spermin, spermidin, dan PTH. Spermin dan spermidin yang
kadar serumnya meningkat pada gagal ginjal kronik yang tidak hanya memberi efek
penghambatan pada eritropoesis tetapi juga menghambat granulopoesis dan trombopoesis.
Karena ketidakspesifikkan, leukopenia, dan trombositopenia bukan merupakan karakteristik dari
uremia, telah disimpulkan bahwa spermin dan spermidin tidak memiliki fungsi yang signifikan
pada patogenesis dari anemia pada penyakit ginjal kronik. Kadar PTH meningkat pada uremia
karena hiperparatiroidsm sekunder, tetapi hal ini masih kontroversi jika dikatakan bahwa PTH
memberikan efek penghambatan pada eritropoesis. Walaupun menurut penelitian, dilaporkan
paratiroidektomi menyebabkan peningkatan dari kadar Hb pada pasien uremia, peneliti lain
mengatakan tidak ada hubungan antara kadar PTH dengan derajat anemia pada pasien uremia.
Walaupun efek langsung penghambatan PTH pada eritropoesis belum dibuktikan secara final,
akibat yang lain dari peningkatan PTH seperti fibrosis sumsum tulang dan penurunan masa hidup
eritrosit ikut bertanggung jawab dalam hubungan antara hiperparatiroid dan anemia pada gagal
ginjal.
Pasien-pasien dengan penyakit ginjal kronis memiliki risiko kehilangan darah oleh karena
terjadinya disfungsi platelet. Penyebab utama kehilangan darah pada pasien-pasien ini adalah
dari hemodialisis. Pada suatu penelitian, dibuktikan pasien-pasien hemodialisis dapat kehilangan
darah rata-rata 4,6 L/tahun. Kehilangan darah melalui saluran cerna, sering diambil untuk
pemeriksaan laboratorium dan defisiensi asam folat juga dapat menyebabkan anemia.
Kekurangan asam folat bisa bersamaan dengan uremia, dan bila pasien mendapatkan terapi
hemodialisis, maka vitamin yang larut dalam air akan hilang melalui membran dialisis.
Kecendrungan terjadi perdarahan pada uremia agaknya disebabkan oleh gangguan kualitatif
trombosit dan dengan demikian menyebabkan gangguan adhesi.
Kekurangan zat besi dapat disebabkan karena kehilangan darah dan absorbsi saluran cerna
yang buruk (antasida yang diberikan pada hiperfosfatemia juga mengikat besi dalam usus).
Selain itu, proses hemodialisis dapat menyebabkan kehilangan 3 -5 gr besi per tahun.
Normalnya, kita kehilangan besi 1-2 mg per hari (Gambar 3), sehingga kehilangan besi pada
pasien-pasien dialisis 10-20 kali lebih banyak.
Homeostasis besi tampaknya terganggu pada penyakit ginjal kronik. Untuk alasan yang
masih belum diketahui (kemungkinan karena malnutrisi), kadar transferin pada penyakit ginjal
kronik setengah atau sepertiga dari kadar normal, menghilangkan kapasitas sistem transport besi.
Situasi ini yang kemudian mengganggu kemampuan untuk mengeluarkan cadangan besi dari
makrofag dan hepatosit pada penyakit ginjal kronik.
Masa hidup eritrosit pada pasien gagal ginjal hanya sekitar separuh dari masa hidup
eritrosit normal. Peningkatan hemolisis eritrosit ini tampaknya disebabkan oleh kelainan
lingkungan kimia plasma dan bukan karena cacat pada sel darah itu sendiri. Hemolisis pada
gagal ginjal terminal adalah derajat sedang. Pada pasien hemodialisis kronik, masa hidup eritrosit
diukur menggunakan 51Cr menunjukkan variasi dari sel darah merah normal yang hidup tetapi
rata-rata waktu hidup berkurang 25-30%.
Penyebab hemolisis terjadi di ekstraseluler karena sel darah merah normal yang
ditransfusikan kepada pasien uremia memiliki waktu hidup yang memendek, ketika sel darah
merah dari pasien dengan gagal ginjal ditransfusikan kepada resipien yang sehat memiliki waktu
hidup yang normal. Efek faktor yang terkandung pada uremic plasma pada Na-ATPase membran
dan enzim dari Pentosa phospat shunt pada eritrosit diperkirakan merupakan mekanisme yang
