Anda di halaman 1dari 38

BAB II

URAIAN TEORITIS

II.1 Teori Interaksi Simbolik

II.1.1 Defenisi Teori Interaksi Simbolik

Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Herbert Blumer dalam lingkup

sosiologi, sebenarnya ide ini telah dikemukakan oleh George Herbert Mead (guru

Blumer) yang kemudian dimodifikai oleh Blumer untuk tujuan tertentu.

Karakteristik dasar ide ini adalah suatu hubungan yang terjadi secara alami antara

manusia dalam masyarakat dan hubungan masyarakat dengan individu. Interaksi yang

terjadi antar individu berkembang melalui simbol-simbol yang mereka ciptakan. Realitas

sosial merupakan rangkaian peristiwa yang terjadi pada beberapa individu dalam

masyarakat. Interaksi yang dilakukan antar individu itu berlangsung secara sadar dan

berkaitan dengan gerak tubuh, vokal, suara, dan ekspresi tubuh, yang kesemuanya itu

mempunyai maksud dan disebut dengan simbol.

Pendekatan interaksi simbolik yang dimaksud Blumer mengacu pada tiga premis
utama, yaitu:
(1) Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada
sesuatu itu bagi mereka
(2) Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan oleh orang lain, dan
(3) Makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial sedang
berlangsung (Kuswarno, 2008: 22).

Interaksi simbolik dalam pembahasannya telah berhasil membuktikan adanya

hubungan antara bahasa dan komunikasi. Sehingga, pendekatan ini menjadi dasar

pemikiran ahli-ahli ilmu sosiolinguistik dan ilmu komunikasi.

Universitas Sumatera Utara


Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan cirri khas

manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Blumer

mengintegrasikan gagasan-gagasan tentang interaksi simbolik lewat tulisannya, terutama

pada tahun 1950an dan 1960an, diperkaya dengan gagasan-gagasan dari John Dewey,

Wiliam I. Thomas dan Charles H. Cooley (Mulyana, 2001: 68).

Perspektif interaksi simbolik sebenarnya berada di bawah payung perspektif yang

lebih besar yang sering disebut perspektif fenomenologis atau perspektif interpretative.

Selama dekade-dekade awal perkembangannya, teori interaksi simbolik seolah-olah tetap

tersembunyi di belakang dominasi teori fungsionalisme dari Talcott Parsons. Namun

kemunduran fungsionalisme tahun 1950an dan tahun 1960an mengakibatkan interaksi

simbolik muncul kembali ke permukaan dan berkembang pesat hingga saat ini.

Weber mendefenisikan tindakan sosial sebagai semua perilaku manusia ketika

dan sejauh individu memberikan suatu makna subjektif terhadap perilaku tersebut.

Tindakan disini bisa terbuka atau tersembunyi, bisa merupakan intervensi positif dalam

suatu situas atau sengaja berdiam diri sebagai tanda setuju dalam situasi tersebut.

Menurut Weber, tindakan bermakna sosial sejauh berdasarkan makna subjektifnya yang

diberikan individu atau individu-individu, tindakan itu mempertimbangkan perilaku

orang lain dan karenanya diorientasikan dalam penampilannya (Mulyana, 2001: 61).

Interaksi simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan sosial

dinamis manusia. Bagi perspektif ini, individu bersifat aktif, reflektif, kreatif,

menafsirkan, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Paham ini menolak

gagasan bahwa individu adalah organisme yang pasif yang perilakunya ditentukan oleh

kekuatan-kekuatan atau struktur yang ada di luar dirinya. Oleh karena individu terus

Universitas Sumatera Utara


berubah maka masyarakat pun berubah melalui interaksi. Jadi interaksilah yang dianggap

variabel penting yang menentukan perilaku manusia bukan struktur masyarakat. Struktur

itu sendiri tercipta dan berubah karena interaksi manusia, yakni ketika idividu-individu

berfikir dan bertindak secara stabil terhadap seperangkat objek yang sama. Senada

dengan asumsi di atas, dalam fenomenologi Schutz, pemahaman atas tindakan, ucapan,

dan interaksi merupakan prasyarat bagi eksistensi sosial siapa pun. Dalam pandangan

Schutz, kategori pengetahuan pertama bersifat pribadi dan unik bagi setiap individu

dalam interaksi tatap muka dengan orang lain. Kategori pengetahuan kedua adalah

berbagai pengkhasan yang telah terbentuk dan dianut oleh semua anggota budaya

(Mulyana, 2001: 61-62).

Interaksi simbolik Mahzab Lowa menggunakan metode saintifik (positivistik)

dalam kajian-kajiannya, yakni untuk menemukan hukum-hukum universal mengenai

perilaku sosial yang dapat diuji secara empiris, sementara Mahzab Chicago menggunakan

pendekatan humanistik, dan Mahzab yang popular digunakan adalah Mahzab Chicago

(Mulyana, 2001: 69).

Blumer bersama anggota-anggota Mahzab Chicago mengkonseptualisasikan

manusia sebagai menciptakan atau membentuk kembali lingkungannya, sebagai

merancang dunia objek-nya, dalam aliran tindakannya alih-alih sekedar merespons

pengharapan kelompok (Mulyana, 2001: 70).

Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut

pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat

sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka

dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka.

Universitas Sumatera Utara


Dalam pandangan interaksi simbolik, sebagaimana ditegaskan Blumer, proses sosial

dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan dan menegaskan aturan-aturan, bukan

aturan-aturan yang menciptakan dan menegakkan kehidupan kelompok. Dalam konteks

ini, maka dikonstruksikan dalam proses interaksi, dan proses tersebut bukanlah suatu

medium netral yang memungkinkan kekuatan-kekuatan sosial memainkan perannya,

melainkan justru merupakan substansi sebenarnya dari organisasi sosial dan kekuatan

sosial (Mulyana, 2001: 70).

II.2 Komunikasi

II.2.1 Latar Belakang Sejarah

Ilmu komunikasi yang kita kaji sekarang, sebenarnya merupakan hasil dari suatu

proses perkembangan yang panjang. Status ilmu komunikasi ini di Indonesia diperoleh

melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 107/82 tahun 1982. Keppres itu telah

membawa penyeragaman nama dari ilmu yang dikembangkan di Indonesia, termasuk

ilmu kita ini. Sebelumnya terdapat beberapa nama yang berbeda di berbagai universitas

atau perguruan tinggi. Di Universitas Padjajaran (UNPAD) Bandung dan di Universitas

Gajah Mada (UGM) Yogyakarta misalnya digunakan nama Publisistik, sedang di

Universitas Indonesia (UI) Jakarta nama Publisistik telah lama diganti dengan Ilmu

Komunikasi Massa. Selain itu di Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar

menggunakan nama Publisistik Ilmu Komunikasi. Di Unpad berdiri sebagai suatu

Fakultas, sedang di UI, UGM, USU, UNHAS dan universitas lainnya, berstatus sebagai

jurusan (departemen) pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Arifin, 1988: 1-2).

Universitas Sumatera Utara


Sesungguhnya kajian ini di tanah air di mulai dengan nama Publisistik, dengan

dibukanya jurusan publisistik pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas

Gajah Mada (1950) dan pada Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Masyarakat di

Universitas Indonesia (1959). Demikian juga di Jakarta di buka pada tahun 1956

Akademi Penerangan dan Perguruan Tinggi Jurnalistik (kemudian jurnalistik berganti

menjadi publisistik). Pada tahun 1960 di Universitas Padjajaran Bandung dibuka Fakultas

Jurnalistik dan Publisistik (Arifin, 1988: 2).

Beberapa tokoh yang telah berjasa memasukkan ilmu kita ini ke Indonesia dan

kemudian mengembangkannya di Perguruan Tinggi, antara lain Drs. Marbangun,

Sundoro, Prof. Sujono Hadinoto, Adinegoro, dan Prof. Dr. Mustopo. Pada tahun 1960an,

deretan tokoh itu bertambah lagi dengan datangnya dua orang pakar dalam bidang kajian

ini, yaitu Dr. Phil. Astrid S. Sutanto dari Jerman Barat (1964) dan Dr. M. Alwi Dahlan

dari Amerika Serikat (1967) (Arifin, 1988: 3)

Nama ilmu komunikasi massa dan ilmu komunikasi baru mulai muncul dalam

berbagai diskusi dan seminar pada awal tahun 1970an. Kemudian pada tahun 1973

Jurusan Publisistik pada Fakultas Sosial Politik Universitas Hasanuddin yang di buka

tahun 1961, telah memperbaharui nama menjadi Jurusan Publisistk/Ilmu Komunikasi.

