BUNUH DIRI
Pembimbing :
dr. Eva Suryani, Sp. KJ
Penyusun :
Endy Suseno (2012-061-130)
0
BAB I
LATAR BELAKANG
Bunuh diri merupakan kegawatdaruratan pada bidang psikiatri, yang terkadang sulit
atau gagal didiagnosa dari kondisi medis yang berpotensial fatal, walaupun jarang, tetapi
gawat darurat. Bunuh diri merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting.
Lebih dari 30.000 orang yang bunuh diri setiap tahun di Amerika Serikat dengan
600.000 orang pasien yang melakukan percobaan bunuh diri.1Pada Mental Atlas 2011, WHO,
angka bunuh diri di Indonesia belum ada2.
Walaupun bunuh diri tidak mungkin untuk diprediksi secara pasti, terdapat beberapa
klue yang dapat terlihat, yang membantu praktisi untuk mengurangi risiko bunuh diri pada
pasiennya.
Standar perawatan secara umum menfasilitasi pengurangan risiko, seperti
kemungkinan untuk gantung diri. Bunuh diri juga perlu diperhitungkan pada orang yang
mencoba untuk bunuh diri atau orang terdekat atau keluarga korban bunuh diri.
Bunuh diri merupakan masalah yang penting dan hampir selalu dilatarbelakangi oleh
gangguan mental, biasanya depresi, dan hal tersebut harus segera ditangani untuk mencegah
terjadinya bunuh diri. Terdapat beberapa psikoterapi dan terapi farmakologi yang dapat
membantu untuk membantu pasien pulih dari gangguan mental sehingga dapat mengurangi
risiko untuk melakukan bunuh diri.
Walaupun sudah banyak terapi yang dapat mengurangi risiko bunuh diri, tetapi bunuh
diri tetap terjadi. Hal tersebut mungkin dikarenakan kurangnya perhatian dan terapi yang
adekuat untuk pasien yang memiliki risiko untuk bunuh diri. Maka dari itu, referat ini akan
membahas mengenai bunuh diri yang akan dibahas secara rinci dengan harapan dapat
digunakan sebagai pegangan untuk menghadapi pasien dengan risiko bunuh diri.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Suicide merupakan derivat dari bahasa latin dengan arti self murder atau dalam bahasa
Indonesia bunuh diri.1Bunuh diri atau suicide adalah tindakan yang bertujuan membunuh
diri sendiri. Pasien dengan ansietas berat sering meredakan perasaan yang tidak nyaman
dengan cara menyayat secara dangkal diri sendiri. Hal tersebut disebut perasaan suicidal.
Suicidal perlu digali lebih dalam apakah pasien melukai diri sendiri ada tujuan untuk bunuh
diri. Bila terdapat tujuan bunuh diri disebut percobaan bunuh diri.2 Terdapat rentang dari ide
bunuh diri hingga tindakan bunuh diri. Beberapa orang dengan ide bunuh diri tidak dilakukan,
beberapa merencanakan dari beberapa hari, minggum atau tahun sebelum bunuh diri, dan
yang lain bunuhdiri secara impulsive, tanpa premeditasi.1
2.2 Epidemiologi
Di Amerika terdapat sekitar 30.000 kematian akibat bunuh diri setiap tahun. Hal ini
kontras dengan kematian akibat pembunuhan sekitar 20.000 kematian tiap tahunnya.
