Anda di halaman 1dari 19

Ada beberapa istilah pengertian jarak dalam ilmu ukur tanah, yaitu :

A B = Jarak Mendatar
AB = Jarak Miring
B B = Jarak Vertikal

1. Jarak Miring (Slope Distance)


jarak yang di ukur sepanjang garis penghubung lurus antara 2 titik di permukaan bumi.
2. Jarak Datar (Horizontal Distance)
jarak terukur sebagai penghubung terpendek antara 2 titik yang posisinya telah
diproyeksikan pada bidang datar.
3. Jarak Vertikal (Vertical Distance)
Jarak terpendek anatar 2 bidang datar (bidang nivo) yang melalui kedua titik tersebut.
Beberapa istilah sudut yang berkaitan dengan ilmu ukur tanah yang perlu dipahami dan
dimengerti yaitu :

1. Sudut Mendatar (Sudut Horizontal)


Sudut yang dibentuk oleh dua bidang normal normal yang melalui titik sudut tersebut.
Sudut mendatar dihitung dari selisih angka bacaan kedua arah/jurusan menurut arah
putaran jarum jam (angka bacaan akhir dikurangi bacaan awal).
2. Sudut Jurusan
Besarnya sudut mendatar pada suatu titik tertentu dengan berpedoman pada sumbu Y
positif salbi sumbu Kartesian XOY. Disini sudut Y sebagai arah utara peta dan
penghitugan sudut jurusan menurut arah jarum jam, dimulai dari arah utara peta.
3. Azimuth
Besarnya sudut mendatar pada suatu titik dengan berpedoman pada arah utara Geografi
dan besarnya dihitung menurut arah putaran jarum jam dimulai dari arah utara Geografi
sebagai titik nol sampai ke titik tertentu.
4. Sudut vertical
Sudut yang dihitung pada bidang vertical. Besarnya penghitungan sudut ini
menggunakan 2 pedoman yaitu :
a. Sudut Miring (sudut Helling)
Sudut yang diukur pada lingkaran vertical dan besarnya dihitung dengan
berpedoman pada arah mendatar sebagai awal perhitungan, dengan syarat :
Bertanda Positif apabila arah putaranya menuju vertical atas.
Bertanda Negatif apabila arah putarannya menuju vertical bawah.
b. Sudut Zenith
Sudut yang diukur pada lingkaran vertical dan besarnya dihitung dengan
berpedoman pada arah vertical atas (titik Zenith) sebagai titik nol (awal
perhitungan).
Zenit : titik di angkasa yang berada persis di atas pengamat.
Posisi zenit di angkasa tergantung pada arah gaya gravitasi bumi di tempat pengamat berada.
Jarak angular antara zenit ke celestial body disebut jarak zenit.
Titik nadir : suatu titik di angkasa yang berada persis di bawah pengamat

