Anda di halaman 1dari 7

http://master.islamic.uii.ac.

id/ar/antara-islam-dan-demokrasi/

Hubungan antara Islam dan demokrasi merupakan hubungan yang kompleks.


Sebab, dunia Islam tidak hidup dalam keseragaman ideologis sehingga terdapat
satu spektrum panjang terkait hubungan antara Islam dan demokrasi ini. Khalid
Abu al-Fadl (2004), mengatakan bahwa meskipun Al-Qur`an tidak secara
spesifik dan eksplisit menunjukkan preferensi terhadap satu bentuk
pemerintahan tertentu, tetapi dengan gamblang memaparkan seperangkat nilai
sosial dan politik penting dalam suatu pemerintahan untuk Muslimin. Di
antaranya adalah tiga nilai penting, yaitu keadilan melalui kerja sama sosial dan
prinsip saling membantu, membangun suatu sistem pemerintahan konsultatif
yang tidak otokratis, melembagakan kasih sayang dalam interaksi sosial.
Masyhuri Abdillah (2005), juga melihat bahwa di dalam Al-Qur`an tidak dapat
ditemukan konsep negara, karena konsep negara adalah buah pemikiran yang
muncul belakangan. Bahkan kata Daulah Islamiyah sendiri adalah kata baru
yang muncul di abad ke-20. Istilah daulah baru dipakai sejak masa Dinasti
Mu`awiyah dan Abbasiyyah, yang dipakai dalam arti dinasti. Meskipun
demikian, ia juga melihat bahwa di dalam Al-Qur`an terdapat prinsip-prinsip
hidup berkemasyarakatan yang di antaranya kejujuran dan tanggung jawab,
keadilan, persaudaraan, pluralisme, persamaan, musyawarah, mendahulukan
perdamaian, dan kontrol. Secara prinsipiil hal ini sejalan dengan doktrin politik
dari konsep demokrasi. John L. Esposito dan James P. Piscatori (dalam Riza
Sihbudi, 1993), mengatakan bahwa Islam pada kenyataannya memberikan
kemungkinan pada bermacam interpretasi, Islam bisa digunakan untuk
mendukung demokrasi maupun kediktatoran, republikanisme maupun monarki.
Pernyataan Esposito dan Piscatori ini dapat mengidentifikasikan tiga pemikiran
mengenai hubungan Islam dengan demokrasi. Pertama, Islam menjadi sifat
dasar demokrasi karena konsep syura`, ijtihad, dan ijma` merupakan konsep
yang sama dengan demokrasi. Kedua, menolak bahwa Islam berhubungan
dengan demokrasi. Dalam pandangan ini, kedaulatan rakyat tidak bisa berdiri di
atas kedaulatan Tuhan, juga tidak bisa disamakan antara Muslim dan non-
Muslim serta antara laki-laki dan perempuan. Hal ini bertentangan dengan
prinsip equality demokrasi. Ketiga, sebagaimana pandangan pertama bahwa
Islam merupakan dasar demokrasi, meskipun kedaulatan rakyat tidak bisa
bertemu dengan kedaulatan Tuhan, perlu di akui bahwa kedaulatan rakyat
tersebut merupakan subordinasi hukum Tuhan. Terma ini dikenal dengan
theodemocracy yang diperkenalkan oleh al-Maududi. Selain itu, secara garis
besar wacana Islam dan demokrasi terdapat tiga kelompok pemikiran
(Ubaidillah Abdul Razak, 2006); pertama, pandangan yang menyatakan jika
Islam dan demokrasi adalah dua sistem yang berbeda. Kelompok ini
memandang jika Islam sebagai sistem alternatif demokrasi sehingga demokrasi
sebagai konsep Barat tidak dapat dijadikan acuan dalam hidup bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Pendeknya, demokrasi menurut kelompok ini
merupakan sistem kafir karena telah meletakkan kedaulatan negara di tangan
rakyat bukan Tuhan, dan mereka memandang sebagian besar dari aktivitas
demokrasi tertolak secara syar`i dan memandang bahwa prinsip pemilu secara
jelas melanggar asas wakalah (perwakilan) yaitu materi yang diwakilkan
didasarkan atas asas demokrasi adalah batil; Kedua, Islam berbeda dengan
