Anda di halaman 1dari 34

REFERAT

SUBDURAL HEMATOM

Disusun Oleh :
Akbar Ainur Pamungkas
1261050138
Pembimbing :
dr. Dini Heryani. Sp.Bs

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia
Periode 24 Juli 30 September 2017
Tarakan Kaltara

1
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI...........................................................................................................................1

DAFTAR GAMBAR ..............................................................................................................2

BAB I.......................................................................................................................................3

PENDAHULUAN ..................................................................................................................3

BAB II .....................................................................................................................................1

TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................................................1

A. DEFINISI ............................................................................................................................... 1

B. EPIDEMIOLOGI ................................................................................................................ 1

C. ANATOMI ............................................................................................................................ 1

D. KLASIFIKASI...................................................................................................................... 4

E. ETIOLOGI ............................................................................................................................ 6

F. FAKTOR RISIKO ............................................................................................................... 6

G. PATOFISIOLOGI ............................................................................................................... 7

H. MANIFESTASI KLINIS.................................................................................................... 9

I. DIAGNOSA .........................................................................................................................12

J. TATALAKSANA ...............................................................................................................18

BAB III................................................................................................................................. 29

KESIMPULAN .................................................................................................................... 29

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................... 30

1
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Lapisan Meningen ...................................................................................... 4

Gambar 2. Bridging vein .............................................................................................. 6

Gambar 3.Patofisiologi hematoma subdural kronis ..................................................... 8

Gambar 4.Glasgow Coma Scale ................................................................................ 13

Gambar 5. Akut subdural hematom ........................................................................... 15

Gambar 6. Subakut Subdural hematom ..................................................................... 16

Gambar 7.Kronik bilateral subdural hematom........................................................... 17

Gambar 8. MRI Akut subdural Hematom.................................................................. 18

Gambar 9.Bilateral kronik subdural hematom ........................................................... 18

Gambar 10.Bagan Studi evaluasi terkait obat-obatan ................................................ 23

Gambar 11. Burr hole and lavage .............................................................................. 28

2
BAB I

PENDAHULUAN
Di Indonesia, cedera kepala merupakan penyebab hampir dari setengah dari

seluruh kematian akibat trauma. Di USA kejadian cedera kepala setiap tahunya

diperkirakan sebanyak 500.000 kasus dan 10% diantara kasus tersebut meninggal

sebelum sampai di rumah sakit. Delapan puluh persen dari penderita yang sampai di

rumah sakit dikelompokan sebagai cedera kepala ringan, 10 % cedera kepala sedang,

dan sisanya sebagai cedera kepala berat. Di Indonesia di rumah sakit dr Hasan

Sadikin (Bandung), pada tahun 2011 kejadian cedera kepala sebanyak 2.509, terdiri

atas 74% cedera kepala ringan, 17% cedera kepala sedang dan 9 % cedera kepala

berat .(1)

Salah satu hasil dari cedera kepala adalah perdarahan pada bagian otak,

perdarahan pada bagian otak banyak tergantung letak perdarahan dan dapat

mempengaruhi volume dan fungsi jaringan yang ada di dalam otak, Salah satu dari 3

macam perdarahan pada daerah kepala yaitu adalah subdural hematom, perdarahan

yang terletak tepat dibawah lapisan duramater dengan lapisan araknoid.

Akut subdural hematoma dilaporkan muncul 5-25 % pada pasien dengan

cedera kepala berat. Sedangkan kronik subdural hematoma dilaporkaan ditemukan

sebanyak 1-5.3 kasus per 100.000 populasi. Semakin berkembangnya teknik

imaging, memungkinkan kedepanya angka ini akan terus bertambah.(2)

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Subdural Hematoma adalah Perdarahan pada rongga Subdural
(rongga diantara duramater dan subarachnoid) (1)
Subdural hematoma adalah kumpulan dari darah ekstraserebral, yang
dapat ditemukan dalam bentuk gumpalan darah atau cairan, terletak diantara
duramater dan lapisan tengah meningens (arakhnoid) dan tidak meluas pada
daerah subarakhnoid ataupun pada bagian basal sisterna.(3)

B. EPIDEMIOLOGI
Akut subdural hematoma dilaporkan muncul 5-25 % pada pasien
dengan cedera kepala berat. Sedangkan kronik subdural hematoma
dilaporkaan ditemukan sebanyak 1-5.3 kasus per 100.000 populasi. Semakin
berkembangnya teknik imaging, memungkinkan kedepanya angka ini akan
terus bertambah.(2)
Kronik subdural hematom merupakan masalah yang sering muncul
pada bedah saraf, seringkali disebabkan oleh trauma kepala dan sering
muncul pada pasien lanjut usia. Insidensi pada pasien berusia 70 tahun dan
lebih lanjut setidaknya didapatkan 58 dari 100.000 orang dalam satu tahun.
Dan angka ini diperkirakan akan menjadi dua kali lipat pada tahun 2030
nanti. (4)

C. ANATOMI (5)
1. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau
kulit, connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea
aponeurotika, loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar dan
pericranium.

1
2. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang
tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan
oksipital. Kalvaria khususnya di regio temporal adalah tipis, namun di sini
dilapisi oleh otot temporalis. Basis kranii berbentuk tidak rata sehingga dapat
melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan
deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior
tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang
bagi bagian bawah batang otak dan serebelum.

3. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan
yaitu :
i. Duramater

Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan


endosteal dan lapisan meningeal. Duramater merupakan selaput yang keras,
terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari

2
kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka
terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara duramater
dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera
otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju
sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat
mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural.

Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus


dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan
perdarahan hebat. Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan
dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat
menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan
epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media
yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).

ii. Selaput Arakhnoid


Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.
Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater
sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh
ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium
subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub
arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.

iii. Piamater

Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater
adalah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri
dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus
saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk
kedalam substansi otak juga diliputi oleh piamater.

