Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Teori Lansia


2.1.1 Pengertian lansia
A. Pengertian lansia
Usia lanjut atau lanjut usia adalah seseorang yang berusia 60 tahun
atau lebih, yang secara fisik terlihat berbeda dengan kelompok umur
lainnya (Depkes, 2005). Darmojo dan Martono (1994) dalam Nugroho
(2008) mendefinisikan menua adalah suatu proses menghilangnya secara
perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti diri dan
mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat
bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan
yang diderita.

B. Teori proses menua


Proses menua terjadi pada setiap diri individu tanpa terkecuali dan
berlangsung secara terus menerus dan alamiah. Potter & Perry (2005)
menjelaskan teori-teori proses menua sebagai berikut:
1) Teori biologis
a) Teori radikal bebas
Teori ini menyatakan bahwa penuaan disebabkan kerusakan
irevisibel akibat senyawa pengoksidan. Radikal bebas adalah
produk metabolisme seluler yang merupakan bagian molekul yang
sangat reaktif. Molekul ini mempunyai ekstraseluler muatan yang
sangat kuat dan dapat menciptakan reaksi dengan protein,
mengubah bentuk dan sifatnya. Molekul ini dapat juga bereaksi
dengan lipid yang ada dalam membran sel, mempengaruhi
permeabilitasnya, atau dapat berikatan dengan organel sel lainya.
b) Teori cross-linkage

Teori ini dan jaringan ikat menyatakan bahwa molekul


kolegen dan elastin, komponen jaringan ikat, membentuk senyawa
dan yang lama meningkatkan rigiditas, cross-linkage diperkirakan
akibat reaksi kimia yang menimbulkan senyawa antara molekul-
molekul yang normalnya terpisah.

c) Teori imunologis

Teori ini mengambarkan suatu kemunduran dalam sistem


imun yang berhubungan dengan penuaan. Ketika seseorang telah
bertambah menjadi tua, pertahanan daya tahan tubuh mereka
terhadap organisme asing mengalami penurunan, sehingga
menyebabkan mereka rentan terhadap penyakit seperti kanker, dan
infeksi. Seiring dengan berkurangnya fungsi sistem imun,
terjadilah peningkatan dalam respon autoimun tubuh. Ketika orang
mengalami proses penuaan mereka mungkin mengalami penyakit
auto imun yaitu penyakit dimana sistem kekebalan tubuh telah
salah dalam mengidentifiksi benda asing, sel jaringan atau organ
tubuh manusia justru dianggap sebagai benda asing sehingga
dirusak oleh antibody, seperti penyakit arthritis rematoid.

d) Teori wear and tear

Teori ini mengatakan bahwa manusia diibaratkan seperti


sebuah mesin, sehingga perlu adanya perawatan, dan proses dari
penuaan merupakan hasil dari penggunaanya.

e) Teori riwayat lingkungan

Menurut teori ini faktor-faktor dalam lingkungan misalnya


karsinogen dari industri, cahaya matahari, trauma dan infeksi dapat
membawa perubahan dalam proses penuuan. Walaupun faktor-
faktor ini diketahui dapat mempercepat penuaan, dampak dari
lingkungan lebih merupakan dampak sekunder dan bukan
merupakan faktor utama dalam proses penuaan.

2) Teori sosial

a) Teori pembebasan

Salah satu teori sosial yang berkenaan dengan proses


penuaan adalah teori pembebasan (disengagement theory). Teori
tersebut menerangkan bahwa perubahan usia seseorang secara
berangsur-angsur mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya
atau mengambarkan proes penarikan diri. Keadaan ini
mengakibatkan interaksi sosial dari lansia menjadi menurun, baik
secara kualitatif dan kuantitatif sehingga terjadi kehilangan ganda
yaitu: (1) kehilangan peran, (2) hambatan kontrol sosial, dan (3)
berkurangnya komitmen.

b) Teori aktifitas

Lawan langsung dari teori pembebasan (disengagement


theory) adalah teori aktifitas penuaan, yang berpendapat bahwa
jalan menuju penuaan yang berhasil atau sukses dengan cara tetap
aktif dan ikut banyak berpartisipasi dalam kegiatan sosial di
lingkungan. Havighurst yang pertama kali menulis tentang
pentingnya tetap aktif secara sosial sebagai alat untuk penyesuaian
diri yang sehat untuk usia lanjut pada tahun 1952. Sejak saat itu,
berbagai penelitian telah memvalidasi hubungan positif antara
mempertahankan interaksi yang penuh arti dengan orang lain dan
kesejahteraan fisik dan mental orang tersebut. Kesempatan untuk
turut berperan dengan cara yang penuh arti bagi kehidupan
seseorang yang penting bagi dirinya adalah suatu komponen
kesejahteraan yang sangat penting bagi kehidupan usia lanjut.
Penelitian menunjukan bahwa hilangnya fungsi peran pada usia
lanjut secara negatif mempengaruhi kepuasaan hidup. Selain itu,
penelitian terbaru menunjukan pentingnya aktivitas mental dan
fisik yang berkesinambungan untuk mencegah terjadinya
kehilangan dan pemeliharaan kesehatan sepanjang masa kehidupan
manusia.

c) Teori kesinambungan

Teori ini mengemukakan adanya kesinambungan dalam


siklus kehidupan usia lanjut. Dengan demikian pengalaman hidup
seorang usia lanjut pada suatu saat merupakan gambarannya kelak
pada saat menjadi seorang usia lanjut. Pokok- pokok dari teori
kesinambungan adalah: (1) Usia lanjut tidak disarankan untuk
melepaskan peran atau harus aktif dalam proses penuaan, akan
tetapi didasarkan pada pengalaman usia lanjut tersebut di masa
lalu, dipilih peran apa yang harus dipertahankan atau dihilangkan,
(2) Peran usia lanjut yang hilang tak perlu diganti. (3) Usia lanjut
dimungkinkan untuk memilih berbagai cara adaptasi.

