Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi pada umur kehamilan

kurang dari atau sama dengan 37 minggu, dimana janin dapat bertahan hidup tapi

belum cukup bulan. Usia kehamilan yang menjadi batasan adalah antara 28

sampai 36 minggu. Dahulu dikatakan persalinan preterm ialah bila setiap

persalinan dengan berat badan lahir janin dibawah 2500 gram.1,2 World Health

Organization (WHO) mendefinisikan persalinan preterm atau prematur sebagai

setiap persalinan dengan usia kehamilan 37 minggu atau kurang dihitung dari hari

pertama haid terakhir.1,3 Sedangkan partus prematurus iminens berarti terjadi

ancaman terjadinya persalinan pada kehamilan kurang dari 37 minggu.

Pada persalinan preterm perlu dibedakan dengan bayi dengan berat badan

lahir rendah (BBLR) dimana pada persalinan preterm perlu dipastikan juga usia

kehamilannya kurang dari 37 minggu.1,3

2.2 Epidemiologi

Menurut Joseph, dkk. (1998) jumlah insiden bayi yang dilahirkan sebelum

cukup bulan meningkat dalam 20 tahun terakhir. Di Kanada, kelahiran preterm

meningkat dari 6,3% pada tahun 1981 menjad 6,8% pada tahun 1992. Pada

penelitian ini, peningkatan kelahiran preterm ini dikaitkan dengan perubahan pada

frekuensi kelahiran multipel, peningkatan ketepatan diagnosis umur kehamilan

seperti dengan menggunakan pemeriksaan ultrasonografi. Faktor-faktor serupa

2
pasti berlaku terhadap peningkatan kelahiran preterm yang terjadi di Amerika

Serikat. Jumlah insiden persalinan preterm di Amerika Serikat sendiri 11% dari

seluruh persalinan di sana.1 Di Indonesia, insiden persalinan preterm berkisar

antara 10-20%.3

2.3 Etiologi

Penyebab persalinan preterm belum diketahui secara pasti. Terdapat banyak

keadaan atau faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya suatu persalinan

preterm. Secara garis besar, penyebab terjadinya persalinan preterm dapat dibagi

menjadi faktor maternal, faktor fetal, dan faktor lingkungan tempat tinggal bayi,

seperti uterus dan plasenta.

2.3.1 Faktor Maternal

Termasuk disini ialah faktor genetika, faktor gaya hidup, faktor sosial

ekonomi, riwayat obstetri ibu, serta riwayat penyakit ibu sebelumnya yang

berhubungan dengan kehamilan. Faktor genetika antara lain terdapat riwayat

persalinan preterm secara familial, riwayat persalinan ganda, serta dikatakan

menurut Hoffman dan Ward (1999), terdapat kemungkinan faktor-faktor genetika

yang dicurigai seperti ras dapat menimbulkan persalinan preterm.4,5

Faktor gaya hidup yang dapat mempengaruhi kejadian persalinan preterm

antara lain perilaku merokok, gizi buruk, penambahan berat badan yang kurang

baik selama kehamilan, narkoba, alkohol dilaporkan memiliki peranan penting

pada kejadian dan berat badan lahir rendah dan persalinan preterm. Hal ini

diperlihatkan oleh penelitian yang dilakukan Hickey, dkk. (1995) mengenai

hubungan berat badan dengan persalinan preterm. Holzman, dkk. (1995)

menyatakan bahwa alkohol dapat dikaitkan dengan persalinan preterm disertai

3
dengan peningkatan resiko cedera otak pada bayi yang prematur. DiFonza dan

Lew (1995) melaporkan kebiasaan konsumsi tembakau bertanggung jawab atas

32000 sampai 61000 berat badan lahir rendah setiap tahunnya di Amerika Serikat.