3
Gambar 1. Lapisan Meningen

4. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang
dewasa sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; proensefalon
(otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak
tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula
oblongata dan serebellum.

D. KLASIFIKASI
Berdasarkan Waktu subdural hematom terbagi menjadi (1) (5) (6) :
1. Akut subdural hematom (1-3 hari)
Akut subdural hematom seringkali muncul setelah terjadinya cedera
kepala berat dan muncul biasanya dari laserasi kortikal. Tindakan bedah
kraniotomi sering diperlukan untuk mengevakuasi hematom. Jika hematoma
berupa darah dapat di bersihkan dengan melakukan irigasi. Gejala yang
timbul segera kurang dari 72 jam setelah trauma. Biasanya terjadi pada
cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan lebih
lanjut pada pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda
vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas.
Pada gambaran Ct-scan, didapatkan lesi hiperdens.

4
2. Subakut subdural hematom (4-21 hari)
Biasanya berkembang dalam beberapa hari sekitar 4-21 hari sesudah
trauma. Awalnya pasien mengalami periode tidak sadar lalu mengalami
perbaikan status neurologi yang bertahap. Namun, setelah jangka waktu
tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologis yang
memburuk. Sejalan dengan meningkatnya tekanan intrakranial, pasien
menjadi sulit dibangunkan dan tidak berespon terhadap rangsang nyeri atau
verbal. Pada tahap selanjutnya dapat terjadi sindrom herniasi dan menekan
batang otak. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi isodens
atau hipodens. Lesi isodens didapatkan karena terjadinya lisis dari sel darah
merah dan resorbsi dari hemoglobin.

3. Kronik subdural hematom (>21 hari)


Kronik subdural hematom dibedakan menjadi dua kategori yakni
traumatik dan non traumatic. Sepertiga dari total keseluruhan pasien dengan
kronik subdural hematom tidak memiliki riwayat cedera kepala berat.
Perdarahan kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu
berminggu- minggu ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau trauma
yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa mengakibatkan
perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular atau
gangguan pembekuan darah.

Jamieson dan Yelland mengklasifikasikan SDH berdasarkan keterlibatan


jaringan otak karena trauma. Dikatakan SDH sederhana (simple SDH) bila
hematoma ekstra aksial tersebut tidak disertai dengan cedera parenkim otak,
sedangkan SDH kompleks (complicated SDH) adalah bila hematoma ekstra
axial disertai dengan laserasi parenkim otak, perdarahan intraserebral (PIS)
dan apa yang disebut sebagai exploded temporal lobe. Lebih dari 70%
perdarahan intraserebral, laserasi dan kontusio parenkim otak yang
berhubungan dengan SDH akut disebabkan oleh kontra kup (contrecoup)
trauma, kebanyakan dari lesi parenkim ini terletak di lobus temporal dan
lobus frontal. Lebih dari dua pertiga fraktur pada penderita SDH akut terletak
di posterior dan ini konsisten dengan lesi kontra cop.

5
E. ETIOLOGI
Perdarahan pada ruang subdural terjadi akibat pecahnya atau rusaknya
vena penghubung (Bridging vein) yang ada dan melintas antara dura dan
arachnoid.

Gambar 2. Bridging vein

Penyebab terjadinya rupture atau pecahnya bridging vein pada ruang


subdural dibagi menjadi dua yakni traumatik dan nontraumatik. (6)
1. Traumatik : diakibatkan oleh karena adanya energy dari luar (trauma)
yang mengakibatkan terputusnya vena, banyak ditemukan pada akut
subdural hematom.
2. Non-Traumatik : diakibatkan oleh rapuhnya vena yang suatu saat
dapat ruptur. Biasa ditemukan pada pasien lanjut usia ataupun pasien
dengan kasus kronik subdural hematom.

F. FAKTOR RISIKO
Faktor risiko terjadinya perdarahan subdural antara lain :
a. Pertambahan Usia
b. Jatuh
c. Cedera kepala
d. Penggunaan antikoagulan/ antiplatelet
e. Aneurysma
f. Alcohol
g. Epilepsi

6
h. Tekanan intracranial yang lemah
i. Hemodialisis
Diantara faktor yang ada, faktor usia sudah cukup lama disadari
terjadi ditambah bila terdapat cedera kepala minor. Pada pasien lanjut
usia akan didapatkan atrofi dari jaringan parenkim otak, sehingga hal ini
akan mengakibatkan terjadinya peningkatan kerapuhan dari vena.
Penurunan massa otak ini akan menyebabkan terjadinya peningkatan
ruang antara otak dan tengkorak 6 11 % dari total keseluruhan
intracranial. Hal ini berdampak pada bridging vein mengakibatkan
terjadinya penarikan dari bridging vein, dan apabila terjadi pergerakaan
yang cukup kuat dari otak dapat merusak pembuluh d arah vena. (7)

G. PATOFISIOLOGI
Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral dan
atas hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan
distribusi bridging vein perdarahan seringkali terkumpul 100-200 cc
saja, perdarahan biasanya akan berhenti karena tamponade hematom
sendiri. Setelah 5-7 hari hematom mulai mengadakan reorganisasi dan
selesai dalam 10-20 hari. (5)
Inisiasi trauma terhadap vena penghubung menghasilkan perdarahan
pada ruang subdural. Setelah beberapa hari cloth dari perdarahan akan
dilapisi oleh lapisan tipis fibrin dan fibroblast pada hari keempat. Bagian
luar dari membran akan membesar dan fibroblast menginvasi hematom
dan membentuk membran pada minggu kedua. (7)
Membran vascular terbentuk disekeliling lesi.Darah dari dalam
hematoma subdural menarik cairan serebrospinal secara osmosis,
menambah ukuran hematoma, membuat neomembran yang tersusun dari
jaringan ikat. Membran ini mengandung pembuluh darah yang tipis
terutama di sisi duramater. Pembuluh darah ini rapuh dan seiring
bertambahnya ukurna pembuluh darah ini dapat pecah dan terjadi
perdarahan baru kembali. (1)
Darah yang terdapat dalam kapsul akan terurai membentukcairan
kental (osmolaritas meningkat) yang dapat mengisap cairan dari ruang
subarachnoid menyebabkan hematoma membesar. Hematomo yang