3) Teori psikologi

a) Hirarki maslow

Motivasi manusia dapat dilihat dari hirarki kebutuhan pada


titik kritis pertumbuhan dan perkembangan pada semua manusia.
Individu dilihat pada partisipasinya aktif dalam hidup sampai
aktualisasi diri

b) Jungs theory of individualism

Perkembangannya dilihat sampai dewasa dengan realisasi


tujuan perkembangan kepribadian. Pada beberapa individu akan
mentrans formasikan kepada hal-hal spiritual.

c) Selective optimalization with compensation

Kemampuan fisik dikurangi oleh umur. Individu dengan


yang berhasil pada usianya akan mengkompensasi kekurangan
dengan seleksi, optimasi, dan kompensasi.
d) Eriksons eight stage of life

Setiap orang mengalami suatu tahap perkembangan selama


hidupnya. Pada beberapa tahap akan ada kritis tujuan yang
mengintegrasikan kematangan fisik dengan keinginan
psikologinya. Pada beberapa tahap orang berhasil mengatasi krisis
tersebut. Keberhasilan tersebut akan membantu perkembangan
pada tahap selanjutnya. Individu ingin selalu memperoleh peluang
untuk bekerja kembali sesuai perasaannya untuk mencapai
kesuksesannya.

C. Batasan Umur Lansia

Batasan umur lansia dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa


pendapat ahli seperti dikutip oleh Nugroho (2000) dalam Efendi dan
Makhfudli (2009) yaitu Menurut WHO, usia lanjut dibagi menjadi empat
kriteria berikut: usia pertengahan (middle age) ialah 45-59 tahun, lanjut
usia (elderly) ialah 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) ialah 75-90 tahun,
usia sangat tua (very old) ialah di atas 90 tahun.

D. Karakteristik Lansia

Menurut Hurlock (2004) lansia memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1) Lansia merupakan periode kemunduran


Kemunduran pada lansia sebagian datang dari faktor fisik
dan
faktor psikologis. Kemunduran dapat berdampak pada
psikologis lansia. Motivasi memiliki peran yang penting dalam
kemunduran pada lansia.

2) Lansia memiliki status kelompok minoritas

Lansia memiliki status kelompok minoritas karena sebagai


akibat dari sikap sosial yang tidak menyenangkan terhadap
lansia dan diperkuat oleh pendapat-pendapat klise yang jelek
terhadap lansia. Pendapat-pendapat klise itu seperti: lansia
lebih senang mempertahankan pendapatnya daripada
mendengarkan pendapat orang lain.

3) Lansia membutuhkan perubahan peran

Perubahan peran tersebut dilakukan karena lansia mulai


mengalami kemunduran dalam segala hal. Perubahan peran
pada lansia sebaiknya dilakukan atas dasar keinginan sendiri
bukan atas dasar tekanan dari lingkungan.

4) Penyesuaian yang buruk pada lansia

Perlakuan yang buruk terhadap lansia membuat lansia


cenderung mengembangkan konsep diri yang buruk. Lansia
lebih memperlihatkan bentuk perilaku yang buruk karena
perlakuan yang buruk itu membuat penyesuaian diri lansia
menjadi buruk.

E. Kelompok Lansia

Depkes RI (2003) mengelompokkan lansia dalam lima kategori,


adalah: pralansia (prasenilis/virilitas) yaitu seseorang yang berusia antara
45-59 tahun, lansia ialah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih,
lansia resiko tinggi ialah seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih atau
seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan,
lansia potensial ialah lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan
dan/atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang dan/atau jasa, dan
lansia tidak potensial ialah lansia yang tidak berdaya mencari nafkah
sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.
f. Masalah Kesehatan Dalam Kehidupan Lansia

Lansia mengalami perubahan dalam kehidupannya sehingga


menimbulkan beberapa masalah dalam kehidupannya. Hurlock (2004)
menjelaskan masalah lansia dalam kehidupannya, antara lain:

1) Masalah fisik

Permasalahan yang hadapi oleh lansia dengan masalah


pekembangan fisik yang mulai melemah, diantaranya seringnya
terjadi radang persendian ketika melakukan aktivitas yang cukup
berat, indra pengelihatan yang mulai kabur serta daya tahan tubuh
yang menurun.

2) Masalah kognitif (Intelektual)

Permasalahan yang hadapi oleh lansia yang terkait dengan


masalah pekembangan kognitif, ini dapat disimpulkan bahwa pada
lansia mulai melemahnya daya ingat terhadap sesuatu hal (pikun)
dan sulit untuk bersosialisasi dengan masyarakat di sekitar.

3) Masalah emosional

Permasalahan yang hadapi oleh lansia yang terkait dengan


masalah pekembangan emosional, adalah rasa ingin berkumpul
dengan keluarga sangat kuat. Sering marah apabila ada sesuatu
yang kurang sesuai dengan kehendak pribadi dan sering stress
akibat masalah ekonomi yang kurang terpenuhi.