Walaupun terdapat perpindahan karakteristik populasi dari kematian yang disebabkan oleh
bunuh diri sejak abad lalu (seperti meningkatnya remaja yang bunuh diri dan menurunnya
bunuh diri pada usia lanjut), angka terjadinya bunuh diri tetap konstan, dengan rata-rata
sekitar 12.5/100.000 dari abad 20 dan 21. Secara keseluruhan angka terjadinya bunuh diri
relative stabil, walaupun angka terjadinya bunuh diri pada usia 15 hingga 24 tahun meningkat
dua hingga tiga kali. Bunuh diri menduduki peringkat ke 8 dari seluruh kematian di Amerika
Serikat, setelah penyakit jantung, kanker, penyakit pembuluh darah otak, Chronic Obstructive
Pulmonary Disease, kecelakaan, pneumonia dan influenza, dan diabetes mellitus. Angka
kejadian bunuh diri di Amerika Serikat berada pada titik tengah angka bunuh diri dari negara
industri dan berkembang. Secara internasional, angka terjadinya bunuh diri dalam rentang
tinggi lebih daripada 25/100.000 orang di Scandinavia, Switzerland, Jerman, Austria, Negara
Eropa Timur (disebut lempeng bunuh diri), dan Jepang, rendah lebih rendah dari 10/100.000
orang di Spanyol, Itali, Irlandia, Mesir, dan Belanda.173 % dari bunuh diri terjadi di negara
berkembang.3Pada Mental Atlas 2011, WHO, angka bunuh diri di Indonesia belum
ada.4Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kematian akibat bunuh diri di Jakarta tahun
1997-1998 angka bunuh diri meningkat 34 bunuh diri dan pada tahun 2006, sekitar 100.000
orang bunuh diri. Angka bunuh diri di Gunung Kidul 4.48/100.000 pada tahun 2007, dengan
2
jumlah populasi 720.465 orang dan kasus bunuh diri 32 kasus. Menurut data dari polisi, divisi
Operational Gunung Kidul Departemen RI dilaporkan 2006-2010 sekitar 157 kasus bunuh
diri, sebagian besar adalah wanita, dan pada tahun 2011 dari Januari hingga Agustus
ditemukan 18 kasus bunuh diri.3
2.3.2 Umur
Angka bunuh diri meningkat dengan bertambahnya usia, terutama pada usia 50-an
tahun. Pada pria, bunuh diri berpuncak pada usia 45 tahun dan pada wanita berpuncak pada 55
tahun. Orang yang lebih tua lebih jarang melakukan percobaan bunuh diri dibanding dengan
orang yang lebih muda, tetapi lebih sering berhasil untuk bunuh diri. Walaupun orang usia tua
hanya 10% dari total populasi, 25% melakukan bunuh diri. Pada usia lebih dari 75 tahun atau
lebih memiliki angka bunuh diri lebih dari tiga kali dibandingkan dengan usia muda.
Walaupun begitu, angka bunuh diri pada usia muda terus meningkat terutama usia antara 15
tahun hingga 24 tahun. Peningkatan bunuh diri pada wanita lebih cenderung lebih rendah
dibandingkan pria. Bunuh diri merupakan penyebab kematian ketiga pada usia antara 15
tahun hingga 24 tahun, setelah kecelakaan dan pembunuhan. Sebagian besar bunuh diri
sekarang ini terjadi pada usia antara 15 tahun hingga 44 tahun. Bunuh diri jarang pada usia
pubertas.1
2.3.3 Ras
Dua dari tiga bunuh diri adalah pria berkulit putih. Pria dan wanita berkulit putih
memiliki angka bunuh diri tiga kali lebih tinggi dari pria dan wanita berkulit putih. 1
2.3.4 Agama
Angka bunuh diri dari populasi Katolik Roman lebih rendah dibandingkan dengan
Protestan dan Yahudi.1
3
2.3.5 Status Perkawinan
Pernikahan memiliki risiko bunuh diri lebih rendah, terutama dengan adanya anak.
Orang yang belum pernah menikah memiliki nilai dua kali lipat dibanding dengan orang yang
sudah menikah. Perceraian meningkatkan risiko bunuh diri, dengan pria yang bercerai
memiliki risiko tiga kali lipat dibandingkan dengan wanita yang bercerai. Janda dan duda juga
memiliki risiko tinggi untuk bunuh diri.1
2.3.6 Okupasi
Orang dengan status sosial yang lebih tinggi, lebih tinggi pula risiko untuk bunuh diri.