7
membesar menekan jaringan otak sekitarnya, meregangkan pembuluh
darah lainya menyebabkan jumlah darah dalam rongga subdural
bertambah banyak. (1)
Disamping itu, peningkatan aktivitas fibrinolisis dalam hematoma
mengaktivasi system renin-kalikrein yang menyebabkan terbentuknya
bradikinin. Bradikinin memicu vasodilatasi dan peningkatan
permeabilitas vaskuler yang pada akhirnya menambah jumlah cairan
dalam rongga subdural. Akibat suplai arteri yang baik, perdarahan
berulang, arus balik yang tidak adekuat dan thrombosis vascular,
neomembran pada SDH kronik dapat mengalami hialinisasi, kalsifikasi
bahkan osifikasi.(1)

Gambar 3.Patofisiologi hematoma subdural kronis

Terdapat dua teori yang dipaparkan terkait patofisiologi kronik


subdural hematom, tekanan osmotik dan perdarahan rekuren dari kapsul
hematom berhubungan dengan hiperfibrinolisis.Gardner pertama kali
memaparkan bahwa membrane sekitar hematom bertindak sebagai
membrane osmotic, dengan cairan serebrospinal berdifusi kedalam

8
hematoma yang hiperosmotik. Hal ini yang menerangkan bahwa terjadi
proses peningkatan ukuran dari hematoma. (8)

H.
MANIFESTASI KLINIS(7) (9)
Perdarahan Akut
Gambaran klinis ditentukan oleh dua faktor: beratnya cedera otak
yang terjadi pada saat benturan trauma dan kecepatan pertambahan
volume SDH. Penderita-penderita dengan trauma berat dapat menderita
kerusakan parenkim otak difus yang membuat mereka tidak sadar dengan
tanda-tanda gangguan batang otak.
Penderita dengan SDH yang lebih ringan akan sadar kembali pada
derajat kesadaran tertentu sesuai dengan beratnya benturan trauma pada
saat terjadi kecelakaan (initial impact). Keadaan berikutnya akan
ditentukan oleh kecepatan pertambahan hematoma dan
penanggulangannya. Pada penderita dengan benturan trauma yang ringan
tidak akan kehilangan kesadaran pada waktu terjadinya trauma. SDH dan
lesi massa intrakranial lainnya yang dapat membesar hendaklah dicurigai
bila ditemukan penurunan kesadaran setelah kejadian trauma. Stone dkk
melaporkan bahwa lebih dari separuh penderita tidak sadar sejak kejadian
trauma, yang lain menunjukkan beberapa lucid interval.
Gejala-gejala klinis terjadi akibat cedera otak primer dan tekanan oleh
massa hematoma. Pupil yang anisokor dan defisit motorik adalah gejala
klinik yang paling sering ditemukan. Lesi pasca trauma baik hematoma
atau lesi parenkim otak biasanya terletak ipsilateral terhadap pupil yang
melebar dan kontralateral terhadap defisit motorik. Akan tetapi gambaran
pupil dan gambaran motorik tidak merupakan indikator yang mutlak bagi
menentukan letak hematoma. Gejala motorik mungkin tidak sesuai bila
kerusakan parenkim otak terletak kontralateral terhadap SDH atau karena
terjadi kompresi pedunkulus serebral yang kontralateral pada tepi bebas
tentorium. Trauma langsung pada saraf okulomotor atau batang otak pada
saat terjadi trauma menyebabkan dilatasi pupil kontralateral terhadap
trauma. Perubahan diamater pupil lebih dipercaya sebagai indikator letak
SDH.

9
Secara umum, gejala yang nampak pada subdural hematom seperti
pada tingkat yang ringan (sakit kepala) sampai penurunan kesadaran.
Penurunan kesadaran hematom subdural tidak begitu hebat seperti kasus
cedera neuronal primer, kecuali bila ada efek massa atau lesi lainnya.
Gejala yang timbul tidak khas dan merupakan manisfestasi dari
peninggian tekanan intrakranial seperti: sakit kepala, mual, muntah,
vertigo, papil edema, diplopia akibat kelumpuhan n. III, epilepsi, anisokor
pupil, dan defisit neurologis lainnya, kadang kala dengan riwayat trauma
yang tidak jelas, sering diduga tumor otak.

Perdarahan Kronik
1. Common presentation
i. Perubahan mental status
Tampak pada 50-70% dari lansia, dapat tampak sebagai bingung,
koma. Akut delirium sulit dibedakan dengan gejala psiktik. Beberapa
pasien mungkin akan mengalami gejala paranoid atau depresi. Pada era
dimana belum ditemukan adanya CT scan didapatkan dari 200 pasien
psikiatri terdapat 14 diantaranya menderita SDH.

ii. Defisit fokal neurologis fokal


Hemiparesis ditemukan 58 % pada pasien. Kelemahan pada tungkai biasa
ringan, deficit biasa terjadi pada daerah kontralateral namun terdapat juga
laporan akan ipsilateral.

iii. Sakit kepala


Insidensi terjadinya sakit kepala 14- 80 %, dan sering tampak pada
pasien usia lanjut dibanding pasien muda. Hal ini merupakan bagian dari
pengaruh besarnya hematom sehingga dapat memberikan tekanan kepada
otak.

iv. Jatuh
74 % pasien dilaporkan sering jatuh, kebiasaan akan sering jatuh dapat
mengakibatkan perdarahan kembali pada subdural hematom.