Demikian juga Jurusan Publisistik pada Fakultas Ilmu-ilmu sosial Universtas Indonesia

(UI) dengan resmi berganti nama menjadi Departemen Ilmu Komunikasi Massa tahun

1976.

Ilmu Publisistik berkembang di Eropa, khususnya Jerman, sedang ilmu

komunikasi massa lahir di Amerika Serikat. Masuknya ke dua ilmu itu ke tanah air, selain

karena adanya hubungan dengan bangsa-bangsa dari dua benua tersebut, juga terutama

Universitas Sumatera Utara


karena dibawa oleh mereka yang pernah belajar baik di Eropa maupun di Amerika.

Akhirnya untuk melacak asal-usul Ilmu Komunikasi itu, kita harus mengkaji

perkembangan ilmu kita ini baik di Eropa maupun di Amerika Serikat. Di Eropa,

khususnya di Jerman, Ilmu komunikasi berkembang dari Publizistikwisenshaft, sedang di

Amerika Serikat berkembang dari Ilmu komunikasi massa (Arifin, 1988: 3).

II.2.2 Defenisi Komunikasi

Istilah komunikasi hari ke hari semakin popular. Begitu populernya sampai

muncul berbagai macam istilah komunikasi. Ada komunikasi timbale nalik, ada

komunikasi tatap muka, ada komunikasi langsung, komunikasi vertikal, komunikasi dua

arah dan lain sebagainya.

Sebenarnya istilah-istilah seperti itu tidak perlu membingungkan kita. Apapun

istilahnya bila kita tetap berpijak pada objek formal ilmu komunikasi dan memahami

ruang lingkupnya, maka semua istilah itu dapat diberi pengertian secara jelas dan dapat

dibedakan menurut karakteristiknya masing-masing. Salah satu persoalan di dalam

memberi pengertian komunikasi, yakni banyaknya defenisi yang telah dibuat oleh para

pakar menurut bidang ilmunya.

Sebuah defenisi dibuat oleh Harold D. Lasswell bahwa cara yang tepat untuk

menerangkan suatu tindakan komunikasi ialah menjawab pertanyaan siapa yang

menyampaikan, apa yang disampaikan, melalui saluran apa, kepada siapa dan apa

pengaruhnya.

Universitas Sumatera Utara


Lain halnya dengan Steven, justru ia mengajukan sebuah defenisi yang lebih luas,

bahwa komunikasi terjadi kapan saja suatu organisme memberi reaksi terhadap suatu

objek atau stimuli. Apakah itu berasal dari seseorang atau lingkungan sekitarnya.

Sebuah defenisi yang dbuat oleh kelompok sarjana komunikasi yang

mengkhususkan diri pada studi komunikasi antar manusia (human communication)

bahwa:

Komunikasi adalah suatu transaksi, proses simbolik yang menghendaki orang-


orang mengatur lingkungannya dengan:
(1) membangun hubungan antar sesame manusia
(2) melalui pertukaran informasi
(3) untuk menguatkan sikap dan tingkah laku orang lain
(4) serta berusaha mengubah sikap dan tingkah laku itu (Mulyana, 2001: 33).

Everett M. Rogers seorang pakar sosiologi pedesaan Amerika yang telah banyak

memberi perhatian pada riset stdi komnikasi, khususnya dalam hal penyebaran inovasi

membuat defenisi bahwa:

Komunikasi adalah proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada satu

penerima ata lebih, dengan maksud untuk mengbah tingkah laku mereka.

Defenisi ini kemudian dikembangkan oleh Rogers bersama D. Lawrence Kincaid

(1981) sehingga melahirkan suatu defenisi baru yang menyatakan bahwa:

Komunikasi adalah suatu proses dimana dua orang atau lebih membentuk atau

melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan

tiba pada saling pengertian yang mendalam.

Defenisi-defenisi yang dikemukakan di atas tentunya belum mewakili semua

defenisi komunikasi yang telah dibuat oleh banyak pakar, namun sedikit banyaknya kita

telah dapat memperoleh gambaran seperti apa yang diungkapkan oleh Shannon dan

Universitas Sumatera Utara


Weaver (1949) bahwa komunikasi adalah bentuk interaksi manusia yang saling pengaruh

mempengaruhi satu sama lainnya, sengaja atau tidak sengaja.

II.2.3 Proses Komunikasi

Dari pengertian komunikasi sebagaimana diutarakan diatas, tampak adanya

sejumlah komponen atau unsur yang dicakup, yang merupakan persyaratan terjadinya

komunikasi. Dalam bahasa komunikasi komponen-komponen tersebut adalah sebagai

berikut:

- Komunikator, yaitu orang yang menyampaikan pesan

- Pesan, yaitu pernyataan yang didukung oleh lambing-lambang

- Komunikan, yaitu orang yang menerima pesan

- Media, yaitu sarana atau saluran yang mendukung pesan bila komunikasi jauh

tempatnya atau banyak jumlahnya

- Efek, yaitu dampak sebagai pengaruh pesan.

Teknik berkomunikasi adalah cara atau seni penyampaian suatu pesan yang

dilakukan seorang komunikator sedemikian rupa, sehingga menimbulkan dampak

tertentu pada komunikan. Pesan yang disampaikan komunikator adalah pernyataan

sebagai paduan pikiran dan perasaan, dapat berupa ide, informasi, keluhan, keyakinan,

imbauan, anjuran dan sebagainya. Pernyataan tersebut dibawakan oleh lambang,

umumnya bahasa. Dikatakan bahwa umumnya bahasa yang dipergunakan untuk

menyalurkan pernyataan itu, sebab ada juga lambang lain yang dipergunakan, antara lain

kial, yakni gerakan anggota tubuh, gambar, warna, dan sebagainya.

Universitas Sumatera Utara


Melambaikan tangan, mengedipkan mata, mencibirkan bibir, atau

menganggukkan kepala adalah kial yang merupakan lambang untuk menunjukkan

perasaan atau fikiran seseorang. Gambar, apakah itu foto, lukisan, sketsa, karikatur,

diagram, grafik, atau lain-lainnya, adalah lambang yang biasa digunakan untuk

menyampaikan pernyataan seseorang. Demikian pula warna, seperti pada lampu lalu

lintas: merah berarti berhenti, kuning berarti hati-hati, dan hijau berarti berjalan.

Kesemuanya itu lambang yang dipergunakan polisi lalu lintas untuk menyampaikan

instruksi kepada para pemakai jalan.

Diantara sekian banyak lambang yang biasa digunakan dalam komunikasi adalah

bahasa, sebab dapat menunjukkan pernyataan seseorang mengenai hal-hal, selain yang

kongkret juga yang abstrak, baik yang terjadi sekarang, lalu dan dimasa yang akan

datang. Tidak demikian kemampuan lambang-lambang lainnya.

Yang penting dalam komunikasi adalah bagaimana caranya agar suatu pesan yang

disampaikan komunikator itu menimbulkan dampak atau efek tertentu pada komunikan.

Dampak yang ditimbulkan dapat diklasifikasikan menurut kadarnya, yakni:

a. Dampak positif

b. Dampak afektif

c. Dampak behavioural

Dampak kognitif adalah yang timbul pada komunikan yang menyebabkan dia

menjadi tahu atau meningkat intelektualitasnya. Di sini pesan yang disampaikan

komunikator ditujukan kepada pikiran si komunikan. Dengan kata lain, tujuan

komnikator hanyalah berkisar pada upaya mengubah pikiran dari komunikan.

Universitas Sumatera Utara


Dampak efektif lebih tinggi kadarnya daripada dampak kognitif. Di sini tujuan

komunikator bukan hanya sekedar supaya komunikan tahu, tetapi tergerak hatinya;

menimbulkan perasaan tertentu, misalnya perasaan iba, terharu, sedih, gembira, marah

dan sebagainya. Yang paling tinggi kadarnya adalah dampak behavioral, yakni dampak

yang timbul pada komunikan dalam bentuk perilaku, tindakan, atau kegiatan.

Untuk contoh mengenai ketiga jenis dampak di atas dapat diambil dari berita surat

kabar. Pernah sebuah surat kabar membuat berita yang dilengkapi foto mengenai seorang

wanita yang menderita tumor yang menahun sehingga perutnya besar tak terperikan.

Peristiwa yang diberitakan lengkap dengan fotonya itu menarik perhatian banyak

pembaca. Berita tersebut dapat menimbulkan berbagai jenis efek. Jika seorang membaca

hanya tertarik untuk membacanya saja dan kemudian ia menjadi tahu, maka dampaknya

hanya berkadar kognitif saja.

Apabila ia merasa iba atas penderita perempuan yang hidupnya tidak

berkecukupan itu, berita tersebut menimbulkan dampak afektif. Tetapi kalau si pembaca

yang tersentuh hatinya itu, kemudian pergi ke redaksi surat kabar yang

memeberitakannya dan menyerahkan sejumlah uang untuk disampaikan kepada si

penderita, maka berita tadi menimbulkan dampak behavioral.