Penurunan status sosial juga meningkatkan risiko bunuh diri. Pekerjaan, secara umum,
melindungi dari bunuh diri. Bunuh diri lebih tinggi pada pengangguran daripada orang yang
memiliki pekerjaan. Dari tingkatan okupasi, professional, terutama dokter memiliki risiko
yang paling tinggi. Okupasi risiko tinggi yang lain termasuk pengacara, dokter gigi, seniman,
mekanik, agen asuransi. Bunuh diri meningkat pada saat krisis ekonomi.1
2.3.7 Iklim
Tidak ada korelasi yang signifikan iklim dengan bunuh diri. Bunuh diri lebih sering
pada musim semi dan gugur, tetapi tidak pada bulan Desember dan periode libur.1
4
2.3.8 Kesehatan Fisik
Relasi kesehatan fisik dengan bunuh diri adalah signifikan. Sekitar sepertiga orang
yang bunuh diri memiliki riwayat berobat dalam 6 bulan sebelum meninggal dan penyakit
diestimasi sebagai faktor konstribusi dari setengah bunuh diri. Faktor yang berasosiasi dengan
sakit dan berkonstribusi baik bunuh diri maupun percobaan bunuh diri adalah tidak dapat
bergerak, terutama ketika aktivitas fisik penting untuk bekerja atau rekreasi, kelainan figure
tubuh, terutama pada wanita, dan rasa sakit kronis. Pasien yang menjalani hemodialisi
memiliki risiko yang tinggi. Disamping dari efek langsung dari sakit, efek sekunder, seperti
masalah hubungan dengan pasangan dan kehilangan pekerjaan merupakan faktor prognosis.
Beberapa obat-obatan dapat menyebabkan depresi, yang menyebabkan bunuh diri pada
beberapa kasus. Obat-obatan tersebut, yaitu reserpine, kortikosteroid, anti hipertensi, dan
beberapa anti kanker. Penyakit yang berasosiasi dengan alkohol, seperti sirosis, berasosiasi
dengan angka bunuh diri yang tinggi.1
2.3.10.2 Skizophrenia
Risiko bunuh diri tinggi pada pasien dengan skizophrenia. Hingga 10% pasien
meninggal akibat bunuh diri. Di Amerika Serikat, diestimasikan 4000 pasien dengan
6
skizophrenia bunuh diri tiap tahunnya. Onset skizophrenia tipikal terjadi pada remaja atau
dewasa muda, dam sebagian besar pasien bunuh diri pada awal tahun pertama, pasien yang
bunuh diri terutama pasien usia muda. Faktor risiko bunuh diri pada pasien skizophrenia yaitu
usia muda, pria, status belum menikah, tidak punya pekerjaan, antisosial, tinggal sendiri,
sebelumnya melakukan percobaan bunuh diri, terdapat gejala depresif, dan baru keluar dari
rumah sakit. Setelah mereka keluar dari rumah sakit, mereka mungkin mengalami kesulitan,
seperti diasingkan, perasaan pasrah dan tidak ada harapan, yang dapat mencapai kondisi
depresi, hingga menimbulkan ide untuk bunuh diri. Hanya persentasi kecil bunuh diri dari
instruksi halusinasi atau waham presekutor. Hingga 50% bunuh diri pada pasien dengan
skizophrenia terjadi ketika awal minggu dan bulan setelah keluar rumah sakit, hanya
minoritas yang bunuh diri saat dirawat.1
Figur 1.Diagram Venn merangkum data bunuh diri dan relasinya dengan gangguan mood dan
percobaan bunuh diri. (Courtesy of Alec Roy, M.D.)