demokrasi. Kelompok ini menyetujui adanya prinsip-prinsip demokrasi dalam
Islam, tapi tetap mengakui adanya perbedaan antar Islam dan demokrasi kalau
demokrasi didefinisikan secara prosedural seperti yang dipahami dan
dipraktekkan oleh negara Barat. Akan tetapi jika demokrasi dimaknai secara
substantif, yaitu kedaulatan di tangan rakyat, dan negara merupakan
terjemahan dari kedaulatan rakyat, maka Islam merupakan sistem politik yang
demokratis; ketiga, Islam adalah sistem nilai yang membenarkan serta
mendukung demokrasi. kelompok ini berpendapat bahwa Islam merupakan
sistem nilai yang membenarkan demokrasi dan substansi demokrasi
sesungguhnya berasal dari ajaran Islam. Tiga pandangan di atas merupakan
akumulasi yang berangkat dari kriteria umat Islam dan demokrasi sehingga
ketiga pandangan tadi tidak berjalan beriringan, tetapi berlawanan. Secara
umum demokrasi itu kompatibel dengan nilai-nilai universal Islam. Seperti
persamaan, kebebasan, permusyawaratan dan keadilan. Akan tetapi dalam
dataran implementatif hal ini tidak terlepas dari problematika. Sebagai contoh
adalah ketika nilai-nilai demokrasi berseberangan dengan hasil ijtihad para
ulama. Contoh kecil adalah kasus tentang orang yang pindah agama dari Islam.
Menurut pandangan Islam berdasarkan hadits: Man baddala dinahu faqtuluhu
mereka disuruh taubat dahulu, jika mereka tidak mau maka dia boleh dibunuh
atau diperangi. Dalam sistem demokrasi hal ini tidak boleh terjadi, sebab
membunuh berarti melanggar kebebasan mereka dan melanggar hak asasi
manusia (HAM). Kemudian dalam demokrasi ada prinsip kesamaan antar warga
Negara. Namun dalam Islam ada beberapa hal yang sangat tegas disebut dalam
Al-Qur`an bahwa ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, misalnya
tentang poligami. (QS. An-nisa 33) tentang hukum waris (QS. An-nisa 11)
tentang kesaksian (QS. Al-Baqarah 282). Di samping itu, demokrasi sangat
menghargai toleransi dalam kehidupan sosial, termasuk dalam maksiat
sekalipun. Seperti pacaran dan perzinaan, kalau di antara laki-laki dan
perempuan (bukan suami istri) melakukan hubungan persetubuhan suka sama
suka itu tidak jadi masalah atau dengan kata lain dibolehkan. Sedangkan dalam
Islam hal ini jelas-jelas dilarang dalam Al-Quran. Demikian juga dalam Islam
dibedakan antara hak dan kewajiban kafir dzimmi dengan yang muslim. Hal ini
dalam demokrasi tidak boleh terjadi, sebab tidak lagi menjunjung nilai
persamaan. Melihat adanya problem di atas, berarti tidak semuanya demokrasi
kompatibel dengan ajaran Islam. Dalam dataran prinsip, ide-ide demokrasi ada
yang sesuai dan selaras dengan Islam, namun pada tingkat implementatif
sering kali nilai-nilai demokrasi berseberangan dengan ajaran Islam dalam Al-
Qur`an, As-sunnah dan ijtihad para ulama. Dalam pada itu, menurut hemat
penulis, umat Islam saat ini tidak seharusnya berada dalam ruang pertentangan
hubungan Islam dengan demokrasi, akan tetapi, yang lebih penting (urgent)
untuk dilakukan umat Islam dalam pelaksanaan demokrasi dengan mengacu
kepada ajaran kemaslahatan, keadilan, ijtihad (kemerdekaan berpikir),
toleransi, kebebasan, persamaan, kejujuran serta tanggung jawab dan
sebagainya. Untuk melihat hubungan Islam dengan demokrasi, setidaknya
harus di lihat dari sisi sistem, dasar-dasar politik dan nilainya. Akan tetapi, jika
demokrasi didefinisikan secara prosedural seperti yang dipahami dan
dipraktekkan di negara-negara Barat, maka demokrasi akan bertentangan
(tidak sejalan) dengan ajaran Islam.