II.3 Komunikasi Antarbudaya

II.3.1 Sejarah Komunikasi Antarbudaya

Akar dari studi komunikasi antarbudaya dapat ditemukan dari era Perang Dunia

Kedua, ketika Amerika mendominasi panggung dunia. Bagaimanapun, disadari

pemerintah dan pebisnis bekerja melewati benua, dan berpindah-pindah dan akhirnya

Universitas Sumatera Utara


mereka sering menyadari perbedaan budaya yang terjadi. Kendala utama adalah bahasa,

bagaimana mereka harus mempersiapkan ini dan hal ini menjadi tantangan bagi

komunikasi antarbudaya yang mereka jalani.

Sebagai respon, pemerintah Amerika pada tahun 1946 membangun sebuah FSI

(Foreign Service Institute). FSI ini kemudian memilih Edward T. Hall dan beberapa ahli

antropologi dan bahasa termasuk Ray Birdwhistell dan George Trager untuk mengurus

keberangkatan dan kursus untuk para pekerja yang biasa ke luar negeri. Karena bahan

pelatihan antarbudaya masih jarang atau langka maka mereka mengembangkan keahlian

mereka sendiri. Alhasil, FSI memformulasikan cara baru untuk melihat budaya dan

komunikasi, dan lahirlah studi komunikasi antarbudaya (Martin & Thomas, 2007: 44-45).

Istilah antarbudaya (interculture) pertama kali diperkenalkan oleh seorang

antropolog, Edward T. Hall pada 1959 dalam bukunya The Silent Language. Karya Hall

tersebut hanya menerangkan tentang keberadaban konsep-konsep unsur kebudayaan,

misalnya sistem ekonomi, religi, sistem pengetahuan sebagaimana apa adanya. Hakikat

perbedaan antarbudaya dalam proses komunikasi baru dijelaskan satu setelah itu, oleh

David K. Berlo melalui bukunya The Process of Communication (an introduction to

theory and practice) pada tahun 1960. Dalam tulisan itu, Berlo menawarkan sebuah

model proses komunikasi. Menurut Berlo, komunikasi akan berhasil jika manusia

memperhatikan faktor-faktor SMCR yaitu source, messege, channel, receiver (Liliweri,

2001: 1).

Semua tindakan komunikasi itu berasal dari konsep kebudayaan. Berlo berasumsi

bahwa kebudayaan mengajarkan kepada anggotanya untuk melaksanakan tindakan itu.

Berarti kontribusi latar belakang kebudayaan sangat penting terhadap perilaku

Universitas Sumatera Utara


komunikasi seseorang termasuk memahami makna-makna yang di persepsi terhadap

tindakan komunikasi yang bersumber dari kebudayaan yang berbeda (Liliweri, 2001: 2).

Semua tindakan komunikasi itu berasal dari konsep kebudayaan. Berlo berasumsi

berasumsi bahwa kebudayaan mengajarkan kepada anggotanya untuk melaksanakan

tindakan itu. Berarti kontribusi latar belakang kebudayaan sangat penting terhadap

perilaku komunikasi seseorang termasuk memahami makna-makna yang dipersepsi

terhadap tindakan komunikasi yang bersumber dari kebudayaan yang berbeda (Liliweri,

2001: 2).

Studi komunikasi antarbudaya, menggabungkan 2 unsur yaitu budaya dan

komunikasi. Hubungan antarbudaya dan komunikasi begitu kompleks, perspektif

dialektis mengasumsikan bahwa budaya dan komunikasi saling berhubungan dan timbal

balik. Jadi, budaya mempengaruhi komunikasi dan sebaliknya. Menurut Burke dalam

Intercultural Communication in Context, untuk itu kelompok budaya mempengaruhi

proses di mana persepsi dari realitas diciptakan dan dibangun: semua komuniatas di

seluruh tempat setiap waktu memanifestasikan pandangan mereka sendiri terhadap

realitas yang mereka lakukan. Keseluruhan budaya merefleksikan model realitas

kontemporer. Bagaimanapun, kita mungkin saja bisa mengatakan bahwa komunikasi

membantu menciptakan realitas budaya dari suatu komunitas (Martin & Thomas,

2007:92).

Rumusan objek formal komunikasi antarbudaya baru difikirkan pada tahun 1970-

1980an. Annual tentang komunikasi antarbudaya yang disponsori Speech

Communication Association, terbit pertama kali tahun 1974 oleh Fred Casmir dalam The

International and Intercultural Communication Annual. Kemudian Dan Landis

Universitas Sumatera Utara


menguatkan konsep komunikasi antarbudaya dalam International Journal of Intercultural

Relations pada tahun 1977 (Liliweri, 2001: 2).

Tahun 1979, Molefi Asante, Cecil Blake dan Eileen Newmark menerbitkan

sebuah buku khusus membicarakan komunikasi antarbudaya, yakni The Handbook of

Intercultural Communication. Selanjutnya tahun 1983 lahir International and

Intercultural Communication Annual yang dalam setiap volumenya mulai menempatkan

rubrik khusus untuk menampung tulisan tentang komunikasi antarbudaya. Edisi lain

tentang komunikasi, kebudayaan, proses kerja sama antarbudaya ditulis oleh Gundykunst,

Steward dan Ting Toomey tahun 1985, komunikasi antaretnik oleh Kim tahun 1986,

adaptasi antarbudaya oleh Kim dan Gundykunst tahun 1988 dan terakhir

komunikasi/bahasa dan kebudayaan oleh Ting Toomey & Korzenny, tahun 1988

(Liliweri, 2001: 3).

Fokus perhatian studi komunikasi dan kebudayaan juga meliputi, bagaimana

menjajaki makna, pola-pola tindakan, juga tentang bagaimana makna dan pola-pola itu

diartikulasikan ke dalam sebuah kelompok sosial, kelompok budaya, kelompok politik,

proses pendidikan, bahkan lingkungan teknologi yang melibatkan interaksi antarmanusia

(Liliweri, 2004: 10).

Young Yun Kim dalam Raharjo mengatakan, tidak seperti studi-studi komunikasi

lain, maka hal yang terpenting dari komunikasi antarbudaya yang membedakannya dari

kajian keilmuan lainnya adalah tingkat perbedaan yang relative tinggi pada latar belakang

pengalaman pihak-pihak yang berkomunikasi karena adanya perbedaan kultural.

Selanjutnya menurut Kim, asumsi yang mendasari batasan tentang komunikasi

antarbudaya adalah bahwa individu-individu yang memiliki budaya yang sama pada

Universitas Sumatera Utara


umumnya berbagi kesamaan-kesamaan (homogenitas) dalam keseluruhan latar belakang

pengalaman mereka daripada orang yang berasal dari budaya yang berbeda (Raharjo,

2005: 52-53).

II.3.2 Defenisi Komunikasi Antarbudaya

Kata budaya berasal dari bahasa sansekerta buddhayah yang merupakan bentuk

jamak dari kata buddhi, yang berarti budi atau akal. Kebudayaan itu sendiri diartikan

sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi atau akal.

Istilah cultureberasal dari kata colere yang artinya adalah mengolah atau

mengerjakan, yang dimaksudkan kepada keahlian mengolah dan mengerjakan tanah atau

bertani. Kata colore, kemudian berubah menjadi culture, diartikan sebagai segala daya

dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam (Soekamto, 1996: 188).

E.B Taylor, seorang antropolog memberikan defenisi mengenai kebudayaan

sebagai suatu yang kompleks yang mencakupi pengetahuan, kepercayaan, kesenian,

moral, hukum, adat-istiadat, kemampuan-kemampuan, dan kebiasaan-kebiasaan yang

didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Bahkan beliau mengatakan bahwa

kebudayaan mencakupi semua yang didapatkan dan dipelajari dari pola-pola

perilakunormatif, artinya mencakup segala cara atau pola berpikir, merasakan dan

bertindak (Soekamto, 1996: 189).

Sementara itu, komunikasi dalam pengertian secara umum dapat dibagi dari dua

sisi, yaitu secara etimologis dan terminologis. Secara etimologis berasal dari bahasa latin

communis yang berarti sama makna. Secara terminologis, komunikasi berarti proses

penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain (Onong, 2003: 67).

Universitas Sumatera Utara


Komunikasi tidak bisa dipandang sekedar sebagai sebuah kegiatan yang

menghubungkanmanusia dalam keadaan pasif, tetapi komunikasi harus dipandang

sebagai proses yang menghubungkan manusia melalui sekumpulan tindakan yang terus

menerus diperbaharui (Liliweri, 2001: 24).