menyebabkan terjadinya hemolisis. Kelainan fungsi dari Pentosa phospat shunt mengurangi
ketersediaan dari glutation reduktase, dan oleh karena itu mengartikan kematian eritrosit menjadi
oksidasi Hb dengan proses hemolisisis. Kerusakan ini menjadi semakin parah apabila oksidan
dari luar masuk melalui dialisat atau sebagai obat-obatan.
Peningkatan kadar hormon PTH pada darah akibat sekunder hiperparatioidsm juga menyebabkan
penurunan sel darah merah yang hidup pada uremia, sejak PTH yang utuh atau normal terminal
fragmen meningkatkan kerapuhan osmotik dari SDM manusia secara in vitro, kemungkinan oleh
karena peningkatan kerapuhan seluler. Hyperparatiroidism dapat menekan produksi sel darah
merah melalui 2 mekanisme.yang pertama, efek langsung penekanan sumsum tulang akibat
peningkatan kadar PTH, telah banyak dibuktikan melalui percobaan pada hewan. Yang kedua,
efek langsung pada osteitis fibrosa, yang mengurangi respon sumsum tulang terhadap
eritropoetin asing. Terdapat laporan penelitian yang menyatakan adanya peningkatan Hb setelah
dilakukan paratiroidektomi pada pasien dengan uremia.
Mekanisme lainnya yang menyebabkan peningkatan rigiditas eritrosit yang mengakibatkan
hemolisis pada gagal ginjal adalah penurunan fosfat intraseluler (hipofosfatemia) akibat
pengobatan yang berlebihan dengan pengikat fosfat oral, dengan penurunan intracellular
adenine nucleotides dan 2,3- diphosphoglycerate (DPG). Hemolisis dapat timbul akibat
kompliksai dari prosedur dialisis atau dari interinsik imunologi dan kelainan eritrosit. Kemurnian
air yang digunakan untuk menyiapkan dialisat dan kesalahan teknik selama proses rekonstitusi
dapat menurunkan jumlah sel darah merah yang hidup, bahkan terjadi hemolisis. Filter karbon
bebas kloramin yang tidak adekuat akibat saturasi filter dan ukuran filter yang tidak mencukupi,
dapat mengakibatkan denaturasi hemoglobin, penghambatan hexose monophosphate shunt, dan
hemolisis kronik. Lisisnya sel juga dapat disebabkan tercemarnya dialisat oleh copper, nitrat,
atau formaldehide. Autoimun dan kelainan biokomia dapat menyebabkan pemendekan waktu
hidup eritrosit. Hipersplenisme merupakan gejala sisa akibat transfusi, yang distimulasi oleh
pembentukan antibodi, fibrosis sumsum tulang, penyakit reumatologi, penyakit hati kronis dapat
mengurangi sel darah merah yang hidup sebanyak 75% pada pasien dengan gagal ginjal terminal.
Ada beberapa mekanisme lainnya yang jarang , yang dapat menyebabkan hemolisis seperti
kelebihan besi pada darah, Zn, dan formaldehid, atau karena pemanasan berlebih. Perburukan
hemolisis pada gagal ginjal juga dapat disebabkan karena proses patologik lainnya seperti
splenomegali atau mikroangiopati yang berhubungan dengan periarteritis nodosa, SLE, dan
hipertensi maligna.
Penyebab lain yang mempengaruhi eritropoiesis pada pasien dengan gagal ginjal terminal
dengan reguler hemodialisis adalah intoksikasi aluminium akibat terpapar oleh konsentrasi tinggi
dialisat alumunium dan atau asupan pengikat fosfat yang mengandung aluminium. Aluminium
menyebabkan anemia mikrositik yang kadar feritin serumnya meningkat atau normal pada pasien
hemodialisis, menandakan anemia pada pasien tersebut kemungkinan diperparah oleh intoksikasi
alumnium. Patogenesisnya belum sepenuhnya dimengerti tetapi terdapat bukti yang kuat yang
menyatakan bahwa efek toksik aluminium pada eritropoesis menyebabkan hambatan sintesis dan
ferrochelation hemoglobine. Akumulasi aluminium dapat mempengaruhi eritropoesis melalui
penghambatan metabolisme besi normal dengan mengikat transferin, melalui terganggunya
sintesis porfirin, melalui terganggunya sirkulasi besi antara prekursor sel darah merah pada
sumsum tulang.