https://www.facebook.com/AswajaGL/posts/1894304160891444

Salah satu persoalan pokok yang ketika itu diutarakan ialah hubungan agama (Islam) dan negara. Dalam pidatonya
di Sidang Dewan Konstituante, Pak Natsir (ketika itu pimpinan Fraksi Masyumi) mengemukakan bahwa sangat
penting jika Islam digunakan sebagai dasar negara. Adapun mengenai negara, beliau menyebutkan:

Negara adalah suatu institution yang mempunyai hak, tugas, dan tujuan. Lalu, apakah institution itu? Insititusi, dalam
arti umum adalah suatu badan, organisasi, yang mempunyai tujuan khusus serta dilengkapi oleh alat-alat material
dan peraturan-peraturan sendiri, dan diakui oleh umum.

Sebagai sebuah institusi, Pak Natsir melihat negara haruslah memiliki perangkat-perangkat penyusunnya. Bagian-
bagian penyusun negara ialah wilayah, rakyat, pemerintah, kedaulatan, dan Undang-undang Dasar, atau suatu
sumber hukum dan kekuasaan lain yang tidak tertulis. Selanjutnya, sebuah negara haruslah meliputi seluruh
masyarakat dan segala institusi yang terdapat di dalamnya; mengikat atau mempersatukan institusi itu dalam suatu
peraturan hukum; menjalankan koordinasi dan regulasi dari seluruh bagian masyarakat; mempunyai hak untuk
memaksa anggotanya mengikuti peraturan-peraturan dan hukum-hukum yang telah ditentukan olehnya; dan
mempunyai tujuan untuk memimpin, memberi bimbingan dan memenuhi kebutuhan masyarakat keseluruhannya.

Gagasan semacam ini tentulah sangat erat dengan bersemainya pandangan mengenai negara dan bangsa yang
merupakan bagian dari semangat modern. Pengelolaan masyarakat dalam dunia modern tidak lagi berpokok pada
wibawa-wibawa yang diturunkan langit, tetapi menjadi kesepakatan umum manusia yang ada di dalamnya.
Pembagian kekuasaan, penataan tugas dan pengambilan keputusan bersama dapat dirumuskan dalam birokrasi dan
demokrasi. Tentu saja gagasan negara sangat erat kaitannya dengan gagasan mengenai bangsa. Apabila negara
merupakan sebuah sistem pengaturan masyarakat yang dibangun oleh sekelompok manusia, maka bangsa ialah
sekelompok manusia yang memiliki ikatan dasar tertentu. Pada masa modern, ikatan yang mengikat sebuah bangsa
lebih banyak didominasi oleh hal-hal semacam nasib bersama, kesamaan sejarah, tujuan yang sama, dan hal-hal
material lainnya.

Pandangan umum Pak Natsir dan para pembaharu lainnya mengenai negara ialah seperti ini. Atau paling tidak itulah
yang tergambar dari apa yang diperjuangan Masyumi dalam Dewan Konstituante. Gagasan mengenai negara
dipandang sebagai sesuatu yang memang bebas nilai. Oleh karena itu, ia dapat dimasuki oleh nilai apa pun. Dapat
dimaknai oleh ideologi apa pun. Pak Natsir dan kolega Masyumi-nya kemudian berupaya memaknai negara dengan
keislaman mereka. Sebuah upaya yang harus diakui sangat berharga, meskipun pandangan bahwa negara
merupakan konsep netral memang perlu kita kritisi.
Dalam konteks ketika itu, Pak Natsir mencoba meneguhkan Islam sebagai sumber nilai atau bahkan dasar bagi
Republik Indonesia. Dasar dari negara Republik Indonesia itu mestilah berasal dari nilai-nilai yang sudah lama hidup
di tengah-tengah masyarakat Indonesia, sesuatu yang telah dengan pasti mereka pahami, dan menjadi panduan
bertingkah laku dalam keseharian mereka. Islam-lah yang telah menjadi anutan dan daya penggerak bangsa
Indonesia. Pak Natsir menyatakan:

[] Bahwa Negara itu harus mempunyai akar yang langsung tertanam dalam masyarakat. Oleh karena itu, dasar
negara pun adalah sesuatu paham yang hidup, yang dijalankan sehari-hari, yang terang dan dapat dimengerti.
Singkatnya, negara itu menyusun hidup rakyat sehari-hari secara perorangan maupun kolektif.