8
Figur 2 Persentase penyebab bunuh diri akibat gangguan mental.4
2.4 Etiologi
2.4.1 Faktor Sosiologik
2.4.1.1 Teori Durkheim
Konstribusi utama pertama yang mempelajari pengaruh sosial dan kultural pada bunuh
diri pada abad 19 oleh ahli sosiologi dari Perancis Emile Durkheim. Pada percobaan untuk
menjelaskan pola sosial, Durkheim membagi bunuh diri menjadi 3 kategori sosial: egoistik,
altruistik, dan anomik. Bunuh diri egoistik pada mereka yang tidak kuat berintegrasi dalam
kelompok sosial. Integrasi keluarga yang kurang menjelaskan mengapa orang yang tidak
9
menikah lebih memungkinkan untuk melakukan bunuh diri dibandingkan yang sudah
menikah dengan memiliki anak yang merupakan kelompok yang terlindungi dari
kemungkinan bunuh diri. Komunitas desa memiliki sosial integrasi yang lebih dibandingkan
dengan daerah perkotaan. Protestan merupakan agama yang kurang kohesif dibandingkan
dengan Katolik Roman, sehingga lebih banyak yang melakukan bunuh diri. Bunuh diri
altruistik pada mereka yang rentanmelakukan bunuh diri dari integrasi yang melampaui batas
dalam sebuah grup, dengan bunuh diri menjadi hasul dari integrasi, seperti contohnya pada
prajurit Jepang yang mengorbankan hidupnya pada perang. Bunuh diri anomik pada mereka
yang integrasi pada masyarakat terganggu sehingga mereka tidak dapat mengikuti kebiasaan
adat. Anomik menjelaskan mengapa terjadinya perubahan drastic pada kondisi ekonomi yang
membuat orang lebih rentan dibandingkan bila memiliki keberuntungan. Anomik juga disebut
instabilitas pada sosial dan kehancuran sosial dari norma-norma.1
2.5 Prediksi
Klinisi harus dapat mengassess risiko bunuh diri pasien dengan cara pemeriksaan
klinis. Alat prediksi yang berasosiasi dengan risiko bunuh diri pada tabel 1. Bunuh diri yang
dikelompokan menjadi risiko rendah dan tinggi pada tabel 2. Risiko tinggi memiliki
karakteristik yaitu lebih dari 45 tahun, laki-laki, ketergantungan alkohol, kebiasaan kasar,
percobaan bunuh diri sebelumnya, dan hospitalisasi psikiatri sebelumnya. Penting untuk
menanyakan tentang perasaan dan tindakan untuk bunuh diri. Menanyakan ide bunuh diri
pada pasien dengan depresi tidak akan menanamkan benih bunuh diri pada mereka. 5 %
menyatakan secara terbuka bahwa mereka ingin mati. 1Terdapat tanda-tanda penting yang
perlu diperhatikan yang mungkin dapat memprediksi bunuh diri pada tabel 3.
12
Tabel 2. Evaluasi dari risiko bunuh diri1
Variabel Risiko Tinggi Risiko Rendah
Profil demografi dan sosial
Usia >45 tahun <45 tahun
Sex Pria Wanita
Status pernikahan Bercerai atau duda atau janda Menikah
Pekerjaan Pengangguran Memiliki pekerjaan
Relasi interpersonal Bermasalah Stabil
Latar belakang keluarga Kacau atau bermasalah Stabil
Kesehatan
Fisik Penyakit kronis Sehat
Hipokondria Merasa sehat
Penggunaan substansi berlebih Penggunaan substansi rendah
Mental Depresi berat Depresi ringan
Psikosis Neurosis
Gangguan personalitas yang berat Personalitas normal
Penyalahgunaan zat Peminum alkohol
Tidak ada harapan hidup Optimis
Aktivitas bunuh diri
Ide bunuh diri Sering, intens, lama Tidak sering, intensitas rendah,
sementara
Percobaan bunuh diri Percobaan berkali-kali Percobaan pertama
Berencana Impulsif
Penyelamatan tidak mungkin Penyelamatan tidak terhindarkan
Ketidakraguan untuk mati Memiliki keinginan untuk berubah
Komunikasi diinternalisasikan Komunikasi dieksternalisasikan
(Menyalahkan diri sendiri) (Kemarahan)
Metode mematikan dan tersedia Metode dengan letalitas rendah
dan tidak mudah didapat
Sarana
Pribadi Pencapaian buruk Pencapaian baik
Tilikan buruk Penuh tilikan
Afek tidak ada atau Afek tersedia dan terkendali
terkendali buruk dengan semestinya
Sosial Rapport buruk Rapport baik
Terisolasi sosial Terintegrasi secara sosial
Keluarga tidak responsive Keluarga memperhatikan
13
Tabel 3 Tanda-tanda penting yang perlu diperhatikan pada pasien yang mungkin dapat
memprediksi bunuh diri6,7,8
Tanda-tanda penting yang berisiko tinggi:
Mengancam untuk menyakiti atau membunuh diri sendiri
Berbicara atau menulis tentang kematian atau bunuh diri
Terlihat cara mereka untuk bunuh diri, seperti membeli dan menyimpan tablet obat.