Dengan demikian, komunikasi adalah proses penyampaian suatu pesan oleh

seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu atau untuk mengubah sikap, pendapat

dan perilaku, baik langsung melalui lisan maupun tidak langsung melalui media (Onong,

2003: 5).

Dengan pemahaman yang sama, maka komunikasi antarbudaya dapat

diartikan/didefenisikan melalui bebrapa pernyataan sebagai berikut:

1. Tubbs dan Moss (1996): komunikasi antarbudaya terjadi di antara orang-orang


yang memiliki kebudayaan yang berbeda-beda (ras, etnis, sosio-ekonomi, atau
gabungan dari semua perbedaan itu.
2. Samover dan Porter (1983, 1994, 2003): komunikasi antarbudaya terjadi
manakala bagian yang terlibat dalam kegiatan komunikasi tersebut membawa
latar belakang budaya pengalaman yang berbeda yang mencerminkan nilai-nilai
yang dianut oleh kelompoknya.
3. Sitaram (1970): komunikasi antarbudaya adalah seni untuk memahami dan saling
pengertian antara khalayak yang berbeda kebudayaan (intercultural
communication : the art of understanding and being understood by the audience
of mother culture).
4. Charley H. Dood (1991: 5): komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang
melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi, dan
kelompok, dengan tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang
mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta (Liliweri, 2003: 11).
5. Lustig dan Koester (1993): Intercultural Communication Competence, yang
mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses komunikasi simbolik,
interpretative, transaksional, konstekstual yang dilakukan oleh sejumlah orang
yang karena memiliki perbedaan derajat kepentingan tertentu, memberikan
interpretasi dan harapan secara berbeda terhadap apa yang disampaikan dalam
bentuk perilaku tertentu sebagai makna yang dipertukarkan (Liliweri, 2003: 11).

Seluruh defenisi di atas memberi penekanan pada perbedaan kebudayaan sebagai

faktor yang menentukan dalam berlangsungnya proses komunikasi antarbudaya.

Universitas Sumatera Utara


Komunikasi antarbudaya mengakui dan mengurusi permasalahan mengenai perbedaan-

perbedaan maupun persamaan-persamaan di antara peserta peserta komunikasi dengan

karakteristik yang dibawanya.

Komunikasi dan kebudayaan mempunyai hubungan timbal balik seperti dua sisi

mata uang. Kebudayaan menjadi bagian perilaku komunikasi, dan pada gilirannya

komunikasi pun turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan

budaya, seperti yang dikatakan oleh Edward T. Hall pada bahasan sebelumnya. Pada satu

sisi, komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk mensosialisasikan norma-norma

budaya masyarakat, baik secara horizontal (dari suatu masyarakat kepada masyarakat

lainnya), ataupun secara vertical (dari suatu generasi kepada generasi berikutnya). Pada

sisi lain budaya menetapkan norma-norma (komunikasi) yang dianggap sesuai untuk

kelompok tertentu.

II.3.3 Dimensi-dimensi Komunikasi Antarbudaya

Untuk mencari kejelasan dan mengintegrasikan berbagai konseptualisasi tentang

komunikasi antarbudaya, ada tiga dimensi yang perlu kita perhatikan.

1. Tingkat masyarakat kelompok budaya dari partisipan-partisipan komunikasi

Istilah kebudayaan telah digunakan untuk menunjukkan pada macam-macam

tingkat lingkungan dan kompleksitas dari organisasi sosial. Umumnya istilah kebudayaan

mencakupi:

- Kawasan-kawasan di dunia, seperti budaya Timur-Barat

- Sub kawasan di dunia, seperti budaya Amerika Utara, Asia Tenggara, Timur

Tengah, dan lain-lain

Universitas Sumatera Utara


- Kelompok-kelompok etnis/ras, seperti budaya orang Melayu, Batak, Cina

Indonesia, dan lain-lain.

- Macam-macam sub kelompok sosiologis berdasarkan jenis kelamin, kelas sosial,

seperti budaya orang dipenjara, budaya waria, budaya orang gelandangan, budaya

di pesantren, budaya hippis, dan lain-lain.

2. Konteks sosial tempat terjadinya komunikasi antarbudaya

Jenis KAB dapat lagi diklasifikasikan berdasarkan konteks sosial dari terjadinya.

Yang biasanya termasuk dalam studi KAB:

- Business

- Organizations

- Pendidikan

- Akulturasi imigran

- Politik

- Penyesuaian pelancong/pendatang sementara

- Perkembangan alih teknologi/pembangunan/difusi inovasi

- Konsultasi terapis.

Komunikasi dalam semua konteks merupakan persamaan dalam hal unsur-unsur

dasar dan proses komunikasi manusia (transmitting, receiving, processing). Tetapi adanya

pengaruh kebudayaan yang tercakup dalam latar belakang pengalaman individu

membentuk pola-pola persepsi pemikiran. Penggunaan pesan-pesan verbal/nonverbal

serta hubungan-hubungan antaranya. Maka variasi kontekstual, merupakan dimensi

tambahan yang mempengaruhi proses-prose KAB. Misalnya: Komunikasi antar orang

Universitas Sumatera Utara


Indonesia dan Jepang dalam suatu transaksi dagang akan berbeda dengan komunikasi

antar keduanya dalam berperan sebagai dua mahasiswa dari suatu universitas.

Jadi konteks sosial khusus tempat terjadinya KAB memberikan pada para

partisipan hubungan-hubungan antar peran. Ekspektasi, norma-norma dan aturan-aturan

tingkah laku yang khusus.

3. Saluran yang dilalui oleh pesan-pesan komunikasi antarbudaya, baik yang bersifat

verbal maupun non verbal.

Dimensi lain yang membedakan KAB ialah saluran melalui mana KAB terjadi.

Secara garis besar, saluran dapat dibagi atas:

- Antarpribadi/interpersonal/person-person

- Media massa

SALURAN KOMUNIKASI ANTARBUDAYA

ANTARPRIBADI MEDIA MASSA

(Orang dengan orang secara langsung) (Radio, surat kabar, TV, Film, Majalah)

Bersama-sama dengan dua dimensi sebelumnya, saluran-saluran komunikasi juga

mempengaruhi proses dan hasil keseluruhan dari KAB. Misalnya: orang Indonesia

Universitas Sumatera Utara


menonton melalui TV keadaan hidup di Afrika akan memilih pengalaman yang berbeda

dengan keadaan apabila ia sendiri berada disana dan melihat dengan mata kepala sendiri.

Umumnya, pengalaman komunikasi antarpribadi dianggap memberikan dampak

lebih mendalam. Komunikasi melalui media kurang dalam hal feedback langsung antar

partisipan dan bersifat satu arah. Sebaliknya, saluran antarpribadi tidak dapat menyaingi

kekuatan saluran-saluran media dalam mencapai jumlah besar manusia sekaligus melalui

batas-batas kebudayaan. Tetapi dalam keduanya, proses-proses komunikasi bersifat

antarbudaya bila partisipan-partisipannya berbeda latar belakang budayanya.

II.4 Identitas Etnis

II.4.1 Defenisi Identitas Etnis

Identitas adalah suatu konsep y7ang abstrak dan beraneka ragam yang memainkan

peran yang signifikan dalam seluruh interaksi komunikasi. Untuk itu penting memberikan

apresiasi pada apa yang membawa identitas, dan untuk memberikan pemahaman

mengenai hal tersebut, maka perlu untuk memperluas kebutuhan untuk mengerti peran

dari identitas dalam masyarakat yang beragam budaya ini. Dan kebutuhan akan

pemahaman perasaan tentang identitas akan terbukti sendiri. Perkembangan identitas

dipertimbangkan sebagai sebuah aspek kritis bagi kebaikan/kesehatan psikologis setiap

orang. Menurut Phinney dalam Samovar dkk, sebuah prinsip objektif bagi orang dalam

masa-masa usia dewasa adalah pembentukan sebuah identitas dan siapa yang gagal

memperoleh sebuah identitas yang tepat akan menghadapi kebingungan identitas,

kekurangan kejernihan pemikiran tentang siapa mereka dan apa peran mereka dalam

hidup.

Universitas Sumatera Utara


Pemahaman akan identitas juga sebuah aspek yang penting dalam studi dan

praktek komunikasi antarbudaya. Perhatian dari studi komunikasi antarbudaya adalah

bagaimana identitas mempengaruhi dan menuntun ekspektasi tentang apa peran sosial

diri dan orang lain maupun menyediakan tuntunan bagi interaksi komunikasi dengan

orang lain (Samovar dkk, 2007: 109-110).