Sistem Tinggi Geometrik


Sistem tinggi yang mengacu pada bidang elipsoid.
Tinggi ini biasa disimbolkan dengan h, dimana ketinggian dihitung sepanjang garis normal
yang melalui titik tersebut. Nilai tinggi suatu titik disebut dengan tinggi geodetik.
Setiap pengukuran yang menggunakan sistem tinggi ini memiliki tinggi dari elipsoid acuan,
misalnya komponen tinggi dalam pengukuran GPS/GNSS.
Sistem Tinggi Fisis
Sistem tinggi yang menggunakan geoid sebagai acuannya.
Geoid merupakan bidang ekuipotensial yang dianggap berhimpit dengan MSL yang tidak
terganggu.
Nilai tinggi suatu titik dalam sistem tinggi fisis disimbolkan dengan H dan biasa disebut
dengan tinggi orthometrik, dihitung sepanjang garis unting-unting yang melewati titik tersebut.
Tinggi fisis dapat diperoleh dari pengukuran sipat datar.
Tinggi normal merupakan nilai rerata gravitasi normal sepanjang garis unting-unting.
Tinggi dinamis adalah nilai gravitasi normal yang ditentukan pada lintang 45.
Berbeda dengan tinggi orthometrik, tinggi normal dan tinggi dinamis jarang digunakan dalam
keperluan praktis karena tidak memiliki nilai geometris.
Hubungan antara tinggi eliposid dan orthometrik
Suatu titik di permukaan bumi dapat ditentukan dalam dua sistem tinggi, yaitu dengan
bereferensi pada eliposid atau pada geoid. Secara grafis, hubungan antar keduanya dapat dilihat
pada gambar dibawah.
Hubungan antara h, H dan N
N adalah tinggi geoid, yaitu tinggi elipsoid terhadap geoid. Dalam kenyataannya, posisi geoid
dapat berada di atas atau di bawah elipsoid. Jika geoid berada di bawah elipsoid, maka tinggi
elipsoid dapat diperoleh dengan menjumlahkan nilai tinggi orthometrik dengan tinggi geoid.
Sebaliknya, jika geoid berada di atas elipsoid maka tinggi orthometrik diperoleh dengan
mengurangkan tinggi elipsoid dengan tinggi geoid.
TTG (Titik Tinggi Geodesi) adalah Titik diatas tanah yang tingginya diatas permukaan laut
rata-rata ditentukan secara sipat datar teliti
Cabang Ilmu Geodesi dapat dibedakan atas Geodesi tinggi dan Geodesi rendah.
1. Geodesi Tinggi
Tujuan Ilmiahnya adalah untuk mempelajari bentuk dan dimensi bumi.
Tujuan Praktis Ilmu Geodesi adalah untuk menentukan posisi suatu titik (x,y,z) dengan
memperhitungkan kelengkungan muka bumi.
2. Geodesi Rendah
Tujuannya adalah untuk menentukan posisi relatif suatu titik (x,y,z) dengan menganggap
bumi sebagai bidang datar. Faktor kelengkungan bumi diabaikan, sehingga luasan
yang tercakup relatif kecil.
Penempatan alat secara otomatis termasuk bagian dari geodesi tinggi yang biasanya dipakai
untuk mengukur tanah yang luas sekali, yang merupakan bidang lengkung. Titik ukur di atas
bidang bumi ini diproyeksikan pada sebuah referensi, mengingat penampang bumi kita tidak
menentu.
a. Pada pengukuran tanah suatu bidang dianggap datar apabila memiliki ukuran lebih kecil
atau sama dengan 50 km.
b. Bidang pola apabila bidang tersebut memiliki ukuran 100 km
c. Bidang elipsoide apabila daerah tersebut memiliki wilayah lebih dari 5500km.

Kenapa kemker pakenya bowdith untuk perhitungan


a. Karena perhitungan bowdit lebih mudah
b. Kesalahan dibagi pada tiap sudutnya
c. Dengan syarat geometri
d. Karena pengukuran di orde 3 sedangkan least square menggunakan orde 0 dengan
ketelitian tinggi

Sudut inklinasi
Sudut yang dibentuk dari penyimpangan
magnet terhadap arah barat dan timur
geografis
Sudut deklinasi
Sudut yang dibentuk dari penyimpangan
magnet terhadap arah utara dan selatan
geografis

TURUNAN RUMUS JARAK THEODOLITE


Panjang garis bidik (jarak miring/dm) = c (BA - BB), atau
= c (BA - BB ) cos , maka :
Jarak mendatar (dh) = dm cos = c (BA - BB ) cos2 , dan
Jarak vertikal (dv) = dm sin = c (BA - BB ) cos sin
= c (BA - BB ) 1/2 sin 2 , atau
= c (BA - BB ) sin 2 ,
c = koefisien faktor alat, BA = bacaan benang atas
BB = bacaan benang bawah
a = kemiringan teropong dari arah mendatar.

Karena yang dibaca dari alat adalah bacaan sudut zenit atau nadir yang dapat diberi notasi m,
maka : = 90 atau 100g - m (bacaan sudut zenit), atau
= m (bacaan sudut nadir) - 90 atau 100g
METODE TACHIMETRI
Pengukuran titik-titik detail dengan metode Tachymetri ini adalah cara yang paling banyak
digunakan dalam praktek, terutama untuk pemetaan daerah yang luas dan untuk detail-detail
yang bentuknya tidak beraturan. Untuk dapat memetakan dengan cara ini diperlukan alat yaitu
Teodolite.

