Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH MANAJEMEN BENCANA

ANGIN RIBUT

KELOMPOK 1

Anin Nur Sholihah J410161008

Ayu Isnaini Rahmawati J410161021

Erma Martiana J410161027

Laelatun Nur Azizah J410161031

Ardhi Setiawan J410161039

Asmi rizal abdillah J410161029

Sukma dian pambudi J410161038

Milla Wahyu Ika Y J410161005

Emi Oktaviyani J410161007

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2017
A. Analisis Komponen Terkait angin ribut
1. Angin
Angin merupakan gerak udara yang sejajar dengan permukaan bumi
(Tjasyono, 2004). Bergeraknya angin dipengaruhi oleh faktor pendorong yaitu
perbedaan tekanan bertekanan tinggi ke tempat yang bertekanan lebih rendah.
Angin dapat bergerak secara vertikal dengan kecepatan yang berfluktuasi dan
bervariasi. Angin bergerak secara berkelok-kelok sesuai medan yang yang
dilaluinya. Pergerakan angin yang cepat terjadi jika resistensi media yang
dilewatinya lebih rendah. Angin berkecepatan tinggi terjadi karena adanya
perbedaan tekanan yang sangat besar antara 2 lokasi yang berdekatan. Angin
tersebut disebut pula angin ribut yang karena kecepatannya dapat menimbulkan
daya rusak terhadap berbagai media yang dilaluinya. Dalam skala Beaufort, yang
disebut angin ribut ialah angin mulai skala 6 yaitu angin berkecepatan 10,8-13,8
m/detik.
2. Faktor Risiko Angin Ribut diindonesia
Berdasarkan analisis yang dilakukan pada jurnal Kajian Bencana Angin
Ribut Di Indonesia Periode 1990-2011: Upaya Mitigasi Bencana oleh Emilya
Nurjani, Arum Rahayu, Febriyan Rachmawati pada tahun 2013, diketahui bahwa
terjadinya angin ribut di Indonesia dapat dikaitkan dengan beberapa hal yang
merupakan faktor risiko terjadinya angin ribut. Faktor Risiko terjadinya angin ribut
di Indonesia yang dipaparkan pada jurnal Nurjani (2013) tersebut diantaranya
adalah :
a. Kondisi Topografi
Berdasarkan data jumlah kejadian bencana angin ribut tahun 1990-
2011, dapat diketahui bahwa beberapa provinsi di Pulau Jawa memiliki jumlah
kejadian bencana angin ribut yang relatif lebih banyak dibanding di luar Jawa.
Hal ini karena Pulau Jawa dikelilingi oleh lautan seperti Lautan Hindia, Laut
Jawa, Laut Natuna dan Selat Malaka dan juga adanya dataran yang letaknya
berdekatan dengan Jawa yaitu Pulau Sumatera dan Benua Australia. Sehingga
arus angin yang berasal dari wilayah-wilayah tersebut mempunyai perbedaan
suhu, tekanan dan kelembapan yang relatif tinggi. Kondisi topografi Pulau Jawa
yang heterogen yaitu banyak terdapat perbukitan, pegunungan, lembah serta
daerah dataran memungkinkan adanya daerah-daerah yang lembab maupun
kurang lembab. Tempat-tempat angin naik (orografi) memiliki rata-rata
kelembapan yang relatif tinggi dibanding tempat-tempat angin turun. Pada
daerah bertopografi yang heterogen memungkinkan terjadinya perbedaan
suhu yang tinggi yang akan mempengaruhi gerakan angin sehingga
menyebabkan terjadinya pertemuan antar jenis angin yang menimbulkan
adveksi (pemanasan horisontal) seperti adveksi antara angin celah dan angin
turun, adveksi antara angin turun dan angin lembah. Melalui celah-celah
pegunungan hingga pada dataran rendah tersebutlah awal mula terjadinya
adveksi front dingin yang kebanyakan menimbulkan angin ribut di tempat
bergunung seperti di Jawa. Pergerakan angin dipengaruhi oleh kondisi
kekasaran permukaan suatu wilayah terkait dengan gaya gesekan. Gaya
gesekan yang besar menyebabkan pergerakan angin melemah.Pada daerah
yang permukaannya datar dan halus memiliki gaya gesek lemah, maka
kecepatan angin akan besar. Oleh karena itu angin kencang sering terjadi pada
daerah dataran dan pesisir seperti topografi pada Provinsi Jawa Tengah bagian
utara dan selatan yang memiliki topografi dengan permukaan yang relatif lebih
halus dibanding bagian tengah.
b. Frekuensi Kejadian
Distribusi bencana angin ribut banyak terjadi di beberapa provinsi yang
ada di Pulau Jawa yaitu Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada
peta distribusi bencana angin ribut di indonesia tahun 1990-2011 tampak
bahwa kelas kejadian angin ribut di ketiga provinsi tersebut termasuk dalam
kelas I hingga III. Provinsi Jawa Tengah termasuk dalam Kelas I (393 - 490
kejadian), Jawa Timur dan Jawa Barat termasuk dalam Kelas III (197 294
kejadian). Sedangkan di Provinsi DKI jakarta, Banten dan Yogyakarta tergolong
Kelas V, dimana jumlah kejadiannya relatif kecil yaitu berkisar antara 1 - 98
kejadian. Sementara itu, berdasarkan data dalam grafik jumlah kejadian