Secara sederhana identitas dipahami sebagai konsep pribadi mengenai diri di

dalam sebuah konteks sosial, geografik, budaya dan politik. Menurut Mathews dalam

Samovar dkk, identitas adalah bagaimana diri menyusun dirinya sendiri dan label

untuknya sendiri (Samovar dkk, 2007: 111). Menurut Alba, identitas etnis dinilai sebagai

orientasi subjektif seseorang yang mengarahkannya pada etnis asalnya. Bahkan menurut

Rossens, identitas etnis membantu kita mendefenisikan siapa kita (Gundykunst & Kim,

2003: 103).

Tipologi identitas dalam Communication between cultures, terbagi atas: identitas

ras, identitas etnis, identitas gender, identitas nasional, identitas regional, identitas

organisasi, identitas pribadi, dan identitas maya dan fantasi (Samovar dkk, 2007: 113-

118). Sedangkan dalam Intercultural Communication In Context, identitas budaya dan

sosial di bagi atas: identitas gender, identitas usia, identitas ras, identitas etnis, identitas

agama, identitas kelas, identitas nasional, identitas regional, dan identitas pribadi (Martin

& Thomas, 2007: 171-188).

Identitas etnis sering sekali dikaji oleh para sosiolog, antropolog, psikolog, dan

sejarahwan. Para ahli meneliti asal-usul, substansi, konsekuensi dan proses etnisitas yang

sedang berubah dalam berbagai komunitas. Istilah-istilah lain yang sering menjadi

sinonim adalah etnisitas, dan konsep diri kultural atau rasial. Istilah-istilah ini kadang-

Universitas Sumatera Utara


kadang digunakan identik atau punya makna yang sama oleh para ahli. Namun kadang-

kadang konsep yang sama diartikan secara berbeda oleh para ahli. Makna konsep

identitas etnis tidak selalu eksplisit dalam kajian-kajian itu. Sering ia berkelindan dengan

dan atau tersirat dalam kajian tentang akulturasi, asimilasi suatu kelompok etnis

(Mulyana & Jalaluddin, 2005: 151).

Identitas etnis sendiri sebenarnya merupakan bentuk spesifik dari identitas

budaya. Ting-Toomey dalam Rahardjo, mendefenisikan identitas kultural merupakan

perasaan (emosional significance) dari seseorang untuk ikut dalam memiliki (sense of

belonging) atau berafiliasi dengan kultur tertentu (Rahardjo, 2005: 1-2). Sedangkan

identitas etnis bisa dilihat sebagai sebuah kumpulan ide tentang satu kepemilikan

keanggotaan kelompok etnis. Hal ini menyangkut beberapa dimensi:

- Identifikasi diri sendiri

- Pengetahuan tentang budaya etnis (tradisi, kebiasaan, nilai, perilaku)

- Perasaan mengenai kepemilikan pada kelompok etnis tertentu.

Identitas etnis sering melibatkan sebuah perasaan yang dibagi tentang asal dan

sejarah, di mana mungkin mata rantai kelompok etnis pada kelompok budaya yang jauh

di Eropa, Asia, Amerika Latin atau tempat lain (Martin & Thomas, 2007: 175).

Memiliki sebuah identitas etnis berarti mengalami sebuah perasaan memiliki pada

suatu kelompok dan mengetahui sesuatu tentang pengalaman yang dibagi pada anggota

kelompok (Martin & Thomas, 2007: 175).

Identitas etnis merupakan identitas sosial yang penting yang dapat mempengaruhi

komunikasi kita dengan orang lain (berbeda budaya). Cara kita bereaksi dengan orang

lain sering didasarkan pada asumsi kita mengenai etnisitas mereka, sebagai contoh, kita

Universitas Sumatera Utara


mengkategorisasikan orang asing dan melekatkan label etnis pada mereka.

Bagaimanapun ketika kita melekatkan label pada orang beda budaya, kita tidak mungkin

melekatkan label, orang yang berbeda budaya tersebut akan digunakan untuk

mendeskripsikan diri mereka. Bahkan Devos menjelaskan bahwa etnisitas melibatkan

penggunaan beberapa aspek dari sebuah latar belakang kelompok budaya yang digunakan

untuk memisahkan anggota kelompok dari yang bukan termasuk di dalaam kelompok.

Sedangkan Giles dan Johnson melihat sebuah kelompok etnis sebagai orang-orang yang

mengidentifikasi diri mereka yang memiliki kategori etnis yang sama (Gundykunst &

Kim, 2003: 103). Beberapa ahli menyatakan identifikasi etnis dan ras sama dan ada yang

menyebutkan keduanya berbeda. Beberapa ahli menyebutkan identitas etnis

dikonstruksikan oleh dirinya sendiri dan lainnya tetapi identitas ras dikonstriksikan

semata-mata oleh dirinya (Martin & Thomas, 2007: 177)

Kita akan bisa untuk mengabaikan perbedaan kelompok etnis ketika kita

berinteraksi dengan orang lain yang juga secara lemah mengidenfikasi kesamaannya

dengan kelompok etnisnya. Jika orang lain tersebut, secara kuat dam jelas

mengidentifikasi kesamaannya maka kita tidak dapat mengabaikan perbedaan kelompok.

Ketika orang lain dengan jelas menemukan dan merasakan kesamaannya dengan

kelompok etnisnya dan kita mengabaikan etnisitas orang lain tersebut ketika kita

berinteraksi dengannya, maka kita tidak mendukung konsep dirinya dan tidak akan

mampu memahami tingkah lakunya. Ini adalah sebuah masalah karena dukungan konsep

diri justru perlu untuk orang lain yang berbeda budaya tersebut, agar dia bisa merasakan

kepuasan dengan komunikasi mereka dengan kita (Gundykunst & Kim, 2003: 110).

Universitas Sumatera Utara


II.4.2 Pendekatan Subjektif terhadap Identitas Etnis

Ada dua pendekatan terhadap identitas etnis yaitu pendekatan objektif (struktural)

dan pendekatan subjektif (fenomenologis). Jika pendekatan objektif melihat sebuah

kelompok etnis sebagai kelompok yang bisa dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya

berdasarkan cirri-ciri budayanya seperti bahasa, agama, atau asal-usul kebangsaan.

Kontras dengan itu, perspektif subjektif merumuskan etnisitas sebagai suatu proses

dimana orang-orang mengalami atau merasakan diri mereka sebagai bagian dari suatu

kelompok etnis dan diidentifikasikan demikian oleh orang lain dan memusatkan

perhatiannya pada keterikatan dan rasa memiliki yang dipersepsi kelompok etnis yang

diteliti (Mulyana & Jalaluddin, 2005: 152).

Jadi penelitian ini menggunakan pendekatan kedua yaitu pendekatan subjektif

yang sejalan dengan perspektif interpretif. Pendekatan kedua menganggap etnisitas

bersifat dinamis. Pendekatan subjektif (fenomenologis) terhadap identitas etnis dapat

dilacak hingga ke defenisi Cooley dan Mead tentang diri. Pendekatan ini mengkritik

pendekatan positivistik dalam arti bahwa ia membatasi kemungkinan perilaku manusia

yang dapat dipelajasri. Berbeda dengan pendekatan positivistik, yang memandang

individu-individu sebagai pasif dan perubahannya disebabkan kekuatan-kekuatan sosial

di luar diri mereka, pendekatan fenomenologis memandang manusia jauh dari pasif

(Mulyana & Jalaluddin, 2005: 155).

Secara tradisional, etnisitas dipandang sebagai seperangkat cirri sosio-kultural

yang membedakan kelompok-kelompok etnis antara yang satu dengan yang lainnya.

Barth yang dikutip dari Komunikasi Antarbudaya menyebutkan bahwa ciri-ciri penting

suatu kelompok etnis adalah askripsi yang diberikan kelompok dalam dan kelompok luar,

Universitas Sumatera Utara


memandang kelompok etnis sebagai suatu jenis organisasi sosial tempat para aktor

menggunakan identitas-identitas etnis untuk mengkategorisasikan diri mereka dan orang-

orang lain untuk tujuan interaksi (Mulyana & Jalaluddin, 2005: 156).

Perspektif Barth akhirnya mengilhami banyak ahli untuk meneliti apa yang

disebut Paden dan Cohen etnisitas situasional, yaitu bagaimana identitas etnis digunakan

individu-individu dalam interaksi mereka dengan orang lain. Kajian-kajian ini

menganggap identitas etnis sebagai dinamik, cair dan situasional (Mulyana &Jalaluddin,

2005: 156).