10
v. Kejang
6% dari kasus didapatkan pasien mengalami kejang. Pada pasien yang
diketahui mengidap epilepsi didapatkan bahwa lebih sering terjadi
kejang.

vi. Defisit transient neurologis (TND)


Tidak selalu (TND) menggambarkan adanya iskemia serebral, angka
kejadian berkisar 1-12%. Intermiten paraparesis dapat muncul setelah
dilakukan drainase. Mekanisme yang mungkin terjadi peningkatan sesaat
parenkim yang membengkak akibat kesalahan vascular ataupun iskemia.

2. Uncommon presentation

i. Defisit Neurologis terisolasi


Pasien tampak vertigo dan nystagmus, okulomotor palsy juga dilaporkan.
Peningkatan tekanan intracranial mengakibatkan herniasi uncal dan
menarik saraf kranialis.

ii. Extrapyramidal sindrom


Akinetic-rigid sindrom yang dapat kembali pulih setelah operasi
dilakukan. Mekanisme yang mungkin terjadi adalah adanya tekanan pada
bangsal ganglia, penekanan pada midbrain, gangguan sirkulasi pada basal
ganglia akibat kesalahan posisi dan kompresi dari arteri khoridalis
anterior.

iii. Sindrom neurologis lain


Gerstmann sindrom ( disorientasi kanan-kiri, agnosia jari,agraphia dan
acalculia) dan progresif quadriparesis.

iv. Mudah terjatuh


Biasa muncul pada akut onset defisit kontralateral postural lesi pada
basal ganglia. Hal ini berhubungan juga dengan lesi kecil yang iskemik.

11
Jatuh dari pasien biasa tampak bergeser kea rah lateral atau diagonal
belakang.

I. DIAGNOSA
1. Anamnesis
Dari anamnesis di tanyakan adanya riwayat trauma kepala baik
dengan jejas dikepala atau tidak, jika terdapat jejas perlu diteliti ada
tidaknya kehilangan kesadaran atau pingsan. Jika ada pernah atau tidak
penderita kembali pada keadaan sadar seperti semula. Jika pernah apakah
tetap sadar seperti semula atau turun lagi kesadarannya, dan di perhatikan
lamanya periode sadar atau lucid interval. Untuk tambahan informasi
perlu ditanyakan apakah disertai muntah dan kejang setelah terjadinya
trauma kepala.

Kepentingan mengetahui muntah dan kejang adalah untuk mencari


penyebab utama penderita tidak sadar apakah karena inspirasi atau
sumbatan nafas atas, atau karena proses intra kranial yang masih
berlanjut. Pada penderita sadar perlu ditanyakan ada tidaknya sakit
kepala dan mual, adanya kelemahan anggota gerak sesisi dan muntah-
muntah yang tidak bisa ditahan. Ditanyakan juga penyakit lain yang
sedang diderita, obat-obatan yang sedang dikonsumsi saat ini, dan
apakah dalam pengaruh alkohol.

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan primer (primary survey)
yang mencakup jalan nafas (airway), pernafasan (breathing) dan tekanan
darah atau nadi (circulation) yang dilanjutkan dengan resusitasi. Jalan nafas
harus dibersihkan apabila terjadi sumbatan atau obstruksi, bila perlu dipasang
orofaring tube atau endotrakeal tube lalu diikuti dengan pemberian oksigen.
Hal ini bertujuan untuk mempertahankan perfusi dan oksigenasi jaringan
tubuh. Pemakaian pulse oksimetri sangat bermanfaat untuk memonitor
saturasi O2. Secara bersamaan juga diperiksa nadi dan tekanan memantau
apakah terjadi hipotensi, syok atau terjadinya peningkatan tekanan
intrakranial. Jika terjadi hipotensi atau syok harus segera dilakukan

12
pemberian cairan untuk mengganti cairan tubuh yang hilang. Terjadinya
peningkatan tekanan intrakranial ditandai dengan refleks Cushing yaitu
peningkatan tekanan darah, bradikardia dan bradipnea.

Pemeriksaan neurologik yang meliputkan kesadaran penderita dengan


menggunakan Skala Koma Glasgow, pemeriksaan diameter kedua pupil , dan
tanda- tanda defisit neurologis fokal. Pemeriksaan kesadaran dengan Skala
Koma Glasgow menilai kemampuan membuka mata, respon verbal dan
respon motorik pasien terdapat stimulasi verbal atau nyeri. Pemeriksaan
diamter kedua pupil dan adanya defisit neurologi fokal menilai apakah telah
terjadi herniasi di dalam otak dan terganggunya sistem kortikospinal di
sepanjang kortex menuju medula spinalis.

Pada pemeriksaan sekunder, dilakukan pemeriksaan neurologi serial


meliputi GCS, lateralisasi dan refleks pupil. Hal ini dilakukan sebagai deteksi
dini adanya gangguan neurologis. Tanda awal dari herniasi lobus temporal
(unkus) adalah dilatasi pupil dan hilangnya refleks pupil terhadap cahaya.
Adanya trauma langsung pada mata membuat pemeriksaan menjadi lebih
sulit.

Gambar 4.Glasgow Coma Scale

13
3. Pemeriksaan Penunjang (9)
i. Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium minimal meliputi, pemeriksaan darah


rutin, elektrolit, profil hemostasis/koagulasi.

ii. Foto tengkorak


Pemeriksaan foto tengkorak tidak dapat dipakai untuk
memperkirakan adanya SDH. Fraktur tengkorak sering dipakai untuk
meramalkan kemungkinan adanya perdarahan intrakranial tetapi tidak
ada hubungan yang konsisten antara fraktur tengkorak dan SDH. Bahkan
fraktur sering didapatkan kontralateral terhadap SDH.

iii. CT-ScanPemeriksaan
CT scan adalah modalitas pilihan utama bila disangka terdapat suatu
lesi pasca-trauma, karena prosesnya cepat, mampu melihat seluruh
jaringan otak dan secara akurat membedakan sifat dan keberadaan lesi
intra-aksial dan ekstra-aksial. :

1)Perdarahan Subdural Akut

Perdarahan subdural akut pada CT-scan kepala (non kontras) tampak


sebagai suatu massa hiperdens (putih) ekstra-aksial berbentuk bulan sabit
sepanjang bagian dalam (inner table) tengkorak dan paling banyak
terdapat pada konveksitas otak di daerah parietal. Terdapat dalam jumlah
yang lebih sedikit di daerah bagian atas tentorium serebelli. Subdural
hematom berbentuk cekung dan terbatasi oleh garis sutura. Jarang sekali,
subdural hematom berbentuk lensa seperti epidural hematom dan
biasanya unilateral.

