Anda di halaman 1dari 3

Belanja Pegawai Sarang Korupsi Pejabat

Posted by ManunggalCybernews On June 21, 2012 0 Comment

Pembengkakan anggaran belanja Pegawai dalam APBD Kabupaten Ngawi (Jawa Timur) tahun
2012 sangat mencengangkan. Proporsi belanja pegawai mencapai angka 814 miliar. Mayoritas
item atau mata anggaran belanja pegawai adalah untuk honorarium dan komsumsi. Tahun 2011
belanja pegawai Kabupaten Ngawi mencapai angka 717 Miliar, padahal jumlah PNS tidak
bertambah namun berkurang karena banyak yang pensiun dan berlangsung moratorium PNS.

Pembengkakan belanja pegawai tersebut membuktikan pemerintah daerahdalam hal sang


policy maker-kurang responsi terhadap program pembangunan. karena dengan semakin besar
prosentase belanja pegawai maka makin sedikit alokasi pengeluaran APBD untuk belanja modal
atau untuk kepentingan masyarakat.

Kabupaten Ngawi sendiri dalam rilis berbagai lembaga studi anggaran dianggap kabupaten yang
boros anggaran. Bo ros anggaran bukan untuk kepentingan masyarakat namun untuk kepentingan
birokrasi. Prosentase belanja pegawai di kabupaten Ngawi selama 5 tahun terakhir nyaris
mencapai angka 70 %.

Ironisnya meski belanja pegawai besar, kesejahteraan PNS terutama PNS rendahan sangat
minim. Gaji PNS sering diberikan terlambat. hal tersebut memunculkan anekdot dikalangan PNS
rendahan di kabupaten Ngawi, bahwa gaji PNS lambat dikucurkan karena anggarannya disimpan
dalam deposito berjangka menunggu jatuh tempo,sehingga bunga banknya bisa menguntungkan.
Kasus pembengkakan belanja pegawai yang irrasional bukan hanya terjadi di Ngawi, dari 250-an
kabupaten/kota di Indonesia 80 % filosofi anggarannya adalah Memaksimalkan belanja
anggaran pegawai dibanding belanja anggaran publik!

Adalah salah dan keliru apabila postur belanja pegawai yang besar akan menyejahterakan PNS
terutama PNS rendahan. Karena besaran belanja pegawai yang besar memuat kepentingan politik
anggaran dari sang policy maker pembangunan dan juga hanya menguntungkan elite birokrasi
pemerintahan.

Besarnya belanja pegawai jelas merugikan kepentingan rakyat, karena alokasi untuk anggaran
pembangunan menjadi berkurang. Namun besarnya belanja pegawai tidak secara otomatis
menyejahterakan PNS yang minus jabatan. Karena yang menikmati anggaran dari belanja
pegawai adalah elite birokrasi yang menjalankan lalu lintas anggaran.

Yang mendapatkan untung besar dari prosentase belanja pegawai adalah mereka yang disebut
piramida struktur birokrasi dengan berbagai embel-embel jabatan, baik yang menjadi pejabat
Pengelola Keuangan (PPTK) dan pejabat pengguna anggaran. Termasuk tentunya top leader
birokrasi yang memiliki wewenang dan kuasa mengatur mutasi jabatan.

Sudah menjadi rahasia umum, selama ini dibirokrasi pemerintahan atau jenjang piramida
struktural birokrasi dimanapun dan kapanpun praktek upeti dan dana setoran merupakan hal
yang wajar dan lumrah. Meski hal tersebut terkategori korupsi dalam definisi UU anti korupsi.
mata anggaran dari belanja pegawai terutama untuk honorarium, komsumsi, perjalanan dinas
rawan diselewengkan. Motif penyelewengan mata anggaran untuk honorarium pegawai,
komsumsi kegiatan, dan perjalanan dinas ada beberapa modus operandi. Modus operandi yang
lazim adalah kepala satuan kerja (badan/dinas/bagian) mematok upeti sekian persen dari total
biaya operasional pelaksanaan program (BOP) dan biaya rutin yang ada disatuan kerja. Potongan
sekian persen konon diperuntukkan untuk upeti pimpinan daerah dan juga kepala satuan kerja,
serta juga untuk dana taktis.