MEMBUAT KONTUR DI AUTOCAD


Langkah pertama harus membuat sebuah surface sebagai data pembuatan kontur, caranya:
1. menu Terrain - Terrain Model Explorer.

Akan muncul jendela Terrain Model Explorer, pilih Terrain - klik kanan - Create New
Surface.Akan muncul Surface1, pilih surface1 - klik kanan - rename - ubah
namanya (misal:Aktual).

2. Buka Aktual dan TIN Data, kemudian pilih Point Groups - klik kanan - Add Point
Group. Maka akan muncul jendela Add Point Group, karena tadi hanya membuat satu
grup dengan nama Aktual, maka pada Point group name pilihlah Aktual.

3. Pilih Aktual - klik kanan - Build. Akan muncul jendela Build Aktual - klik OK saja.
4. Sekarang saatnya langkah membuat kontur, caranya buka menu Terrain - Create
Contours.

Akan muncul jendela Create Contours, ubah Surface menjadi Aktual, tentukan interval minor
dan mayor, setelah itu klik OK.

Pada Command bar akan muncul pertanyaan "Erase old contours?" ketik No <enter>
Hasilnya akan seperti gambar dibawah ini.

5. Jika melihat gambar di atas, garis konturnya masih patah-patah atau kurang smooth.
Cara untuk men-smooth-kan garis kontur adalah buka menu Terrain - Contour Style
Manager.

Akan muncul jendela Contour Style Manager, buka tab Contour Appearance - Add Vertices -
Atur banyaknya vertices yang ditambahkan. aga sarankan tambahkan 5 saja.

Hasilnya akan lebih smooth seperti gambar dibawah.


6. Masih ada yang kurang dengan kontur yang kita buat yaitu keterangan elevasi kontur.
Cara menambahkannya buka menu Terrain - Contour Labels - Group interior.

Akan muncul jendela Contour Labels, Elevation Increment diisi dengan interval yang akan
diberikan keterangan. kemudian OK.

Klik pertama di tengah-tengah kontur, kemudian arahkan melintasi kontur yang akan diberi
keterangan, kemudian klik sekali lagi. Maka akan muncul keterangan garis kontur.
7. jika melihat gambar diatas, tampak keterangan terlalu besar, sehingga saling
bertabrakan, untuk mengecilkan ukuran hurufnya, Buka Terrain - Contour Style
Manager.

Akan muncul jendela Contour Style Manager, buka tab Text Style, anda bisa mengubah
warna, Tinggi dan berapa angka dibelakang koma. Setelah sesuai yang diinginkan klik OK.

Hasilnya akan seperti gambar di bawah ini.


Sumbu 1 adalah y
Sumbu 2 adalah x
Sumbu 3 adalah z

Jarak yang digunakan dalam poligon adalah jarak datar yang dapat dihasilkan dari
berbagai cara diantaranya :
1. Dari pengamatan sebuah pita ukur, hal ini bersifat kasar dikarenakan ketelitian dari pita
ukur hanya mencapai cm dan untuk memenuhi metode pengukuran jarak datar sangatlah
susah untuk diterapkan.
2. Dari pengamatan rambu ukur dengan theodolite, bersifat kasar karena ketelitian 5cm dan
tergantung dari jauh dan dekatnya jarak tersebut.