Perdarahan subdural yang sedikit (small SDH) dapat berbaur dengan


gambaran tulang tengkorak dan hanya akan tampak dengan
menyesuaikan CT window width. Pergeseran garis tengah (midline shift)
akan tampak pada perdarahan subdural yang sedang atau besar
volumenya. Bila tidak ada midline shift harus dicurigai adanya massa

14
kontralateral dan bila midline shift hebat harus dicurigai adanya edema
serebral yang mendasarinya.

Perdarahan subdural jarang berada di fossa posterior karena serebelum


relatif tidak bergerak sehingga merupakan proteksi terhadap bridging
veins yang terdapat disana. Perdarahan subdural yang terletak diantara
kedua hemisfer menyebabkan gambaran falks serebri menebal dan tidak
beraturan dan sering berhubungan dengan child abused.

Gambar 5. Akut subdural hematom

2)Perdarahan Subdural Subakut

Di dalam fase subakut perdarahan subdural menjadi isodens terhadap


jaringan otak sehingga lebih sulit dilihat pada gambaran CT. Oleh karena
itu pemeriksaan CT dengan kontras atau MRI sering dipergunakan pada
kasus perdarahan subdural dalam waktu 48 72 jam setelah trauma
kapitis. Pada gambaran T1-weighted MRI lesi subakut akan tampak
hiperdens. Pada pemeriksaan CT dengan kontras, vena-vena kortikal
akan tampak jelas dipermukaan otak dan membatasi subdural hematoma
dan jaringan otak. Perdarahan subdural subakut sering juga berbentuk
lensa (bikonveks)

15
sehingga membingungkan dalam membedakannya dengan epidural
hematoma. Pada alat CT generasi terakhir tidaklah terlalu sulit melihat
lesi subdural subakut tanpa kontras.

Gambar 6. Subakut Subdural hematom

3)Perdarahan Subdural Kronik

Pada fase kronik lesi subdural menjadi hipodens dan sangat mudah
dilihat pada gambaran CT tanpa kontras. Sekitar 20% subdural hematom
kronik bersifat bilateral dan dapat mencegah terjadi pergeseran garis
tengah. Seringkali, hematoma subdural kronis muncul sebagai lesi
heterogen padat yang mengindikasikan terjadinya perdarahan berulang
dengan tingkat cairan antara komponen akut (hyperdense) dan kronis
(hipodense).

16
Gambar 7.Kronik bilateral subdural hematom

iv. MRI (Magnetic resonance imaging)


Magnetic resonance imaging (MRI) sangat berguna untuk
mengidentifikasi perdarahan ekstraserebral. Akan tetapi CT-scan
mempunyai proses yang lebih cepat dan akurat untuk mendiagnosa SDH
sehingga lebih praktis menggunakan CT-scan ketimbang MRI pada fase
akut penyakit. MRI baru dipakai pada masa setelah trauma terutama
untuk menetukan kerusakan parenkim otak yang berhubungan dengan
trauma yang tidak dapat dilihat dengan pemeriksaan CT-scan. MRI lebih
sensitif untuk mendeteksi lesi otak nonperdarahan, kontusio, dan cedera
axonal difus. MRI dapat membantu mendiagnosis bilateral subdural
hematom kronik karena pergeseran garis tengah yang kurang jelas pada
CT-scan.

17
Gambar 8. MRI Akut subdural Hematom

Gambar 9.Bilateral kronik subdural hematom

J. TATALAKSANA
1. Non-Operatif(4)
Tindakan konservatif terkait tatalaksana SDH menggunakan berbagai
macam obat-obatan.

18
Kortikosteroid
Kortikosteroid menghambat sintesis pro-inflamasi, system
imun, enzim proinflamasi dan sintesis nitric oxide dan
siklooxygenase. Kortikosteroid mengurangi serta mengacaukan
reaksi inflamasi yang terinduksi angiogenik. Hal ini dibuktikan
dalam uji coba pada hewan tikus, tikus yang diberi dexamethasone
pada struktur histologinya didapatkan bahwa tidak terbentuknya
neomembran pada SDH. Studi pertama penggunaan kortikosteroid
dimulai pada tahun 1974 oleh Bender. Namun tetap opsi
pembedahan masih menjadi opsi pertama sebagai tatalaksana.
Dikatakan bahwa penggunaan kortikosteroid untuk pengobatan
konservatif direkomendasikan pada pasien tanpa gejala fokal dan
nonsopor atau nokomatous pasien. Kortikosteroid dapat menjadi
alternative pengobatan pada pasien dengan subdura hematom
kronik yang tidak dapat dilakukan pembedahan untuk drainase.
Pada 2009 Delgado-Lopez menggunakan tindakan konservatif
kortikosteroid, dexamethasone 4 mg setiap 8 jam selama 48-72
jam, jika pasien mengalami perbaikan maka dosis dikurangi
menjadi 1 mg/ hari selama 3 hari. 96 % dari keseluruhan pasien
yang diberikan memberikan efek yang baik.
Dalam studi meta analisis didapatkan bahwa tidak ada
perbedaan yang signifikan akan rekurensi,morbiditas, mortality,
dari pasien yang diobati dengan kortikosteroid ataupun dengan
tindakan pembedahan.Namun dosis ideal dan durasi dari
pengobatan masih belum jelas dan butuh studi lebih lanjut dalam
populasi yang besar.