Faktor ibu yang lain adalah usia ibu yang muda, kemiskinan, tinggi badan rendah,

pekerjaan berat, dan stres psikologik dikatakan dapat menjadi penyebab

persalinan preterm.1,2,4,5

Riwayat obstetri ibu juga dapat menjadi petunjuk penyebab persalinan

preterm dimana ibu dengan riwayat persalinan preterm sebelumnya memiliki

resiko tiga kali lipat untuk kembali mengalami persalinan preterm dibandingkan

dengan ibu yang sebelumnya mengalami persalinan aterm.1 Sebanyak 10% dari

kehamilan ganda diikuti dengan persalinan preterm, dan ibu dengan riwayat

kehamilan ganda akan memungkinkan untuk mengalami kembali kehamilan

ganda di kemudian hari. Ibu dengan serviks inkompeten juga memiliki resiko

untuk terjadinya persalinan preterm, hal ini juga berhubungan dengan kejadian

ketuban pecah dini preterm.2,5

Riwayat penyakit ibu yang berhubungan dengan kehamilan seperti hipertensi

dan diabetes dapat meningkatkan insiden persalinan preterm. Hal ini disebabkan

oleh karena sirkulasi antara ibu dan janin tidak sebaik ibu tanpa riwayat penyakit

tersebut. Sehingga cenderung dilakukan terminasi lebih awal dikarenakan faktor

janin.2,5

2.3.2 Faktor Fetal

Kesejahteraan janin menjadi faktor yang diperhatikan bila ada kemungkinan

dilakukan persalinan preterm. Janin dengan kesejahteraan yang kurang baik dalam

perjalanan persalinannya sehingga menjadi gawat janin, perkembangan janin yang

4
terhambat yang mungkin dikarenakan pasokan oksigen dan makanan yang kurang

adekuat mendorong untuk dilakukan terminasi kehamilan lebih dini dari waktu

perkiraan.1,2

2.3.3 Faktor Lingkungan Janin

Beberapa faktor yang termasuk dalam lingkungan sekitar janin adalah faktor

plasenta, uterus, selaput ketuban, dan cairan ketuban. Perdarahan antepartum yang

disebabkan oleh karena solusio plasenta atau plasenta previa dapat menyebabkan

persalinan preterm. Hal ini dikarenakan pelepasan plasenta dari implantasinya

serta perdarahan yang banyak oleh karena plasenta previa dapat menimbulkan

keadaan hipoksia janin karena ketidakadekuatan sirkulasi uteroplasenta. Solusio

plasenta dapat merangsang persalinan sehingga bila umur kehamilan belum cukup

dapat menjadi persalinan preterm meskipun sebanyak 63% terjadi pada aterm.

Bila ibu disertai riwayat solusio plasenta maka kemungkinan kembali terjadinya

solusio plasenta menjadi lebih besar yaitu 11%. Plasenta previa sering

berhubungan dengan persalinan preterm disebabkan oleh karena keharusan

melakukan tindakan akibat perdarahan yang banyak. Hal ini dikarenakan

kemungkinan janin hipoksia menjadi besar akibat perdarahan banyak tersebut

sehingga bila terdapat tanda-tanda kesejahteraan janin perlu dilakukan tindakan

terminasi kehamilan lebih cepat.8

Kelainan pada uterus juga dapat menyebabkan persalinan preterm seperti

pada overdistensi uterus akibat sempitnya kavum uteri dan polihidramnion

sehingga merangsang kontraksi akibat produksi prostaglandin yang merangsang

persalinan. Sempitnya kavum uteri antara lain dapat disebabkan oleh karena

mioma uteri dan uterus bikornu.6

5
Persalinan preterm oleh karena selaput ketuban disebabkan oleh karena

ketidakseimbangan sintesis dan degradasi matriks ekstraseluler selaput ketuban

menyebabkan selaput ketuban dapat menjadi mudah pecah sehingga merangsang

persalinan. Cairan ketuban juga berperan dalam terjadinya persalinan preterm jika

cairan ketuban terlalu banyak sehingga uterus menjadi teregang berlebihan.