Pak Natsir meyakin bahwa Islam, melalui ajaran-ajarannya, memiliki konsep tata negara dan kemasyarakatan
tertentu yang sudah dipraktikkan dalam sejarah. Beliau pun meyakini bahwa masalah-masalah kebangsaan seperti
hubungan antar golongan, toleransi, demokrasi dan lain-lain terdapat pula panduannya dalam ajaran Islam.

[] Berdasarkan keyakinan kami, bahwa ajaran-ajaran Islam yang mempunyai ketatanegaraan dan masyarakat
hidup itu mempunyai sifat-sifat yang sempurna bagi kehidupan negara dan masyarakat, dan dapat menjamin hidup
keragaman atas saling harga-menghargai antara berbagai golongan di dalam negara10

Pada pidato yang lain Pak Natsir menyatakan:

Bukan itu saja, Saudara Ketua, akan tetapi wahyu Illahi yang melalui Islam memberikan ajaran-ajaran bukan saja
mengenai peribadatan dan nilai moral. Justru banyak ajaran-ajarannya yang mengenai hidup bermasyarakat dan
bernegara. Justru untuk mengembangkan bagian yang kedua inilah, yakni perlengkapan agama Islam untuk
mengatur hidup bernegara dan bermasyarakat yang terutama menyebabkan umat Islam menghendaki Islam sebagai
dasar negara.

Di samping menawarkan Islam sebagai dasar kehidupan bernegara, Buya Natsir dan koleganya di Partai Masyumi
kemudian menghadapkannya dengan gagasan sekular. Beliau melihat bahwa bentuk politik sekular tidak tepat untuk
dipraktikkan di Indonesia. Sistem politik jenis ini memutuskan hubungan manusia Indonesia dengan Tuhan.
Masyarakat sekuler melihat bahwa agama musti dijauhkan dari politik. Beliau tidak setuju akan hal itu. Beliau
menunjukkan bagaimana kehidupan sekuler, termasuk dalam dimensi politik, telah menciptakan manusia yang kering
jiwanya. Sekularisme tidak dapat memberi jalan keluar yang tepat bagi persoalan-persoalan moral.

Dapat dikatakan bahwa Pak Natsir (dan juga Masyumi) menghendaki sebuah negara modern yang di dalamnya
Islam menjadi dasar nilai. Tentu saja, hal ini melibatkan proses pengkonstitusionalan ajaran-ajaran Islam. Segala
perangkat yang harus ada dalam sebuah negara modern dicoba dicarikan padanannya dalam ajaran Islam.
Pengambilan keputusan bersama dalam sistem demokrasi kemudian disepadankan dengan musyawarah dalam
ajaran Islam. Toleransi disepadankan dengan tasamuh. Pun demikian halnya dengan hukum dan ekonomi. Syariat
Islam seperti zakat, penghukuman dalam pidana dan penegakan moral diupayakan hadir secara resmi dalam tatanan
formal kenegaraan.

2.Konteks Pemikiran

Ada hal-hal yang mempengaruhi Gus Dur dalampemikirannya. Satu hal yang paling tampak adalah pemahaman
keislamannya. Selain itu, pengalaman perjumpaan dengan orang-orang lain juga pasti memperkaya sudut
pandangnya. Akan tetapi, konteks pemikiran Gus Durtak terlepas dari suatu kenyataan sosial masyarakat Indonesia.
Ada tiga hal:

a.Perdebatan tentang perlunya memasukkan Islam dalam kontitusitelah terjadi sejak awal kemerdekaan Indonesia.
Kenyataan bahwa pancasila diterima sebagai dasar negara tidak meniadakan keinginan orang-orang tertentu untuk
menjadikan Islam sebagai dasar negara. Meskipun tidak menampakkan diri dalam cara yang terang-terangan,
wacana untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara tetaplah suatu wacana yang ramai diperbincangkan.