ACE inhibitor
Efek dari penggunaan ACE inhibitor masih tidak jelas. Obat
ini digunakan untuk mengobati hipertensi pada arteri, namun
patologis dengan meningkatkan aktivitas angiogenik seperti
Kaposis sindrom dan diabetic retinopati. Dikatakan bahwa ACE
inhibitor dapat mengurangi risiko akan rekurensi dan
berkembangnya SDH. ACE inhibitor diketahui meningkatkan

19
level dari bradikinin, produk akhir dari kalikrein kinin system.
Bradkinin, peptide vasoaktif , menginduksi permeabilitas dan
vasodilatasi, memicu terjadinya ekstravasasi darah dari
neomembran pada SDH, mempengaruhi berkembangnya
hematoma. Studi mempelajari belum adanya efekasi dari ACE
inhibitor sebagai pengobatan konservatif yang berdiri sendiri.

Asam Traneksamat
Fibrinolisi dan hiperkoagulasi tampak memainkan peran
dalam terjadinya liquefikasi dan progresi dari SDH. Sebagai
tambahan, peningkatan permeabilitas dari kapiler pada bagian luar
membrane hematoma membuat terjadinya perdarahan mikro yang
membuat hematoma menjadi berkembang. Kalikrein system ,
yang teraktivasi oleh plasmin, terinduksi oleh inflamasi dan
peningkatan permeabilitas vascular, migrasi dari sel leukosit
ditemukan pada bagian luar dari membrane kronik SDH.
Asam traneksamat memiliki antifibrinolitik efek melalui
inhibisi aktivasi plasminogen dan plasmin. Terdapat hipotesa
mengatakan bahwa asam traneksamat mungkin dapat menghambat
aktivitas fibrinolitik dan meningkatkan permeabilitas vascular dari
membrane hematom, berpengaruh terhadap penyerapan dari
hematom. Dengan adanya asumsi ini , Kageyama melakukan
penilitian dengan memberikan 750 mg asam traneksamat satu kali
per hari didapatkan penyerapan menyeluruh yang komplit
terhadap seluruh hematoma, dapat disimpulkan bahwa pengobatan
dengan menggunakan asam traneksamat dapat menjadi
pengobatan konservatif yang valid.
Namun sampai saat ini penggunaan akan asam traneksamat
padapasien kronik SDH masih dalam penelitian, terutama
penggunaanya pada pasien dengan risiko tromboembolik, harus
dievaluasi kembali dengan studi yang lebih besar

20
Manitol
Mannitol adalah diuretik osmotik yang digunakan untuk
pengobatan tekanan intrakranial yang meningkat. Pada kronik
SDH, hipotesa bahwa hematoma meningkat sebagai hasil gradien
osmotik dalam kapsul hematoma. Akibatnya, peningkatan
hematoma menghasilkan ketegangan pada kapsul, yang
menyebabkan perdarahan mikro dan pembesaran hematoma lebih
lanjut. Pengurangan tekanan hematoma dengan menggunakan
manitol dapat mencegah rangkaian kejadian ini, menghentikan
persinggahan terus-menerus di dalam rongga hematoma dan
secara serentak membiarkan resorpsi spontan hematoma.
Berdasarkan asumsi tersebut, Suzuki dkk. diberikan 500-1000
ml mannitol drip (20%) setiap hari sebagai modalitas pengobatan
konservatif untuk kronik SDH. Dari 23 pasien yang berurutan, 22
menunjukkan penurunan volume hematoma dan pemulihan
neurologis yang lengkap saat menindaklanjuti, sedangkan dalam
satu kasus drainase lubang bor dibutuhkan setelah 12 hari
pengobatan manitol.
Mereka merekomendasikan penggunaan dosis 1000 ml, karena
ini menunjukkan hasil yang lebih baik daripada dosis 500 ml, dan
jika pengobatan mengurangi gejala setelah 3 sampai 4 hari,
evakuasi bedah harus segera dilakukan.

Platelet activating factor receptor antagonist


Peradangan tampaknya memainkan peran utama dalam
patogen dari kronik SDH. Faktor pengaktif platelet (PAF),
mediator lipid yang sangat manjur, telah terbukti terlibat dalam
pembentukan dan pertumbuhan Kronik SDH.
Sebuah studi yang melibatkan 62 pasien yang didiagnosis
dengan cSDH dan hanya menunjukkan gejala ringan (tidak ada
paresis, tanpa herniasi), secara bergantian ditugaskan ke kelompok
perlakuan (etizolam 3 mg per hari selama 14 hari) dan kelompok
kontrol secara prospektif. Karena putus sekolah, 53 pasien

21
termasuk dalam analisis akhir, 24 pada kelompok perlakuan dan
29 pada kelompok kontrol.
Penulis menyimpulkan bahwa etizolam dapat meningkatkan
resolusi cSDH, terutama pada pasien dengan hygroma atau tumor
dengan kepadatan rendah pada CT dan tanpa paresis pada saat
presentasi.

Statin
Laporan sebelumnya menunjukkan bahwa statin
meningkatkan angiogenesis dan menahan peradangan. Sebuah
studi pada tikus menunjukkan bahwa resolusi SDH dan pemulihan
neurologis tikus yang diobati dengan atorvastatin lebih cepat dan
lebih baik daripada tikus yang diobati dengan garam.
Selain itu, pemeriksaan mikroskopik membran menunjukkan
kepadatan CD31 + neovaskulatur yang lebih tinggi, tingkat
interleukin-6 yang lebih rendah, faktor nekrosis tumor- dan VEGF,
dan jumlah granulosit neutrofil yang lebih rendah pada kelompok
atorvastatin. Para penulis menyimpulkan bahwa modulasi inflamasi
yang diinduksi oleh statin pada tikus menghilangkan SDH dan
memperbaiki pemulihan neurologis.
Berdasarkan asumsi serupa, Wang et al. melakukan penelitian
proseptif termasuk 23 pasien yang dirawat secara konservatif untuk
kronik SDH dengan atorvastatin (dosis oral 20 mg sekali sehari
selama 1-6 bulan). Dari 23 pasien, satu mengalami pembedahan
karena kerusakan neurologis setelah 4 minggu pengobatan
konservatif, dan 22 pasien lainnya mengalami penurunan volume
hae matoma yang signifikan pada bulan pertama pengobatan. Tidak
satu pun dari 22 pasien ini mengalami kekambuhan selama 36 bulan
masa tindak lanjut dan tidak ada efek samping atorvastatin yang
didokumentasikan. Hasilnya menunjukkan bahwa atorvastatin adalah
alternatif yang aman dan hemat biaya untuk perawatan bedah.
Studi tambahan menganalisis efek atorvastatin sebagai
pengobatan konservatif (dosis oral 20 mg sekali sehari selama 1-6
bulan) dan sebagai pengobatan adjuvan untuk operasi. Pada tujuh

