I. PENDAHULUAN
Bumi tempat kita tinggal sedang menghadapi krisis. Krisis yang dimaksud
adalah krisis ekologi. Krisis ekolologi ini berdampak pada semua anggota bumi,
termasuk manusia. Akan tetapi, manusia bukan hanya korban dari krisis ekologi,
manusia juga salah satu penyebab krisis ekologi. Selain posisi sebagai korban dan
penyebab krisis ekologi, manusia juga memiliki peran lain yaitu sebagai
pemelihara ekosistem. Ketiga peran dan posisi yang dipegang oleh manusia ini
terkait erat dengan nilai-nilai kebenaran yang diakuinya. Mengapa? Karena nilai-
nilai yang diakui oleh individu sebagai kebenaran adalah penuntun bagi perilaku
hidupnya. Dari mana nilai-nilai hidup yang diakui oleh individu berasal? Ada
banyak sumber, salah satunya adalah agama. Agama adalah sumber nilai-nilai
kebenaran bagi penganutnya karena di dalam ajaran agama dapat ditemukan
berbagai aturan, pedoman, serta perintah yang mengatur bagaimana manusia
menjalankan kehidupannya. Di dalam tulisan ini akan dibahas bagaimana
pemahaman orang Kristen terhadap Alkitab mempengaruhi nilai-nilai serta
perilakunya dalam bereaksi terhadap krisis ekologi. Tulisan ini diawali dengan
penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan krisis ekologi, lalu dilanjutkan
dengan respon iman Kristen terhadap bencana lingkungan hidup, dan diakhiri
dengan pentingnya dibangun spiritualitas lingkungan hidup di dalam kehidupan
umat Kristen yang hendak menjadi penjaga kebun Allah.
1
Disampaikan dalam Seminar Studium Generale di Universitas Kristen Satya Wacana pada tanggal 1 Maret
2014.
Kerusakan Lingkungan Ditinjau dari Perspektif Ekologi dan Respon Agama-Agama
65
Kerusakan Lingkungan Ditinjau dari Perspektif Ekologi dan Respon Agama-Agama
ilmu pengetahuan dan teknologi modern terjadi karena ajaran Alkitab khususnya
Perjanjian Lama tentang penciptaan (Harun, 2008: 29). White meyakini bahwa
karena Allah yang dijelaskan di dalam Perjanjian Lama adalah Allah yang terpisah
dari ciptaanNya maka alam dipahami sebagai yang terpisah dari Allah, demikian
pula manusia terpisah dari alam. Keterpisahan ini disebut juga sebagai dualisme
Allah dan dunia yang mengakibatkan sikap kesewenang-wenangan manusia dalam
mengeksploitasi alam yang terpisah dari Allah. Selanjutnya di dalam Perjanjian
Baru terkhususnya kitab Wahyu dijelaskan tentang bumi baru yang akan datang
bersamaan dengan peristiwa kedatangan Allah yang kedua kalinya. Kisah ini juga
menegaskan keterpisahan Allah dan alam yang ada di dunia ini dan rencana Allah
untuk menggantikan alam di bumi dengan alam lain yang lebih sempurna. Konsep
keterpisahan antara Allah dan alam yang ditemukan baik dalam Perjanjian Lama
maupun Perjanjian Baru inilah yang melahirkan sikap tidak peduli kepada
kelestarian lingkungan hidup di kalangan umat Kristen.
Harvey Cox, di dalam bukunya Secular City, mengangkat ide yang sama
dengan White, yaitu bahwa kisah penciptaan mengakibatkan lahirnya pemikiran
yang memisahkan alam dari Allah dan manusia dari alam. Akibatnya alam yang
dilepaskan dari pesona ilahinya hanya dipandang sebagai objek biasa (Harun,
2008: 30). Pesona Allah yang dihilangkan dari alam akibat pemisahan tersebut
mengakibatkan manusia memanfaatkan alam bagi perkembangan ilmu
pengetahuannya. Cox, berbeda dari White, tidak memandang pemisahan antara
ciptaan dan Pencipta sebagai sesuatu yang secara utuh negatif. Pemisahan antara
ciptaan dan Pencipta dilakukan oleh Pencipta untuk menunjukkan bahwa Ciptaan
memiliki eksistensinya sendiri, ciptaan dipercaya untuk mengembangkan diri dan
kehidupannya dengan memanfaatkan lingkungan hidup disekitarnya.