b.Sebagai negara demokratis, Indonesia perlu merumuskan suatu relasi yang jelas antara sistem demokrasi dengan
keberadaan agama-agama. Hal ini terjadi karena sebagai negara yang bukan negara agama dan bukan negara
sekular,masyarakat Indonesia berada di antara dua konsep yang membentuk keindonesiaan. Oleh karena itu,
sebagaimana demokrasi memberi ruang pada agama, agamapun harus menemukan peran yang tepat dalam sistem
demokrasi.
c.Salah satu ciri masyarakat Indonesia adalah adanya budaya-budaya lokal. Tak jarang masuk-masuknya agama-
agama non lokal telah menimbulkan suatu pertanyaan akan eksistensi budaya-budaya itu dalam agama. Hal
mengeni penerimaan budaya tertentuatau penolakan budaya lainnya tentu perlu memiliki dasar yang jelas. Selain itu,
perkembangan sains telah membentuk kebudayaan manusia yang baru. Terhadap hal itu agama tentu perlu
menyatakan posisinya sebab bagaimanapun juga orang-orang beragama pasti ikut dalam perkembangan
kebudayaan itu.

Ketiga konteks di atas mengantar kita kepada beberapa pokok pemikiran Gus Dur. Pemikiran-pemikiran itu tidak
terlepas dari pemahaman Gus Dur akan Islam.

C.POKOK-POKOK PEMIKIRAN

1.Sistem Islami tidak diperlukan di Indonesia

Pemikiran ini merupakan sebuah kesimpulan dari perdebatan tentang perlu tidaknya sebuah sistem Islam. Gus Dur
mengangkat hal mendasar yaitu bahwa berkaitan dengan perlu tidaknya sebuah sistem Islami, terjadi perbedaan
penafsiran terhadapayat al-Quran yang berbunyi: Masukilah kalian ke dalam Islam (kedamaian) secara penuh
(udkhulu fi al-silmi kaffah) (QS al-Baqarah {2}: 208). Menurut Gus Dur, orang-orang yang menyukai formalisasi
menerjemahkan kata al-silmi menjadi Islam maka menuntut ada sistem Islami yang dapat mewakili aspirasi kaum
Muslimin seluruhnya. Sedangkan orang-orang lain menerjemahkankata itu menjadi kedamaian sehingga mereka
tidak melihat perlunya hal itu dijabarkan dalam sebuah sistem tertentu termasuk sistem Islami.[11]

Akan tetapi, menurut Gus Dur adanya sistem Islami menjadikan umat yang bukan beragama Islam menjadi warga
dunia kelas dua. Selain itu juga berpengaruh pada orang-orang Islam yang dianggap kurang kualitas keislamannya
dibandingkan dengan mereka yang menjalankan ajaran Islam secara penuh atau Muslim santri.[12] Padahal dalam
AL-Quran terdapat ayat Tiadalah Ku-utus Engkau Ya Muhammad, kecuali sebagai pembawa persaudaraan bagi
umat manusia (wa ma arsalnaka illa rahmatan li al-alamin) (QS al-Anbiya {21}: 107).[13]

Oleh karena itu, Gus Dur memandang perlunya perhatian terhadap ayat lain dalam Al-Quran. Ayat yang dapat
diambil misalnya Tidak ada paksaan dalam beragama, karena telah jelas mana yang lurus dan mana yang palsu
(QS al-Baqarah {2}: 256) dan Bagi kalian agama kalian dan bagi-Ku agama-Ku (lakum dinukum wa liyadin) (QS al-
Kafirun {109}:6).[14] Ayat-ayat ini dapat membantu menentukan suatu penafsiran yang lebih terbuka atas ayat yang
lain.