22
pasien yang diobati secara konservatif, pengurangan hematoma
signifikan terlihat setelah 1 bulan; Pada 6 bulan semua haematomas
telah hilang. Tidak ada pasien yang membutuhkan evakuasi bedah.
Selain itu, bila atorvastatin digunakan sebagai pengobatan adjuvant
pada 39 dari 102 pasien bedah, perbedaan yang signifikan dalam
hasil yang mendukung kelompok atorvastatin terlihat.
Sebagai kesimpulan, tampaknya atorvastatin adalah pilihan yang
valid dan aman untuk pengobatan konservatif pasien kronik SDH
tanpa gejala atau sedikit simtomatik. Penelitian prospektif lebih
lanjut dengan bantuan yang lebih besar diperlukan untuk
menentukan nilai statin sesungguhnya dalam pengobatan konservatif
kronik SDH.

Gambar 10.Bagan Studi evaluasi terkait obat-obatan

2. Operatif (10) (3)

Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan adanya gejala-
gejala yang progresif, maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk melakukan
pengeluaran hematoma. Tetapi sebelum diambil keputusan untuk dilakukan tindakan
operasi, yang tetap harus kita perhatikan adalah airway, breathing dan circulation
(ABCs). Tindakan operasi ditujukan kepada:
Evakuasi seluruh SDH
Merawat sumber perdarahan
Reseksi parenkim otak yang nonviable
Mengeluarkan ICH yang ada.

23
Guideline :
Menurunkan TIK dengan drainase CSS transventrikel dan monitoring TIK
lebih penting daripada operasi dekompresi pada SDH tipis (tebal 10 mm).
Option :
Indikasi pembedahan pada SDH akut sesuai penjelasan rekomendasi.
Indikasi Pembedahan:
a. Pasien subdural hematoma, tanpa melihat GCS
- dengan ketebalan >10mm
- atau pergeseran struktur midline > 5mm pada CT scan
b. Semua pasien subdural hematoma dengan GCS < 9 harus dilakukan
monitoring tekanan intrakranial.
c. Pasien subdural hematoma dengan GCS < 9,
- ketebalan subdural hematoma < 10mm dan pergeseran
struktur midline, jika mengalami penurunan GCS lebih dari 2 poin atau lebih
antara saat kejadian dengan saat masuk ke rumah sakit
- dan/atau jika didapatkan pupil yang dilatasi asimetris atau
fixed
- dan/atau TIK > 20mmHg.
Waktu
Pada pasien subdural hematoma akut dengan indikasi pembedahan,
pembedahan dilakukan secepat mungkin. Kemampuan untuk mengontrol TIK lebih
penting daripada evakuasi hematom.
Metode
Metode penanganan pasien dengan subdural hematoma akut tipis traumatik
dengan drainase CSF transventrikel juga untuk monitor TIK. Metode operasi
craniotomy dekompressi dan pemasangan drainase CSF transventrikel dilakukan
pada penderita dengan indikasi tertentu.
Penjelasan Rekomendasi
Penderita cedera otak berat dengan komplikasi subdural hematom akut
merupakan penyebab utama kematian pada cedera otak berat dengan lesi massa
intrakranial. Angka kematian mencapai 42% - 90%. Kerusakan otak yang terjadi
lebih berat karena mekanisme trauma yang hebat, kerusakan parenkim otak yang
luas dan edema serebral.Secara patofisiologi, pengaruh cedera otak primer yang
terjadi terhadap hasil akhir lebih penting dari efek hematom subdural itu sendiri.

24
Kemampuan untuk mengontrol TIK lebih penting daripada waktu pelaksanaan
evakuasi hematom.

1. Teknik Operasi
a. Minimal craniotomy (kurang dari 3 cm) ; Single burr hole dengan
pemasangan system drain vakum tertutup.
b. Minimal craniotomy (under 3 cm) ; dengan system drain tertutup dan
irigasi dengan nacl, merupakan varian teknik pertama
c. Twist dril trephination ; dilakukan bersama dengan system drain
tertutup
d. Craniotomy (> 3 cm) biasa dilakukan pada kasus lama, kronik
subdural hematom.
3 teknik utama yang sering digunakan yakni :
a. Craniotomy
Paling sering digunakan di masa lalu, ia memiliki keuntungan
untuk mengekspos bagian penting otak. Biasanya dilakukan dengan
anestesi umum dan ini adalah pilihan pengobatan yang paling invasif dari
hematoma subdural kronis karena memerlukan banyak waktu dan ini
memerlukan banyak kehilangan darah intraoperator. Namun, tetap pilihan
yang dipilih pada kasus haematoma subdural lama, terorganisir,
multiseptasi. Dalam penelitian Markwalder (1981) mengenai hematoma
subdural kronis, kraniotomi, yang dianggap sebagai pendekatan radikal,
dicadangkan untuk kasus di mana: a) hematoma subdural kambuh; b)
hematoma tampak sangat terorganisasi dengan baik dalam pemeriksaan
CT dan memiliki konsistensi yang solid; c) otak tidak melakukan
ekspansi ulang dan melenyapkan area subdural.

