Anda di halaman 1dari 14

BAB III

LAPANGAN

III. 1. Pengambilan Contoh Batuan


III.1.1 Dasar Teori
Dalam pengambilan contoh batuan, harus memperhatikan 3 hal, yaiitu :
Sampling, Kualitas Sample dan Jenis Sample.
1) Sampling
Sampling adalah pengambilan sampel batuan di lapangan untuk
dianalisis kandungan mikrofaunanya. Fosil mikro yang terdapat dalam batuan
mempunyai bahan pembentuk cangkang dan morfologi yang berbeda, namun
hampir seluruh mikrofosil mempunyai satu sifat fisik yang sama, yaitu
ukurannya yang sangat kecil dan kadang sangat mudah hancur, sehingga
perlu perlakuan khusus dalam pengambilannya. Sangat diperlukan ketelitian
serta perhatian dalam pengambilan sampel, memisahkan dari material lain,
lalu menyimpannya di tempat yang aman dan terlindung dari kerusakan
secara kimiawi dan fisika.
Pekerjaan seorang ahli mikropaleontologi diawali dengan pengamatan
singkapan di lapangan, mengukur dengan rinci berbagai perubahan litologi
sepanjang lintasan dan bila perlu menggunakan foto. Lalu menentukan
bagaimana dan di bagian mana sampel batuan yang akan disampling.
Lokasi sampel batuan harus diplot dengan benar pada peta. Untuk
sampel batuan dari sumur pemboran, harus dicatat pada kedalaman berapa
sampel tersebut diambil dan usahakan pengambilan pada batuan yang segar
dan dimungkinkan mengandung fosil. Pengambilan sampel minimal dibagian
Top, Middle dan Bottom dari lokasi pengambilan dan diperhatikan pula
bahwasanya fosil-fosil mikro dijumpai dalam batuan sedimen seperti
batugamping, napal, lempung, serpih, batupasir halus, lanau serta rijang.
Masalah yang sering muncul pada saat pengambilan sampel dari
penampang suatu urutan sedimen adalah menentukan lokasi mikrofosil, hal
ini disebabkan karena kebanyakan zona dapat diwakili oleh ketebalan lapisan

15
yang tebalnya hanya beberapa inchi dan kadang kala menerus sampai
ketebalan tertentu.
Beberapa prosedur sampling pada berbagai sekuen sedimentasi dapat
dilakukan, seperti :
a) Spot Sampling, dengan interval tertentu merupakan metode terbaik
untuk penampang yang tebal dengan jenis litologi yang seragam,
seperti pada lapisan batugamping. Pada metode ini dapat ditambahkan
channel sample (sampel paritan) sepanjang kurang lebih 30 cm pada
setiap interval 1,5 meter.
b) Channel sample, dapat dilakukan pada penampangg lintasan yang
pendek 3 5 m, pada litologi yang seragam atau pada perselingan
batuan dan dilakukan setiap perubahan unit litologi.
2) Kualitas Sampel
Pengambilan sampel batuan untuk analisis mikropaleontologi harus
memenuhi kriteria sebagai berikut :
a) Bersih, sebelum mengambil sampel harus dibersihkan dari semua
kepingan pengotor
b) Representatif dan Komplit, harus dipisahkan dengan jelas antara
sampel batuan yang mewakili suatu sisipan atau suatu lapisan batuan.
Ambil sekitar 300-500 gram (hand specimen) sampel batuan yang
sudah dibersihkan.
c) Pasti, apabila sampel terkemas dengan baik dalam suatu kemasan
kedap air yang ditandai dengan tulisan tahan air, yang mencakup
segala hal keterangan tentang sampel tersebut seperti nomer sampel,
lokasi, jenis batuan dan waktu pengambilan, maka hasil analisis
sampel pasti akan bermanfaat.
Ketidakhati-hatian kita dalam memperlakukan sampel batuan akan
berakibat fatal dalam paleontologi maupun stratigrafi apabila tercampur baur,
terkontaminasi ataupun hilang.
3) Jenis Sample
Jenis sampel disini ada 2 macam, yaitu :
a) Sampel permukaan, sampel yang diambil langsung dari pengamatan
singkapan di lapangan. Lokasi & posisi stratigrafinya dapat diplot pada
peta.
b) Sampel bawah permukaan, sampel yang diambil dari suatu pemboran.
Dari cara pengambilannya, sampel bawah permukaan dapat
dipisahkan menjadi :
a) Inti bore(core), seluruh bagian lapisan pada kedalaman tertentu
diambil secara utuh.
b) Sampel hancuran (ditch-cutting), lapisan pada kedalaman tertentu
dihancurkan dan dipompa keluar, kemudian ditampung.
c) Sampel sisi bor (side-well core), diambil dari sisi-sisi dinding bor dari
lapisan pada kedalaman tertentu.
Tabe l. Jumlah rata-rata mikrofosil yang dijumpai pada berbagai batuan
(Bignot, 1982)
Mikrofosil