Selain itu, Gus Dur melihat bahwa sistem Islam bukan suatu kewajiban karena dalam Al-Quran juga terdapat
kategori-kategori Muslim yang baik yang dapat dijalankan tanpaadanya sistem Islam. Kategori itu antara lain:
menerima prinsip-prinsip keimanan, menjalankan rukun Islam secara utuh, menolong mereka yang membutuhkan
bantuan, menegakkan profesionalisme dan bersikap sabar ketika menghadapi cobaan dan kesusahan.[15]

Gus Dur menulis,Karena itu penulis berpendapat, dalam pandangan Islam tidak diwajibkan adanya sebuah sistem
Islam, ini berarti tidak ada keharusan untuk mendirikan sebuah negara. Ini penting untuk diingat, karena sampai
sekarang pun masih ada pihak-pihak yang ingin memasukkan Piagam Jakarta ke dalam UUD (Undang-Undang
Dasar) kita.[16]

Bagi Gus Dur, untuk mempertahankan kesatuan bangsa Indonesia yang majemuk ini, memang dibutuhkan konsep
yang jelas mengenai hubungan agama dengan negara. Akan tetapi, keinginan akan suatu sistem agama tertentu
jelas sesuatu yang kontraproduktif.Mungkin sekali bahwa sebenarnya yang diinginkan adalah seimbangnya
kekuasaan pusat dengan daerah dalam hal pemilihan kepala daerah oleh wakil rakyat di daerah dan penetapan
anggaran penerimaan dan belanja yang berpusat di daerah.[17]

Menurut Gus Dur , dalam kehidupan bernegara, Islam mesti menjadi inspirasi bagi gerakan-gerakan Islam. Di sini
formalisasi bukanlah yang perlu diperlihatkantetapi Islam harus lebih berfungsi nyata dalam kehidupan.[18] Kontrol
terhadap pemerintah dapat dilakukan organisasi non-politik seperti NU dengan pendekatan kultural yang
mengutamakan kebersihan perilaku di bidang pemerintahan. Organisasi politik dapat melakukannya dengan
penekanan pada penciptaan politik yang bersih. Dua hal itu dapat menegakkan demokratisasi di Indonesia.[19]

Oleh karena itumenurut Gus Dur, Al-Quran hendaknya jangan dipahami sebagai dokumen politik, melainkan sebuah
penggambaran kehidupan yang lengkap. Hal ini perlu disadari agar gerakan-gerakan Islam tidak memanfaatkan
politik sebagai sarana mencapai kekuasaan melainkan kepentingan rakyat kebanyakan atau kelas bawah. Ayat Al-
Quran mengatakan, Apa yang diberikan Allah kepada utusan-Nya sebagai pungutan fai dari kaum non-Muslim,
hanya bagi Allah, utusan-Nya, sanak keluarga terdekat, anak-anak yatim, kaum miskin dan pejalan kaki untuk
menuntut ilmu dan beribadat, agar supaya harta yang terkumpul tidak hanya beredar di kalangan kaum kaya saja di
lingkungan kalian (QS al-Hasyr [59]:7)[20]

2.Transformasi agama sebagai syarat partisipasi dalam Demokrasi

Menurut Gus Dur, hambatan proses demokratisasi di kalangan lembaga dan kelompok keagamaan salah satunya
disebabkan oleh perbedaan nilai-nilai dasar agama dengan demokrasi.[21]

Menurutnya, demokrasi memberi peluang bagi perubahan nilai oleh masyarakat sehingga berpotensi mengancam
nilai-nilai abadi yang terkandung dalam agama. Contohnya, berpindah agama ke agama lain dalam hukum Islam
berarti penolakan kepada kebenaran konsep Allah karenanya tidak dapat dibenarkan dan pelakunya diancam
hukuman mati. Hal itu berbeda dengan konsep demokrasi bahwa individu dalam masyarakat mempunyai hak untuk
memilih keyakinannya sehingga ia mempunyai hak untuk berpindah agama.[22] Mengenai konsep persamaan,
demokrasi mengakui kesamaan derajat dan kedudukan semua warga Negara di muka undang-undang. Sedangkan
agama lebih cenderung untuk mencari perbedaan, misalnya perbedaan agama dan keyakinan.[23]

Dengan memperhatikan hal-hal itu, Gus Dur berpendapat bahwa agama perlu melakukan transformasi. Agama harus
merumuskan kembali pandangannya tentang martabat manusia dan kesamaannya di hadapan hukum. Agama juga
mesti bekerja sama dengan agama lain untuk mencapai nilai-nilai universal. Nilai-nilai itudiungkapkan dengan
pelayanan konkret kepada masyarakat tanpa pandang bulu, misalnya melalui penanggulangan kemiskinan,
penegakan kedaulatan hukum dan kebebasan menyatakan pendapat. Transformasi inilah sumbangan agama bagi
proses demokratisasi.[24]

