Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN KASUS RADIOLOGI

EMERGENCY ABDOMEN
APPENDICITIS

Di ajukan guna melengkapi tugas kepaniteraan klinis Bagian Ilmu Radiologi


Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung

Disusun Oleh
Halimah 01.203.4578
Harini Setyowati 01.203.4581
Zhohana Ultifatissadiyah 01.204.4915

BAGIAN ILMU RADIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2010
LEMBAR PENGESAHAN

Nama: Halimah 01.203.4578


Harini Setyowati 01.203.4581
Zhohana Ultifatissadiyah 01.204.4915

Judul : Laporan Kasus Radiologi EMERGENCY ABDOMEN


(APPENDICITIS)
Bagian : Ilmu Radiologi

Fakultas : Kedokteran Unissula


Pembimbing : dr. Bambang Satoto, Sp. Rad.

Telah diajukan dan disahkan pada tanggal ..

Pembimbing

Dr. Bambang Satoto, Sp. Rad.


DAFTAR ISI

Lembar Judul i

Lembar Pengesahan . ii

Daftar Isi .. iii

Bab I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1


B. Tujuan 1
C. Manfaat .. 2

Bab II TINJAUAN PUSTAKA

I. A. Definisi Appendicitis 3
B. Etiologi Appendicitis... 3
C. Patogenesis Appendicitis.... 4
D. Menifestasi Klinis .... 5
E. Pemeriksaan ... 11
F. Diagnosis . 12
G. Penatalaksanaan
H. Komplikasi

Bab III LAPORAN KASUS

A. Identitas Penderita . 17
B. Data Subjektif .. 17
C. Data Objektif . 25

Bab IV KESIMPULAN .. 27

Daftar Pustaka

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Abdomen akut merupakan suatu keadaan mendadak di dalam
rongga abdomen yang memerlukan tindakan segera. Tindakan ini pada
umumnya adalah tindakan operatif, tetapi pada beberapa keadaan tidak
dilakukan operasi atau bahaya sekali jika dilakukan operatif, misalnya pada
pancreatitis akut, appendicitis infiltrate
Keadaan-keadaan yang dapat menimbulkan abdomen akut adalah
peradangan salah satu organ intra-abdominal, perforasi, perdarahan intra
abdomen, ileus obstruktifus atau paralitik. Keadaan-keadaan diluar abdomen
1
misalnya kelainan dirongga torak, yang dapat menimbulakan ileus paralitik
Nyeri abdomen akut diluar sebab trauma memberikan banyak
mungkin diagnosis. Untuk menetapkan diagnosisnya kadangkala sulit
sehingga berdampak pada morbiditas penderita. Telah diketahui lebih dari
1000 penyakit bedah dan non bedah sebagai penyebab dari abdomen akut.
Dari sekian banyak penyebab tersebut, appendicitis akut masih menempati
insiden tertinggi dinegara sedang berkembang maupun di negara maju
Penelitian Riwanto (1994) tentang uji diagnostic appendicitis akut
dengan memakai parameter riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan laboratorium sederhana, menyimmpulkan bahwa hanya tiga
parameter yaitu defanmuskular, suhu tubuh lebih dari 38C dan jumlah
leukosit lebih dari 11000 adalah merupakan petunjuk kepastian diagnosis
appendicitis akut.
Ramirez dan Deus telah mengemukan sistem skor untuk diagnosis
appendicitis akut yang terbukti dapat menekan apendiktomi negative.
Beberapa hal yang menjadi kritik pada penelitian tersebut yaitu salah satu
parameter yang dipakai adalah foto polos perut yang sebenarnya bukan
merupakan pemeriksaan utama dan rutin untuk menegakkan diagnosis
appendicitis akut2
B. TUJUAN
Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk mengetahui cara
mendiagnosa terutama secara radiologis dan mengelola pasien dengan tepat
berdasarkan data yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang pada pasien yang mengalami akut abdomen terutama
appendicitis akut

C. MANFAAT
Dengan penulisan laporan kasus ini diharapkan dapat dijadikan
sebagai media belajar bagi mahasiswa klinik sehingga dapat mendiagnosis
terutama secara radiologis dan mengelola pasien dengan permasalahan seperti
pada pasien ini secara komprehensif.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. APPENDISITIS AKUT
A. Definisi
Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks
vermiformis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering1.
Apendiks disebut juga umbai cacing. Istilah usus buntu yang selama ini
dikenal dan digunakan di masyarakat kurang tepat, karena yang merupakan
usus buntu sebenarnya adalah sekum. Sampai saat ini belum diketahui secara
pasti apa fungsi apendiks sebenarnya. Namun demikian, organ ini sering
sekali menimbulkan masalah kesehatan.3
Apendiks merupakan organ yang berbentuk tabung panjang dan
sempit. Panjangnya kira-kira 10cm (kisaran 3-15cm) dan berpangkal di
sekum. Apendiks menghasilkan lendir 1-2ml per hari. Lendir itu secara normal
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya dialirkan ke sekum. Adanya
hambatan dalam pengaliran tersebut, tampaknya merupakan salah satu
penyebab timbulnya appendisits. Di dalam apendiks juga terdapat
immunoglobulin sekretoal yang merupakan zat pelindung efektif terhadap
infeksi (berperan dalam sistem imun). Dan immunoglobulin yang banyak
terdapat di dalam apendiks adalah IgA. Namun demikian, adanya
pengangkatan terhadap apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh. Ini
dikarenakan jumlah jaringan limfe yang terdapat pada apendiks kecil sekali
bila dibandingkan dengan yang ada pada saluran cerna lain.3

B. Etiologi
Apendisitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Berbagai hal
berperan sebagai faktor pencetusnya. Diantaranya adalah obstruksi yang
terjadi pada lumen apendiks. Obstruksi ini biasanya disebabkan karena
adanya timbunan tinja yang keras (fekalit), hiperplasia jaringan limfoid,
tumor apendiks, striktur, benda asing dalam tubuh, dan cacing askaris dapat
pula menyebabkan terjadinya sumbatan. Namun, diantara penyebab obstruksi
lumen yang telah disebutkan di atas, fekalit dan hiperplasia jaringan limfoid
merupakan penyebab obstruksi yang paling sering terjadi. Penyebab lain
yang diduga menimbulkan apendisitis adalah ulserasi mukosa apendiks oleh
parasit E. histolytica.2
Penelitian epidemiologi menunjukkan peranan kebiasaan mengkonsumsi
makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya penyakit
apendisitis. Tinja yang keras dapat menyebabkan terjadinya konstipasi.
Kemudian konstipasi akan menyebabkan meningkatnya tekanan intrasekal
yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya
pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semua ini akan mempermudah
timbulnya apendisitis.3

C. Patogenesis
Patologi apendisitis berawal di jaringan mukosa dan kemudian menyebar
ke seluruh lapisan dinding apendiks. Jaringan mukosa pada apendiks
menghasilkan mukus (lendir) setiap harinya. Terjadinya obstruksi
menyebabkan pengaliran mukus dari lumen apendiks ke sekum menjadi
terhambat. Makin lama mukus makin bertambah banyak dan kemudian
terbentuklah bendungan mukus di dalam lumen. Namun, karena keterbatasan
elastisitas dinding apendiks, sehingga hal tersebut menyebabkan terjadinya
peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan
menyebabkan terhambatnya aliran limfe, sehingga mengakibatkan timbulnya
edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi
apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri di daerah epigastrium di
sekitar umbilikus.3
Jika sekresi mukus terus berlanjut, tekanan intralumen akan terus
meningkat. Hal ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi vena, edema
bertambah, dan bakteri akan menembus dinding apendiks. Peradangan yang
timbul pun semakin meluas dan mengenai peritoneum setempat, sehingga
menimbulkan nyeri di daerah perut kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan
apendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu, maka akan terjadi infark dinding
apendiks yang disusul dengan terjadinya gangren. Keadaan ini disebut dengan
apendisitis ganggrenosa. Jika dinding apendiks yang telah mengalami
ganggren ini pecah, itu berarti apendisitis berada dalam keadaan perforasi.1
Sebenarnya tubuh juga melakukan usaha pertahanan untuk membatasi
proses peradangan ini. Caranya adalah dengan menutup apendiks dengan
omentum, dan usus halus, sehingga terbentuk massa periapendikuler yang
secara salah dikenal dengan istilah infiltrat apendiks. Di dalamnya dapat
terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi.
Namun, jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa
periapendikuler akan menjadi tenang dan selanjutnya akan mengurai diri
secara lambat.3
Pada anak-anak, dengan omentum yang lebih pendek, apendiks yang lebih
panjang, dan dinding apendiks yang lebih tipis, serta daya tahan tubuh yang
masih kurang, memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua,
perforasi mudah terjadi karena adanya gangguan pembuluh darah.1
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh dengan sempurna,
tetapi akan membentuk jaringan parut. Jaringan ini menyebabkan terjadinya
perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan tersebut dapat kembali
menimbulkan keluhan pada perut kanan bawah. Pada suatu saat organ ini
dapat mengalami peradangan kembali dan dinyatakan mengalami
eksaserbasi.3
D. Menifestasi Klinis
Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis adalah
nyeri samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau
periumbilikus. Keluhan ini biasanya disertai dengan rasa mual muntah, dan
pada umumnya nafsu makan menurun. Kemudian dalam beberapa jam, nyeri
akan beralih ke kuadran kanan bawah, ke titik Mc Burney. Di titik ini nyeri
terasa lebih tajam dan jelas letaknya, sehingga merupakan nyeri somatik
setempat. Namun terkadang, tidak dirasakan adanya nyeri di daerah
epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa
memerlukan obat pencahar. Tindakan ini dianggap berbahaya karena bisa
mempermudah terjadinya perforasi. Terkadang apendisitis juga disertai
dengan demam derajat rendah sekitar 37,5 -38,5 derajat celcius. 3,4
Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul sebagai
akibat dari apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak apendiks
ketika meradang. Berikut gejala yang timbul tersebut.3,4
1. Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang sekum
(terlindung oleh sekum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas
dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih kearah perut
kanan atau nyeri timbul pada saat melakukan gerakan seperti berjalan,
bernapas dalam, batuk, dan mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya
kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari dorsal.
2. Bila apendiks terletak di rongga pelvis
Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan
timbul gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga
peristalsis meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat
dan berulang-ulang (diare).
Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih,
dapat terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangannya
dindingnya.
Gejala apendisitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit
dilakukan diagnosis, dan akibatnya apendisitis tidak ditangani tepat pada
waktunya, sehingga biasanya baru diketahui setelah terjadi perforasi. Berikut
beberapa keadaan dimana gejala apendisitis tidak jelas dan tidak khas.3,
1. Pada anak-anak
Gejala awalnya sering hanya menangis dan tidak mau makan. Seringkali
anak tidak bisa menjelaskan rasa nyerinya. Dan beberapa jam kemudian
akan terjadi muntah- muntah dan anak menjadi lemah dan letargik.
Karena ketidakjelasan gejala ini, sering apendisitis diketahui setelah
perforasi. Begitupun pada bayi, 80-90 % apendisitis baru diketahui
setelah terjadi perforasi.
2. Pada orang tua berusia lanjut
Gejala sering samar-samar saja dan tidak khas, sehingga lebih dari
separuh penderita baru dapat didiagnosis setelah terjadi perforasi.
3. Pada wanita
Gejala apendisitis sering dikacaukan dengan adanya gangguan yang
gejalanya serupa dengan apendisitis, yaitu mulai dari alat genital (proses
ovulasi, menstruasi), radang panggul, atau penyakit kandungan lainnya.
Pada wanita hamil dengan usia kehamilan trimester, gejala apendisitis
berupa nyeri perut, mual, dan muntah, dikacaukan dengan gejala serupa
yang biasa timbul pada kehamilan usia ini. Sedangkan pada kehamilan
lanjut, sekum dan apendiks terdorong ke kraniolateral, sehingga keluhan
tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan.

E. Pemeriksaan
1. Pemeriksaan Fisik3,4
Inspeksi : pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal
swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan
distensi perut.
Palpasi : pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa
nyeri. Dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan
perut kanan bawah merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada
penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan
bawah. Ini disebut tanda Rovsing (Rovsing Sign). Dan apabila tekanan
di perut kiri bawah dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut kanan
bawah.Ini disebut tanda Blumberg (Blumberg Sign).
Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator : pemeriksaan ini juga
dilakukan untuk mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji psoas
dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi
panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha
kanan ditahan. Bila appendiks yang meradang menempel di m. psoas
mayor, maka tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Sedangkan
pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi sendi
panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks yang meradang kontak
dengan m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil,
maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini
dilakukan pada apendisitis pelvika.
Pemeriksaan colok dubur : pemeriksaan ini dilakukan pada
apendisitis, untuk menentukan letak apendiks, apabila letaknya sulit
diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini dan terasa nyeri, maka
kemungkinan apendiks yang meradang terletak didaerah pelvis.
Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis pada apendisitis pelvika.
2. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium : terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test
protein reaktif (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan
jumlah leukosit antara 10.000-20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil
diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang
meningkat.3
Radiologi
a. Rontgen foto polos, tidak spesifik, secara umum tidak cost
effective. Kurang dari 5% pasien akan terlihat adanya gambaran
opak fekalith yang nampak di kuadran kanan bawah abdomen.

Figure1. Plain radiographic image of the abdomen revealing an


appendicolith (arrow) in the right lower quadrant.
b. USG : pada kasus appendicitis akut akan nampak adanya : adanya
struktur yang aperistaltik, blind-ended, keluar dari dasar caecum.
Dinding apendiks nampak jelas, dapat dibedakan, diameter luar
lebih dari 6mm, adanya gambaran target, adanya appendicolith,
adanya timbunan cairan periappendicular, nampak lemak pericecal
echogenic prominent.
Figure 2. (Top) Transverse ultrasound image of the right lower
quadrant of the abdomen (left view, noncompressed; right view,
compressed) revealing a thick-walled, noncompressible tubular
structure (an inflamed appendix) with a shadowing appendicolith
(arrow), and (bottom) a longitudinal ultrasound image revealing
the thick-walled inflamed appendix and appendicolith (arrow) and
a small periappendiceal fluid collection.
c. CT scan : diameter appendix akan nampak lebih dari 6mm, ada
penebalan dinding appendiks, setelah pemberian kontras akan
nampak enhancement gambaran dinding appendix. CT scan juga
dapat menampakkan gambaran perubahan inflamasi
periappendicular, termasuk diantaranya inflammatory fat
stranding, phlegmon, free fluid, free air bubbles, abscess, dan
adenopathy.
Figure 3. Axial computed tomographic image of an inflamed
appendix filled with fluid and an appendicolith (arrow).
d. Pada appendicitis kronis, dilakukan pemeriksaan appendicogram.
Dimana akan tampak pelebaran/penebalan dinding mukosa
appendiks, disertai penyempitan lumen hingga sumbatan usus oleh
fekalit. Kontras dapat mengisi lumen (filling), mengisi sebagian
(partial filling), dan tidak dapat mengisi (non filling)
http://agusjati.blogspot.com/2007/06/appendicitis.html
F. Diagnosis
Meskipun pemeriksaan dilakukan dengan cermat dan teliti,
diagnosis klinis apendisitis masih mungkin salah pada sekitar 15-20%
kasus. Kesalahan diagnosis lebih sering terjadi pada perempuan dibanding
laki-laki. Hal ini dapat disadari mengingat pada perempuan terutama yang
masih muda sering mengalami gangguan yang mirip apendisitis. Keluhan
itu berasal dari genitalia interna karena ovulasi, menstruasi, radang di
pelvis, atau penyakit ginekologik lain.Untuk menurunkan angka kesalahan
diagnosis apendisitis meragukan, sebaiknya dilakukan observasi penderita
di rumah sakit dengan pengamatan setiap 1-2 jam. Foto barium kurang
dapat dipercaya. Ultrasonografi dan laparoskopi bisa meningkatkan
akurasi diagnosis pada kasus yang meragukan

G. Penatalaksanaan
Bila dari hasil diagnosis positif apendisitis akut, maka tindakan yang
paling tepat adalah segera dilakukan apendektomi. Apendektomi dapat
dilakukan dalam dua cara, yaitu cara terbuka dan cara laparoskopi. Apabila
apendisitis baru diketahui setelah terbentuk massa periapendikuler, maka
tindakan yang pertama kali harus dilakukan adalah pemberian/terapi
antibiotik kombinasi terhadap penderita. Antibiotik ini merupakan antibiotik
yang aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Setelah gejala membaik, yaitu
sekitar 6-8 minggu, barulah apendektomi dapat dilakukan. Jika gejala
berlanjut, yang ditandai dengan terbentuknya abses, maka dianjurkan
melakukan drainase dan sekitar 6-8 minggu kemudian dilakukan
apendisektomi. Namun, apabila ternyata tidak ada keluhan atau gejala
apapun dan pemeriksaan klinis serta pemeriksaan laboratorium tidak
menunjukkan tanda radang atau abses setelah dilakukan terapi antibiotik,
maka dapat dipertimbangkan untuk membatalkan tindakan bedah.3,4
H. Komplikasi
Pada kebanyakan kasus, peradangan dan infeksi usus buntu mungkin
didahului oleh adanya penyumbatan di dalam usus buntu. Bila peradangan
berlanjut tanpa pengobatan, usus buntu bisa pecah.
Usus buntu yang pecah bisa menyebabkan :
Masuknya kuman usus ke dalam perut, menyebabkan peritonitis, yang
bisa berakibat fatal
Terbentuknya abses
Pada wanita, indung telur dan salurannya bisa terinfeksi dan
menyebabkan penyumbatan pada saluran yang bisa menyebabkan
kemandulan
Masuknya kuman ke dalam pembuluh darah (septikemia), yang bisa
berakibat fatal

BAB III
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. Budiono
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 35 tahun
Alamat : Girimulyo 4/1 Semarang
No. CM. : 11.23.301
B. DATA DASAR
1. DATA SUBYEKTIF
Anamnesa
Autoanamnesa di Ruang tunggu radiologi tanggal 26 Juni 2010 jam
10.00 WIB
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Keluhan utama: Nyeri tekan perut kanan bawah
Onset: 5 hari
Kualitas dan Kuantitas :
Sakit perut dirasakan sampai tidak bisa aktivitas. Nyeri terasa
dijalarkan dari pusar ke perut kanan bawah
Yang memperingan :
Jika posisi tiduran berkurang
Yang memperberat :
Saat kaki kanan digerakkan
Gejala yang menyertai : panas, pusing, mual muntah
Kronologis :
Sejak 5 hari pasien merasakan nyeri perut kanan bawah. Sakit
terutama jika kaki digerakkan, dan Nyeri terasa dijalarkan dari pusar
ke perut kanan bawah. Pasien juga merasa panas, pusing, mual sampai
muntah 2 kali,
- BAB sehari 1 X, warna kuning kecoklatan, bau khas,
lunak berbentuk.
- BAK (+), tidak sakit saat kencing, tidak sakit
pinggang saat BAK
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
- Pernah sakit seperti ini 2 bulan
- Tidak ada riwayat penyakit gula
- Tidak ada riwayat darah tinggi
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Tidak ada keluarga yang sakit seperti ini
RIWAYAT SOSIAL EKONOMI
- Pasien bekerja sebagai buruh bangunan. Biaya kesehatan di
tanggung JAMKESMAS. Kesan ekonomi kurang

2. DATA OBJEKTIF
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik tidak dilakukan
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. APPENDICOGRAFI

FPA: tak tampak gambaran radioopak. Pada cavum abdomen dan pelvis usus
tak distensi fecal material positive
2. APENDICOGRAM
Tampak appendik terisi minimal dengan filling defect, sekum tampak normal.
KESAN: APENDIC TERISI MINIMAL MASIH MUNGKIN SUATU
GAMBARAN APPENDICITIS

BAB IV
KESIMPULAN
Berdasarkan laporan kasus yang telah diuraikan di atas, didapatkan seorang
pasien berumur 35 tahun dengan keluhan nyeri perut kanan bawah. Dari
anamnesis didapatkan nyeri perut kanan bawah disertai demam, pusing, mual
sampai muntah 2 kali. Dari pemeriksaan radiologi FPA tak tampak gambaran
radioopak. Pada cavum abdomen dan pelvis usus tak distensi fecal material
positive. Tampak appendik terisi minimal dengan filling defect, sekum tampak
normal.
KESAN: APENDIC TERISI MINIMAL MASIH MUNGKIN SUATU
GAMBARAN APPENDICITIS
DAFTAR PUSTAKA

1. Rasad, Sjahriar. 2008. Radiologi Diagnostik Edisi


Kedua. Balai penerbit FK UI. Jakarta.
2. Dr. Laurens.T.B. Kalasaran 1996. Journal system
skor pada diagnosis appendicitis akut. Fakultas Ilmu
Kedokteran Diponegoro. Semarang
3. Sjamsuhidajat, R., Jong, W.D., editor., Usus Halus,
Apendiks, Kolon, Dan Anorektum, dalam Buku Ajar Ilmu
Bedah, Edisi 2. EGC, Jakarta, 2005,hlm.639-645.
4. Zeller, J.L., Burke, A.E., Glass, R.M., Acute
Appendicitis in Children, JAMA, http://jama.ama-
assn.org/cgi/reprint/298/4/482, 15 Juli 2007, 298(4): 482.

Anda mungkin juga menyukai