Spora&Pollen
Foraminifera
Chitinozoair
Calplonella

Conodonta
Radiolaria

Ostracoda
Coccolith

Dinokista
Diatomae

Batuan

Evaporit

Dolomit

Batupasir

Batubara

Silt, Chert
dan
sedimen
silika

Batugampin
g

Napal &
Lempung

Batuan
metamorf

: Melimpah : Jarang : Kadang-kadang


4) Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan dalam pengambilan sampel, antara lain :
a) Palu geologi
b) Kompas geologi
c) Plastik/tempat sampel
d) Buku catatan lapangan
e) Alat tulis
f) HCl 0,1 N
g) Peta lokasi pengambilan sampel

III.1.2 Geologi Regional Daerah Penelitian


1. Geomorfologi Regional
Menurut penelitianVan Bemmelen (1948), secara fisiografis Jawa
Tengah dibagi menjadi 3 zona, yaitu :
a. Zona Jawa Tengah bagian utara yang merupakan Zona Lipatan
b. Zona Jawa Tengah bagian tengah yang merupakan Zona Depresi
c. Zona Jawa Tengah bagian selatan yang merupakan Zona Plato
Berdasarkan letaknya, KulonProgo merupakan bagian dari zona Jawa
Tengah bagian selatan maka daerah Kulon Progo merupakan salah satu plato
yang sangat luas yang terkenal dengan nama Plato Jonggrangan (Van
Bemellen, 1948). Daerah ini merupakan daerah uplift yang memebentuk
dome yang luas. Dome tersebut relatif berbentuk persegi panjang dengan
panjang sekitar 32 km yang melintang dari arah utara - selatan, sedangkan
lebarnya sekitar 20 km pada arah barat - timur. Oleh Van Bemellen Dome
tersebut diberi nama Oblong Dome.
Berdasarkan relief dan genesanya, wilayah kabupaten Kulon Progo
dibagi menjadi beberapa satuan geomorfologi antara lain, yaitu:
a) Satuan Pegunungan Kulon Progo
Satuan pegunungan Kulon Progo mempunyai ketinggian berkisar
antara 100 1200 meter diatas permukaan laut dengan kemiringan lereng
sebesar 150 160. Satuan Pegunungan Kulon Progo penyebarannya
memanjang dari utara keselatan dan menempati bagian barat wilayah
Daerah Istimewa Yogyakarta, meliputi kecamatan Kokap, Girimulyo dan
Samigaluh. Daerah pegunungan Kulon Progo inisebagian besar digunakan
sebagai kebun campuran, permukiman, sawah dan tegalan.
b) Satuan Perbukitan Sentolo
Satuan perbukitan Sentolo ini mempunyai penyebaran yang
sempitdanterpotong oleh kali Progo yang memisahkan wilayah Kabupaten
Kulon Progo danKabupaten Bantul. Ketinggiannya berkisar antara 50
150 meter diatas permukaan air laut dengan besar kelerengan rata rata 15
0
. Di wilayah ini, satuan perbukitan Sentolo meliputi daerah Kecamatan
Pengasih dan Sentolo.
c) Satuan Teras Progo
Satuan teras Progo terletak disebelah utara satuan perbukitan
Sentolo dan disebelah timur satuan Pegunungan Kulon Progo, meliputi
kecamatan Nanggulan dan Kali Bawang, terutama di wilayah tepi Kulon
Progo
d) Satuan Dataran Alluvial
Satuan dataran alluvial penyebarannya memanjang dari barat ke
timur, daerahnya meliputi kecamatan Temon, Wates, Panjatan, Galur dan
sebagian Lendah. Daerahnya relatif landai sehingga sebagian besar
diperuntukkan untuk pemukiman dan lahan persawahan.
e) Satuan Dataran Pantai
1. Subsatuan Gumuk Pasir
Subsatuan gumuk pasir inimemiliki penyebaran di sepanjang
pantai selatan Yogyakarta, yaitu pantai Glagah dan Congot. Sungai
yang bermuara di pantai selatan iniadalah kali Serangdan kali
Progoyang membawa material berukuran besar dari hulu. Akibat dari
