Anda di halaman 1dari 6

Masalah Gizi Makro Kurang Energi Protein (KEP)

KEP merupakan salah satu masalah gizi kurang akibat konsumsi makan tidak cukup
mengandung energi dan protein serta karena gangguan dan infeksi yang berdampak pada
penurunan status gizi. Manifestasi KEP dalam diri penderita ditentukan dengan mengukur status
gizi anak atau yang menderita KEP. Jenis masalah gizi ini sering dijumpai di negara-miskin dan
diderita oleh orang dewasa ataupun anak-anak. Saat ini KEP pada orang dewasa tidak sebesar
masa lalu kecuali pada wanita di -daerah miskin. Namun, hingga tahun 2000 KEP pada anak usia
di bawah tahun (balita) masih menjadi masalah yang memprihatinkan (KEP pada anak-anak akan
menyebabkan terhambatnya pertumbuhan, rentan terhadap penyakit terutama penyakit infeksi,
mengakibatkan rendahnya tingkat kecerdasan. Bayi sampai anak berusia di lima tahun (balita)
serta ibu hamil dan menyusui merupakan golongan rawan terhadap kekurangan gizi termasuk
KEP. KEP pada balita sangat berbeda sifatnya dengan KEP pada orang dewasa. KEP pada anak
balita tidak dikenali oleh pemerintah atau masyarakat bahkan oleh keluarganya
Terjadinya gizi kurang pada anak balita tidak selalu didahului oleh terjadinya bencana
kurang pangan dan kelaparan seperti gizi buruk yang terjadi pada orang dewasa. Meskipun
pangan di pasaran melimpah tetapi mungkin saja kasus gizi kurang dapat terjadi pada balita.
KEP pada anak balita sering disebut sebagai masalah kelaparan yang tersembunyi atau hidden
hunger. Faktor penyebab masalah gizi kurang pada anak balita bersifat lebih komplek
dibandingkan pada orang dewasa, maka diperlukan upaya penanggulangan yang menggunakan
pendekatan dari berbagai segi kehidupan anak secara terintegrasi. Tidak hanya memperbaiki
aspek makanan tetapi juga harus memperbaiki lingkungan hidup anak seperti pola pengasuhan,
pendidikan ibu, air bersih dan lingkungan, mutu pelayanan kesehatan, dan sebagainya.
Partisipasi aktif orang tua dan masyarakat sangat diperlukan untuk pencegahan dan
penanggulangan balita yang menderita gizi kurang dan gizi buruk (Soekirman 2000).
Manifestasi Kurang Energi Protein (KEP) pada anak balita dalam jangka pendek dan
panjang dapat berupa rendahnya berat badan umur (underweight), atau anak menjadi pendek
(stunted) atau kurus (wasted). Untuk mengetahui status gizi anak balita termasuk normal atau
tidak (gizi kurang atau gizi lebih) perlu dilakukan perbandingan antara ukuran antropometri anak
(berat badan atau tinggi badan) dengan baku internasional. Seorang anak dikatakan mengalami
gizi kurang jika berat badan atau tinggi badannya kurang dari -2 standar deviasi (SD). Anak
balita dengan berat atau tingginya kurang dari -3 SD maka tergolong status gizi buruk (Prosiding
Lokakarya Nasional II 2006). Berdasarkan penyebabnya, terdapat beberapa istilah dalam KEP,
antara lain adalah kwashiorkor dan marasmus dengan gejala dan tanda-tandanya seperti yang
diuraikan sebagai berikut: (Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat 2007)
Kwashiorkor ( Kekurangan Protein )
Kwashiorkor merupakan salah satu masalah gizi dengan suatu keadaan kekurangan
protein baik secara kualitas maupun kuantitas ataupun keduaduanya yang dibutuhkan dalam
pertumbuhan dan perbaikan sel yang rusak.
Kekurangan protein ini biasanya menyerang anak-anak yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Anak yang disapih usia 1-4 tahun
2. Bertempat di daerah tropis atau sub tropis, dimana keadaan ekonomi, sosial, dan budaya
merupakan kombinasi faktor yang dapat menimbulkan kekurangan protein pada anak-anak
3. Anak-anak yang sedang dirawat inap karena pembedahan atau hipermetabolik
Marasmus
Marasmus merupakan suatu keadaan dimana terjadi kekurangan protein dan energi yang
kronis. Berat badan yang sangat rendah merupakan karakteristik dari marasmus. Berikut adalah
gejala atau tanda-tanda marasmus:
1. Kurus kering
2. Tampak hanya tulang dan kulit
3. Otot dan lemak bawah kulit atropi (mengecil)
4. Wajah seperti tua
5. Berkerut dan keriput
6. Layu dan kering
7. Umumnya terjadi diare
Marasmus umumnya terjadi karena beberapa faktor di bawah ini:
Masalah sosial yang kurang menguntungkan
Kemiskinan
Infeksi
Mikroorganisme pathogen penyebab diare
Kecepatan pertumbuhan yang melambat
Tidak ada dermatitis atau depigmentasi
Tidak ada edema
Tumbuh kerdil serta mental dan emosi terganggu
Tidur gelisah, apatis dan merengus
Menarik diri dari lingkungan
Suhu tubuh subnormal karena tidak memiliki lemak subkutan yang menjaga agar tetap hangat.
Aktivitas metabolisme minimal
Jantung melemah

2.3 Status Gizi Balita


Status gizi merupakan keadaan kesehatan seseorang atau sekelompok orang yang
disebabkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi makanan. Status gizi seseorang
atau sekelompok orang dapat digunakan untuk mengetahui apakah seseorang atau sekelompok
orang tersebut kondisi gizinya baik atau sebaliknya (Nasoetion & Riyadi 1994).
Menurut Suhardjo (1989c), faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi adalah
berat bayi lahir rendah, kembar, banyak anak dalam keluarga, jarak kelahiran yang pendek,
penyapihan dini, pemberian makanan tambahan tertentu terlalu dini atau terlambat, sering
terkena infeksi, ibu yang buta huruf diantara ibu yang berpendidikan, kemiskinan, dan anak-anak
yang orang tuanya tidak lengkap. Status gizi dapat dinilai dengan empat cara, yaitu konsumsi
makanan, antropometri, biokimia, dan klinis. Berat badan menurut umur (BB/U) dianggap tidak
informatif bila tidak disertai dengan informasi tinggi badan menurut umur (TB/U). Faktor umur
sangat penting dalam penentuan status gizi. Kesalahan penentuan umur akan menyebabkan
interpretasi status gizi menjadi salah. Hasil pengukuran tinggi dan berat badan yang akurat akan
menjadi tidak berarti jika penentuan umur tidak tepat (Riyadi 2003).
Pemantauan status gizi balita BB/U dan TB/U lebih tepat bila menggunakan baku WHO-
NCHS dan dihitung berdasarkan skor simpangan baku (z-score). Keuntungan penggunaan z-
score adalah hasil hitungan telah dibakukan menurut simpangan baku sehingga dapat
dibandingkan untuk setiap kelompok umur dan indeks antropometri. Penentuan prevalensi
dengan cara zscore lebih akurat dibandingkan cara persen terhadap median yang memberi hasil
sangat bervariasi, baik menurut kelompok umur maupun masing-masing indeks. Nilai keadaan
gizi anak dibagi menjadi empat kategori, yaitu baik, sedang, kurang, dan buruk (Gibson 1993
diacu dalam Khomsan et al. 2009).
Pertumbuhan fisik sering dijadikan indikator untuk mengukur status gizi baik individu
maupun populasi. Anak yang menderita kekurangan gizi akan berpenampilan lebih pendek
dengan berat badan lebih rendah dibandingkan teman-teman sebayanya yang sehat dan bergizi
baik. Laju pertambahan berat akan lebih banyak terpengaruh pada kondisi kurang gizi
dibandingkan tinggi badan. Oleh sebab itu, penurunan berat badan paling sering digunakan untuk
menapis anak-anak yang mengalami gizi kurang. Jika defisiensi gizi berlangsung lama dan
parah, maka pertumbuhan tinggi badan akan terpengaruh. Selain itu juga proses pendewasaan
akan terganggu. Apabila seorang anak mengalami defisiensi protein (meskipun konsumsi
energinya cukup), anak tersebut tetap akan mengalami pertumbuhan tinggi badan yang terhambat
(Khomsan 2002).
Status gizi anak dapat diketahui melalui pengukuran antropometri. Kata antropometri
berasal dari bahasa Latin antropos yang berarti manusia (human being) (Soekirman 2000).
Secara umum antropometri dapat diartikan sebagai ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut
pandang gizi, antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh
dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Berbagai jenis ukuran tubuh
antara lain : berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas dan tebal lemak di bawah kulit
(Supariasa et al. 2002). Status gizi tidak hanya diketahui dengan mengukur BB atau TB sesuai
umur (U) secara sendiri-sendiri, tetapi juga dalam bentuk indikator yang dapat merupakan
kombinasi antara ketiganya. Masing-masing indikator memiliki maknanya sendiri-sendiri.
Kombinasi antara BB dan U membentuk indikator BB menurut U yang disimbolkan dengan
BB/U,kombinasi antara TB dan U membentuk indikator TB menurut U yang disimbolkan
dengan TB/U, dan kombinasi BB dan TB membentuk indikator BB menurut TB atau
disimbolkan dengan BB/TB (Soekirman 2000).
Metode antropometri termasuk pengukuran dimensi fisik dan komposisi tubuh (WHO
1995). Pengukuran antropometri memiliki keuntungan tambahan dalam menyediakan informasi
mengenai sejarah status gizi pada masa lampau. Pengukuran ini dapat dilakukan dengan mudah,
cepat, dan menggunakan peralatan yang sudah distandarisasi (Gibson 2005). Antropometri
umumnya digunakan untuk mengukur status gizi dari berbagai ketidakseimbangan asupan energi
dan protein. Gangguan ini biasanya terlihat dari pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan
tubuh seperti lemak, otot dan jumlah cairan dalam tubuh (Supariasa et al. 2002). Indikator BB/U
menunjukkan secara sensitif status gizi saat ini (saat diukur) karena mudah berubah. Namun
indikator BB/U tidak spesifik karena berat badan selain dipengaruhi oleh umur juga dipengaruhi
oleh TB. Indikator TB/U menggambarkan status gizi masa lalu, dan indikator BB/TB
menggambarkan secara sensitif dan spesifik status gizi saat ini (Soekirman 2000).

Indikator BB/U
Indikator BB/U Indikator BB/U dapat normal, lebih rendah, atau lebih tinggi setelah
dibandingkan dengan standar WHO. Status gizi tergolong baik jika BB/U normal, BB/U rendah
dapat diartikan status gizi tersebut tergolong gizi kurang atau buruk. Sedangkan BB/U tinggi
digolongkan sebagai status gizi lebih. Baik status gizi kurang maupun lebih, kedua-duanya
memiliki resiko yang tidak baik bagi kesehatan. Status gizi kurang yang diukur dengan indikator
BB/U dalam ilmu gizi digolongkan ke dalam kelompok berat badan rendah (BBR) atau
underweight. Menurut tingkat keparahannya, BBR dikelompokkan ke dalam kategori BBR
tingkat ringan (mild), sedang (moderate), dan berat (severe). BBR tingkat berat atau sangat berat
(berat badan sangat rendah = BBSR) sering disebut sebagai status gizi buruk. Gizi buruk pada
anak-anak di masyarakat dikenal dengan marasmus dan kwashiorkor (Soekirman 2000).

Indikator TB/U
Indikator TB/U Indikator TB/U dapat dinyatakan normal, kurang, dan tinggi menurut
standar WHO. Menurut WHO, bagi anak yang memilki TB kurang maka dikategorikan sebagai
stunted (pendek tidak sesuai dengan umur). Tingkat keparahannya dapat digolongkan ringan,
sedang, dan berat atau buruk. Hasil pengukuran TB/U menggambarkan status gizi masa lalu.
Seorang anak yang tergolong stunted kemungkinan keadaan gizi masa lalu kurang atau tidak
baik (Soekirman 2000). Berbeda dengan BBR yang diukur dengan BB/U yang mungkin dapat
diperbaiki dalam waktu pendek, baik pada anak ataupun pada dewasa. Stunted pada orang
dewasa tidak lagi dapat dipulihkan. Kemungkinan untuk memulihkan pada anak balita dengan
cara menormalkan pertumbuhan linier (pertumbuhan berat badan mengikuti pertumbuhan tinggi
badan dengan percepatan tertentu) dan mengejar pertumbuhan potensial (petumbuhan tinggi
badan menurut keturunan genetik dalam lingkungan yang ideal) masih dapat dilakukan.
Sedangkan pada anak usia sekolah sampai remaja kemungkinan menormalkan pertumbuhan
linier masih ada, tetapi kemungkiannya kecil untuk dapat catch-up growth (Soekirman 2000).
Dalam keadaan normal tinggi badan tumbuh bersamaan dengan bertambahnya umur.
Pertambahan tinggi atau panjang badan relatif kurang sensitif terhadap kurang gizi dalam waktu
yang singkat. Pengaruh kurang gizi terhadap pertumbuhan tinggi badan baru dapat dilihat dalam
waktu yang cukup lama. Oleh sebab itu indikator TB/U menggambarkan status gizi masa lampau
(Soekirman 2000).

Anda mungkin juga menyukai