4) Perkembangan Spiritual

Permasalahan yang hadapi oleh lansia yang terkait dengan


masalah pekembangan spiritual, adalah kesulitan untuk menghafal
kitab suci karena daya ingat yang mulai menurun, merasa kurang
tenang ketika mengetahui anggota keluarganya belum mengerjakan
ibadah, dan merasa gelisah ketika menemui permasalahan yang
cukup serius.
2.2 Konsep Teori Pengabaian
2.2.1 Pengertian dan Tipe Pengabaian
Pengabaian adalah berhubungan dengan kegagalan pemberi
perawatan dalam memberikan pelayanan yang dibutuhkan untuk
kebutuhan fisik dan mental pada individu lansia (Stanhope dan
Lancaster,2004). Pengabaian adalah kegagalan pemberi pelayanan
dalam menyediakan dengan baik atau kegagalan dalam memberikan
pelayanan yang menimbulkan kondisi bahaya fisik, mental atau
menimbulkan sakit mental seperti meniggalkan lansia, menolak
memberi makan atau menyiapkan makan ataupun pelayanan yang
berhubungan dengan kesehatan (Maurier dan Smith, 2005).
Selanjutnya Maurier dan Smith menyatakan kegagalan dalam
pemberian pelayanan yang adekuat dan kenyamanan pada lansia
merupakan perlakuan pengabaian pada lansia.
Pengabaian adalah penolakan atau kegagalan seseorang dalam
melaksanakan kewajiban pada lansia. Pengabaian merupakan
kegagalan seseorang dalam melaksanakan tanggung jawab finansial
untuk memberikan pelayanan yang dibutuhkan. Pengabaian
merupakan kegagalan dalam menyediakan kebutuhan seperti
kebutuhan makanan, air, pakaian, perlindungan, kebersihan diri,
pengobatan, kenyamanan, keamanan individu dan kebutuhan esensisal
lainnya dala pelaksanaan tanggung jawab pada lansia (Springhouse,
2002).
Pengabaian termasuk kondisi yang dilakukan dengan sengaja atau
tidak sengaja, ketika lansia memerlukan makanan, pengobatan atau
pelayanan pada lansia tidak dilakukan. Meninggalkan lansia sendirian
merupakan bentuk pengabaian. Tidak menyiapkan pelayanan pada
lansia sebagai tindakan hukuman untuk lansia yang dilakukan oleh
seseorang juga merupakan bentuk pengabaian keluarga pada lansia
(Mauk, 2010). The National Research Council in USA tahun 2003
mendefinisikan bahwa pengabaian adalah pencabutan bantuan pada
individu lansia yang dilakukan berulangkali pada kebutuhan aktifitas
sehari-hari yang penting (Stevenson, 2008).
Menurut Burke dan Laramie (2000) pengabaian dibagi atas
pengabaian aktif dan pengabaian pasif. Pengabaian aktif adalah
penolakan atau kegagalan pemberi pelayanan melakukan
kewajibannya yang dilakukan dengan sadar dan sengaja sehingga
menyebabkan penderitaan fisik dan distress fisik dan emosional pada
lansia. Pengabaian pasif adalah penolakan atau kegagalan pemberi
pelayanan melakukan kewajiban dalam memenuhi kebutuhan lansia
tanpa ada unsur kesengajaan tetapi menimbulkan distres fisik dan
emosional pada lansia.
Istilah untuk pengabaian diri atau self neglect termasuk dalam
pengabaian. Istilah pengabaian diri atau self neglect digunakan pada
pengabaian lansia yang menerima jasa pelayanan dari tenaga
profesional atau provider. Istilah pengabaian diri atau self neglect lebih
banyak digunakan pada kegagalan pemberian layanan pada lansia oleh
tenaga profesional (Stevenson, 2008).
Sesuai dengan pendapat yang diuraikan tersebut, disimpulkan
bahwa pengabaian merupakan tindakan yang disengaja maupun tidak
disengaja yang menimbulkan kegagalan dalam memberikan pelayanan
pada lansia sehingga kebutuhan lansia tidak terpenuhi termasuk
kebutuhan kesehatan.
2.2.2 Karakteristik Pengabaian
Adanya kondisi kesulitan dalam memperkirakan angka kejadian
atau prevalensi kejadian pengabaian pada lansia. Hal ini disebabkan karena
kurangnya kegiatan untuk penemuan kasus pengabaian tersebut (Mauk,
2010). Review penelitian tentang salah perlakuan pada lansia menyatakan
bahwa hanya sedikit penelitian tentang faktor resiko yang berhubungan
dengan bentuk perlakuan pengabaian pada lansia yang dilakukan (National
Research Council, 2002 dalam Maurier dan Smith, 2005). Kejadian
pengabaian lansia dalam keluarga merupakan satu dari empat masalah
kesehatan masyarakat yang utama (Gelles, 2000:Wallace, 1996 dalam
friedman, Bowden dan Jones, 2003).
Menurut Mauk (2010) tanda-tanda adanya bentuk perlakuan
pengabaian pada lansia, antara laiin:
a. Terlambat dalam melakukan pengobatan.
b. Dehidrasi, malnutrisi, ulkus dekubitus, atau kondisi kebersihan kurang.
c. Perubahan dalam pemberian pelayanan kesehatan.
d. Kehilangan alat bantu seperti gigi palsu, kacamata, alat bantu dengar
serta alat bantu lainnya.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Acierno (2009) tentang


kejadian pengabaian, beberapa hal yang merupakan kebutuhan spesifik
untuk mengidentifikasi kejadian pengabaian pada lansia yaitu transportasi,
kebutuhan makanan dan obat, kegiatan menyiapkan makanan/memasak,
aktivitas makan, aktivitas mengambil obat, membersihkan rumah/kegiatan
rumah lainnya, berpindah tempat, berpakaian, mandi, dan membayar daftar
tagihan.