proses pengangkutan dan pengikisan, batuan tersebut menjadi batuan
berukuran pasir. Akibat dari gelombang laut dan aktivitas angin,
material tersebut diendapkan di dataran pantai danmembentuk gumuk
gumuk pasir.
2. Subsatuan Dataran Alluvial Pantai
Subsatuan dataran alluvial pantai terletak di sebelah utara
subsatuan gumuk pasir yang tersusun oleh material berukuran pasir
halus yang berasal dari subsatuan gumuk pasir oleh kegiatan angin.
Pada subsatuan ini tidak dijumpai gumuk - gumuk pasir sehingga di
gunakan untuk persawahan dan pemukiman penduduk.
2. Stratigrafi Regional
Menurut Sujanto dan Ruskamil (1975) daerah Kulon Progo
merupakan tinggian yang dibatasi oleh tinggian dan rendahan Kebumen di
bagian barat dan Yogyakarta di bagian timur, yang didasarkan pada
pembagian tektofisiografi wilayah Jawa Tengah bagian selatan. Yang
mencirikan tinggian Kulon Progo yaitu banyaknya gunung api purba yang
timbul dan tumbuh di atas batuan paleogen, dan ditutupi oleh batuan karbonat
dan napal yang berumur neogen.
Dalam stratigrafi regional mengenai daerah fieldtrip, dibahas umur
batuan berdasarkan batuan penyusunnya, untuk itu perlu diketahui sistem
umur batuan penyusun tersebut. Sistem tersebut antara lain :
a) Sistem eosen
Batuan yang menyusun sistem ini adalah batu pasir, lempung,
napal, napal pasiran, batu gamping, serta banyak kandungan fosil
foraminifera maupun moluska. Sistem eosen ini disebut Nanggulan
group. Tipe dari sistem ini misalnya di desa Kalisongo, Nanggulan Kulon
Progo, yang secara keseluruhannya tebalnya mencapai 300 m. Tipe ini
dibagi lagi menjadi empat yaitu Yogyakarta beds, Discoclyina,
Axiena Beds dan Napal Globirena, yang masing - masing sistem ini
tersusun oleh batu pasir, napal, napal pasiran, lignit dan lempung. Di
sebelah timur Nanggulan group ini berkembang facies gamping yang
kemudian dikenal sebagai gamping eosen yang mengandung fosil
foraminifera, colenterata, dan moluska.
b) Sistem oligosen miosen
Sistem oligosen miosen terjadi ketika kegiatan vulkanisme yang
memuncak dari Gunung Menoreh, Gunung Gadjah, dan Gunung Ijo yang
berupa letusan dan dikeluarkannya material material piroklastik dari
kecil sampai balok yang berdiameter lebih dari 2 meter. Kemudian
material ini disebut formasi andesit tua, karena material vulkanik tersebut
bersifat andesitik, dan terbentuk sebagai lava andesit dan tuff andesit.
Sedang pada sistem eosen, diendapkan pada lingkungan laut dekat pantai
yang kemudian mengalami pengangkatan dan perlipatan yang dilanjutkan
dengan penyusutan air laut. Bila dari hal tersebut, maka sistem oligosen
miosen dengan formasi andesit tuanya tidak selaras dengan sistem eosen
yang ada dibawahnya. Diperkirakan ketebalan istem ini 600 m. Formasi
andesit tua ini membentuk daerah perbukitan dengan puncak puncak
miring.
c) Sistem miosen
Setelah pengendapan formasi andesit tua daerah ini mengalami
penggenangan air laut, sehingga formasi ini ditutupi oleh formasi yang
lebih muda secara tidak selaras. Fase pengendapan ini berkembang dengan
batuan penyusunnya terdiri dari batu gamping reef, napal, tuff breksi, batu
pasir, batu gamping globirena dan lignit yang kemudian disebut formasi
jonggrangan, selain itu juga berkembang formasi sentolo yang formasinya