ba = 04.50 dm
bt = 04.25 dm
bb = 04.00 dm
jika V = 300020
(V adalah hasil pengurangan dari 90-bacaan vertikal, karena pada keadaan datar bacaan
vertikal pada angka 90) maka, d (slope distance) dapat dihitung
d = 100*(ba-bb) catatan (ba-bt=bt-bb)
d = 100*(4.50-04.00)
d = 100*0.50
d = 50 dm
d = 5m
jika d sudah diketahui maka kita sudah dapat menghitung jarak datar dengan cara
hd = d*cosV
hd = 5*cos300020
hd = 4.33 m
3. Dari penghitungan data jarak miring dan besaran sudut vertikal,

d = 89 m (jarak miring)
bv = 513040 (bacaan sudut vertikal)
maka, sudut yang dibentuk adalah (v)
v = 90 - 513040 = 382920
jarak datar (hd)
hd = d * cosV
hd = 89 * cos 382920
hd = 69.663 meter
4. Dari hasil penghitungan instant oleh Total Station, sebenarnya pada Total station
sudah terdapat bacaan HD (Horizontal Distance) yang muncul secara otomatis
a. Jarak optis adalah jarak yang diukur menggunakan alat dan perhitungannya
Dab= akar blablabla
b. Jarak datar adalah jarak dengan menggunakan pita ukur

Metode trigonometris prinsipnya adalah mengukur jarak langsung (jarak miring), tinggi alat, tinggi
benang tengah rambu dan sudut vertikal (zenith atau inklinasi) yang kemudian direduksi menjadi
informasi beda tinggi menggunakan alat theodolite. Seperti telah dibahas sebelumnya, beda tinggi
antara dua titik dihitung dari besaran sudut tegak dan jarak. Sudut tegak diperoleh dari pengukuran
dengan alat theodolite sedangkan jarak diperoleh atau terkadang diambil jarak dari peta.

Pada pengukuran tinggi dengan cara trigonometris ini, beda tinggi didapatkan secara tidak langsung,
karena yang diukur di sini adalah sudut miringnya atau sudut zenith. Bila jarak mendatar atau jarak
miring diketahaui atau diukur, maka dengan memakai hubungan - hubungan geometris dihitunglah
beda tinggi yang hendak ditentukan itu.

Bila jarak antara kedua titik yang hendak ditentukan beda tingginya tidak jauh, maka kita masih
dapat menganggap bidang nivo sebagai bidang datar.

Akan tetapi bila jarak yang dimaksudkan itu jauh, maka kita tidak boleh lagi memisahkan atau
mengambil bidang nivo itu sebagai bidang datar, tetapi haruslah bidang nivo itu dipandang sebagai
bidang lengkung, Disamping itu kita harus pula menyadari bahwa jalan sinarpun bukan merupakan
garis lurus, tetapi merupakan garis lengkung. Jadi jika jarak antara kedua titik yang akan ditentukan
beda tingginya itu jauh, maka bidang nivo dan jalan sinar tidak dapat dipandang sebagai bidang
datar dan garis lurus, tetapi haruslah dipandang sebagai bidang lengkung dan garis lengkung.
Titik A dan B akan ditentukan beda tingginya dengan cara trigonometris. Prosedur pengukuran dan
perhitungannya adalah sebagai berikut:

Tegakkan theodolite di A, ukur tingginya sumbu mendatar dari A. Misalkan t,

Tegakkan target di B, ukur tingginya target dari B, misalkan l,

Ukur sudut tegak m (sudut miring) atau z (sudut zenith),

Ukur jarak mendatar D atau Dm (dengan EDM), dan

Dari besaran-besaran yang diukur, maka:

Sudut tegak ukuran perlu mendapat koreksi sudut refraksi dan bidang-bidang nivo melalui A dan B
harus diperhitungkan sebagai Permukaan yang melengkung apabila beda tinggi dan jarak AB besar
dan beda tinggi akan ditentukan lebih teliti. Lapisan udara dari B ke A akan berbeda kepadatannya
karena sinar cahaya yang datang dari target B ke teropong theodolite akan melalui garis
melengkung. Makin dekat ke A makin padat. Dengan adanya kesalahan karena faktor alam tersebut
di atas hitungan beda tinggi perlu mendapat koreksi.
Dimana:

k = koefisien refraksi udara = 0.14

R = jari-jari bumi 6370 km

Besarnya sudut refraksi udara r dapat dihitung dengan rumus:


R = rm . Cp . Ct
rm = sudut refraksi normal pada tekanan udara 760 mmHg, temperatur udara 100C dan kelembaban
nisbi 60%
Agar beda tinggi yang didaptkan lebih baik, maka pengukuran harus dilakukan bolakbalik. Kemudian
hasilnya dirata - ratakan, dapat pula beda tinggi dihitung secara serentak dengan rumus:

dimana:

HA dan HB tinggi pendekatan A dan B (dari peta topografi)

m1, m2 sudut miring ukuran di A dan B

t dan 1 dibuat sama tinggi

A. METODE PENGUKURAN TRIGONOMETRIS


Metode trigonometris prinsipnya adalah mengukur jarak langsung (jarak miring), tinggi
alat, tinggi benang tengah rambu dan sudut vertikal (zenith atau inklinasi) yang kemudian
direduksi menjadi informasi beda tinggi menggunakan alat theodolite. Seperti telah dibahas
sebelumnya, beda tinggi antara dua titik dihitung dari besaran sudut tegak dan jarak. Sudut
tegak diperoleh dari pengukuran dengan alat theodolite sedangkan jarak diperoleh atau
terkadang diambil jarak dari peta.
Pada pengukuran tinggi dengan cara trigonometris ini, beda tinggi didapatkan secara
tidak langsung, karena yang diukur di sini adalah sudut miringnya atau sudut zenith. Bila jarak
mendatar atau jarak miring diketahaui atau diukur, maka dengan memakai hubungan -
hubungan geometris dihitunglah beda tinggi yang hendak ditentukan itu.
Bila jarak antara kedua titik yang hendak ditentukan beda tingginya tidak jauh, maka
kita masih dapat menganggap bidang nivo sebagai bidang datar, akan tetapi bila jarak yang
dimaksudkan itu jauh, maka kita tidak boleh lagi memisahkan atau mengambil bidang nivo itu
sebagai bidang datar, tetapi haruslah bidang nivo itu dipandang sebagai bidang lengkung,
Disamping itu kita harus pula menyadari bahwa jalan sinarpun bukan merupakan garis lurus,
tetapi merupakan garis lengkung. Jadi jika jarak antara kedua titik yang akan ditentukan beda
tingginya itu jauh, maka bidang nivo dan jalan sinar tidak dapat dipandang sebagai bidang datar
dan garis lurus, tetapi haruslah dipandang sebagai bidang lengkung dan garis lengkung.

Titik A dan B akan ditentukan beda tingginya dengan cara trigonometris. Prosedur
pengukuran dan perhitungannya adalah sebagai berikut:
1. Tegakkan theodolite di A, ukur tingginya sumbu mendatar dari A. Misalkan t,
2. Tegakkan target di B, ukur tingginya target dari B, misalkan l,
3. Ukur sudut tegak m (sudut miring) atau z (sudut zenith),
4. Ukur jarak mendatar D atau Dm (dengan EDM), dan
5. Dari besaran-besaran yang diukur, maka:
Sudut tegak ukuran perlu mendapat koreksi sudut refraksi dan bidang-bidang nivo
melalui A dan B harus diperhitungkan sebagai Permukaan yang melengkung apabila beda
tinggi dan jarak AB besar dan beda tinggi akan ditentukan lebih teliti. Lapisan udara dari B ke
A akan berbeda kepadatannya karena sinar cahaya yang datang dari target B ke teropong
theodolite akan melalui garis melengkung. Makin dekat ke A makin padat. Dengan adanya
kesalahan karena faktor alam tersebut di atas hitungan beda tinggi perlu mendapat koreksi.
Dimana:
k = koefisien refraksi udara = 0.14
R = jari-jari bumi 6370 km
Besarnya sudut refraksi udara r dapat dihitung dengan rumus:
R = rm . Cp . Ct
rm = sudut refraksi normal pada tekanan udara 760 mmHg, temperatur udara 100C dan
kelembaban nisbi 60%

Agar beda tinggi yang didaptkan lebih baik, maka pengukuran harus dilakukan
bolakbalik. Kemudian hasilnya dirata - ratakan, dapat pula beda tinggi dihitung secara
serentak dengan rumus:

dimana:
HA dan HB tinggi pendekatan A dan B (dari peta topografi)
m1, m2 sudut miring ukuran di A dan Bt dan 1 dibuat sama tinggi.