Cairan ketuban yang sedikit serta terinfeksi dapat mendorong untuk melakukan

terminasi kehamilan lebih awal dengan pertimbangan perburukan kesejahteraan

janin. Selain itu infeksi intrauterin juga menjadi penyebab terbesar terjadinya

ketuban pecah dini sehingga bila terjadi pada saat umur kehamilan belum cukup

bulan, maka terjadi ancaman persalinan preterm.5

2.4 Patogenesis

Persalinan preterm memiliki pencetus yang sama dengan persalinan aterm,

hanya saja umur kehamilannya kurang dari 37 minggu. Ada beberapa faktor yang

dapat memicu persalinan antara lain pengaruh prostaglandin, struktur uterus,

sirkulasi uterus, pengaruh saraf, dan nutrisi. Schwarz dkk. (1976) menyatakan

bahwa persalinan aterm diawali aktivasi fosofolipase A2 yang memecah asam

arakidonat menjadi prostaglandin yang memicu persalinan. Mikroorganisme

menghasilkan fosfolipase A2 sehingga secara potensial dapat mencetuskan

persalinan, hal ini disampaikan oleh Bajar, dkk. (1981). Hal ini berdasarkan

penelitian yang dilakukan oleh Cox, dkk. (1989) dimana pemberian endotoksin

bakteri (lipopolisakarida) yang dimasukkan ke dalam cairan amnion merangsang

sel desidua untuk memproduksi sitokin dan prostaglandin yang memicu

persalinan. Konsentrasi interleukin-6 cairan amnion jauh lebih tinggi daripada

usia gestasi pada persalinan spontan dibandingkan wanita yang diinduksi

6
persalinanya. Selain itu interleukin-6 dapat ditemukan juga pada cairan ketuban

yang mengandung bakteri, dan hasil uji yang positif memberikan sensitivitas

sebesar 82%. Sedangkan, hasil pewarnaan Gram yang negatif merupakan uji yang

paling andal untuk menyingkirkan kemungkinan bakteri di cairan amnion dengan

spesifitas 99%.6,7

Infeksi juga dapat memicu persalinan dikarenakan respon inflamasi oleh

tubuh yang dirangsang oleh pelepasan sel netrofil poli morfonuklear (PMN) dan

makrofag ke tempat infeksi, dan kemudian akan merangsang produksi sitokin,

metaloproteinase (MMP), dan prostaglandin. Sitokin juga terlibat dalam induksi

enzim siklooksigenase II yang berfungsi mengubah asam arakidonat menjadi

prostaglandin. Selain respon inflamasi itu sendiri, janin juga berperan dalam

pengaktivasian sitokin melalui produksi faktor pengaktif trombosit di paru dan

ginjal janin. Faktor ini terlibat secara sinergis dalam pengaktivasian sitokin yang

juga akan menginisiasi persalinan yang disebabkan oleh infeksi bakterial. Jadi,

sebenarnya pelepasan faktor ini menguntungkan janin karena dapat melepaskan

diri dari lingkungannya yang terinfeksi, tetapi janin dapat terlahir secara

prematur.4

Perbedaan yang terlihat adalah kadar protease yang meningkat terutama pada

persalinan preterm daripada persalinan aterm. Dimana enzim ini berperan dalam

degradasi matriks ekstraseluler pada selaput ketuban dengan menghasilkan suatu

enzim MMP-9 yang dapat menyebabkan ketuban pecah dini. Beberapa flora juga

dapat menghasilkan protease seperti Streptokokus grup B, Stafilokokus aureus,

dan Trikomonas vaginalis yang akan menyebabkan degradasi membran dan

melemahkan selaput ketuban. Sitokin dari respon inflamasi juga berperan dalam

7
produksi prostaglandin E2 oleh sel korion yang dapat mengganggu sintesis

kolagen pada selaput ketuban dan meningkatkan aktifitas enzim metaloproteinase.

