Persalinan preterm merupakan masalah yang penting dalam praktek obstetrik
sehari-hari. Insidennya masih tinggi terutama di negara-negara berkembang, walaupun juga di negara maju. Persalinan preterm secara alami dikaitkan dengan keluaran perinatal yang buruk. Persalinan preterm dapat menyebabkan 75% morbiditas dan mortalitas perinatal dan 40-60% berkaitan dengan kejadian ketuban pecah dini, baik yang secara klinis menderita khorioamnionitis atau hanya infeksi subklinis.1 Secara garis besar dikatakan bahwa sepertiga dari kejadian pesalinan preterm disebabkan oleh kelainan medik dan obstetrik seperti hipertensi, plasenta previa, solusio plasenta, dimana persalinan harus segera diakhiri dan tidak bisa ditunda lagi. Dua pertiga persalinan preterm terjadi secara spontan yang belum jelas diketahui penyebabnya. Sampai saat ini pemicu awal persalinan kurang bulan spontan masih belum bisa dijelaskan secara pasti. Beberapa konsep yang ada telah berusaha menjelaskan patofisiologi persalinan kurang bulan yang dikaitkan dengan kejadian infeksi, iskemia, inflamasi dan respon umum pada jaringan khorioamnion dan desidua.2 Diagnosis dan penatalaksanaan persalinan preterm yang baik dapat menurunkan ancaman persalinan preterm dan menurunkan morbiditas janin. Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dan penatalaksanaan berdasarkan diagnosa dan temuan klinis yang ditemukan. Bila tanpa ada tanda penyulit dan komplikasi, maka kehamilan akan diusahakan dipertahankan hingga cukup bulan. Sedangkan bila terdapat penyulit maka terminasi kehamilan dini menjadi pilihan.3,4