Tanda-tanda yang lain:
Terlihat depresi atau sedih setiap waktu
Menarik diri dari keluarga dan teman
Merasa tidak ada harapan hidup
Merasa tidak ada orang mau membantu dia
Merasa marah atau mengamuk
Merasa terjebak pada situasi yang tidak dapat terelakan
Mengalami perubahan mood yang dramatis
Penyalahgunaan obat-obatan atau alkohol
Perubahan kepribadian
Bertindak impulsif
Kehilangan minat pada hampir semua aktivitas
Mengalami perubahan kebiasaan tidur
Mengalami perubahan kebiasaan makan
Melakukan pekerjaan atau aktivitas sekolah kurang baik
Menulis surat wasiat
Merasa bersalah atau malu yang lebih
Bertindak gegabah
Memberikan barang kepunyaan yang penting
Mendadak menjadi lebih tenang atau lebih senang
2.6 Tatalaksana
Sebagian besar bunuh diri yang dilakukan oleh pasien psikiatri dapat dihindari, karena
bukti mengindikasi assesmen atau pengobatan yang kurang sering berasosiasi dengan bunuh
diri. Beberapa pasien mengalami penderitaan yang berat dan intens, atau sangat kronis dan
tidak berespon terhadap pengobatan, sehingga bunuh diri tidak dapat dihindarkan. Walau
begitu, pasien seperti itu jarang. Pasien yang memiliki gangguan personalitas yang berat,
dapat sangat impulsive dan bunuh diri secara spontan, sering ketika mengalami disforia atau
intoksikasi atau keduanya. Evaluasi dari potensial bunuh diri memerlukan pencarian riwayat
psikiatri yang lengkap; melalui pemeriksaan status mental pasien dan menanyakan tentang
gejala depresi, ide, keinginan, rencana, dan percobaan bunuh diri. Tidak adanya harapan,
14
kehilangan keyakinan, dan pengalaman kehilangan dapat meningkatkan risiko bunuh diri.
Keputusan untuk merawat pasien tergantung dari diagnosis, beratnya depresi dan ide bunuh
diri, kemampuan menerima keadaan pada pasien dan keluarga, situasi kehidupan, adanya
support sosial, dan adanya atau tidak faktor risiko bunuh diri.