Inflamasi
Anemia pada inflamasi juga ditandai dengan kadar besi serum yang rendah, saturasi
transferin yang rendah dan gangguan pengeluaran cadangan besi yang bermanifestasi dengan
tingginya serum feritin. Peningkatan jumlah sitokin-sitokin inflamasi di sirkulasi seperti
interleukin 6 berhubungan dengan respon yang buruk terhadap pemberian eritropoetin pada
pasien-pasien gagal ginjal terminal.
Gambar 3.Hemostasis Anemia pada CKD

Feritin pada Penyakit ginjal kronik


Struktur dan Fungsi Feritin
Feritin merupakan protein cadangan besi utama yang dijumpai pada jaringan tubuh
manusia. Feritin terdiri dari 24 subunit dengan 2 tipe yaitu di hati (L) dan jantung (H), dengan
berat molekul 19 dan 21 kDa. Subunit H memiliki peranan yang penting dalam mendetoksifikasi
besi secara cepat oleh karena aktivitas feroksidasenya, dimana oksidasi besi menjadi bentuk
Fe(III). Sedangkan subunit L memfasilitasi nukleasi besi, mineralisasi dan cadangan besi jangka
panjang.
Feritin merupakan tempat penyimpanan zat besi terbesar dalam tubuh. Fungsi feritin adalah
sebagai penyimpanan zat besi terutama di dalam hati, limpa dan sumsum tulang. Zat besi yang
berlebihan akan disimpan dan bila diperlukan dapat dimobilisasi kembali. Hati merupakan
tempat penyimpanan feritin terbesar di dalam tubuh dan berperan dalam mobilisasi feritin serum.
Pada penyakit hati akut maupun kronik kadar feritin serum meningkat, hal ini disebabkan
pengambilan feritin dalam sel hati terganggu dan terdapat pelepasan feritin dari sel hati yang
rusak. Pada penyakit keganasan sel darah merah, kadar feritin serum meningkat disebabkan
meningkatnya sintesis feritin oleh sel leukemia. Pada keadaan infeksi dan inflamasi terjadi
gangguan pelepasan zat besi dari sel retikuloendotelial dan disekresikan ke dalam plasma.
Sintesis feritin dipengaruhi oleh konsentrasi cadangan besi intrasel dan berkaitan pula dengan
cadangan zat besi intrasel (hemosiderin).

Ferritin pada keadaan inflamasi


Kadar C-Reactive Protein (CRP) akan meningkat cepat pada infeksi, disebut respon fase akut.
Peningkatan CRP berhubungan dengan peningkatan konsentrasi interleukin-6 (IL-6) di dalam
plasma yang sebagian besar diproduksi oleh makrofag. Makrofag merupakan sel imun yang
berperan langsung dengan kadar besi dalam tubuh manusia. Makrofag membutuhkan zat besi
untuk memproduksi highly toxic hydroxyl radical, juga merupakan tempat penyimpanan besi
yang utama pada saat terjadi proses inflamasi. Sitokin, radikal bebas, serta protein fase akut yang
dihasilkan oleh hati akan mempengaruhi homeostasis besi oleh makrofag dengan cara mengatur
ambilan dan keluaran besi sehingga akan memicu peningkatan retensi besi dalam makrofag pada
saat terjadi inflamasi. Besi juga mengatur aktivitas sitokin, proliferasi, dan aktivitas limfosit
sehingga diferensiasi dan aktivasi makrofag akan terpengaruh.
Protein fase akut memegang peran dalam proses inflamasi yang kompleks. Konsentrasi
protein fase akut meningkat secara signifikan selama proses inflamasi akut karena tindakan
pembedahan, infark miokard, infeksi, dan tumor. Peningkatan disebabkan oleh sintesis di hati,
namun tidak dapat digunakan untuk menentukan penyebab inflamasi. Pengukuran protein fase
akut dapat digunakan untuk mengamati progresivitas dari inflamasi serta melihat respon terapi
dengan melihat nilai protein fase akut saat mulai meningkat dan kadar yang tertinggi. Kadar
feritin serum tidak dapat menggambarkan indeks cadangan besi dalam tubuh pada saat terjadi
kerusakan sel tubuh. Feritin diproduksi oleh sistem reticulo endotelial, yang berperan penting
dalam proses metabolisme zat besi saat pembentukan hemoglobin dari sel darah merah
senescent. Proses inflamasi dan infeksi akut akan memicu blokade pelepasan zat besi sehingga
akan menurunkan kadar zat besi serum.

Hiperferitinemia Pada Penyakit Ginjal Kronik


Kadar feritin serum tinggi yang ekstrim, >2000 ng/ml, biasanya menandakan adanya kelebihan
besi yang juga dikenal dengan hemosiderosis. Kebanyakan laporan kasus mengenai kelebihan
besi dijumpai pada masa belum digunakannya ESA, ketika transfusi darah lebih sering
digunakan dalam mengatasi anemia.
Peningkatan serum feritin selama inflamasi, infeksi, penyakit hati dan kondisi-kondisi lain
yang tidak berhubungan dengan besi dapat menghalangi kemampuan dalam menilai status besi
pada pasien GGK yang berada dalam kondisi-kondisi tersebut. Feritin serum merupakan penanda
adanya malignansi, seperti pada neuroblastoma, renal cell carcinoma dan limfoma Hodgkin.
Hiperferitinemia juga berhubungan dengan disfungsi hati. Inflamasi kronik sering terjadi pada
pasien-pasien dengan penyakit ginjal kronik dan lebih dari 40-70% pasien dengan penyakit ginjal
kronik dapat mengalami peningkatan kadar CRP. Sehingga, inflamasi kemungkinan keadaan
yang sering terjadi pada hiperferitinemia pada penyakit ginjal kronik.

``Inflamasi Dan Anemia Pada Penyakit ginjal kronik


Inflamasi dan respon fase akut berkaitan dengan sistem hematopoetik. Selama periode awal
respon fase akut, konsentrasi hemoglobin selalu menurun secara drastis. Hal ini disebabkan oleh
pengrusakan eritrosit yang meningkat oleh makrofag retikuloendotelial inflamasi yang
teraktivasi yang membersihkan sirkulasi dari eritrosit yang dilapisi dengan imunoglobulin atau
kompleks imun. Pada pasien-pasien dengan fungsi ginjal yang normal, penurunan hemoglobin
yang tiba-tiba merangsang sekresi eritropoetin selama 4-10 hari. Ternyata, sekresi eritropoetin
yang meningkat ini dihambat oleh sitokin-sitokin proinflamasi pada pasien-pasien yang
mengalami respon fase akut.10
Faktor pertumbuhan seperti eritropoetin dan beberapa sitokin penting untuk pertumbuhan
dan diferensiasi progenitor eritrosit pada sumsum tulang. Pada konsentrasi rendah, sitokin-
sitokin proinflamasi TNF- dan IL-1 menstimulasi pertumbuhan awal progenitor. Efek inflamasi
yang mensupresi eritropoesis terutama disebabkan oleh peningkatan aktivitas sitokin-sitokin
proinflamasi pada sel-sel prekursor pada berbagai tingkatan eritropoesis. Dikatakan bahwa efek
inhibisi pada prekursor eritroid ini terutama disebabkan oleh perubahan sensitivitas terhadap
eritropoetin. Efek inhibisi TNF- dan IL-1 pada eritropoesis dapat diatasi dengan pemberian
dosis tinggi ESA. Pada pasien-pasien dengan gagal ginjal terminal, resistensi ESA berhubungan
dengan respon inflamasi seperti pada pasien dengan peningkatan CRP atau fibrinogen kurang
respon terhadap ESA. Gunell dkk melaporkan bahwa albumin serum yang rendah dan kadar CRP
yang meningkat juga memprediksi resistensi terhadap ESA pada pasien-pasien hemodialisis dan
peritoneal dialisis, yang mendukung konsep bahwa respon inflamasi menyebabkan
hipoalbuminemia dan anemia pada pasien-pasien gagal ginjal terminal.