Di dalam perencanaan RKA (Rencana kegiatan anggaran) proporsi biaya komsumsi, honorarium
dan biaya perjalanan dinas dibengkakkan namun dalam pelaksanaan dibuat efisiensi namun
pelaporan (SPJ)-nya aman. Sisa selisih besaran anggaran komsumsi, honorarium pegawai dan
biaya perjalanan dinas di RKA dengan pelaksanaan riil diserahkan kepada kepala satuan kerja
dan sisanya dibagi untuk pegawai rendahan yang melaksanakan tugasnya.

Pembagian jatah sisa korupsi anggaran yang gemuk di RKA dan kurus di implementasi
berdasarkan daftar urut kepangkatan dan status jabatan, antara pejabat eselon II, III, IV dan baru
PNS yang cuma staf biasa. Modus operandi yang lain adalah dalam periode mutasi jabatan
terjadi praktek dagang sapi jabatan. kepala daerah selaku PPK (pejabat Pembina kepegawaian)
dan juga penentu jabatan karir didaerah melalui kepanjangan tangannya yakni Baperjakat (badan
pertimbangan jabatan dan karir), mematok harga jabatan dengan standar harga tertentu. Harga
jabatan tergantung eselon dan instansi. Eselon II yang merupakan kepala dinas/badan/bagian
(satker) dipatok dalam nilai tertentu, kemudian baru eselon dibawahnya.

Mekanisme balas budi dari pemberian jabatan, adalah melalui bentuk upeti yang dananya
diambilkan dari hasil mencari untung dari anggaran belanja pegawai disatuan kerja. Metodenya
mencari untung dari proses perencanaan anggaran dan pelaksanaan yang dibuat seefisien
mungkin. Jika dimungkinkan mata kegiatan tidak dilaksanakan namun SPJ memadai sehingga
jika ada pemeriksaan baik dari BPK, BPKP, inspektorat aman-aman saja.

Tugas memoles laporan atau SPJ diserahkan kepadaa staf yang ditunjuk sebagai bendahara dan
operator keuangan satuan kerja (satker). Belanja pegawai memang relatif mudah dijadikan target
untuk korupsi para pejabat birokrasi baik dipusat maupun didaerah. karena tidak mungkin dalam
kondisi sekarang pejabat publik melakukan pemotongan dan korupsi dana BLM (bantuan
langsung masyarakat), karena akan mendapatkan resistensi dari masyarakat.

Besarnya belanja pegawai secara langsung akan meningkatkan volume pendapatan pejabat
birokrasi didaerah, karena mereka akan mendapatkan rezeki dari sisa selisih anggaran
perencanaan dan pelaksanaan. Tidak mengherankan BPK dalam opini publiknya beberapa bulan
yang lalu menyebut kebocoran uang negara dari mata anggaran biaya perjalanan dinas mencapai
angka 30 triliun tahun 2011.

Kebocoran belanja pegawai unruk kepentingan elite birokrasi (pejabat) diberbagai daerah
diperkirakan mencapai angka 30-40 %. hal tersebut menjadi masuk akal jika dikorelasikan
dengan gaya hidup pejabat birokrasi dan kepemilikan harta yang semakin menimbun dari tahun
ke tahun ketika masih berposisi menjabat.
Untuk itulah saat ini masyarakat dan juga PNS rendahan harus menuntut transparansi anggaran,
dan menuntut prosentase anggaran yang besar untuk belanja publik/pembangunan. Karena
belanja pegawai yang besar sesungguhnya sarang korupsi para pejabat birokrasi. Mereka kaya
raya oleh praktek efisiensi anggaran yang jumlahnya sangat besar.

Anda mungkin juga menyukai