Rawat inap pasien dengan ide bunuh diri merupakan keputusan klinis paling penting
yang perlu dibuat. Tidak semua pasien perlu rawat inap; beberapa dapat dirawat dengan rawat
jalan. Walau begitu dengan tidak adanya sistem support sosial yang kuat, dengan adanya
riwayat perilaku impulsif dan rencana bunuh diri merupakan indikasi rawat inap. Untuk
menentukan untuk rawat jalan, klinisi harus menanyakan pasien yang berencana buh diri
untuk setuju menghubungi klinisi ketika mereka merasa sulit untuk mengontrol impuls bunuh
diri. Pasien yang setuju hal tersebut, perlu diyakinkan bahwa mereka dapat mengontrol impuls
tersebut dan dapat mencari pertolongan. Sebagai ganti dari komitmen yang telah dibuat
pasien, klinisi perlu menyediakan waktu 24 jam untuk pasien. Pasien yang tidak dapat
membuat komitmen merupakan indikasi untuk dirawat. Jika pasien direncanakan rawat jalan,
klinisi perlu mencatat alamat rumah dan nomor telepon yang dapat dihubungi untuk
kebutuhan emergensi. Jika pasien menolak untuk dirawat keluarga harus bertanggung jawab
terhadap pasien selama 24 jam sehari. Berdasarkan ES Shneidman, klinisi memiliki beberapa
pencegahan untuk berhadapan pada pasien dengan ide bunuh diri: mengurangi sakit
psikologis dengan mengatur lingkungan pasien yang memiliki banyak stress, meminta
bantuan saudara, pembantu, atau teman untuk turut memantau pasien, dan menawarkan
alternatif untuk tidak bunuh diri. Pasien dengan percobaan bunuh diri perlu dirawat. Di rumah
sakit pasien, perlu mendapatkan terapi sesuai kondiri pasien; depresi dengan antidepresi dan
psikosis dengan antipsikosis. Diperlukan juga psikoterapi individual, grup, dan keluarga jika
tersedia dan pasien perlu mendapatkan support sosial dan rasa dilindungi. Terapi perlu
disesuaikan kembali dengan kondisi yang ada, misal pada ketergantungan alkohol berasosiasi
dengan problem yang dimiliki pasien, terapi perlu disesuaikan untuk meredakan kondisi
tersebut. Walaupun pasien dengan ide bunuh diri yang akut memiliki prognosis yang baik,
tetapi pasien yang kronis sulit untuk diterapi, dan mereka membuat orang yang merawat lelah.
Observasi ketat juga tidak dapat mencegah bunuh diri. ECT mungkin diperlukan pada pasien
dengan depresi yang berat yang memerlukan beberapa modalitas terapi. Pada awal, perawatan
perlu dicari objek-objek yang dapat digunakan oleh pasien untuk bunuh diri dan hal ini perlu
dilakukan berulang-ulang untuk memastikan, terutama saat terjadi eksaserbasi ide bunuh diri.
Secara ideal, pasien rawat inap dengan depresi perlu dirawat pada kamar yang terkunci
dimana jendela juga terkunci, dan terletak dekat dengan tempat jaga perawat untuk
memaksimalkan observasi. Suportif psikoterapi oleh psikiatri perlu dilakukan untuk
15
meredakan penderitaan pasien. Beberapa pasien dapat menerima ide yang mereka derita untuk
mengetahui sakitnya, dan mereka dapat membaik sempurna. Pasien yang pulih dari depresi
bunuh diri memiliki risiko untuk bunuh diri dimana depresi telah hilang, pasien merasa
menjadi lebih energik dan mereka dapat menjalankan rencara mereka menjadi tindakan.
Komplikasi lebih jauh yaitu efek dari obat serotonergik, seperti fluoxetin, dimana merupakan
anti depresan yang efektif, terutama pada pasien depresi dengan bunuh diri. Agen tersebut
dapat meningkatkan psikomotor withdrawal, yang membuat pasien bertindak sesuai dengan
impuls bunuh diri yang sebelumnya ada karena mereka memilki energi yang lebih dari
sebelumnya. Terkadang pasien dengan depresi dengan atau tanpa terapi tiba-tiba tampak
menjadi damai dengan diri mereka karena mereka memiliki rencana rahasia untuk bunuh diri.