terdiri dari batu gamping, napal dan batu gamping konglomeratan. Formasi
Sentolo sering dijumpai kedudukannya diatas formasi Jonggrangan.
Formasi Jonggrangan dan formasi Sentolo sama sama banyak
mengandung fosil foraminifera yang beumur burdigalian miosen.
Formasi formasi tersebut memilik ipersebaran yang luas dan pada
umumnya membentuk daerah perbukitan dengan puncak yang relative
bulat. Diakhir kala pleistosen daerah ini mengalami pengangkatan dan
pada kuarter terbentuk endapan fluviatil dan vulkanik dimana
pembentukan tersebut berlangsung terus menerus hingga sekarang yang
letaknya tidak selaras diatas formasi yang terbentuk sebelumnya.
Berdasarkan system umur yang ditentukan oleh penyusun batuan
stratigrafi regional menurut Wartono Rahardjo dkk(1977), Wirahadikusumah
(1989), dan Mac Donald dan partners (1984), daerah penelitian dapat dibagi
menjadi 4 formasi, yaitu :
A. Formasi Nanggulan
Formasi Nanggulan mempunyai penyusun yang terdiri dari batu
pasir, sisipan lignit, napal pasiran dan batu lempungan dengan konkresi
limonit, batu gamping dan tuff, kaya akan fosil foraminifera dan moluska
dengan ketebalan 300 m. berdasarkan penelitian tentang umur batuannya
didapat umur formasi nanggulan sekitar eosen tengah sampai oligosen
atas. Formasi ini tersingkap di daerah Kali Puru dan Kali Sogo di bagian
timur Kali Progo. Formasin Nanggulan dibagi menjadi 3, yaitu :
1. Axinea Beds
Formasi paling bawah dengan ketebalan lapisan sekitar 40 m,
terdiri dari abut pasir, dan batu lempung dengan sisipan lignit yang
semuanya berfasies litoral, axiena bed ini memiliki banyak fosil
pelecypoda.
2. Yogyakarta beds
Formasi yang berada di atas axiena beds ini diendapkan secara
selaras denagn ketebalan sekitar 60 m. terdiri dari batu lempung ynag
mengkonkresi nodule, napal, batu lempung, dan batu pasir. Yogyakarta
beds mengandung banyak fosil poraminifera besar dan gastropoda.
3. Discocyclina beds
Formasi paling atas ini juga diendapkan secara selaras diatas
Yogyakarta beds denagn ketebalan sekitar 200m. Terdiri dari batu napal
yang terinteklasi dengan batu gamping dan tuff vulakanik, kemudian
terinterklasi lagi dnegan batuan arkose. Fosil yang terdapat pada
discocyclina beds adalah discocyclina
B. Formasi Andesit Tua
Formasi ini mempunyai batuan penyusun berupa breksi andesit,
lapili tuff, tuff, breksi lapisi , Aglomerat, dan aliran lava serta batu pasir
vulkanik yang tersingkap di daerah kulon progo. Formasi ini diendapkan
secara tidak selaras dengan formasi nanggulan dengan ketebalan 660 m.
Diperkirakan formasi ini formasi ini berumur oligosen miosen.
C. Formasi Jonggrangan
Formasi ini mempunyai batuan penyusun yang berupa tufa, napal,
breksi, batu lempung dengan sisipan lignit didalamnya, sedangkan pada
bagian atasnya terdiri dari batu gamping kelabu bioherm diselingi dengan
napal dan batu gamping berlapis. Ketebalan formasi ini 2540 meter. Letak
formasi ini tidak selaras dengan formasi andesit tua. Formasi jonggrangan
ini diperkirakan berumur miosen. Fosil yang terdapat pada formasi ini
ialah poraminifera, pelecypoda dan gastropoda.
D. Formasi Sentolo
Formasi Sentolo ini mempunyai batuan penyusun berupa batu pasir
napalan dan batu gamping, dan pada bagian bawahnya terdiri dari napal