25
b. Minimal craniotomy
Minimal kraniotomi (trephination) - adalah salah satu teknik bedah
yang paling sering digunakan pada kasus hematemat subdural saat ini.
Menurut sebuah penelitian di Kanada pada tahun 2005, 85% responden
mengindikasikan teknik ini sebagai pengobatan yang paling umum
digunakan. Namun, dalam kasus kambuh, 43,1% lebih menyukai
kraniotomi dan hanya 35,1% yang trepinasi. Biasanya dilakukan dengan

26
anestesi umum, beberapa ahli bedah hanya memilih satu trephination,
yang lainnya dua. Namun demikian, tidak satu pun dari 2 varian tersebut
merupakan pilihan yang jelas walaupun dalam sebuah penelitian
ditunjukkan bahwa pasien yang diaplikasikan hanya satu trephination
menghadirkan tingkat relaps tinggi, masa rawat inap yang lebih lama dan
tingkat infeksi yang tinggi pada luka.

c. Single twist drill trephination


Memberikan keuntungan besar yang dapat dilakukan di tempat tidur
rumah sakit saat menggunakan anestesi lokal atau di ruang operasi dengan
anestesi lokal atau umum. Hal ini dianggap berguna pada kasus pasien
dengan komorbiditas multipel, yang sudah sangat tua dan di antaranya risiko
operasi kompleks sangat tinggi. Ini hanya efisien dalam kasus di mana
hematoma subdural benar-benar cair dan, biasanya sistem pengeringan
vakum Jackson-Pratt juga digunakan. Yang juga harus disebutkan adalah
bahwa sebagian besar penelitian menyoroti bahwa tingkat kambuh dalam
kasus bedah. Pengobatannya antara 5 dan 33%. Kambuh pada kasus
haematoma subdural kronis berarti kambuh simtomatik hematoma subdural
di daerah yang sudah dioperasi. Faktor risiko kambuhan adalah sebagai
berikut: kecenderungan pendarahan, hipotensi intrakranial, perdarahan
neomembran berulang.

Drainase Burr-hole adalah teknik yang paling disukai dan prac


sed dan biasanya dilakukan melalui penempatan dua lubang burr diikuti
dengan pencucian dengan salin, merupakan teknik yang aman dan adekuat.
Perluasan kembali otak dan hematoma evakuasi adalah faktor pembimbing
yang paling penting untuk hasil yang baik. Reekspansi otak dihambat oleh
adanya bekuan residu dan membran, udara di ruang subdural, dan
elastisitas permukaan otak yang tinggi. Lubang burr tunggal cukup
memadai untuk drainase hematoma. Irigasi pada ruang subdural yang
mengikuti membantu evakuasi pada sisa bekuan dan serpihan membran.

27
Gambar 11. Burr hole and lavage

28
BAB III

KESIMPULAN
Subdural hematoma adalah perdarah yang terjadi di ruang subdural yang disebabkan
karena robeknya bridging veins. Perdarahan disebabkan trauma langsung pada
kepala yang kemudian memicu timbulnya akselsari dan deakselerasi jaringan otak
sehingga merobek pembuluh darah terutama bridging veins. Perdarahan subdural
paling sering terjadi pada pasien lanjut usia dan pada permukaan lateral hemisferium
dan sebagian di daerah temporal.

Subdural hematom dibagi menjadi akut, subakut, dan kronis. Gejala yang
ditimbulkan akibat terkumpulnya hematom yang mendesak otak dapat berupa
penurunan kesadaran nyeri kepala, mual muntah, kejang, serta dilatasi pupil dan
hemiparesis apabila terjadi herniasi, Pada kasus kronik dapat ditemukan berbagai
macam gejala klinis terkait lesi. Penanganan yang cepat dan adekuat menentukan
besarnya hematom dibantu dengan pemeriksaan penunjang, dan kemudian dilakukan
tindakan berupa evakuasi hematom Tindakan yang bisa dilakukan dapat berupa
konservatif (medikamentosa) atau berupa tindakan operatif.

29
DAFTAR PUSTAKA
1. Satyanegara. S. (2014). Trauma Kepala. ILMU BEDAH SARAF (5 ed, pp.

313-43). Jakarta, DKI, Indonesia: PT GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA.

2. Richard. J. (2012, July). Subdural Hematoma Workup. (H. L. Lutsep, Editor)

Retrieved from Medscape:

https://emedicine.staging.medscape.com/article/1137207-workup#c9

3. Iliescu. I. (2015). Current diagnosis and treatment of chronic subdural

haematomas. Journal of medicine and life , 8 (3), 278-84.

4. Jehuda S. (2017). The conservative and pharmacological management of

chronic subdural haematoma. Swiss Medical Weekly , 147, 1-9.

5. Sylvia P. (2006). Patofisiologi. Konsep Klinis Proses proses Penyakit (pp.

1174-76). Jakarta: EGC.

6. Andrew. H. (2005). Traumatic intracranial haematomas. In A. H.Kaye,

Essential Neurosurgery (3 ed., pp. 59-62). Mellbourne, Australia: Blackwell.

7. Adhiyaman V, Asghar M. (2002). Chronic subdural haematoma in the

elderly. Postgrad Med J , 78, 71-5.

8. Sakellaridis. N. (2015). Pathophysiology of chronic subdural hematoma.

Brain Disorders & Therapy , 4 (4).

9. Sjamsuhidajat. R. Subdural Hematoma. In W. D. Jong, Buku ajar ilmu Bedah

(2 ed., p. 818). Jakarta, 2004: EGC.

10. Tim neurotrauma RSU dr. Soetomo. (2007). Indikasi operasi pada Subdural.

In T. neurotrauma, & J. wahyunadi (Ed.), Pedoman tatalaksana cedera otak

(pp. 36-7). Surabaya: Tim neurotrauma univ. airlangga.

30

Anda mungkin juga menyukai