Klinisi harus curiga pada pasien yang memiliki perubahan klinis yang dramatis yang
menandakan akan dilakukannya bunuh diri. Walaupun jarang, beberapa pasien berbohong
kepada psikiatri tentang keinginan untuk bunuh diri, maka dari itu perlu assessment lebih hati-
hati terutama pada pasien depresi.1
Terdapat terapi farmakologi yang dapat diberikan untuk mencegah terjadinya bunuh
diri. Bila pasien datang dengan perilaku agresif dapat diberikan antipsikosis potensi tinggi
dosis rendah seperti haloperidol (5-10 mg), antipsikotik atipikal, seperti risperidone dan
olanzapine (2,5-10 mg), atau injeksi benzodiazepine, seperti lorazepam (2-4 mg) dan
diazepam (5-10 mg). Kombinasi antipsikosis dan benzodiazepine kadang sangat efektif. Bila
dalam waktu 20-30 menit pasien tetap gelisah, ulangi dosis yang sama. Sebaiknya digunakan
preparat yang memiliki efek sedasi agar gejala psikis tidak tersamarkan dan dapat segera
dilakukan evaluasi diagnosis. Hindari pemberian antipsikosis bila pasien memiliki resiko
kejang, seperti pada penderita epilepsi. Sebelum pemberian antipsikosis, diberikan terlebih
dahulu antikonvulsan, seperti karbamazepin. Untuk pasien yang sedang mengalami krisis
karena baru ditinggal mati atau baru mengalami suatu kejadian dengan jangka waktu tak
lama, biasanya akan berfungsi kembali setelah memberian tranquilizer ringan, seperti
benzodiazepine, seperti lorazepam 3 x 1 mg per hari selama 2 minggu. Pemberian
benzodiazepine, jangan diresepkan dalam jumlah banyak, diberikan sedikit-sedikit dahulu dan
pasien harus kontrol beberapa hari kemudian. Terapi definitif pasien yang memiliki
kecenderungan bunuh diri yaitu dengan antidepresan. Anti depresan perlu diberikan pada
pasien tetapi biasanya tidak di UGD. Bila diberikan antidepresan di UGD,perlu dipastikan
kepada pasien untuk kontrol keesokan harinya.
16
Tabel4 Guidelines for Selecting a Treatment Setting for Patients at Risk for Suicide or Suicidal Behaviors1
Admission generally indicated: high risk of suicide
After a suicide attempt or aborted suicide attempt if:
Patient is psychotic
Attempt was violent, near-lethal, or premediated
Precautions were taken to avoid rescue or discovery
Persistent plan and/or intent is present
Distress is increased or patient regrets surviving
Patient is male, >45 years of age, especially with new onset of psychiatric illness or suicidal thinking
Patient has limited family and/or social support, including lack of stable living situation
Current impulsive behavior, severe agitation, poor judgment, or refusal of help is evident
Patient has change in mental status with a metabolic, toxic, infectious, or other etiology requiring further workup in a structured
setting
In the presence of suicidal ideation with:
Specific plan with high lethality
High suicidal intent
Admission may be necessary: moderate risk of suicide
After a suicide attempt or aborted suicide attempt, except in circumstances for which admission is generally indicated in the
presence of suicidal ideation with:
Psychosis
Major psychiatric disorder
Past attempts, particularly if medically serious
Possibly contributing medical condition (e.g., acute neurological disorder, cancer, infection)
Lack of response to or inability to cooperate with partial hospital or outpatient treatment
Need for supervised setting for medication trial or electroconvulsive therapy
Need for skilled observation, clinical tests, or diagnostic assessments that require a structured setting
Limited family and/or social support, including lack of stable living situation
Lack of an ongoing clinician-patient relationship or lack of access to timely outpatient follow-up
In the absence of suicide attempts or reported suicidal ideation/plan/intent but evidence from the psychiatric evaluation and/or
history from others suggests a high level of suicide risk and a recent acute increase in risk
Release from emergency department with follow-up recommendations may be possible: lesser risk
After a suicide attempt or in the presence of suicidal ideation/plan when:
Suicidality is a reaction to precipitating events (e.g., exam failure, relationship difficulties), particularly if the patient's view of
situation has changed since coming to emergency department
Plan/method and intent have low lethality
Patient has stable and supportive living situation
Patient is able to cooperate with recommendations for follow-up, with treater contacted, if possible, if patient is currently in
treatment
Outpatient treatment may be more beneficial than hospitalization: lesser risk of suicide
Patient has chronic suicidal ideation and/or self-injury without prior medically serious attempts, if a safe and supportive living
situation is available and outpatient psychiatric care is ongoing
*Suicide occurs infrequently, even in high-risk populations. This statistical rarity makes suicide prediction, based on risk factors,
either alone or in combination, impossible. Psychiatrists, however, can use knowledge of suicide risk factors to help determine
appropriate treatment settings and individual treatment plans. The objective of suicide risk assessment is to clarify the presence or
absence of risk and protective factors, and then estimate the patient's individual risk for suicide. The primary and ongoing goal of
this assessment is to reduce the patient's suicide risk.