bencana angin ribut tahun 1990 2011, diketahui bahwa jumlah kejadian
(frekuensi) bencana angin ribut yang paling banyak terjadi adalah di Provinsi
Jawa Tengah yaitu sebanyak 488 kejadian. Provinsi yang tidak terjadi bencana
angin ribut (nol kejadian) yaitu Provinsi bengkulu dan Papua Barat. Indonesia
bagian timur yang memiliki frekuensi angin ribut relatif tinggi yaitu Nusa
Tenggara Timur 112 kejadian, Sulawesi Tenggara 96 kejadian, Sulawesi selatan
juga sebanyak 96 kejadian dan provinsi lainnya relatif kecil.
c. Rata-Rata Waktu Kejadian
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB )telah
menginformasikan bahwa 1 tahun terakhir ini yaitu dari Bulan Agustus 2011
hingga Bulan November 2012, bencana angin ribut terjadi sebanyak 176
kejadian yang menyebar di seluruh Indonesia. Dimana frekuensi angin ribut
sebagian besar terjadi di Pulau Jawa yaitu Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah
dan Jawa Timur. Berdasarkan Gambar 3, dapat diketahui bahwa sebagian besar
kejadian terjadi pada waktu siang hingga menjelang sore yaitu pada pukul
12.00 sampai pukul 16.00. Suhu pada jam-jam inilah yang biasanya tercatat
sebagai suhu maksimum rata-rata harian. Pada rentang waktu tersebut suhu
tercatat lebih tinggi dibandingkan rentang waktu lainnya. Suhu maksimum
merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya angin ribut. Dimana
pemanasan atau semakin tingginya suhu di suatu tempat akan mendorong
terjadinya konveksi.
d. Kecenderungan Kejadian Angin Ribut
Berdasarkan data kejadian angin ribut 2011 - 2012 (1 tahun terakhir)
dapat diketahui bahwa angin ribut banyak terjadi pada Bulan Oktober hingga
Maret.Bulan-bulan yang mengalami banyak kejadian bencana angin ribut
tersebut merupakan bulan-bulan saat terjadinya musim hujan di Indonesia
yaitu pada Bulan Oktober-April. Dimana biasanya kejadian angin ribut disertai
dengan hujan lebat dan petir yang menjadi ciri khas fenomena di musim
hujan.Angin ribut juga banyak terjadi pada musim Pancaroba atau transisi
antara dua musim yaitu trasnsisi antara musim hujan ke musim kemarau atau
sebaliknya.Frekuensi angin ribut yang tinggi terjadi pada Bulan Oktober-
Desember (transisi musim kemarau ke musim hujan) dan Maret-April (transisi
musim hujan ke musim kemarau).Pada musim Pancaroba posisi zona
konvergensi antar tropik berkisar diatas ekuator sehingga mengalami
variabilitas suhu tertinggi yang memicu terjadinya pergerakan angin yang
kencang (Nirkaryanto, 1979).Pada Bulan April terus mengalami penurunan
jumlah kejadian bencana angin ribut hingga Bulan Juli, kemudian mengalami
tren naik kembali pada Bulan Juli-September karena sedang terjadi musim
kemarau di Indonesia.
e. Penggunaan Lahan
Banyaknya kejadian bencana angin ribut di Indonesia dipengaruhi oleh
penggunaan lahan yang ada.Penggunaan lahan berupa permukiman kota,
perkampungan dan keberadaan gedung-gedung sebagai akibat dari
pertambahan penduduk. Hal ini akan mempengaruhi kondisi suhu udara,
dimana tekanan dan kelembapan udara akan meningkat pula. Hal inilah yang
memicu terjadinya angin ribut. Jumlah penduduk yang terus meningkat akan
mempengaruhi perubahan penggunaan lahan. Jumlah penduduk di Pulau Jawa
memiliki jumlah penduduk yang relatif tinggi dibandingkan provinsi
lainnya.Jumlah penduduk Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur mencapai
puluhan juta jiwa setiap tahunnya dan terus meningkat jumlahnya. Jumlah
kejadian bencana angin ribut di Pulau Jawa relatif tinggi. Provinsi Jawa Tengah
memiliki penggunaan lahan yang lebih halus jika dilihat dari kekasaran
penggunaan lahannya dibanding provinsi lain, dimana wilayahnya masih
banyak terdapat sawah, perkebunan, tegalan dan sedikit permukiman pada
Jawa Tengah bagian utara serta secara topografi banyak terdapat dataran. Hal
ini akan memicu pergerakan angin yang kencang karena gaya gesekan angin
dan permukaan lahan yang relatif kecil.
3. Dampak Kerugian yang ditimbulkan Angin Ribut
a. Kerusakan pada rumah serta infrastruktur pada suatu daerah
b. Dalam kasus angin puting beliung ada beberapa yang kasus yang
menimbulkan korban jiwa
c. Menimbulkan kerugian material
d. Merusak kebun-kebun warga
e. Menciptakan banyak puing-puing dari kerusakan materi serta sampah yang
berserakan
f. Dapat menganggu jalannya ekonomi
g. Merusak jaringan listrik
h. Mengangkat dan memindahkan benda-benda yang tidak stabil
i. Membahayakan keselamatan
j. Mengakibatkan banjir.