Dan selanjutnya akan memicu pecah ketuban yang akan diikuti dengan

persalinan.1,2

Bermacam-macam stres hormonal yang dihasilkan oleh adrenal maupun

hipotalamus yang akan meningkatkan pelepasan Choriotropic Releasing Hormone

(CRH) dari plasenta, desidua, dan khorion. CRH berperan sebaga efektor parakrin

maka CRH akan meningkatkan produksi prostanoid dari desidua dan

khorioamnion untuk merangsang kontraksi uterus. Peningkatan pelepasan dari

pencetus awal persalinan fisiologis (CRH, oksitosin, progesteron withdrawal)

secara bersama yang bisa terjadi lebih dini akan meningkatkan produksi

prostanoid dan protease.1,3

Berkurangnya aliran darah ke uterus yang terjadi sekunder akibat dari

kelainan pembuluh darah desidua, menyebabkan iskemia dari uteroplasenta

dengan akibat terjadinya kerusakan jaringan setempat oleh lipid peroksidase dan

radikal bebas ini akan meningkatkan produksi prostanoid protease dan endotelin

yang akan meningkatkan pelepasan CRH. Perdarahan pada desidua akan

menyebabkan penurunan fungsi dari pembuluh darah uteroplasenta dan

kekurangan oksigen pada janin yang akan melepaskan CRH, meningkatkan

pelepasan makrofag dengan pelepasan sitokin atau secara langsung merangsang

produksi protease dan prostanoid desidua melalui pembentukan trombin.4,6

2.5 Diagnosis

Diagnosis dari persalinan preterm ditegakkan berdasarkan dari anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Harus dipastikan bahwa usia

8
kehamilan adalah belum cukup waktu atau aterm. Usia kehamilan ini dapat

ditegakkan berdasarkan hari pertama haid terakhir, pemeriksaan antenatal yang

teratur, atau ditambah pemeriksaan penunjang ultrasonografi (USG). Apabila haid

terakhir tidak dapat ditentukan, berat badan lahir dapat digunakan sebagai

penegak diagnosis persalinan preterm dimana berat badan lahir yang dimaksud

adalah dibawah 2500 gram.1,2,4,5

Tanda dan gejala yang sering dianggap munculnya tanda persalinan antara

lain kontraksi uterus yang adekuat dengan frekuensi sedikitnya sekali setiap 10

menit dan lama kontraksi 30 detik atau lebih, nyeri perut kram seperti saat

menstruasi, keluar lendir dan darah, penekanan pada panggul, dan keluar cairan

pervaginam. keluhan tersebut untuk membantu diagnosa dini terjadinya

persalinan. Perlu juga ditanyakan mengenai riwayat persalinan sebelumnya, bila

terdapat riwayat persalinan preterm dan riwayat ketuban pecah dini. Menurut

WHO, kriteria untuk persalinan preterm adalah kontraksi uterus yang teratur

setelah kehamilan 20 minggu atau sebelum 37 minggu dengan interval kontraksi

5-8 menit atau kurang disertai satu atau lebih tanda seperti perubahan konsistensi

serviks, dilatasi serviks 2 cm atau lebih, penipisan serviks 80% atau lebih.1

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain pemeriksaan USG untuk

menentukan pasti umur kehamilan yang berguna untuk diagnosis dan

penatalaksanaan selanjutnya. Pemeriksaan lain seperti sonografi transvaginal

untuk mengukur panjang serviks yang berguna untuk memprediksi persalinan

preterm sebelum usia 30 minggu dikarenakan sensitivitas dan nilai prediksi

negatifnya yang bagus. Pemeriksaan fibronektin janin juga bermanfaat untuk

memprediksi ancaman persalinan preterm, dimana peningkatan glikoprotein ini

9
sebelum ketuban pecah menunjukkan kemungkinan terjadinya persalinan preterm.

Bahan pemeriksaan diambil dari sekret servikovagina pada kehamilan normal

dengan selaput ketuban yang utuh. Fibronektin janin diukur dengan menggunakan

enzym immunosorbent assay dan nilai diatas 50 ng/mL dianggap sebagai hasil

positif. Kontaminasi sampel dengan cairan amnion dan darah ibu harus dihindari.

Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada usia kehamilan 24 minggu atau lebih

dengan uji positif bermakna terjadinya persalinan preterm, sedangkan hasil negatif

lebih konsisten bermakna dalam meramalkan bahwa persalinan preterm tidak akan

terjadi. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan

hematologi rutin dan laju endap darah untuk menilai kemungkinan tanda-tanda

infeksi sehingga dapat membantu untuk mempertimbangkan penatalaksanaan

selanjutnya.2,5

2.6 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan persalinan preterm adalah sebagai berikut:8

1. Tirah baring ke satu sisi, yaitu ke sisi kiri.

2. Monitor kontraksi uterus dan denyut jantung janin.

3. Cari kemungkinan penyebab terjadinya persalinan preterm.

4. Tentukan umur kehamilan lebih pasti dengan:

a. Anamnesis

b. Pemeriksaan klinis

c. Kalau perlu lakukan pemeriksaan USG

5. Pemberian tokolitik pada prinsipnya diperlukan, tapi dengan berbagai

pertimbangan.

a. Tokolitik tidak diberikan pada keadaan-keadaan:

10
- Adanya infeksi intrauterin

- Adanya solusio plasenta

- Adanya lethal fetal malformation

- Adanya kematian janin dalam rahim

b. Keputusan pemberian tokolitik pada kasus-kasus diabetes melitus,

hipertensi dalam kehamilan, insufisiensi plasenta, dan dugaan adanya

pertumbuhan janin terhambat harus dilakukan pemilihan kesejahteraan

janin terlebih dahulu atau dikonsultasikan kepada supervisor.

c. Pemberian tokolitik dengan memakai:

- Magnesium Sulfat (MgSO4)

- Ritodrine

- Nifedipine (pemblok saluran kalsium)

d. Pemberian glukokortikoid pada umur kehamilan kurang dari 35 minggu:

- Deksametason 5 mg intra muskular (IM), 4 dosis setiap 6 jam yang

dapat diulang 1 minggu kemudian.

- Glukokortikoid tidak boleh diberikan apabila ada tanda-tanda infeksi.

Adapun protokol pemberian tokolitik pada persalinan preterm adalah sebagai

berikut:

1. Protokol pemberian MgSO4:8

a. Dosis awal 4 gram MgSO4 10% atau 40 ml MgSO4 10% dalam larutan

dekstrose 5% (D5%) atau normal salin, diberikan intravena pelan-pelan

dalam waktu 15 menit.

b. Dosis lanjutan dipertahankan 2 gram/jam atau 40 gram MgSO4 20%

dalam 1000 ml D5% atau normal salin dan diberikan 50 ml/jam.

11
c. Dosis MgSO4 dinaikkan 1 gram/jam sampai kontraksi uterus kurang dari

1 kali tiap 10 menit atau maksimum dosis 4 gram/jam tercapai.

d. Setelah dosis efektif untuk menghilangkan kontraksi uterus tercapai,

pertahankan dosis tersebut selama 12 jam.

e. Setelah 12 jam dosis pemeliharaan dipertahankan, dosis MgSO4

diturunkan 0,5 gr/jam tiap 30 menit sampai mencapai dosis 2 gr/jam atau

50 ml/jam dan dipertahankan sampai 24 jam.

f. Selama pemberian MgSO4, refleks patela dan tanda vital diperiksa setiap

jam, serta keseimbangan cairan masuk dan keluar setiap 4 jam.

g. Jika kontraksi uterus timbul kembali setelah dosis efektif diturunkan,

maka dosis MgSO4 tersebut dinaikkan kembali sampai tercapai dosis

dimana kontraksi uterus kurang dari 1 kali dalam 10 menit atau maksimal

dosis 4 gr/jam.

h. Dosis MgSO4 2 gr/jam dipertahankan selama 24 jam, kemudian 30 menit

sebelum infus dilepas berikan 2 gram MgSO4 20% IM masing-masing 1

gr di bokong kanan dan 1 gr di bokong kiri, dan pemberian yang sama

dilanjutkan setiap 6 jam sampai 24 jam.

i. Pemberian MgSO4 dikatakan gagal bila setelah 4 jam dari tercapainya

dosis maksimum MgSO4 kontraksi terus berlangsung, refleks patela

menghilang atau terjadi depresi pernapasan.

j. Selama pemberian MgSO4, batasi cairan masuk intravena (IV) 125

ml/jam dan monitor cairan masuk dan produksi urin.