Menurut Stevenson (2008) kriteria untuk kejadian pengabaian


berfokus pada kelalaian dalam memberikan pelayanan dalam memenuhi
kebutuhan dasar pada lansia. Selanjutnya Stevenson menyatakan efek dari
pengabaian tersebut dapat dilihat pada adanya kondisi malnutrisi yang
merupakan kondisi physical neglect. Pengabaian merupakan hal-hal yang
berkaitan dengan fungsi tubuh lansia seperti adanya kondisi meliputi
pemenuhan kebutuhan nutrisi, cairan dan kebersihan diri pada lansia.

Menurut Springhouse (2002) beberapa pertanyaan yang dapat


diajukan pada lansia untuk mengidentifikasi adanya kondisi pengabaian.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut antara lain:

a. Apakah anda sering ditinggal sendiri?.


b. Apakah seseorang tidak memberikan bantuan atau tidak
memberikan pelayanan saat anda membutuhkan bantuan?.
c. Apakah seseorang tidak menyiapkan kebutuhan finansial
anda?.

Bila lansia menjawab ya berarti lansia beresiko untuk mengalami


kondisi pengabaian dimasa yang akan datang.

2.2.3 Faktor Yang Mempengaruhi Pengabaian

Diperkirakan secara umum angka kejadian pengabaian akan


meningkat sampai 30 tahun ke depan (Burke dan Laramie, 2000).
Diperkirakan angka kejadian pengabaian meningkat setiap tahun sampai
2020 (Meiner dan Lueckonette, 2006). Penelitian tentang bentuk kejadian
pengabaian pada lansia dengan menyatakan bahwa terjadi peningkatan
kejadian kekerasan dan pengabaian pada lansia 2,6% menjadi 4%.
Pengukuran dilkukan dari Maret 2006 sampai september 2006 dan
kejadian yang dominan adalah perlakuan pengabaian pada lansia yaitu
peningkatan sebesar 1,1% (Manthorpe & Biggs, 2007).

Data dari Administratin On Aging (AOA) Amerika pada tahun


1998 diidentifikasi kasus kejadian pengabaian pada lansia menempati
posisi dengan kejadian dominan yaitu sebesar 49%, dan untuk kejadian
lainnya adalah kekerasan emosional 35%, eksploitasi finansial 30%,
kekerasan fisik 26%, ditinggalkan 3% (Meiner dan Lueckonette, 2006),
dan data tahun 2003 sejumlah 551.011 orang yang berusia lebih dari 60
tahun mengalami kejadian pengabaian dalam periode satu tahun (Maurier
dan Smith, 2005). Penelitian oleh Acierno (2009) tentang prevalensi
kejadian kekerasan emosional, fisik, seksual, finansial dan pengabaian
pada lansia, yang dilakukan selama satu tahun dengan hasil, 4,6%
mengalami kekerasan emosional, 1,65% mengalami kekerasan fisik, 0,6%
mengalami kekerasan seksual, 5,1% mengalami pengabaian dan 5,2%
mengalami kekerasan finanasial.

Kejadian pengabaian pada lansia ditemukan pada seluruh tingkat


sosial ekonomi dan pada seluruh tingkat pendidikan (Maurier dan Smith,
2005). Pengabaian pada lansia di Amerika terjadi pada seluruh strata sosial
maupun ras (Burke dan Laramie, 2000). Peningkatan kasus pengabaian
dipengaruhi oleh faktor yaitu individu hidup dalam jangka waktu yang
lama sehingga membutuhkan pelayanan dalam jangka waktu yang lama,
terjadinya peningkatan ketergantungan lansia pada keluarga sebagai
pemberi pelayanan (Murray dan DeVos, 1997 dalam Burke dan Laramie,
2000). Selanjutnya Burke dan Laramie menyatakan pengabaian pada
lansia dapat diidentifiksi sumber penyebab kejadiannya.