B. Analisis penyebab terjadinya bencana


Bencana angin ribut yang dicatat oleh BNPB merupakan jenis bencana angin
puting beliung yaitu sebutan untuk angin kencang di tanah Jawa. Jumlah kejadian
bencana angin ribut yang tercatat, terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun
seperti yang tercatat pada tahun 1990-2011. Berdasarkan analisis yang dilakukan pada
jurnal Kajian Bencana Angin Ribut Di Indonesia Periode 1990-2011: Upaya Mitigasi
Bencana oleh Emilya Nurjani, Arum Rahayu, Febriyan Rachmawati pada tahun 2013,
diketahui bahwa angin ribut dapat terjadi dikarenakan beberapa hal, diantaranya
adalah:
1. Angin ribut dapat terjadi dikarenakan pembentukan awan Cumulunimbus.
Terjadinya angin ribut dipengaruhi oleh pembentukan awan Cumulunimbus
yang berasal dari konveksi maupun orografi massa udara yang tidak stabil atau dari
adveksi massa udara relatif dingin dengan massa udara yang relatif panas dalam
frontal massa udara (Nirkaryanto, 1979). Keadaan tersebut menyebabkan posisi
konvergensi dan divergensi mempunyai perbedaan tekanan udara yang sangat
besar pada posisi yang berdekatan sehingga memicu terjadinya angin ribut.
2. Angin ribut dapat disebabkan karena adanya pemanasan global akibat perubahan
iklim.
Pemanasan global menyebabkan terjadinya perubahan iklim yang
berdampak pada fenomena- fenomena iklim yang tidak lazim terjadi, seperti
pergerakan angin. Salah satu fenomena yang disebabkan karena adanya perubahan
iklim adalah kejadian angin ribut. Adanya perubahan iklim ini, akan mempengaruhi
kondisi suhu udara, dimana tekanan dan kelembapan udara akan meningkat pula.
Hal inilah yang memicu terjadinya angin ribut.
3. Letak geografis Indonesia
Kondisi geografis di Indonesia yang merupakan daerah tropis sangat
mendukung terjadinya angin ribut karena dilihat dari letak lintang dan bujurnya.
Indonesia merupakan daerah tropis yang memiliki kelembaban di atas 75% yang
menyebabkan ketidakstabilan massa udara. Letak Indonesia yang berbatasan
langsung dengan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik serta dekat dengan Benua
Asia dan Australia juga mempengaruhi terjadinya angin ribut. Adanya Angin
Monsun Barat dan Angin Monsun Timur memicu terjadinya angin ribut di daratan
Indonesia.
Angin tersebut juga mempunyai arah yang tidak beraturan. Kecepatan angin
ribut lebih dari 95 km per jam, sehingga berpotensi menyebabkan kerusakan dalam
segala bentuk budi daya yang ada di permukaan bumi, seperti rusaknya permukiman,
sektor pertanian, dan sarana dan prasarana umum. Kerugian yang ditimbulkan oleh
adanya angin ribut tersebut sebagian besar dalam sektor sosial ekonomi.