2. Protokol pemberian Ritodrine: 8

12
a. Dosis inisial diberikan IV 50 mcg atau 1 ampul dilarutkan dalam 500 ml

D5%, diberikan 10 tetes/menit, kemudian dinaikkan 50 mcg setiap 10

menit sampai kontraksi hilang atau maksimum dosis 350 mcg/menit dan

dipertahankan selama 12 jam.

b. Setelah 12 jam dosis pemeliharaan dipertahankan, dosis diturunkan 50

mcg setiap 30 menit sampai dosis minimal 100 mcg/menit dan

dipertahankan 24 jam.

c. Ritodrine oral diberikan 30 menit sebelum infus dihentikan, diberikan 2

tablet tiap 4 jam, maksimum 12 tablet, sampai 24 jam kemudian Ritodrine

oral dapat diberikan sampai umur kehamilan 36 minggu atau lebih untuk

mempertahankan kehamilan.

d. Jika kontraksi uterus muncul kembali setelah dosis diturunkan, maka

dosis dinaikkan 50 mcg/menit setiap 10 menit sampai kontraksi uterus

hilang atau maksimum dosis 350 mcg/menit dan dipertahankan selama 12

jam.

e. Pemberian Ritodrine dianggap gagal bila dalam 4 jam setelah tercapai

dosis maksimum atau 350 mcg/menit kontraksi uterus tetap berlangsung.

f. Selama pemberian ritodrine harus diobservasi tanda vital, keluhan, denyut

jantung janin, dan keseimbangan cairan masuk dan keluar.

g. Jika timbul efek samping, dosis obat diturunkan 50 mcg/menit sampai

dosis minimal yang dianjurkan dan jika setelah 1 jam diobservasi tetap

terjadi efek samping maka pemberian obat harus dihentikan.