Lalu bagaimana dengan demokrasi? Menurut Gus Dur demokrasi mempunyai nilai positif karena menjadi tumpuan
harapan bagi mereka yang menolak pengagamaan negara sekaligus memberi ruang pada agama, Islam
misalnya.[25]

Selain itu, menurut Gus Dur, meski Piagam Jakarta telah dihapuskan dari UUD 1945, tampak bahwa Islam belum
secara maksimal menjadi pendorong tegaknya demokrasi.[26] Hal disebabkan karena semangat sektarianisme
mudah muncul. Isu-isu seperti pribumi dan non pribumi, Kristenisasi merupakan contoh-contoh nyata gejala
sektarian, yang mengancam pluralitas Indonesia.[27]

3.Pengagungan nilai kemanusiaan sebagai titik temu agama dan Kebudayaan

Menurut Gus Dur, dalam hubungan agama dengan kebudayaan terdapat ambivalensi. Pada satu sisi, agama-agama
menggunakan unsur-unsur budaya dalam upacara keagamaannya. Misalnya, penggunaan karya seni dan refleksi
filosofis dalam teologi. Hal ini memperlihatkan adanya ruang bagi kebudayaan dalam agama.[28]

Di sisi lain, menurut Gus Dur,ada relasi yang tak padu di antara keduanya. Contoh kasus adalah pelemparan batu
kepada seorang yang tertangkap berzinah. Dalam kasus itu, agama terlihat kejamterhadap manusia. Selain itu,
tampak juga bahwanorma agama tidak mampu membuat orang berkembang dalam kebudayaan. Sebab semestinya
orang yang berzinah adalah orang yang tak beradab tetapi ternyata orang-orang yang melempar batu itu tidak lebih
beradab karena mereka melakukan pembunuhan.[29]Menurut Gus Dur, agama memang mempunyai sistemnya
sendiri yang kurang mengakomodasi kebudayaan. Misalnya, Islam adalah agama hukum. Aturan yang sudah dibuat
oleh agama memegang supremasi tertinggi. Orang-orang yang melanggarnya akan mendapat hukuman. Sebagai
contoh, di Indonesia, Syekh Siti Jenar dihukum mati para Wali Songo karena menyimpang dari agama.[30] Agama
juga menekankan keabadian norma-norma agama dan perlunya norma-norma itu ditegakkan dalam masyarakat.
Untuk itu harus ada undang-undang yang memaksa masyarakat untuk tunduk.[31]

Akan tetapi ciri keabadian itu tidak sesuai dengan kebudayaan. Dalam kebudayaan terdapat ciri dinamis. Ada
perkembangan dan perubahan dalam cara pandang dan pendekatan. Hal itu dikarenakan bahwa kebudayaan adalah
hasil perkembangan cara hidup manusia.[32]
Oleh karena itu, menurut Gus Dur, perlulah hubungan keduanya dijembatani. Hal yang terpenting bagi Islam adalah
bagaimana membuat ukuran-ukuran yang dapat dijadikan pedoman dalam bertindak. Unsur mendasar yang harus
ada adalah pengutamaan hal-hal yang mengagungkan nilai kemanusiaan seperti pemeliharaan hak-hak asasi
manusia dan pengembangan struktur masyarakat Muslim yang adil.[33] Unsur mendasar itu dapat dijadikan sebagai
penyaring baik bagi ajaran agamamaupun bagi perkembangan kebudayaan tertentu.[34]

http://www.academia.edu/25983832/Contoh_Makalah_Islam_dan_Demokrasi

http://vaahanifah.blogspot.co.id/2012/02/demokrasi-dan-islam-di-negara-indonesia.html

http://rudtsoneclick.blogspot.co.id/2013/05/makalah-islam-dan-demokrasi.html

http://syamsul89.blogspot.co.id/2011/12/makalah-islam-dan-demokrasi-dosen.html

Anda mungkin juga menyukai