Pendekatan subjektif ini sejalan dengan perspektif interpreti dalam menilai

identitas. Perspektif interpretative menekankan bahwa identitas bisa dirundingkan, bisa

dibentuk kembali, diperkuat dan dijalani melalui komunikasi dengan yang lain: identitas

etnis muncul ketika pesan saling dipertukarkan di antara orang-orang. Ini artinya bahwa

menunjukkan identitas kita bukanlah sebuah proses yang sederhana. Tentu tidak setiap

orang melihat kita sebagaimana kita melihat diri kita sendiri. Konsep avowal (pengakuan

) dan askripsi penting untuk membantu kita memahami bagaimana kesan dapat

menimbulkan konflik (Martin & Thomas, 2007: 158).

Pengakuan sendiri dipahami sebagai proses di mana individu memerankan diri

mereka sendiri sedangkan askripsi adalah proses dimana orang lain mengatribusikan

identitas tertentu pada mereka. Identitas yang berbeda digunakan tergantung individu

yang terlibat dalam komunikasi. Artinya bisa saja saat kita berinteraksi dengan lawan

jenis, maka identitas yang muncul adalah identitas gender dan saat kita bertemu dan

berinteraksi dengan orang yang berbeda etnis, identitas yang muncul adalah identitas

etnis. Intinya, perspektif interpretative beranggapan bahwa identitas dan khususnya

Universitas Sumatera Utara


identitas etnis diekspresikan secara komunikatif melalui core symbols, label, dan norma.

Core symbols (nilai budaya) memberitahukan tentang kepercayaan fundamental dan

konsep sentral yang memberi defenisi identitas tertentu, yang dibagikan di antar anggota

kelompok budaya (Martin & Thomas, 2007: 159).

II.5 Kompetensi Komunikasi

Tindakan komunikatif individu sebagai bagian dari suatu masyarakat tutur, dalam

perspektif etnografi komunikasi lahir dari integrasi tiga keterampilan, yaitu keterampilan

linguistik, keterampilan interaksi, dan keterampilan kebudayaan. Kemampuan atau

ketidakmampuan dalam menguasai satu jenis keterampilan (kompetensi atau

inkompetensi komunikasi), akan mengakibatkan tidak tepatnya perilaku komunikasi yang

ditampilkan. Kompetensi ini akan sangat membantu penutur ketika mereka menggunakan

atau menginterpretasikan bentuk-bentuk linguistik.

Singkatnya, kompetensi komunikasi akan melibatkan segala sesuatu yang

berhubungan dengan penggunaan bahasa dan dimensi komunikatif dalam setting sosial

tertentu.

Komunikasi Antarbudaya sangat perlu untuk memperhatikan kompetensi

komunikasi ini, karena apabila tidak, culture shock dan miscommunication akan sangat

mungkin terjadi. Seperti penelitian yang diungkapkan oleh Abrahams (1973), dalam

masyarakat kulit hitam, percakapan bisa melibatkan beberapa orang yang berbicara pada

saat yang sama, suatu praktek percakapan yang akan melanggar kaidah interaksi kelas

menengah warga kulit putih. Terlihat seperti hal yang sangat sepele, tetapi bila tidak

Universitas Sumatera Utara


memperhatikan dengan benar, bukan tidak mungkin perang akan terjadi lagi di berbagai

belahan dunia ini.

Kompetensi komunikasi melibatkan aspek budaya dan sosial, maka kompetensi

komunikasi mengacu pada pengetahuan dan keterampilan komunikatif yang sama-sama

dimiliki oleh satu kelompok sosial atau masyarakat. Namun kompetensi komunikasi ini

dapat bervariasi pada tingkat individu, mengingat individu adalah makhluk yang

memiliki motif dan tujuan yang berbeda-beda. Sehingga kompetensi komunikasi tidak

dapat berlaku seterusnya, melainkan dinamis mengikuti perubahan individu-individu

yang menggunakannya. Sebagai contoh, dalam kebudayaan Indonesia, memberikan

sesuatu dengan tangan kiri merupakan contoh pelanggaran terhadap kompetensi

komunikasi, tetapi seiring perkembangan zaman, khususnya dikalangan anak muda,

memberikan sesuatu dengan tangan kiri menjadi hal yang lumrah dan dapat diterima,

walaupun itu terbatas pada orang-orang tertentu saja. Akhirnya terjadi perubahan harapan

terhadap interpretasi budaya di kalangan anak muda.

Walaupun demikian, setiap kebudayaan dapat memliki kompetensi komunikasi

secara global, dan berlaku secara berkelanjutan. Berikut adalah komponen-komponen

kompetensi komunikasi yang dapat ditemukan pada suatu masyarakat tutur:

a. Pengetahuan linguistik (linguistic knowledge)


i. Elemen-elemen verbal
ii. Elemen-elemen non verbal
iii. Pola elemen-elemen dalam peristiwa tutur tertentu
iv. Rentang varian yang mungkin (dalam semua elemen dan
pengorganisasian elemen-elemen itu)
b. Keterampilan interaksi (interaction skills)
i. Persepsi cirri-ciri penting dalam situasi komunikatif
ii. Seleksi dan interpretasi bentuk-bentuk yang tepat untuk situasi,
peran, dan hubungan tertentu (kaidah untuk penggunaan ujaran)
iii. Norma-norma interaksi dan interpretasi
iv. Strategi untuk mencapai tujuan

Universitas Sumatera Utara


c. Pengetahuan kebudayaan (cultural knowledge)
i. Struktur sosial
ii. Nilai dan sikap
iii. Peta dan skema kognitif
iv. Proses enkulturasi (transmisi pengetahuan dan keterampilan)
(Kuswarno, 2008: 45).

Beberapa ahli berusaha merumuskan kompetensi komunikasi antarbudaya, Kim

menawarkan sebuah defenisi detail mengenai kompetensi komunikasi antarbudaya, yaitu

keseluruhan kapabilitas internal dari seseorang untuk menghadapi ciri-ciri dari

tantangan yang sering terjadi saat komunikasi antarbudaya terjadi, yaitu: perbedaan

budaya, dan ketidaksamaan, sikap intergroup. Jadi, pengertian ini bisa dipahami untuk

menjadi komunikator yang kompeten, kita harus memiliki kemampuan untuk

menganalisis situasi dan memilih mode dari perilaku yang tepat (Samovar, dkk, 2007:

314).

Gundykunst & Kim dalam Rahardjo mengatakan sebenarnya bahwa paling tidak

ada dua pandangan mengenai sifat kompetensi. Pandanga pertama menegaskan

kompetensi seharusnya di dalam diri seseorang (komunikator) sebagai kapasitas atau

kapabilitas orang tersebut untuk memfasilitasi proses komunikasi antar individu yang

berbeda budaya sedangkan pandangan kedua berpendapat, kompetensi harus ada pada

kedua belah pihak (Rahardjo, 2005: 72).

Menurut Samovar, komunikator yang efektif adalah mereka yang memiliki

motivasi, mempunyai kerangka pengetahuan, memiliki kemampuan komunikasi yang

diperlukan, dan memiliki karakter yang baik (Samovar, dkk, 2007: 314), sedangkan

Judith N. Martin dan Thomas Nakayama dalam bukunya Intercultural Communication in

Context merumuskan dua komponen kompetensi yaitu komponen individu yang terdiri

dari: motivasi, pengetahuan, sikap, perilaku dan kemampuan, komponen konstektual

Universitas Sumatera Utara


yaitu melihat konteks-konteks yang dapat mempengaruhi komunikasi antarbudaya

sebagai contoh, konteks historis, konteks hubungan, konteks budaya ataupun konteks

lainnya seperti gender, ras dan sebagainya (Martin & Thomas, 2007: 435-445).

Ada beberapa faktor yang menyebabkan ketidakpastian dan kecemasan

mengalami penurunan atau peningkatan dalam suatu pertemuan antarbudaya. Faktor-

faktor tersebut adalah motivasi, pengetahuan dan kecakapan (Rahardjo, 2005: 69-70).

Faktor-faktor tersebut dianggap Gundykunst sebagai kompetensi komunikasi

antarbudaya, yang secara konseptual diberi arti sebagai kecakapan-kecakapan yang

dibutuhkan oleh suatu pihak untuk berkomunikasi dengan orang lain yang berbeda latar

belakang budaya (Rahardjo, 2005: 71).

Motivasi sendiri adalah dimensi paling penting dalam kompetensi komunikasi.

Jika kita tidak termitivasi dalam berkomunikasi dengan orang lain maka tak akan ada

gunanya kemempuan yang kita punya. Jadi secara sederhana motivasi bisa di nilai

sebagai hasrat untuk membuat komitmen dalam hubungan, untuk belajar tentang diri dan

orang lain, dan untuk menyisakan keluwesan (Martin & Nakayama, 2007: 435)

sedangkan pengetahuan dipahami sebagai kualitas dari pemehaman kita tentang apa yang

dibutuhkan dan tindakan supaya memiliki kompetensi komunikasi antarbudaya

(Rahardjo, 2005: 71). Dan kecakapan sendiri menyangkut pada kinerja perilaku yang

sebenarnya yang dirasakan efektif dan pantas dalam konteks komunikasi (Rahardjo,

2005: 71).