tuffan. Ketebalan formasi ini sekitar 950 m. Letak formasi initak selaras
dengan formasi jonggrangan. Formasi Sentolo ini berumur sekitar miosen
bawah sampai pleistosen.
Sedang menurut Van Bemellen Pegunungan Kulon Progo
dikelompokkan menjadi beberapa formasi berdasarkan batuan penyusunnya.
Formasi tersebut dimulai dari yang paling tua yaitu sebagai berikut :
1. Formasi Nanggulan
Formasi Nanggulan mempunyai penyusun yang terdiri dari batu
pasir, sisipan lignit, napal pasiran dan batu lempungan dengan konkresi
limonit, batu gamping dan tuff, kaya akan fosil foraminifera dan moluska
dengan ketebalan 300 m. berdasarkan penelitian tentang umur batuannya
didapat umur formasi nanggulan sekitar eosen tengah sampai oligosen
atas. Formasi ini tersingkap di daerah Kali Puru dan Kali Sogo di bagian
timur Kali Progo. Formasin Nanggulan dibagi menjadi 3, yaitu
a. Axinea Beds
Formasi paling bawah dengan ketebalan lapisan sekitar 40 m,
terdiri dari abut pasir, dan batu lempung dengan sisipan lignit yang
semuanya berfasies litoral, axiena bed ini memiliki banyak fosil
pelecypoda.
b. Yogyakarta beds
Formasi yang berada di atas axiena beds ini diendapkan secara
selaras denagn ketebalan sekitar 60 m. terdiri dari batu lempung ynag
mengkonkresi nodule, napal, batu lempung, dan batu pasir. Yogyakarta
beds mengandung banyak fosil poraminifera besar dan gastropoda.
c. Discocyclina beds
Formasi paling atas ini juga diendapkan secara selaras diatas
Yogyakarta beds denagn ketebalan sekitar 200m. Terdiri dari batu napal
yang terinteklasi dengan batu gamping dan tuff vulakanik, kemudian
terinterklasi lagi dnegan batuan arkose. Fosil yang terdapat pada
discocyclina beds adalah discocyclina.
2. Formasi Andesit Tua
Formasi ini mempunyai batuan penyusun berupa breksi andesit,
lapili tuff, tuff, breksi lapisi , Aglomerat, dan aliran lava serta batu pasir
vulkanik yang tersingkap di daerah kulon progo. Formasi ini diendapkan
secara tidak selaras dengan formasi nanggulan dengan ketebalan 660 m.
Diperkirakan formasi ini formasi ini berumur oligosen miosen.
3. Formasi Jonggrangan
Formasi ini mempunyai batuan penyusun yang berupa tufa, napal,
breksi, batu lempung dengan sisipan lignit didalamnya, sedangkan pada
bagian atasnya terdiri dari batu gamping kelabu bioherm diselingi dengan
napal dan batu gamping berlapis. Ketebalan formasi ini 2540 meter. Letak
formasi ini tidak selaras dengan formasi andesit tua. Formasi jonggrangan
ini diperkirakan berumur miosen. Fosil yang terdapat pada formasi ini
ialah poraminifera, pelecypoda dan gastropoda.
4. Formasi Sentolo
Formasi Sentolo ini mempunyai batuan penyusun berupa batu pasir
napalan dan batu gamping, dan pada bagian bawahnya terdiri dari napal
tuffan. Ketebalan formasi ini sekitar 950 m. Letak formasi initak selaras
dengan formasi jonggrangan. Formasi Sentolo ini berumur sekitar miosen
bawah sampai pleistosen
5. Formasi Alluvial dan gumuk pasir
Formasi ini iendapan secara tidak selaras terhadap lapisan batuan
yang umurnya lebih tua. Litologi formasi ini adalah batu apsr vulkanik
merapi yang juga disebut formasi Yogyakarta. Endapan gumuk pasir
terdiri dari pasir pasir baik yang halus maupun yang kasar, sedangkan