2.2.3.1 Sumber Penyebab pada Lansia


Kondisi pada individu lansia karena ketergantungan pada
orang lain dalam mendapatkan pelayanan, membuat lansia
beresiko mendapatkan perlakuan pengabaian ataupun
perlakuan lainnya (Stanhope dan Lanchaster, 2004). Lansia
dengan ketergantungan tinggi beresiko tinggi untuk
mengalami perlakuan pengabaian (Mauk, 2010). Lansia
dengan tingkat ketergantungan yang tinggi dalam
mendapatkan pelayanan, memicu kondisi depresi sehingga
menjadi penyebab dan kesempatan bagi lansia untuk
mendapatkan perlakuan pengabaian dan eksploitasi
(Maurier dan Smith, 2005). Homer dan Gillead (1990
dalam Maurier dan Smith, 2005) melaporkan 50% pemberi
pelayanan pada lansia melakukan pengbaian ataupun
perlakuan kekerasan lainnya.
Diperkirakan satu juta lansia setiap tahunnya mengalami
perlukaan, trauma fisik, trauma emosi atau diabaikan oleh
pemberi pelayanan setiap tahunnya (Murray & DeVos,
1997 dalam Burke & Laramie, 2000). Lansia dengan
kelemahan fisik ataupun mental sangat beresiko untuk
mengalami kejadian pengabaian karena ketergantungan
yang dialami. Ketika membutuhkan bantuan untuk
pemenuhan kebutuhan dasar aktifitas sehari-hari seperti
mandi, berpakaian, berjalan, makan, dapat memicu dan
menimbulkan depresi pada pemberi perawatan (Cromwell,
1999 dalam Meiner & Lueckonette, 2006).
Faktor resiko yang lain yang dapat memicu kejadian bentuk
pengabaian pada lansia yaitu adanya isolasi sosial dan
demensia pada lansia (Maurier & Smith, 2005). Penelitian
pada lansia dengan penyakit Alzheimer ditemukan 17,4%
mendapatkan perlakuan pengabaian dan kekerasan dari
keluarga (Paveza et al, 1992 dalam Maurier & Smith,
2005). Penelitian yang dilakukan oleh Krainj (2001) pada
lansia yang mengalami depresi karena pengalaman negatif
dalam hidup termasuk kejadian pengabaian, didapatkan
hasil bahwa kejadian pengabaian yang dialami oleh lansia
pada masa usia 1-15 tahun sebesar 22,3%, usia 16-49 tahun
sebesar 27,7%, usia 50-60 tahun sebesar 13,3% dan usia
diatas 60 tahun sebesar 44,6%.
Sebagian besar kejadian pengabaian tidak dilaporkan. Hal
ini disebabkan karena adanya kesulitan yang berkaitan
dengan perubahan memori yang dialami oleh lansia. Pada
beberapa kasus bentuk pengabaian pada lansia, terjadi pada
lansia dalam kondisi demensia (Maurier & Smith, 2005).
Gangguan kognitif yang dialami oleh lansia menjadi faktor
resiko bagi lansia dan dapat menjadi pemicu kejadian
pengabaian pada lansia (Meiner & Lueckonette, 2006).
2.2.3.2 Sumber Penyebab pada Keluarga
Beberapa faktor dapat menjadi indikator sehingga pemberi
pelayanan melakukan bentuk perlakuan pengabaian. Faktor
yang dapat menjadi indikator sehingga pemberi pelayanan
beresiko untuk melakukan atau menjadi pelaku pengabaian
yaitu adanya penurunan kesehatan fisik, kerusakan kognitif,
gangguan emosi atau sakit jiwa, penurunan harapan,
ketergantungan secara emosional dan finansial pada
penerima pelayanan, mendapatkan bentuk perlakuan
kekerasan pada masa anak-anak, khususnya jika lansia
pernah sebagai pelaku kekerasan, isolasi sosial dan
kurangnya sistem pendukung, adanya konflik dengan
individu lansia. Hal ini dapat menimbulkan depresi pada
pemberi pelayanan (Burke & Laramie, 2000). Hasil
penelitian Reay dan Browne (2000) menyatakan bahwa
pelaku kekerasan dan pengabaian yang diakibatkan oleh
adanya penggunaan alkohol dan adanya pengalaman
mendapatkan perilaku kekerasan ditemukan 77%
melakukan kekerasan fisik pada lansia dan hanya 10% yang
melakukan pengabaian pada lansia.
Pasangan lansia atau anak dewasa sebagai penanggung
jawab finansial dan penanggung jawab keluarga dapat
menjadi pelaku pengabaian. Kondisi depresi dan adanya
beban tugas sebagai pemberi pelayanan dapat menjadi
penyebab timbulnya bentuk perlakuan pengabaian ataupun
kekerasan pada lansia (Buttler, 1999:Jones Holstege,
1997:Philips, 1998 dalam Meiner & Lueckonette, 2006).
Faktor beban yang dipikul keluarga, dimana keluarga
bertanggung jawab untuk dua generasi yaitu orang tua dan
anak. Hal ini disebabkan karena adanya beban pekerjaan,
melakukan pelayanan pada anak dan orang tua pada
menjadi pemicu terjadiya perlakuan pengabaian pada lansia
(Maurier & Smith, 2005). Pelaku pengabaian pada lansia
yang dilakukan oleh anggota keluarga dapat juga
disebabkan oleh depresi karena adanya kesulitan dalam hal
finansial dan pemenuhan kebutuhan anggota keluarga
(Mauk, 2010).
Ditemukan bahwa 90% kasus bentuk perlakuan pengabaian
ataupun kekerasan dilakukan oleh anggota keluarga.
Sebagian besar bentuk perlakuan pengabaian dan kekerasan
pada lansia dilakukan oleh anak dewasa ataupun pasangan
lansia (Maurier & Smith, 2005:Meiner & Lueckonette,
2006). Penelitian menemukan pelaku pengabaian dan
kekerasan pada lansia 58% adalah pasangan lansia dan
23%-30% dilakukan oleh anak dewasa (Hadfield &
Watson, 1994:Pillemer & Finkelhor, 1998 dalam Maurier
& Smith, 2005).
Lansia dengan kondisi confusion, inkontenensia,
kelemahan, ketidakmampuan fisik dan mental
menyebabkan ketergantungan pada pemberi pelayanan
(Maurier & Smith, 2005). Adanya kondisi lansia menolak
dan menyangkal kebenaran karena adanya ketergantungan
pada pemberi pelayanan (Mauk, 2010). Selain
ketergantungan, lansia takut untuk memberikan laporan
yang sebenarnya karena takut akan tidak dipenuhi
kebutuhannya oleh pemberi layanan (Meiner &
Lueckonette, 2006).
2.3 Konsep Keluarga
2.3.1 Pengertian Keluarga
Keluarga dapat didefinisikan sebagai kekeluargaan/pertalian
keluarga (kinship), menurut Con & Stuart dalam Stuart & Laraia (2005)
keluarga adalah kumpulan individu yang dihubungkan oleh pernikahan
atau yang setara atau kedudukan sebagai orang tua. Menurut Friedman,
Bowden, & Jones (2003 ) menjelaskan bahwa keluarga adalah dua atau
lebih orang yang tergabung bersama oleh ikatan keterlibatan emosi dan
kedekatan dan yang mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari
suatu keluarga. Kedua definisi tentang keluarga diatas dapat penulis
rangkum menjadi kumpulan orang dihubungkan oleh perkawinan dan
emosional sehingga sepakat membentuk sebuah keluarga.
2.3.2 Dimensi Status Orang Tua

Dimensi status orang tua dapat digunakan untuk menjelaskan keluarga


pada masyarakat saat ini dan area kerja klinik (Con & Stuart dalam Stuart &
Laraia, 2005)), seperti dibawah ini:

a. Biologis

1) Kedua orang tua berhubungan secara biologis terhadap anak.


2) Satu orang tua berhubungan secara biologis terhadap anak
(keluarga lesbian, inseminasi buatan, orang tua wali, dan keluarga
campuran).
3) Kedua orang tua tidak ada hubungan secara biologis terhadap
anak (adopsi).
4) Secara biologis berhubungan dengan eyang/embah untuk
memenuhi peran orang tua.

b. Status perkawinan

1) Single parent: (anak dari seksual, inseminasi, adopsi, atau anak


hasil perceraiain).
2) Married parents: (kedua orang tua secara biologis, satu orang tua
biologis dan satu orang tua tiri, orang tua adopsi).
3) Cohabiting parent (tinggal bersama sebagai suami isteri):
(heteroseksual dan gay/lesbian).

c. Orientasi seksual

1) Heteroseksual
2) Gay/lesbian

d. Peran gender/status pekerjaan

1) Tradisional
2) Non tradisional
2.3.3 Tipe Keluarga

Menurut Sussman (1974) dan Maclin (1988) dalam Efendi dan


Machfudli (2009) Pembagian tipe keluarga adalah sebagai berikut:

a. Keluarga tradisional

1) Keluarga inti: keluarga yang terdiri dari atas ayah, ibu, dan anak.
2) Pasangan inti: keluarga yang terdiri atas suami dan istri saja.
3) Keluarga dengan orang tua tunggal: satu orang sebagai kepala
keluarga, biasanya sebagai akibat dari perceraian.
4) Lajang yang tinggal sendirian.
5) Keluarga besar yang mencakup tiga generasi.
6) Pasangan usia pertengahan atau pasangan lanjut usia
7) Jaringan keluarga besar

b. Keluarga non tradisional

1) Pasangan yang memiliki anak tanpa menikah


2) Pasangan yang hidup bersama tanpa menikah
3) Keluarga homoseksual (gay/ lesbian)
4) Keluarga komuni: keluarga dengan lebih dari satu pasangan
monogami dengan anak-anak secara bersamam-sama
menggunakan fasiltas serta sumber-sumber yang ada

2.3.4 Struktur Keluarga

Parad & Caplan (1965) dalam Friedman (2003) menjelaskan


struktur keluarga dapat menggambarkan bagaimana keluarga
melaksanakan fungsi keluarga di masyarakat, antara lain:

a. Struktur peran keluarga

Menggambarkan peran masing-masing anggota keluarga dalam


keluarga sendiri dan perannya di lingkungan masyarakat atau peran formal
dan informal.
b. Nilai dan norma keluarga

Menggambarkan nilai dan norma yang dipelajari dan diyakini oleh


keluarga, khususnya yang berhubungan dengan kesehatan.

c. Pola komunikasi keluarga

Menggambarkan bagaimana cara dan pola komunikasi ayah


dengan ibu, orang tua dengan anak, anak dengan anak, dan anggota
keluarga lain dengan keluarga inti.

d. Struktur kekuatan keluarga

Menggambarkan kemampuan anggota keluarga untuk


mempengaruhi dan mengendalikan orang lain untuk mengubah perilaku
keluarga yang mendukung kesehatan.

2.3.5 Fungsi Keluarga

Lima fungsi keluarga menurut Friedman (1998) dalam Efendi dan

Makhfudli (2009) adalah sebagai berikut:

a. Fungsi afektif/affective function

Berhubungan erat dengan fungsi internal keluarga, merupakan basis


kekuatan keluarga. Fungsi afektif berguna untuk pemenuhan kebutuhan
psikososial. Keberhasilan melaksanakan fungsi afektif tampak pada
kebahagiaan dan kegembiraan dari seluruh anggota keluarga. Tiap anggota
keluarga saling mempertahankan iklim yang positif, perasaan memiliki,
perasaan yang berarti dan merupakan sumber kasih sayang dan
reinforcement.

b. Fungsi sosialisasi dan tempat bersosialisasi

Fungsi ini sebagai tempat untuk melatih anak dan mengembangkan


kemampuannya untuk berhubungan dengan orang lain di luar rumah.
Keluarga merupakan tempat individu untuk belajar bersosialisasi.
Keberhasilan perkembangan individu dan keluarga dicapai melalui
interaksi atau hubungan antara anggota keluarga yang ditujukan dalam
sosialisasi. Anggota keluarga belajar tentang disiplin, norma-norma,
budaya, dan perilaku melalui hubungan dan interaksi dalam keluarga.

c. Fungsi reproduksi

Keluarga berfungsi untuk meneruskan kelangsungan dan menambah


sumber daya manusia. Dengan adanya program keluarga berencana maka
fungsi ini sedikit terkontrol. Di sisi lain, banyak kelahiran yang tidak
diharapkan atau di luar ikatan perkawinan sehingga lahirlah keluarga baru
dengan satu orang tua.

d. Fungsi ekonomi

Keluarga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan tempat


mengembangkan kemampuan individu untuk meningkatkan penghasilan
dan memenuhi kebutuhan keluarga seperti makan, minum, pakaian.
Fungsi ini sukar dipenuhi oleh keluarga di bawah garis kemiskinan.

e. Fungsi perawatan atau pemeliharaan kesehatan

Fungsi ini untuk mempertahankan keadaan kesehatan keluarga agar tetap


memiliki produktivitas yang tinggi. Kemampuan keluarga dalam
memberikan perawatan kesehatan mempengaruhi status kesehatan
keluaga. Bagi tenaga kesehatan keluarga yang professional, fungsi
perawatan kesehatan merupakan pertimbangan vital dalam pengkajian
keluarga.
2.3.6 Tugas Kesehatan Keluarga

Tugas kesehatan keluarga menurut Bailon dan Maglaya (1998)


dalam Efendi dan Makhfudli (2009), adalah sebagai berikut:

a. Mengenal masalah kesehatan

Kesehatan merupakan kebutuhan keluarga yang tidak boleh


diabaikan karena tanpa kesehatan segala sesuatu tidak akan berarti dan
karena kesehatanlah kadang seluruh kekuatan sumber daya dan dana
kesehatan habis. Orang tua perlu mengenal keadaan kesehatan dan
perubahan-perubahan yang dialami anggota keluarga. Perubahan sekecil
apapun yang dialami anggota keluarga secara tidak langsung menjadi
perhatian keluarga atau orang tua. Apabila menyadari adanya perubahan
keluarga perlu dicatat kapan terjadinya, perubahan apa yang terjadi, dan
berapa besar perubahnnya. Sejauh mana keluarga mengetahui dan
menganal fakta-fakta dari masalah kesehatan yang meliputi pengertian,
tanda dan gejala, faktor penyebab dan yang mempengaruhinya, serta
persepsi keluarga terhadap masalah.

b. Membuat keputusan tindakan kesehatan yang tepat

Sebelum keluarga dapat membuat keputusan yang tepat mengenai


masalah kesehatan yang dialaminya, perawat harus dapat mengkaji
keadaan keluarga tersebut agar dapat memfasilitasi keluarga dalam
membuat keputusan. Berikut ini hal-hal yang harus dikaji oleh perawat
sebagai berikut:

1) Sejauhmana kemampuan keluarga mengerti mengani sifat dan luasnya


masalah
2) Apakah keluarga merasakan adanya masalah kesehatan
3) Apakah keluarga merasa menyerah terhadap masalah yang dialami
4) Apakah keluarga merasa takut akan akibat penyakit
5) Apakah keluarga mempunyai sikap negative terhadap masalah
kesehatan
6) Apakah keluarga dapat menjangkau fasilitas kesehatan yang
ada
7) Apakah keluarga kurang percaya terhadap tenaga kesehatan
8) Apakah keluarga mendapat informasi yang salah terhadap
tindakan dalam mengatasi masalah

c. Memberi perawatan pada anggota keluarga yang sakit

Ketika memberikan perawatan kepada anggota keluarganya yang


sakit, keluarga harus mengetahui hal-hal sebagai berikut:
1) Keadaan penyakitnya (sifat, penyebaran, komplikasi, prognosis,
dan perawatannya).
2) Sifat dan perkembangan perawatan yang dibutuhkan
3) Keberadaan fasilitas yang diperlukan untuk perawatan
4) Sumber-sumber yang ada dalam keluarga (anggota keluarga
yang bertanggung jawab, sumber keuangan atau financial, fasilitas fisik,
psikososial).
5) Sikap keluarga terhadap yang sakit

d. Memodifikasi lingkungan atau menciptakan suasana rumah yang sehat

Ketika memodifikasi lingkungan atau menciptakan suasana rumah


yang sehat, keluarga harus mengathui hal-hal sebagai berikut:

1) Sumber-sumber keluarga yang dimiliki


2) Keuntungan atau manfaat pemeliharaan lingkungan
3) Pentingnya hygiene sanitasi
4) Upaya pencegahan penyakit
5) Sikap atau padangan keluarga terhadap hygiene sanitasi
6) Kekompakkan antar anggota keluarga

e. Merujuk pada fasilitas kesehatan masyarakat

Ketika merujuk anggota kaluarga ke fasilitas kesehatan, keluarga


harus mengetahui hal-hal berikut ini:
1) Keberadaan fasilitas keluarga
2) Keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh dari fasilitas
kesehatan
3) Tingkat kepercayaan keluarga terhadap petugas dan fasilitas
kesehatan
4) Pengalaman yang kurang baik terhadap petugas kesehatan
5) Fasilitas kesehatan yang ada terjangkau oleh keluarga

2.3.7 Tahapan dan Tugas Perkembangan Keluarga

Menurut Carter dan Mc. Goldrik, 1998, Duval dan Miller, 1985
dalam Friedman (2010), tahapan, tugas perkembangan keluarga pada fase
elderly meliputi:

a. Tahapan perkembangan

Tahap ini dimulai ketika salah satu atau kedua pasangan pensiun,
terus berlangsung ketika salah satu pasangan meninggal dunia, dan
berakhir dengan pasangan lain meninggal.

b. Tugas- tugas perkembangan keluarga:

1) Mempertahankan pengaturan hidup yang memuaskan

2) Menyesuaikan terhadap pendapatan yang menurun

3) Mempertahankan hubungan perkawinan

4) Menyesuaikan diri terhadap kehilangan pasangan

5) Mempertahankan ikatan keluarga antar generasi

6) Meneruskan untuk memahami eksistensi mereka (riwayat


kehidupan dan integrasi hidup)

c. Masalah- masalah kesehatan:

1) Promosi kesehatan (nutrisi, latihan, pencegahan cedera,


penggunaan obat yang aman, pemakaian pelayanan preventif, dan berhenti
merokok)

2) Penurunan fungsi fisik

3) Penurunan sumber- sumber finansial

4) Kehilangan
2.3.8 Karakteristik Keluarga Dengan Kekerasan

Fishwick, Parker, & Campbell dalam Stuart & Laraia (2005),


menjabarkan bahwa karakteristik kekerasan keluarga dapat dipengaruhi
oleh:

a. Transmisi multigenerasi

b. Isolasi sosial

c. Menggunakan dan penyalahgunaan kekuasaan

d. Penyalahgunaan obat dan alkohol

2.4 Konsep Depresi Pada Lansia

2.4.1 Pengertian Depresi

Depresi adalah satu masa terganggunya fungsi manusia yang


berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk
pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, kelelahan, rasa
putus asa dan tak berdaya, serta gagasan bunu diri (Azizah, 2011). Menurut
Yosep (2011) depresi adalah satu bentuk gangguan jiwa pada alam perasaan
(mood) yang ditandai kemurungan, kesedihan, kelesuhan, kehilangan gairah
hidup, tidak ada semangat dan marasa tidak berdaya, parasaan bersalah atau
berdosa, tidak berguna dan putus asa. Depresi adalah salah satu bentuk
gangguan kejiwaan pada alam perasaan (affective/mood disorder), yang
ditandai dengan kemurungan, kelesuan, ketidakadaangairah hidup, perasaan
tidak berguna, putus asa dan lain sebagainya (Hawari. D, 2001).

2.4.2 Rentang Respon Emosional

Menurut Purwaningsi (2010), Reaksi Emosi dibagi menjadi dua yaitu:

1. Reaksi emosi adaptif merupakan reaksi emosi yang umum dari


seseorang terhadap rangsangan yang diterima dan berlangsung singkat.
Ada dua reaksi adaptif:

a. Respon emosi yang responsive Keadaan individu yang terbuka


dan sadar akan perasaannya. Pada rentang ini individu dapat
berpatisipasi dengan dunia eksternal dan internal.

b. Reaksi kehilangan yang wajar Merupakan posisi rentang yang


normal yang dialami individu yang mengalami kehilangan. Pada
rentang ini individu menghadapi realita dari kehilangan dan
mengalami proses kehilangan. Misalnya bersedih, berhenti
kegiatan sehari-sehari, takut pada diri sendiri, berlangsung tidak
lama.

2. Reaksi emosi maladaptif merupakan reaksi emosi yang suda


merupakan gangguan. Respon ini dibagi menjadi tiga tingkatan:

a. Supresi

Tahap awal respon emosional maladaptive, individu


menyangkal, menekan atau menginternalisasi semua aspek
perasaanya terhadap lingkungan.

b. Reaksi kehilangan yang memanjang.

Supresi memanjang sehingga mengganggu fungsi


kehidupan individu. Gejala : bermusuhan, sedih berlebihan,
rendah diri.

c. Mania/Depresi
Merupakan respon emosional yang berat dan dapat
dikenal melalui intensitas dan pengaruhnya terhadap fisik
individu dan fungsi sosial.

2.4.3 Penyebab Depresi

Faktor-faktor resiko terjadinya depresi pada lansia menurut Amir


(2005) yaitu:

a. Jenis kelamin

b. Usia Depresi lebih sering terjadi pada

c. Status perkawinan

d. Riwayat keluarga

e. Kepribadian

f. Stresor sosial

g. Dukungan sosial

h. Dukungan keluarga
2.5 Kerangka Konsep

Konsep merupakan suatu abstraksi dari suatu realita agar dapat

dikomunikasikan dan membentuk suatu teori yang menjelaskan keterkaitan

antar variabel (Marta, 2012).

LANSIA ( Lanjut Masalah Fisik


Usia)

Masalah Kognitif (Intelektual)


Permasalahan
pada Lansia
Masalah Emosional

Perkembangan Spiritual

Gangguan Psikologi

DEPRESI PADA LANSIA

Faktor Internal: Faktor Eksternal:

Faktor-faktor 1. Biologis 1. Status


yang Usia, Jenis kelamin, perkawinan
mempengaruhi Riwayat keluarga. 2. Pekerjaan
terjadinya 2. Fisik 3. Pasangan
depresi pada Riwayat penyakit atau lansia/ anak
lansia penyakit yang sedang dewasa.
diderita, Kemampuan 4. Pengalaman
dalam melakukan negatif dalam
aktivitas sehari- hari, hidup.
tingkat 5. Ketidakmamp
ketergantungan yang uan memenuhi
tinggi. kebutuhan
3. Psikologis
6. Pengabaian
Kepribadian lansia,
keluarga
Gangguan kognitif.
2.6 Hipotesis

Dari konsep penelitian di atas dapat dirumuskan hipotesis penelitian yaitu:

Ada hubungan pengabaian keluarga dengan depresi pada lanjut usia

di Posyandu Lansia Bukirsari Kelurahan Tulusrejo Malang.


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Desain penelitian adalah hasil akhir dari satu tahap keputusan yang dibuat
oleh peneliti berhubungan dengan bagaimana suatu penelitian bisa diterapkan
(Nursalam dalam Fathkuriyanto, 2010). Desain penelitian memberikan prosedur
untuk mendapatkan informasi yang diperlukan untuk menyusun atau
menyelesaikan masalah dalam penelitian. Desain penelitian merupakan dasar
dalam melakukan penelitian. Oleh sebab itu, desain penelitian yang baik akan
menghasilkan penelitian yang efektif dan efisien.

Anda mungkin juga menyukai