Berikut adalah tabel penjelasan komponen kompetensi komunikasi antarbudaya:

Komponen Kompetensi Komunikasi


Elemen
Antarbudaya
1. Motivasi - Kebutuhan untuk memprediksi,
- Kebutuhan untuk menghindari
penyebaran kecemasan, dan

Universitas Sumatera Utara


- Kebutuhan untuk menopang konsep
diri (gundykunst & kim, 2003: 276-
279).
- Mindful terhadap ranah identitas,
- Mindful terhadap kebutuhan identitas,
- Mindful terhadap kecendrungan
etnosentrisme (Rahardjo, 2005: 76).
2. Pengetahuan - Pengetahuan tentang bagaimana
mengumpulkan informasi,
- Pengetahuan tentang perbedaan
kelompok,
- Pengetahuan tentang kesamaan
personal,
- Pengetahuan tentang interpretasi
alternative (gundykunst & kim, 2003:
279-283).
- Pengetahuan tentang nilai
kultural/personal,
- Pengetahuan tentang bahasa dan
komunikasi verbal,
- pengetahuan tentang komunikasi non
verbal,
- Pengetahuan tentang batas in group
dan out group,
- Pengetahuan tentang pengembangan
relasi,-
- Manajemen konflik,
- Pengetahuan tentang adaptasi
antarbudaya (Rahardjo, 2005: 76).

3. Kecakapan - Kemampuan untuk memberi


perhatian/mengamati dan
mendengarkan,
- Kemampuan untuk bertoleransi pada
ambiguitas,
- Kemampuan dalam mengelola
kecemasan,
- Kecemasan berempati,
- Kemampuan untuk menyesuaikan
perilaku,
- Kemampuan untuk memberikan
ketepatan dalam memprediksi dan
menjelaskan perilaku orang lain
teratas dari kompetensi komunikasi
memerlukan kombinasi berf
(gundykunst & kim, 2003: 285-292).
- Mindful dalam pengamatan, dan
dalam mendengarkan,
- Mampu empati verbal,
- Memiliki kepekaan non-verbal,
- Memiliki kecakapan menyesuaikan

Universitas Sumatera Utara


diri dan konflik konstrukstif,
- Memiliki mindful terhadap stereotype
(Rahardjo, 2005: 76).

Howell menitikberatkan bahwa komunikasi antarbudaya adalah sama, yang akan

memiliki lebih dapat diperoleh melalui analisis secara sadar, dan tingkat tertinggi dari

kompetensi komunikasi diperoleh dari proses pemikiran yang analitik dan holistic.

Howell kemudian mendefenisikan empat level kompetensi komunikasi antarbudaya

yaitu: unconscious incompetence, conscious incompetence, conscious competence, dan

unconscious competence (Rahardjo, 2005: 69).

Dalam Intercultural Communication In Context, Howell menitikberatkan

bahwa komunikasi antarbudaya adalah sama, hanya saja diperoleh melalui analisis

kesadaran dan yang berada pada level teratas dari kompetensi komunikasi memrlukan

kombinasi berfikir holistic dan analtik. Howell mengidentifikasikan empat level

kompetensi komunikasi antarbudaya, unconscious incompetence, yaitu seseorang yang

salah menginterpretasikan perilaku orang lain dan tidak menyadari apa yang sedang ia

lakukan, conscious incompetence yaitu seseorang mengetahui bahwa ia salah

menginterpretasikan perilaku orang lain, namun ia tidak melakukan sesuatu, conscious

competence yaitu, seseorang berpikir tentang kecakapan komunikasinya dan secara terus-

menerus berusaha mengubah apa yang ia lakukan supaya menjadi lebih efektif, dan

unconscious competence yiatu seseorang telah mengembangkan kecakapan

komunikasinya. (Rahardjo, 2005:69).

Universitas Sumatera Utara


II.6 Etnis Tionghoa

II.6.1 Sejarah

II.6.1.1 Masa-masa awal

Orang dari Tiongkok daratan telah ribuan tahun mengunjungi dan mendiami

kepulauan Nusantara.Beberapa catatan tertua ditulis oleh para agamawan, seperti Fa Hien

pada abad ke-4 dan I Ching pada abad ke-7. Fa Hien melaporkan suatu kerajaan di Jawa

("To lo mo") dan I Ching ingin datang ke India untuk mempelajari agama Buddha dan

singgah dulu di Nusantara untuk belajar bahasa Sansekerta dahulu. Di Jawa ia berguru

pada seseorang bernama Jnabhadra.Dengan berkembangnya kerajaan-kerajaan di

Nusantara, para imigran Tiongkok pun mulai berdatangan, terutama untuk kepentingan

perdagangan. Pada prasasti-prasasti dari Jawa orang Cina disebut-sebut sebagai warga

asing yang menetap di samping nama-nama sukubangsa dari Nusantara, daratan Asia

Tenggara dan anakbenua India. Dalam suatu prasasti perunggu bertahun 860 dari Jawa

Timur disebut suatu istilah, Juru Cina, yang berkait dengan jabatan pengurus orang-

orang Tionghoa yang tinggal di sana. Beberapa motif relief di Candi Sewu diduga juga

mendapat pengaruh dari motif-motif kain sutera Tiongkok.

Catatan Ma Huan, ketika turut serta dalam ekspedisi Cheng Ho, menyebut secara

jelas bahwa pedagang Cina muslim menghuni ibukota dan kota-kota bandar Majapahit

(abad ke-15) dan membentuk satu dari tiga komponen penduduk kerajaan itu. Ekspedisi

Cheng Ho juga meninggalkan jejak di Semarang, ketika orang keduanya, Wang

Jinghong, sakit dan memaksa rombongan melepas sauh di Simongan (sekarang bagian

dari Kota Semarang). Wang kemudian menetap karena tidak mampu mengikuti ekspedisi

selanjutnya. Ia dan pengikutnya menjadi salah satu cikal-bakal warga Tionghoa

Universitas Sumatera Utara


Semarang. Wang mengabadikan Cheng Ho menjadi sebuah patung (disebut "Mbah

Ledakar Juragan Dampo Awang Sam Po Kong"), serta membangun kelenteng Sam Po

Kong atau Gedung Batu. Di komplek ini Wang juga dikuburkan dan dijuluki "Mbah

Jurumudi Dampo Awang".

Sejumlah sejarawan juga menunjukkan bahwa Raden Patah, pendiri Kesultanan

Demak, memiliki darah Tiongkok selain keturunan Majapahit. Beberapa wali penyebar

agama Islam di Jawa juga memiliki darah Tiongkok, meskipun mereka memeluk Islam

dan tidak lagi secara aktif mempraktekkan kultur Tionghoa.

Kitab Sunda Tina Layang Parahyang menyebutkan kedatangan rombongan

Tionghoa ke muara Ci Sadane (sekarang Teluknaga) pada tahun 1407, di masa daerah itu

masih di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda (Pajajaran). Pemimpinnya adalah Halung dan

mereka terdampar sebelum mencapai tujuan di Kalapa.

II.6.1.2 Era kolonial

Di masa kolonial, Belanda pernah mengangkat beberapa pemimpin komunitas

dengan gelar Kapiten Cina, yang diwajibkan setia dan menjadi penghubung antara

pemerintah dengan komunitas Tionghoa. Beberapa diantara mereka ternyata juga telah

berjasa bagi masyarakat umum, misalnya So Beng Kong dan Phoa Beng Gan yang

membangun kanal di Batavia. Di Yogyakarta, Kapiten Tan Djin Sing sempat menjadi

Bupati Yogyakarta. Sebetulnya terdapat juga kelompok Tionghoa yang pernah berjuang

melawan Belanda, baik sendiri maupun bersama etnis lain. Bersama etnis Jawa,

kelompok Tionghoa berperang melawan VOC tahun 1740-1743. Di Kalimantan Barat,

komunitas Tionghoa yang tergabung dalam "Republik" Lanfong berperang dengan

Universitas Sumatera Utara


pasukan Belanda pada abad XIX. Dalam perjalanan sejarah pra kemerdekaan, beberapa

kali etnis Tionghoa menjadi sasaran pembunuhan massal atau penjarahan, seperti

pembantaian di Batavia 1740 dan pembantaian masa perang Jawa 1825-1830.