Baik pandangan Brunner, White maupun Cox, sama-sama memberi
penekanan pada pemisahan antara Pencipta dan Ciptaan yang diakui dalam ajaran
gereja berdampak pada krisis ekologi. Walaupun Cox tidak sepenuhnya
menyalahkan pemisahan ciptaan dan Pencipta di dalam kitab Kejadian sebagai
dasar kerusakan lingkungan, tetapi ia mengakui bahwa penafsiran terhadap kisah
tersebut telah melahirkan sikap yang berbeda bagi manusia dalam menjalankan
kehidupannya di sekitar lingkungannya. Pemisahan antara Pencipta dan ciptaan
67
Kerusakan Lingkungan Ditinjau dari Perspektif Ekologi dan Respon Agama-Agama
melahirkan ruang berkreasi bagi manusia di dalam dunia yang seringkali tidak
dimanfaatkan dengan bijaksana. Di sini manusia menjadi penguasa atas ciptaan
Allah yang lain.
68
Respon Agama Kristen terhadap Kerusakan Lingkungan
ciptaan Allah yang lain walaupun juga menaruh perhatian kepada tanggung jawab
manusia untuk memelihara ciptaan Allah yang non-human.
Model yang kedua adalah model organis. Model organis adalah model
yang dikembangkan oleh John Macquarrie, yang menolak pemisahan antara
Pencipta dan ciptaan sebagaimana disampaikan oleh White dan Cox. Macquarrie
menjelaskan bahwa ada banyak bagian Alkitab, selain Kejadian 1 dan 2, yang
menegaskan hubungan yang tidak terpisah antara Allah sebagai Pencipta dengan
dunia dan isinya sebagai ciptaan, misalnya kejadian 9:10, Mazmur 19: 1; 29
(Harun, 2008: 31). Di dalam model organis, Allah tidak dilihat sebagai Allah yang di
atas manusia tetapi sebaliknya Allah dilihat sebagai bagian dari kehidupan ciptaan.
Kata organis menunjuk kepada ciri khas organisme yang saling terhubung,
membutuhkan, dan menopang satu dengan yang lain. Sebagaimana organisme,
demikian pula hubungan antara Allah selaku Pencipta dengan ciptaanNya
bukanlah hubungan atas-bawah tetapi hubungan bergantung yang saling memberi
makna.
Model eko-teologi yang ketiga dikembangkan oleh Jay B McDaniel yang ia
akui sebagai pendekatan panenteisme. Istilah panenteisme seringkali dipasangkan
dengan istilah panteisme, keduanya berbeda definisi. Panteisme adalah keyakinan
bahwa Allah ada dalam semua ciptaanNya sedangkan panenteisme adalah
keyakinan bahwa semua ciptaan adalah bagian dari Allah. Dalam panteisme Allah
tidak dibedakan dari ciptaan, sedangkan dalam penenteisme Allah berbeda
dengan ciptaan walaupun tetap memiliki hubungan dekat dengan ciptaanNya
(Tucker & Grim, 2003: 83). McDaniel memahami kisah penciptaan sebagai sebuah
simfoni yang tak pernah selesai: yang dimainkan oleh orkes dengan banyak
pemain yang kreatif yang dikoordinasikan oleh Allah sebagai dirigen yang terus
menerus merayu mereka kepada kreativitas yang baru dan menghasilkan suatu
kerukunan di dalam perbedaan-perbedaan (Harun, 2008: 33-34). Model ini
mengakui bahwa ciptaan mewakili keindahan Penciptanya dan seluruh ciptaan
dipanggil untuk hidup harmonis bersama dengan Penciptanya.
Sallie McFague, satu-satunya teolog perempuan yang berbicara tentang
pentingnya membangun teologi Kristen yang ramah kepada alam, mengusung
model yang keempat yaitu teologi kenosis. Teologi kenosis adalah teologi yang
69
Kerusakan Lingkungan Ditinjau dari Perspektif Ekologi dan Respon Agama-Agama
difokuskan pada kisah inkarnasi Yesus Kristus ke dalam dunia. Teologi yang
dikembangkan oleh McFague ini tidak memandang Allah sebagai Pencipta yang
terpisah dari dunia dan ciptaanNya (McFague, 2013: 173 Kindle Edition). Allah
telah berinkarnasi dan menjadi bagian dari dunia di dalam diri Yesus Kristus, Allah
menyatu dengan dunia. Oleh karena itu, Allah dan dunia adalah kesatuan
(McFague, 2013: 171-2 Kindle Edition). Akibatnya adalah ciptaan harus melihat
dunia sebagai bagian dari tubuh Allah, walaupun Allah tidak bisa dibatasi hanya
dalam dunia saja tetapi Allah dapat diidentifikasi lewat ciptaanNya.