C. Upaya pemerintah untuk Menghadapi Angin Ribut


1. Saat meghadapi bencana
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap pra bencana
meliputi situasi tidak terjadi bencana dan situasi terdapat potensi terjadi bencana.
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada situasi tidak terjadi bencana
meliputi :
a. Pra bencana:
1) Peringatan penanggulangan bencana;
2) Menyusun peta rawan bencana puting beliung berdasarkan data historis.
3) Memangkas ranting pohon besar dan menebang pohon yang sudah
rapuh serta tidak membiasakan memarkir kendaraan di bawah pohon
besar.
4) Pengurangan resiko bencana;
5) Pencegahan;
6) Pemaduan dalam perencanaan pembangunan;
7) Persyaratan analisis resiko bencana;
8) Pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang;
9) Pendidikan dan pelatihan;
10) Penyiapan lokasi yang aman untuk tempat pengungsian sementara
11) Persyaratan standar teknis penanggulangan bencana.

b. Saat Bencana/Tahap Tanggap Darurat


Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap tanggap
darurat meliputi:
1) Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan dan
sumberdaya;
2) Penetapan status keadaan darurat bencana;
3) Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana;
4) Pemenuhan kebutuhan dasar;
5) Perlindungan terhadap kelompok rentan.
c. Pasca Bencana
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap pasca
bencana meliputi :
1) Melakukan evaluasi pelaksanaan pertolongan dan estimasi kerugian
material
2) Rehabilitasi;
3) Rekonstruksi.
4) Mitigasi
2. Antisipasi Daerah Dalam Menghadapi Kemungkinan Bencana
Guna mengantisipasi terjadinya bencana, maka beberapa langkah yang telah
ditempuh antara lain:
a. Sosialisasi penanggulangan bencana;
b. Mengoptimalkan peran satgas penanggulangan bencana alam;
c. Meningkatkan koordinasi antar instansi, melalui penyelenggaraan Rakor di
setiap perubahan musim dan upaya tindakan menyatu dalam antisipasi
kemungkinan bencana yang timbul;
d. Pelatihan penanggulangan bencana alam;
e. Peningkatan kemampuan masyarakat wilayah rawan bencana melalui
simulasi/gladi; dan
f. Peningkatan kesiapsiagaan mulai dari kelompok masyarakat sampai pada
kelembagaan / organisasi penanganan bencana.

D. Upaya Masyarakat untuk Menghadapi angin ribut


a. Masyarakat kota/desa perlu mengadakan kegiatan penataan ruang di daerah
permukiman padat kota/desa untuk mengurangi atau meredam kecepatan angin
dengan penghijauan.
b. Masyarakat turut andil dalam kegiatan konseling peningkatan pemahaman dan
peredaman risiko bencana kepada masyarakat serta simulasi bencana agar
masyarakat menjadi tangguh dalam menghadapi bencana dan mampu mengelola
risiko bencana dengan mandiri yang dilaksanakan pemerintah daerah/kota dan
mengetahui publikasi kejadian bencana dan upaya mitigasi yang tepat pada
daerah-daearah yang sering dilanda bencana.
c. Tokoh masyarakat diharapkan membentuk suatu organisasi pengurangan risiko
bencana yang mantap dan penambahan komunitas relawan
d. Masyarakat menguatkan atap rumah. Langkah antisipasi yang bisa dilakukan
masyarakat yaitu menguatkan atap rumah. Kuatkanlah atap rumah dengan
mengikat atap dengan baik. Bila atap diikat dengan kuat, maka tidak akan terbawa
oleh angin nantinya
e. Sebaiknya masyarakat saat membuat bangunan yang berada di daerah
kemungkinan terjadi angin, bangunannya dibuat dengan pondasi yang sangat
dalam dan kuat sehingga kokoh. Daerah yang rawan terjadi angin topan akan
diperlukan SOP pembuatan bangunan yang tidak mudah roboh
f. Masyarakat yang melakukan pembangunan gedung yang ditujukan untuk umum
sebaiknya dibangun pada daerah yang tidak rawan terkena angin topan. Gedung
di tempat ini juga bisa digunakan sebagai tempat pengungsian saat terjadi angin.
g. Masyarakat yang tinggal di daerah yang rawan terkena angin topan sebaiknya
melakukan latihan mitigasi bencana jika suatu saat terjadi angin, sebaiknya jika
ada angin, supaya warga mengungsi saja namun jangan lupa untuk menutup
jendela dan semua lubang angin di dalam rumah supaya angin tidak masuk ke
dalam rumah dalam jumlah yang besar
E. Mitigasi Bencana

Menurut UU nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana Mitigasi adalah


serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan
fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapia ncaman
bencana. Dan pelaksanaannya melalui :
1. Pelaksanaan penataan ruang;
2. Pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, tata bangunan;
dan
3. penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan baik secara
konvensional maupun modern.

Dalam Hal angin ribut menurut Pusat Krisis kesehatan KEMENKES RI upaya
pengurangan bencana dapat dilakukan upaya sebagai berikut:

1. Memiliki struktur bangunan yang dapat memenuhi syarat teknis sehingga mampu
untuk bertahan terhadap angin terutama angin besar
2. Di daerah rawan angin badai, perlu adanya standar bangunan untuk bisa
memperhitungkan beban angin. Sehingga struktur bangun dapat bisa menahan
angin.
3. Melakukan penghi1.jauan di bagian atas arah angin untuk meredam gaya angin.
4. Pengamanan/perkuatan bagian-bagian yang mudah diterbangkan angin yang
dapat membahayakan diri atau orang lain disekitarnya.
5. Kesiapsiagaan dalam menghadapi angin topan, mengetahui bagaimana cara
penyelamatan diri
6. Pengamanan barang-barang disekitar rumah agar terikat/dibangun secara kuat
sehingga tidak diterbangkan angin
7. Untuk para nelayan, supaya menambatkan atau mengikat kuat kapal-kapalnya.
SUMBER
Nurjani, E dkk, (2013). kajian bencana angin ribut di indonesia periode 1990-
2011:upaya mitigasi bencana. Geomedia:
Amri, Moh. Roby,dkk. 2016. Risiko Bencana Indonesia. Jakarta : Badan Nasional
Penanggulangan Bencana
https://ugm.ac.id/id/berita/513-
sudibyakto.:.kecepatan.angin.puting.beliung.di.u gm.70-80.kmjam
https://ilmugeografi.com/bencana-alam/angin-topan diakses pada tanggal 10
oktober 2017 jam 20.00WIB
https://ilmugeografi.com/fenomena-alam/angin-puting-beliung diakses pada
tanggal 10 oktober 2017 jam 20.00WIB
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang
Penanggulangan Bencana diakses dari
https://www.bnpb.go.id/ppid/file/UU_24_2007.pdf pada 11 oktober 2017
Pusat Krisis kesehatan (2016). Strategi Dan Upaya Penanggulangan Bencana
Angin Topan. diakses dari http://penanggulangankrisis.kemkes.go.id/strategi-
dan-upaya-penanggulangan-bencana-angin-topan tanggal 13 oktober 2017

Anda mungkin juga menyukai