A. TRIGONOMETRICAL LEVELING
Menutut (Wongsotjitro, 1980), beda tinggi antara dua titik dapat ditentukan dengan tiga
cara yaitu: Barometris, Trigonometris dan pengukuran menyipat datar. Ketiga metode tersebut
mempunyai ketelitian yang berbeda-beda. Hasil ketelitian terbesar adalah dengan cara
pengukuran menyipat datar dan ketelitian terkecil adalah metode Barometer. Metode
trigonometris adalah suatu proses penentuan beda tinggi dari titik-titik pengamatan dengan cara
mengukur sudut miring atau sudut vertikalnya dengan jarak yang diketahui, baik jarak dalam
bidang datar maupun jarak geodetis (Basuki, 2006). Pengukuran sudut vertikal atau kemiringan
dapat menggunakan theodolith atau kompas survei.
Prinsip-prinsip yang digunakan pada pengukuran lingkup ukur tanah yaitu jarak antar
titik yang akan ditentukan beda tingginya tidak terlalu jauh, sehingga pengaruh kelengkungan
bumi dan refraksi dapat diabaikan atau diadakan koreksi linier dalam perhitungannya. Berbeda
dengan lingkup geodesi, pengukuran beda tinggi titik pengukurannya relatif jauh sehingga
harus memperhatikan kelengkungan bumi. Prinsip-prinsip umum bidang datar tidak dapat
diterapkan pada pengukuran beda tinggi ini. Nilai sudut vertikal dan horizontal harus dikoreksi
dengan kelengkungan bumi dan refraksi.
Triginometrikal atau trigonometrikal levelling dibagi menjadi dua yaitu trigonometrikal
levelling segitiga dan memanjang. Metode trigonometri memanjang merupakan pengukuran
menggunakan dua titik yang terletak dalam segaris lurus dengan obyek. Metode trigonometri
segitiga menggunakan dua titik pengukuran yang membentuk sudut dan membentuk segitiga
dengan obyek pengamatan. Kedua cara tersebut menggunakan prinsip atau sifat segitiga.

B. MENGUKUR JARAK BINTANG DENGAN METODE PARALAKS


TRIGONOMETRI
Paralaks adalah perbedaan latar belakang yang tampak ketika sebuah benda yang diam
dilihat dari dua tempat yang berbeda. Kita bisa mengamati bagaimana paralaks terjadi dengan
cara yang sederhana. Acungkan jari telunjuk pada jarak tertentu (misal 30 cm) di depan mata
kita. Kemudian amati jari tersebut dengan satu mata saja secara bergantian antara mata kanan
dan mata kiri. Jari kita yang diam akan tampak berpindah tempat karena arah pandang dari
mata kanan berbeda dengan mata kiri sehingga terjadi perubahan pemandangan latar
belakangnya. Perpindahan itulah yang menunjukkan adanya paralaks.
Paralaks juga terjadi pada bintang, setidaknya begitulah yang diharapkan oleh
pemerhati dunia astronomi ketika model heliosentris dikemukakan pertama kali oleh
Aristarchus (310-230 SM). Dalam model heliosentris itu, Bumi bergerak mengelilingi
Matahari dalam orbit yang berbentuk lingkaran. Akibatnya, sebuah bintang akan diamati dari
tempat-tempat yang berbeda selama Bumi mengorbit. Dan paralaks akan mencapai nilai
maksimum apabila kita mengamati bintang pada dua waktu yang berselang 6 bulan (setengah
periode revolusi Bumi). Namun saat itu tidak ada satu orangpun yang dapat mendeteksinya
sehingga Bumi dianggap tidak bergerak (karena paralaks dianggap tidak ada). Model
heliosentris kemudian ditinggalkan orang dan model geosentrislah yang lebih banyak
digunakan untuk menjelaskan perilaku alam semesta.
Paralaks pada bintang baru bisa diamati untuk pertama kalinya pada tahun 1837 oleh
Friedrich Bessel, seiring dengan teknologi teleskop untuk astronomi yang berkembang pesat
(sejak Galileo menggunakan teleskopnya untuk mengamati benda langit pada tahun 1609).
Bintang yang ia amati adalah 61 Cygni (sebuah bintang di rasi Cygnus/angsa) yang memiliki
paralaks 0,29. Ternyata paralaks pada bintang memang ada, namun dengan nilai yang sangat
kecil. Hanya keterbatasan instrumenlah yang membuat orang-orang sebelum Bessel tidak
mampu mengamatinya. Karena paralaks adalah salah satu bukti untuk model alam semesta
heliosentris (yang dipopulerkan kembali oleh Copernicus pada tahun 1543), maka penemuan
paralaks ini menjadikan model tersebut semakin kuat kedudukannya dibandingkan dengan
model geosentris Ptolemy yang banyak dipakai masyarakat sejak tahun 100 SM.
Setelah paralaks bintang ditemukan, penghitungan jarak bintang pun dimulai. Lihat
ilustrasi di bawah ini untuk memberikan gambaran bagaimana paralaks bintang terjadi. Di
posisi A, kita melihat bintang X memiliki latar belakang XA. Sedangkan 6 bulan kemudian,
yaitu ketika Bumi berada di posisi B, kita melihat bintang X memiliki latar belakang XB.
Setengah dari jarak sudut kedua posisi bintang X itulah yang disebut dengan sudut paralaks.
Dari sudut inilah kita bisa hitung jarak bintang asalkan kita mengetahui jarak Bumi-Matahari.

Dari geometri segitiga kita ketahui adanya hubungan antara sebuah sudut dan dua buah
sisi. Inilah landasan kita dalam menghitung jarak bintang dari sudut paralaks (lihat gambar di
bawah). Apabila jarak bintang adalah d, sudut paralaks adalah p, dan jarak Bumi-Matahari
adalah 1 SA (Satuan Astronomi = 150 juta kilometer), maka kita dapatkan persamaan
sederhana.
tan p = 1/d
atau d = 1/p, karena p adalah sudut yang sangat kecil sehingga tan p ~ p.
Jarak d dihitung dalam SA dan sudut p dihitung dalam radian. Apabila kita gunakan
detik busur sebagai satuan dari sudut paralaks (p), maka kita akan peroleh d adalah 206265 SA
atau 3,09 x 10^13 km. Jarak sebesar ini kemudian didefinisikan sebagai 1 pc (parsec, parsek),
yaitu jarak bintang yang mempunyai paralaks 1 detik busur. Pada kenyataannya, paralaks
bintang yang paling besar adalah 0,76 yang dimiliki oleh bintang terdekat dari tata surya, yaitu
bintang Proxima Centauri di rasi Centaurus yang berjarak 1,31 pc. Sudut sebesar ini akan sama
dengan sebuah tongkat sepanjang 1 meter yang diamati dari jarak 270 kilometer. Sementara
bintang 61 Cygni memiliki paralaks 0,29 dan jarak 1,36 tahun cahaya (1 tahun cahaya = jarak
yang ditempuh cahaya dalam waktu satu tahun = 9,5 trilyun kilometer) atau sama dengan 3,45
pc.
Hingga tahun 1980-an, paralaks hanya bisa dideteksi dengan ketelitian 0,01 atau
setara dengan jarak maksimum 100 parsek. Jumlah bintangnya pun hanya ratusan buah.
Peluncuran satelit Hipparcos pada tahun 1989 kemudian membawa perubahan. Satelit tersebut
mampu mengukur paralaks hingga ketelitian 0,001, yang berarti mengukur jarak 100.000
bintang hingga 1000 parsek. Sebuah katalog dibuat untuk mengumpulkan data bintang yang
diamati oleh satelit Hipparcos ini. Katalog Hipparcos yang diterbitkan di akhir 1997 itu
tentunya membawa pengaruh yang sangat besar terhadap semua bidang astronomi yang
bergantung pada ketelitian jarak

Anda mungkin juga menyukai