Pemberian tokolitik golongan penghambat saluran kalsium seperti nifedipine,

bekerja dengan menghambat masuknya kalsium lewat membran sel ke dalam sel

13
otot polos uterus. Aktivitas otot polos termasuk miometrium berhubungan

langsung dengan kadar kalsium bebas dalam sitoplasma, dan penurunan kalsium

akan menghambat kontraksi miometrium menyebabkan relaksasi uterus. Dosis

awal yang diberikan adalah 20 mg sublingual, kemudian dapat di ulang dengan 20

mg sub lingual apabila masih didapatkan kontraksi uterus. Dosis maksimal

pemeberian nifedipine adalah 40 mg dalam 2 jam dan 160 mg dalam 24 jam. Hari

ke II dan III dapat diberikan adalat oros 3x30 mg per hari sub lingual.8 Pada

beberapa protokol terapi disebutkan pula dosis awal yang diberikan adalah 30 mg

sublingual diikuti pemberian nifedipine 20 mg 4-8 jam selama 24 jam dan dosis

pemeliharaannya diberikan nifedipine 10 mg setiap 8 jam sampai umur kehamilan

35-37 minggu atau sampai kelahiran bayi.1,5

Ritodrine termasuk di dalam golongan agonis -adrenergik, seperti terbutalin

dan salbutamol. Obat ini bekerja pada reseptor -adrenergik dan menghambat

kontraksi uterus. Efek samping yang dapat ditimbulkan antara lain takikardi,

hipotensi, nyeri kepala, dan edema paru. MgSO4 menghambat ambilan kalsium ke

dalam sel otot polos sehingga mengurangi kontraksi uterus. Efek samping yang

dapat ditimbulkan antara lain muka kemerahan, sakit kepala, kelemahan otot,

diplopia, mual, muntah, dan edema paru. Dikarenakan dosis toksik yang rendah

maka perlu diawasi tanda-tanda intoksikasi MgSO4 melalui pemeriksaan refleks

tendo, respirasi, dan keseimbangan cairan. Intoksikasi MgSO4 dapat diatasi

dengan pemberian 10 ml kalsium glukonas 10% IV.1,5

Pemberian antibiotika pada ancaman persalinan preterm juga penting

dikarenakan infeksi merupakan salah satu penyebab persalinan preterm. Sehingga

fungsinya adalah sebagai antibiotika profilaksis. Kehamilan dapat diperpanjang

14
dengan memberikan eritromisin, ampisillin, dan klindamisin. Pasien dengan

bakterial vaginosis dianjurkan pemberian 250 mg metronidazole 3 kali sehari

selama 7 hari. Infeksi Streptokokus grup B diberikan ampisillin atau penisilin,

sedangkan eritromisin dan klindamisin pada pasien yang alergi penisilin.1,5,8 Bila

terdapat riwayat keluar air pervaginam maka harus dicurigai sebagai ketuban

pecah dini preterm, dan penatalaksanaannya sesuai dengan ketuban pecah dini

preterm, dimana tatalaksana di RSUP Sanglah adalah sebagai berikut:8

1. Penanganan dirawat di RS.

2. Diberikan antibiotika, Ampisilin 4x500 mg selama 7 hari.

3. Untuk merangsang maturasi paru diberikan kortikosteroid (untuk usia

kehamilan <35 minggu) yaitu dengan deksametason 4x5 mg.

4. Observasi di kamar bersalin:

a. Tirah baring selama 24 jam, selanjutnya dirawat di ruang obstetri.

b. Dilakukan observasi temperatur rektal tiap 3 jam, bila ada kecenderungan

terjadi peningkatan temperatur rektal lebih atau sama dengan 37,6C,

segera dilakukan terminasi.

5. Di ruang obstetri:

a. Temperatur rektal diperiksa setiap 6 jam

b. Dikerjakan pemeriksaan laboratorium: leukosit dan laju endap darah

setiap 3 hari.

6. Tata cara perawatan konservatif:

a. Dilakukan sampai janin viable.

b. Selama perawatan konservatif, tidak dianjurkan melakukan pemeriksaan

dalam.

15
c. Dalam observasi selama 1 minggu, dilakukan pemeriksaan pemeriksaan

USG untuk menilai air ketuban:

Bila air ketuban cukup, kehamilan diteruskan.

Bila air ketuban kurang atau oligohidramnion, dipertimbangkan untuk

terminasi kehamilan.

d. Pada perawatan konservatif, pasien dipulangkan pada hari ke-7 dengan

saran sebagai berikut:

Tidak boleh koitus.

Tidak boleh melakukan manipulasi vagina.

Segera kembali ke RS bila ada keluar air lagi.

e. Bila masih keluar air, perawatan konservatif dipertimbangkan dengan

melihat pemeriksaan laboratorium. Bila terdapat leukositosis atau

peningkatan laju endap darah (LED), dilakukan terminasi.

2.7 Komplikasi

Persalinan preterm merupakan penyebab utama morbiditas neonatal di

seluruh dunia yaitu sebesar 60-80% kematian neonatal. Morbiditas dan mortalitas

ini timbul karena adanya komplikasi lanjutan setelah persalinan yang memburuk,

kecilnya berat badan janin, atau semakin rendahnya umur kehamilan. Bayi yang

lahir mendekati aterm mungkin hanya mengalami sedikit atau bahkan tidak

mengalami komplikasi, sedangkan bayi yang lahir sebelum 32-34 minggu

mungkin memiliki beberapa komplikasi. Pada beberapa kasus, komplikasi dapat

ringan atau berat dan menyebabkan masalah kesehatan jangka panjang atau

bahkan kematian. Komplikasi tersebut dapat berupa depresi pernapasan,

16
perdarahan intakranial neonatal, displasia bronkopulmoner, infeksi, nekrotising

enterokolitis, paten duktus arteriosus, dan retinopati.1,2,4

17

Anda mungkin juga menyukai