Model yang terakhir adalah pandangan eko-teologi yang dikembangkan
oleh Denis Edwards dengan penekanan pada peran dari Roh Kudus di dalam
dunia. Edwards, melihat peristiwa penciptaan sebagai proses yang masih terus
menerus berlangsung dengan pengawalan dari Roh Allah sendiri (Harun, 2008:
37). Roh Kudus berfungsi di dalam dunia sebagai yang menyertai ciptaan dan
merangkul ciptaan menuju sebuah kesinambungan. Roh Kudus menderita
bersama ciptaan yang menderita dan memberi kekuatan kepada ciptaan. Menurut
Edwards, Roh Kudus memainkan peran penting karena di dalam roh, segala
makhluk adalah bagian dari kita, dan kita bagian dari mereka, bersama-sama
dihidupkan oleh satu Roh yang merangkum semua (Harun, 2008: 40). Roh
menyatukan ciptaan dengan penciptaNya dalam persekutuan yang saling
memelihara.
Kelima model eko-teologi yang dipaparkan diatas memiliki dua ciri yang
relatif sama yaitu: pertama, manusia bukan pusat dari ciptaan. Manusia bukanlah
satu-satunya ciptaan yang penting bagi Allah. Ajaran Alkitab yang menyatakan
bahwa manusia diciptakan menurut gambar Allah tidak membuat manusia
diistimewakan oleh Allah dihadapan ciptaan non-human lainnya. Sebaliknya
manusia yang setara kedudukannya dengan ciptaan Allah yang lain, diingatkan
untuk menjalankan peran memuliakan Allah lewat hidup yang harmonis dengan
ciptaan lain sebagai satu keutuhan ciptaan. Manusia adalah penjaga kebun Allah
yang bertanggungjawab kepada Allah dalam memelihara ciptaanNya. Kedua,
keutuhan antara Pencipta dan ciptaan. Baik dengan menelusuri ayat-ayat Alkitab
selain Kejadian 1 dan 2, menafsir ulang kisah inkarnasi Yesus Kristus ke dalam
dunia, maupun dengan mengutamakan peran Roh Kudus, model-model di atas
70
Respon Agama Kristen terhadap Kerusakan Lingkungan
meyakini bahwa Allah sebagai Pencipta tidak terpisah dari ciptaanNya. Allah hadir
di tengah-tengah ciptaanNya lewat inkarnasi Yesus dan menyatu dengan
ciptaanNya. Allah menuntun ciptaanNya lewat Roh Kudus dan bergumul bersama
dengan mereka. Allah menderita bersama ciptaanNya dan menguatkan seluruh
ciptaanNya untuk menuju kepada pemulihan.
Di antara kelima model eko-teologi di atas, model favorit saya adalah
teologi kenosis. Teologi ini memiliki beberapa karakteristik yang mengungguli
model-model yang lain yaitu: pertama, teologi kenosis memusatkan perhatian
pada peristiwa utama dalam ajaran gereja yaitu pengosongan diri (kenosis) Allah
dalam proses inkarnasi menjadi manusia yang hidup di dalam dunia. Sang
Pencipta yang mengasihi ciptaanNya bukan sekedar Pencipta yang berada di luar
ciptaanNya. Ia adalah sang Pencipta yang ambil bagian secara langsung dan aktif
dalam kehidupan ciptaanNya. Kedua, teologi kenosis mampu mematahkan ajaran
tradisional gereja yang memisahkan Allah dari ciptaanNya dengan mengusung
pendekatan feminis bahwa dunia adalah tubuh Allah. Analogi tubuh adalah
analogi yang seringkali digunakan dalam teologi feminis. Ketiga, teologi kenosis
menyadari batasan antara panteisme dan panenteism. Teologi ini menerima
ciptaan sebagai bagian dari karya Allah tanpa membatasi karya Allah hanya di
dalam ciptaanNya saja. Allah lebih besar dari ciptaanNya, tetapi lewat ciptaanNya
kita dapat melihat gambar Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Banawiratma J. B., dkk. Iman, Ekonomi, Ekologi. Yogyakarta: Kanisius. 1996.
Deane-Drummond, Celia. Teologi dan Ekologi: Pegangan. Jakarta: BPK Gunung
Mulia. 2001.
Keraf, Sonny A. Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global. Yogyakarta: Kanisius.
2010.
72
Respon Agama Kristen terhadap Kerusakan Lingkungan
73
Kerusakan Lingkungan Ditinjau dari Perspektif Ekologi dan Respon Agama-Agama
MATERI PRESENTASI
Irene Ludji
74
Respon Agama Kristen terhadap Kerusakan Lingkungan
75
Kerusakan Lingkungan Ditinjau dari Perspektif Ekologi dan Respon Agama-Agama
76
Respon Agama Kristen terhadap Kerusakan Lingkungan
77
Kerusakan Lingkungan Ditinjau dari Perspektif Ekologi dan Respon Agama-Agama
78