(From the Practice Guidelines for Assessment and Treatment of the Suicidal Patient, 2nd ed. The American Psychiatric Association
Practice Guidelines for the Treatment of Psychiatric Disorders Compendium,
17
BAB III
KESIMPULAN
Bunuh diri atau suicide adalah tindakan yang bertujuan membunuh diri sendiri. Hal
ini merupakan emergensi pada bidang psikiatri. Setiap tahunnya di Amerika angka bunuh diri
terus meningkat. Indonesia belu memiliki data epidemiologi bunuh diri. Faktor risiko yang
dapat meningkatkan terjadinya bunuh diri yaitu laki-laki, usia muda atau tua, berkulit putih,
status perkawinan, pekerjaan, kesehatan fisik, kesehatan psikiatri, dan adanya riwayat
percobaan bunuh diri sebelumnya. Seseorang dapat melakukan bunuh diri dimana terdapat
beberapa faktor yang berperan meliputi faktor sosiologik, psikologikal, biologik, dan genetik.
Bunuh diri dapat diprevensi bila mana klinisi dapat melakukan pendekatan kepada pasien
dengan mengali faktor risiko yang ada. Terapi pada pasien dengan ide, rencana, dan
percobaan bunuh diri perlu adanya beberapa modalitas terapi dan support dari lingkungan
pasien. Terapi meliputi farmakologi yang sesuai dengan penyakit atau gangguan mental yang
diderita pasien dan juga psikoterapi. Selain itu, dukungan dari keluarga, teman, klinisi, dan
motivasi dari pasien sendiri yang dapat menunjang pulihnya pasien.
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Sadock, Benjamin James; Sadock, Virginia A. (2007). Kaplan & Sadock's synopsis of
psychiatry : behavioral sciences/clinical psychiatry. Philadelphia: Wolters Kluwer.
2. Jacobson, Alan M.; Jacobson, James L. (2001). Psychiatric secrets. Philadelphia:
Hanley & Belfus.
3. T. Ronny. Suicide Preventive In Indonesia. Providing Public Advocacy. Simposium:
Role of Physicians in suicide patient.
4. WHO. Mental Health Atlas 2011: Indonesia. Department of Mental Health and
Substance Abuse: World Health Organization.
5. Jose Manoel Bertolote, Alexandra Fleischmann. Suicide and psychiatric diagnosis: a
worldwide perspective. Mental Health Policy Paper. Department of Mental Health and
Substance Dependence, World Health Organization, Geneva, Switzerland.
6. C. Kevin. Suicide Warning Signs. Available from: www.suicide.org/suicide-warning-
signs.html
7. SAVE. Sign and Warning Sign of Suicide. Available from:
www.save.org/index.cfm?fuseaction =home.viewpage&page_id=705f4071-99a7-f3f5-
e2a64a5a8beaadd8
8. NHS. Warning signs Suicide. Available from:
www.nhs.uk/Conditions/Suicide/Pages/warning-signs.aspx
19