Hiperfosfatemia pada CKD

--Hiperfosfatemia pada CKD dikarenakan ekskresi ginjal terhadap fosfat menurun(Nefron


kurang mampu melakukan ekskresi). Karena penurunan laju filtrasi glomerulus, maka ginjal
tidak mampu untuk mengekskresikan zat zat tertentu seperti fosfat sehingga timbul
hiperfosfatemia.

Asidosis metabolic pada CKD

--Asidosis metabolic pada CKD terjadi karena nefron yang rusak tidak dapat mengekskresikan
asam yang dihasilkan dari metabolisme tubuh(kemampuan tubulus distal mereabsorpsi
bikarbonat menurun).Asidosis metabolik pada pasien CKD biasanya merupakan kombinasi
adanya anion gap yang normal maupun peningkatan anion gap. Pada CKD, ginjal tidak mampu
membuat ammonia yang cukup pada tubulus proksimal untuk mengekskresikan asam endogen
ke dalam urin dalam bentuk ammonium. Peningkatan anion gap biasanya terjadi pada CKD
stadium 5. Anion gap terjadi karena akumulasi dari fosfat, sulfat, dan anion anion lain yang
tidak terekskresi dengan baik. Asidosis metabolik pada CKD dapat menyebabkan gangguan
metabolisme protein. Selain itu asidosis metabolic juga merupakan salah satu faktor dalam
perkembangan osteodistrofi ginjal.
Hipokalsemi pada CKD dan hubungan kelenjar paratiroid sampai terjadinya hipokalsemi
CKD

--Hipokalsemi pada CKD disebabkan karena berkurangnya laju filtrasi glomerulus,Ginjal tidak
mampu mengekskresikan vitamin D ke bentuk yang aktif,yaitu 1,25-
dihidroksikolekalsiferol.Vitamin D yang aktif ini diperlukan untuk mengabsorpsi kalsium dari
traktus gastrointestinal dan mneyimpan kalsium dalam tulang.

Hipokalsemia pada CKD faktor yang saling berkaitan yaitu:

-hipokalsemi dengan hiperparatiroidisme sekunder

-Gangguan pembentukan 1,25-dihidroksikolekalsiferol,metabolit aktif vitamin D

Gangguan tulang pada CKD terutama stadium akhir disebabkan karena banyak sebab,
salah satunya adalah penurunan sintesis 1,25-dihydroxyvitamin D atau kalsitriol, yang akan
menyebabkan kegagalan mengubah bentuk inaktif Ca sehingga terjadi penurunan absorbsi Ca.
Penurunan absorbsi Ca ini akan menyebabkan hipokalsemia dan osteodistrofi. Pada CKD akan
terjadi hiperparatiroidisme sekunder yang terjadi karena hipokalsemia, hiperfosfatemia, resistensi
skeletal terhadap PTH. Kalsium dan kalsitriol merupakan feedback negatif inhibitor, sedangkan
hiperfosfatemia akan menstimulasi sintesis dan sekresi PTH.

Karena penurunan laju filtrasi glomerulus, maka ginjal tidak mampu untuk
mengekskresikan zat zat tertentu seperti fosfat sehingga timbul hiperfosfatemia.
Hiperfosfatemia akan menstimulasi FGF-23, growth faktor ini akan menyebabkan inhibisi 1-
hydroxylase. Enzim ini digunakan dalam sintesis kalsitriol. Karena inhibisi oleh FGF-23 maka
sintesis kalsitriol pun akan menurun. Akan terjadi resistensi terhadap vitamin D. Sehingga
feedback negatif terhadap PTH tidak berjalan. Terjadi peningkatan hormon parathormon.
Akhirnya akan timbul hiperparatiroidisme sekunder.

Hiperparatiroidisme sekunder adalah produksi hormone paratiroid yang berlebihan


karena rangsangan produksi yang tidak normal.Secara khusus,kelainan ini berkaitan dengan
gagal ginjal akut.Pada keadaan gagal ginjal,ada banyak factor yang merangsang produksi
hormone paratiroid berlebih.Salah satu faktornya termasuk hipokalsemia,kekurangan produksi
vitamin D karena penyakit ginjal,dan hiperfosfatemia.Hiperfosfatemia berperan penting dalam
perkembangan hyperplasia paratiroid yang akhirnya akan meningkatkan produksi hormone
paratiroid.

.Hormon paratiroid merangsang penghematan kalsium dan mendorong pengeluaran fosfat


oleh ginjal selama pembentukan urin.Di bawah pengaruh HPT,ginjal mampu mereabsorpsi lebih
banyak kalsium yang difiltrasi,sehingga kalsium yang keluar melalui urin berkurang.Efek ini
meningkatkan kadar kalsium plasma dan menurunkan pengeluaran kalsium melalui urin.

Sewaktu merangsang reabsorpsi kalsium oleh ginjal,HPT juga meningkatkan ekskresi


fosfat urin melalui penurunan reabsorpsi fosfat.Akibatnya,HPT menurunkan kadar fosfat plasma
bersamaan dengan saat hormon tersebut meningkatkan konsentrasi kalsium.

Pengeluaran kelebihan fosfat dari cairan tubuh yang dipicu oleh HPT ini penting untuk
mencegah pengendapan ulang kalsium yang dibebaskan dari tulang.Karena sifat kelarutan garam
kalsium fosfat,hasil kali konsentrasi kalsium plasma dan konsentrasi fosfat plasma harus berada
dalam nilai yang relative konstan.Dengan demikian,terdapat hubungan terbalik antara
konsentrasi kalsium dan fosfat dalam plasma,sebagai contoh,saat kadar fosfat plasma meningkat
,sebagian dari kalsium plasma dipaksa kembali ke dalam tulang melalui pembentukan Kristal
hidroksipatit,sehingga kadar kalsium plasma berkurang dan kalsium fosfat tetap dalam CES
berada dalam keseimbangan dengan kristal-kristal tulang.

Ingatlah bahwa kalsium dan fosfat dibebaskan dari tulang saat HPT meningkatkan
disolusi tulang.Karena HPT disekresikan hanya saat kadar kalsium plasma turun di bawah
normal,kalsium yang dibebaskan diperlukan untuk memulihkan kalsium plasma ke
normal,namun fosfat yang dibebaskan cenderung meningkatkan kadar fosfat diatas
normal.Apabila kadar fosfat plasma dibiarkan meningkat melebihi normal,sebagian kalsium
plasma akan terus mengendap kembali ke tulang bersama dengan fosfat agar produk kalsium
fosfat tetap konstan.Pengendapan kembali kalsium ini akan menurunkan kadar kalsium
plasma,bertentangan dengan efek yang diinginkan.Dengan demikian,HPT bekerja pada ginjal
untuk mengurangi reabsorpsi fosfat oleh tubulus ginjal.Keadaan ini meningkatkan ekskresi fosfat
melalui urin dan menurunkan konsentrasi elektrolit ini di dalam plasma,walaupun terjadi
pelepasan tambahan fosfat dari tulang ke dalam darah.Tindakan semacam ini mencegah
redeposisi kalsium yang dibebaskan kembali ke tulang.
Efek penting ketiga HPT pada ginjal selain meningkatkan reabsorpsi kalsium dan
menurunkan reabsropsi fosfat adalah meningkatkan pengaktifan vitamin D oleh ginjal.

Koreksi albumin

Albumin deficit(g)=10(desired albumin (g/dl)-(patient albumin ([g/dl])x body weight (kg)x0,3

Keterangan

Albumin deficit=kekurangan albumin

Desired albumin=albumin yang diinginkan

Patient albumin=albumin pasien

Body weight=berat pasien

Koreksi Kalium

Hipokalemi adalah penurunan kadar Kalium (K+) serum <3,5 mEq/L

Koreksi dilakukan menurut kadar Kalium:

1.Kalium 2,5-3,5 mEq/L

Berikan 60-80 mEq per hari dengans ecara oral

2.kalium <2,5 mEq/L

Ada 2 cara .berikan drip intravena dnegan dosis:


a. [(3,5-kadar K+ terukur)xBB (kg)x0,4]+2mEq/kgBB/24 jam,dalam 4 jam
pertama.[(3,5-kadar K+ terukur)xBB (kg) x 0,4]+(1/6 x 2 mEq/kgBB/24
jam),dalam 20 jam berikutnya.
b. (4,5-kadar K+ terukur)x BB x 0,3=..mEq Kecepatan 0,5 mEq/kg/jam
selama 24 jam
Keterangan:
Kalium diberikan secara intravena,jika pasien tidak bisa makan atau
hipokalemi berat.Pemberian kalium tidak boleh lebih dari 8 mEq/jam
(jalur perifer) dengan kecepatan 0,2-0,3 mEq/kgBB/jam.Jika keadaan
mengancam jiwa dapat diberikan dnegan kecepatan s/d 1
mEq/kgBB/jam(via infuse pump dan monitor EKG).

Koreksi Natrium

Defisit Na=total air tubuh (TBW)x (serum Na yang diinginkan-serum saat ini)

TBW= massa tubuh (kg) x Y

Dimana Y=

-Anak=0,6

-Pria dewasa=0,6

-Wanita Dewasa=0,5

-Pria tua=0,5

-Wanita tua=0,45
Prosedur Koreksi Asidosis Metabolic

a. Secara umum koreksi dilakukan hingga tercapai pH 7,2 atau kadar ion HCO3 12 mEq/L
b. Pada keadaan khusus:
-Pada penurunan fungsi ginjal,koreksi dapat dilakukan secara penuh hingga mencapai
kadar ion HCO3 20-22 mEq/L.Pada ketoasidosis diabetic atau asidosis laktat type
A,koreksi dilakukan bila kadar ion HCO3 dalam darah kurang atau sama dengan 5
mEq/L,terdapat hiperkalemi berat,setelah koreksi insulin pada diabetes mellitus,koreksi
oksigen pada asidosis belum terkendali.Koreksi dilakukan sampai kadar ion HCO3 10
mEq/L
-Pada asidosis metabolic yang terjadi bersamaan dengan asidosis respiratorik dan tidak
menggunakan ventilator,koreksi harus dilakukan secara hati-hati atas pertimbangan
depresi pernapasan.

Koreksi dilakukan dengan pemberian Na-Bikarbonat yangs ecukupnya untuk menaikkan HCO3-
menjadi 15 mEq/L dan ph kira-kira sampai 7,20 dalam jangka waktu 12 jam.

Larutan ringer laktat IV biasanya merupakan cairan pilihan untuk memperbaiki keadaan asidosis
metabolic dengan selisih anion serta kekurangan volume ECF yang sering menyertai ini.Natrium
laktat dimetabolisme secara perlahan dalam tubuh menjadi NaHCO3 dan memperbaiki keadaan
asidosis secara perlahan.

Anda mungkin juga menyukai