endapan alluvialnya terdiri dari batuan sediment yang berukuran pasir,
kerikir, lanau dan lempung secara berselang seling.
Dari seluruh daerah Kulon Progo, pegunungan Kulon Progo sendiri
termasuk dalam formasi Andesit tua. Formasi ini mempunyai litologi yang
penyusunnya berupa breksi andesit, aglomerat, lapili, tuff, dan sisipan aliran
lava andesit. Dari penelitian yang dilakukan Purmaningsih (1974) didapat
beberapa fosil plankton seperti Globogerina Caperoensis bolii, Globigeria
Yeguaensis weinzeierl dan applin dan Globigerina Bulloides blow. Fosil
tersebut menunjukka batuan berumur Oligosen atas. Karena berdasarkan hasil
penelitian menunjukkan pada bagian terbawah gunung berumur eosin bawah,
maka oleh Van bemellen andesit tua diperkirakan berumur oligosen atas
sampai miosen bawah dengan ketebalan 660 m.
3. Struktur Geologi Regional
Struktur ini dapat dikenali dengan adanya kenampakan
pegunungan yang dikelilingi oleh dataran alluvial. Secara umum struktur
geologi yang bekerja adalah sebagai berikut :
a. Struktur Dome
Menurut Van Bemellen (1948), pegunungan Kulon Progo secara
keseluruhan merupakan kubah lonjong yang mempunyai diameter 32 km
mengarah NE SW dan 20 km mengarah SE NW. Puncak kubah
lonjong ini berupa satu dataran yang luas disebut jonggrangan plateu.
Kubah ini memanjang dari utara ke selatan dan terpotong dibagian
utaranya oleh sesar yang berarah tenggara barat laut dan tertimbun oleh
dataran magelang, sehingga sering disebut oblong dome. Pemotongan ini
menandai karakter tektonik dari zona selatan jawa menuju zona tengah
jawa. Bentuk kubah tersebut adalah akibat selama pleistosen, di daerah
mempunyai puncak yang relative datar dan sayap sayap yang miring dan
terjal. Dalam kompleks pegunungan Kulon Progo khususnya pada lower
burdigalian terjadai penurunan cekungan sampai di bawah permukaan laut
yang menyebabkan terbentuknya sinklin pada kaki selatan pegunungan
Menoreh dan sesar dengan arah timur barat yang memisahkan gunung
Menoreh denagn vulkan gunung Gadjah. Pada akhir miosen daerah Kulon
Progo merupakan dataran rendah dan pada puncak Menoreh membentang
pegunungan sisa dengan ketinggian sekitar 400 m. secara keseluruhan
kompleks pegunungan Kulon Progo terkubahkan selama pleistosen yang
menyebabkan terbentuknya sesar radial yang memotong breksi gunung ijo
dan Formasi Sentolo, serta sesar yang memotong batu gamping
Jonggrangan. Pada bagian tenggara kubah terbentuk graben rendah.

Gambar.Dome Kulon Progo


b. Unconformity
Di daerah Kulon Progo terdapat kenampakan ketidakselarasan
(disconformity) antar formasi penyusun Kulon Progo. Kenampakan telah
dijelaskan dalam stratigrafi regional berupa formasi andesit tua yang
diendapkan tidak selaras di atas formasi Nanggulan, formasi Jonggrangan
diendapkan secara tidak selaras diatas formasi Andesit Tua, dan formasi
Sentolo yang diendapkan secara tidak selaras diatas formasi Jonggrangan.
III.1.3 Waktu, Lokasi, Dan Kesampaian Daerah

Waktu : 08.40 13.30 WIB


Hari/Tanggal : Minggu, 28 Septmber 2014
Lokasi : Kali Bawang, Sentolo
Kesampaian Daerah : Lokasi penelitian dapat ditempuh dengan waktu 45
menit dari Kampus 2 dengan menggunakan sepeda
motor.
III.2 Lampiran
1. Deskripsi lapangan
2. Kolom stratigrafi terukur

Anda mungkin juga menyukai