Pembantaian di Batavia tersebut melahirkan gerakan perlawanan dari etnis Tionghoa

yang bergerak di beberapa kota di Jawa Tengah yang dibantu pula oleh etnis Jawa. Pada

gilirannya ini mengakibatkan pecahnya kerajaan Mataram. Orang Tionghoa tidak lagi

diperbolehkan bermukim di sembarang tempat. Aturan Wijkenstelsel ini menciptakan

pemukiman etnis Tionghoa atau pecinan di sejumlah kota besar di Hindia Belanda.

II.6.1.3 Masa Revolusi dan Pra Kemerdekaan RI

Pada masa revolusi tahun 1945-an, Mayor John Lie yang menyelundupkan

barang-barang ke Singapura untuk kepentingan pembiayaan Republik. Rumah Djiaw Kie

Siong di Rengasdengklok, dekat Karawang, diambil-alih oleh Tentara Pembela Tanah Air

(PETA), kemudian penghuninya dipindahkan agar Bung Karno dan Bung Hatta dapat

beristirahat setelah "disingkirkan" dari Jakarta pada tanggal 16 Agustus 1945. Di Badan

Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang merumuskan

UUD'45 terdapat 4 orang Tionghoa yaitu; Liem Koen Hian, Tan Eng Hoa, Oey Tiang

Tjoe, Oey Tjong Hauw, dan di Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) terdapat

1 orang Tionghoa yaitu Drs.Yap Tjwan Bing. Liem Koen Hian yang meninggal dalam

status sebagai warganegara asing, sesungguhnya ikut merancang UUD 1945. Lagu

Indonesia Raya yang diciptakan oleh W.R. Supratman, pun pertama kali dipublikasikan

oleh Koran Sin Po. Dalam perjuangan fisik ada beberapa pejuang dari kalangan

Tionghoa, namun nama mereka tidak banyak dicatat dan diberitakan. Salah seorang yang

Universitas Sumatera Utara


dikenali ialah Tony Wen, yaitu orang yang terlibat dalam penurunan bendera Belanda di

Hotel Oranye Surabaya.

II.6.1.4 Pasca kemerdekaan

Orde Lama

Pada Orde Lama, terdapat beberapa menteri Republik Indonesia dari keturunan

Tionghoa seperti Oei Tjoe Tat, Ong Eng Die, Siauw Giok Tjhan, dll. Bahkan Oei Tjoe

Tat pernah diangkat sebagai salah satu Tangan Kanan Ir. Soekarno pada masa Kabinet

Dwikora. Pada masa ini hubungan Ir. Soekarno dengan beberapa tokoh dari kalangan

Tionghoa dapat dikatakan sangat baik. Walau pada Orde Lama terdapat beberapa

kebijakan politik yang diskriminatif seperti Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959

yang melarang WNA Tionghoa untuk berdagang eceran di daerah di luar ibukota provinsi

dan kabupaten. Hal ini menimbulkan dampak yang luas terhadap distribusi barang dan

pada akhirnya menjadi salah satu sebab keterpurukan ekonomi menjelang tahun 1965 dan

lainnya.

Orde Baru

Selama Orde Baru dilakukan penerapan ketentuan tentang Surat Bukti

Kewarganegaraan Republik Indonesia, atau yang lebih populer disebut SBKRI, yang

utamanya ditujukan kepada warga negara Indonesia (WNI) etnis Tionghoa beserta

keturunan-keturunannya. Walaupun ketentuan ini bersifat administratif, secara esensi

penerapan SBKRI sama artinya dengan upaya yang menempatkan WNI Tionghoa pada

posisi status hukum WNI yang "masih dipertanyakan".

Universitas Sumatera Utara


Pada Orde Baru Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak

tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan

kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga

menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya

Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan

oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa

tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka

buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke

Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan

catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk

memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.

Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian

Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola

dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang

Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang.

Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.

Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika

itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan

menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa

kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang

dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan

dilakukan.

Universitas Sumatera Utara


Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih

untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.Pada masa

akhir dari Orde Baru, terdapat peristiwa kerusuhan rasial yang merupakan peristiwa

terkelam bagi masyarakat Indonesia terutama warga Tionghoa karena kerusuhan tersebut

menyebabkan jatuhnya banyak korban bahkan banyak diantara mereka mengalami

pelecehan seksual, penjarahan, kekerasan, dan lainnya.

Reformasi

Reformasi yang digulirkan pada 1998 telah banyak menyebabkan perubahan bagi

kehidupan warga Tionghoa di Indonesia. Walau belum 100% perubahan tersebut terjadi,

namun hal ini sudah menunjukkan adanya tren perubahan pandangan pemerintah dan

warga pribumi terhadap masyarakat Tionghoa. Bila pada masa Orde Baru aksara, budaya,

ataupun atraksi Tionghoa dilarang dipertontonkan di depan publik, saat ini telah menjadi

pemandangan umum hal tersebut dilakukan. Di Medan, Sumatera Utara, misalnya, adalah

hal yang biasa ketika warga Tionghoa menggunakan bahasa Hokkien ataupun memajang

aksara Tionghoa di toko atau rumahnya. Selain itu, pada Pemilu 2004 lalu, kandidat

presiden dan wakil presiden Megawati-Wahid Hasyim menggunakan aksara Tionghoa

dalam selebaran kampanyenya untuk menarik minat warga Tionghoa.

(Sumber:(http://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa-Indonesia di akses tanggal 01

Maret 2011).

II.6.2 Daerah Asal di Cina

Ramainya interaksi perdagangan di daerah pesisir tenggara Cina, menyebabkan

banyak sekali orang-orang yang juga merasa perlu keluar berlayar untuk berdagang.

Universitas Sumatera Utara


Tujuan utama saat itu adalah Asia Tenggara. Karena pelayaran sangat tergantung pada

angin musim, maka setiap tahunnya para pedagang akan bermukim di wilayah-wilayah

Asia Tenggara yang disinggahi mereka. Demikian seterusnya ada pedagang yang

memutuskan untuk menetap dan menikahi wanita setempat, ada pula pedagang yang

pulang ke Cina untuk terus berdagang.

Orang-orang Tionghoa di Indonesia, umumnya berasal dari tenggara Cina.

Mereka termasuk suku-suku: Hakka, Hainan, Hokkien, Kantonis, Hokchia, Tiochiu.

Daerah asal yang terkosentrasi di pesisir tenggara ini dapat dimengerti, karena

dari sejak zaman Dinasti Tang kota-kota pelabuhan di pesisir tenggara Cina memang

telah menjadi Bandar perdagangan yang ramai. Quanzhou pernah tercatat sebagai Bandar

pelabuhan terbesar dan tersibuk di dunia pada zaman tersebut.

(Sumber:(http://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa-Indonesia di akses tanggal 01

Maret 2011).

II.6.3 Daerah Konsentrasi

Sebagian besar dari orang-orang Tionghoa di Indonesia menetap di Pulau Jawa.

Daerah-daerah lain dimana mereka juga menetap dalam jumlah besar selain di daerah

perkotaan adalah: Sumatera Utara, Bangka Belitung, Sumatera Selatan, Lampung,

Lombok, Kalimantan Barat, Banjarmasin dan beberapa tempat di Sulawesi Selatan dan

Sulawesi Utara.

(a) Hakka Aceh, Sumatera Utara, Batam, Sumatera Selatan, Bangka Belitung,

Lampung, Jawa, Kalimantan Barat, Banjarmasin, Sulawesi Selatan, Manado,

Ambon dan Jayapura.

Universitas Sumatera Utara


(b) Hainan Pekanbaru, Batam, dan Manado.

(c) Hokkien Sumatera Utara, Riau (Pekanbaru Selat Panjang, Bagansiapi-api, dan

Bengkalis), Padang, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Jawa, Bali (terutama

Denpasar dan Singaraja), Banjarmasin, Kutai, Sumbawa, Manggarai, Kupang,

Makassar, Kendari, Sulawesi Tengah, Manado, dan Ambon.

(d) Kantonis Jakarta, Makassar, dan Manado.

(e) Hokchia Jawa (terutama Bandung, Cirebon, Banjarmasin, dan Surabaya).

(f) Tiochiu Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Selatan, dan

Kalimantan Barat (khususnya di Pontianak dan Ketapang).

Di Tangerang Banten, masyarakat Tionghoa telah menyatu dengan penduduk

setempat dan mengalami pembauran lewat perkawinan, sehingga warna kulit mereka

kadang-kadang lebih gelap dari Tionghoa lainnya. Istilah buat mereka disebut Cina

Benteng. Keseniannya yang masih ada disebut Cokek, sebuah tarian lawan jenis secara

bersama dengan iringan paduan musik campuran

Cina, Jawa, Sunda, dan Melayu.

(Sumber:(http://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa-Indonesia di akses tanggal 01

Maret 2011).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai