Anda di halaman 1dari 30

HERPES GENITAL

BAGIAN 2

Lawrence Corey, Anna Wald

5. Infeksi Virus Herpes Genital pada Pasien Imunokompromais

Meskipun literatur awal mengenai infeksi HSV pada pasien imunosupresif terkonsentrasi
pada oral-labial, meningkatnya prevalensi herpes genital mengakibatkan meningkatnya
kesadaran akan konsekuensi penyakit herpes genital pada populasi ini. Pasien
imunokompromais mengalami infeksi HSV mukokutaneus lebih sering dan lebih lama. Lebih
dari 70% pasien transplantasi sum-sum tulang yang seropositif HSV mengalami reaktivasi
pada 1 bulan pertama pasca transplantasi. Pasien yang menerima kemoterapi sering
mengalami reaktivasi saat kondisi netropenia. Netrofil yang rendah tidak berhubungan
langsung dengan reaktivasi HSV, reaktivasi klinis dan subklinis mengakibatkan destruksi
epitel dan memperparah mukositis. Pada percobaan profilaksis acyclovir dapat menurunkan
bakteriemia patogen oral setelah kemoterapi. HSV mukokutaneus pada pasien
imunokompromais berkaitan dengan keluhan sistemikm gejala lokal yang berlangsung lama
dan viral shedding lebih dari 30 hari.

Herpes genital rekuren pada pasien imunokompromais berupa banyaknya vesikel yang
bergabung dan sampai lapisan dalam hingga menjadi lesi ulkus dan nekrosis. Penyebaran
virus diseminata dapat terjadi meskipun keterlibatan viseral jarang terjadi. Pemberian
profilaksis acyclovir sebelum transplantasi sum-sum tulang dapat menurunkan reaktivasi
HSV. Beberapa penelitian menunjukkan manfaat acyclovir dalam mempersingkat klinis dan
perjalanan virologi infeksi HSV mukokutaneus pada pasien imunokompromais. Imunitas host
yang tersisa penting dalam keparahan infeksi dan respon antivirus lebih rendah pada orang
seropositif HSV yang menerima transplantasi sel punca dari donor yang seronegatif HSV.
Secara klinis, pendekatan optimal pada serologi positif HSV pada pasien imunosupresi adalah
dengan pemberian antivirus pada saat pemberian agen imunosupresan dan tetap diberikan
pada saat kondisi masih imunosupresi. Meskipun terdapat laporan resisten terhadap acyclovir,
pengalaman penulis menunjukkan pemberian profilaksis acyclovir pada pasien transplantasi
sum-sum tulang dapat menurunkan episode resisten terhadap acyclovir. Episode rekuren lesi

1
mukokutaneus harus diterapi, biasanya dengan acyclovir oral atau IV sampai terjadi resolusi
dan diteruskan sampai imunitas host membaik.

5.1 HSV pada Pasien HIV

Herpes genital persisten dan kronis terjadi pada kasus AIDS di tahun 1981. Sejak saat itu,
pengetahuan tentang interaksi HIV dengan HSV-2 berkembang dan percobaan melalui
intravena terus dilakukan. Interaksi antara kedua virus ini merupakan sebuah sinergi
epidemiologi baik secara populasi, klinis dan saling mempengaruhi.

5.2 Efek HSV-2 pada Infeksi HIV

HSV merupakan infeksi tersering pada pasien seropositif HIV, sekitar 70% pasien HIV
pada negara maju dan 95% pada negara berkembang memiliki antibodi HSV-2. Pada awal
tahun 1980, terjadi peningkatan infeksi HIV baik insiden dan prevalensinya diantara pasien
LSL seropositif HSV-2. Penelitian metaanalisis menunjukkan infeksi HSV-2 meningkatkan
risiko infeksi HIV pada perempuan (3 kali lipat), laki laki (2 kali lipat) dan LSL (1,7 kali
lipat). Penelitian lain di Afrika menunjukkan infeksi HSV-2 pada salah satu pasangan atau
keduanya merupakan faktor terkuat didapatkannya HIV. Di Rakai, antibodi HSV-2 pada
pasangan yang rentan HIV meningkat sebanyak empat kali lipat ditularkannya HIV.
Tingginya risiko ini sebanding dengan tingginya HIV RNA sistemik pada pasangan seksual
(Tabel 4).

Tabel - 4

2
Peranan HSV-2 dalam penularan HIV sulit untuk dipastikan karena alasan metodologi.
Namun demikian, penelitian pada 121 pasien pasangan heteroseksual dengan HIV ditemukan
risiko penularan HIV sebesar lima kali lipat dengan adanya lesi ulkus PMS pada pasangan
seksual dan adanya penyakit genitourinaria yang baru didapat yang berhubungan dengan
infeksi HIV. Temuan ini didukung secara biologi dengan adanya kerusakan epitel
memudahkan masuknya HIV dan perekrutan CD4+ di lesi HSV shingga memudahkan
menempelnya HIV untuk pertama kali. Percobaan untuk menentukan kemampuan terapi
antivirus pada HSV-2 dalam menurunkan risiko penularan HIV pada orang dengan
seropositif HSV-2 saat ini masih dalam proses. Tidak seperti HSV-2, HSV-1 tidak
meningkatkan risiko tertularnya HIV. Namun demikian, kebanyakan orang yang mendapat
HIV didahului dengan infeksi HSV-1, hal ini menyulitkan dalam menetukan didapatnya HIV
pada orang seronegatif HSV. Reaktivasi HSV-1 pada traktus genital jarang terjadi, hal ini
mungkin berperan dalam rendahnya penularan HIV.

Interaksi epidemiologi antara HIV dan HSV-2 akan berakibat pada populasi. Jika risiko
HIV dua kali lipat pada seropositif HSV-2, 50% infeksi HIV pada pasien ini berkontribusi
dalam infeksi HSV-2. Populasi yang berisiko bergantung pada prevalensi HSV-2 pada
populasi berisiko, 50% prevalensi HSV-2, terutama pada LSL, atau Afro-amerika di Amerika
Serikat atau populasi secara umum di sub-sahara Afrika, 35% infeksi HIV disertai dengan
HSV-2. Penyebaran HIV lebih cepat pada populasi dengan seropositif HSV-2.

Beberapa penelitian menunjukkan orang dengan HIV meningkatkan risiko didapatnya


HSV-2, karena adanya shedding HSV-2.

Frekuensi reaktivasi HSV-2 genital pada orang seropositif terjadi akibat stimulasi antigen
kronis. Schacker dkk menemukan strain HIV pada ulkus herpes awal selanjutnya baru
ditemukan dalam plasma. Peningkatan HIV RNA dalam plasma secara transien terjadi pada
herpes genital rekuren. Penelitian pada perempuan yang terinfeksi HIV, risiko deteksi HIV
pada sekret genital lebih tinggi jika HSV juga ada.

Terapi antivirus untuk HSV telah digunakan untuk menentukan efek reaktivasi HSV pada
replikasi HIV secara sistemik ataupun mukosa. Penelitian di Burkina-Faso dan Peru
menunjukkan penurunan plasma HIV dan sekret genital HIV. Penurunan HIV plasma RNA
memubutuhkan waktu 6 12 minggu dan tidak terlihat jika digunakan antivirus untuk anti-
HSV. Temuan ini menyarankan agar memperhatikan terapi HSV-2 pada penderita HIV.
Terapi antiviral supresi dapat menurunkan viral load. Penurunan HIV di mukosa terjadi

3
selama terapi acyclovir menurunkan risiko penularan seksual dan transmisi HIV perinatal
masih belum jelas.

Uji laboratorium menunjukkan bukti bahwa HSV mungkin faktor penting dalam ekspresi
HIV. Protein regulator HSV yaitu ICPO dan ICP4 dapat merangsang replikasi HIV secara in
vitro. Replikasi HSV merangsang TNF-alfa beta dan ekspresi HIV di makrofag. Lesi herpes
berkaitan dengan aktivasi limfosit CD4, yang akan berakibat meningkatnya ekspresi HIV
pada mukosa. Secara in vivo, HSV-1 dan koinfeksi HIV pada sel epitel berakibat pada
peningkatan duplikasi virion HSV.

5.3 HSV-1 dan HSV-2 pada Pasien HIV

Infeksi HSV adalah salah satu manifestasi klinis tersering pada infeksi HIV. Meskipun
demikian, efek yang paling signifikan HSV pada HIV adalah tingginya angka reaktivasi virus
dan terbanyak adalah subklinis. Penelitian menunjukkan reaktivasi subklinis ini menetap
meskipun telah mendapat terapi HAART.

Ulkus genital persisten kronis yang disebabkan HSV adalah termasuk infeksi opurtunistik
pada AIDS. Ulkus mukokutaneus persisten kronis sering mengenai area yang luas pada
paerianal, vulva atau area penis. Kebanyakan LSL yang terinfeksi HIV menderita HSV-1 dan
70% menderita HSV-2, biasanya reaktivasi HSV-2 mengakibatkan klinis yang berat. Nyeri
dan lesi dapat muncul dalam berbulan bulan dan dapat sangat menyakitkan. Evaluasi secara
sistematis herpes genital pada LSL HIV positif menunjukkan peningkatan rekurensi dan
waktu yang lebih lama dibandingkan pada LSL yang HIV negatif. Menariknya, HSV-2 tidak
tampak diseminata pada HIV yang berat, dan keterlibatan viseral jarang terjadi.
meningoensefalitis HSV-2 pernah dilaporkan pada pasien HIV.

Penelitian terbaru pada reaktivasi HSV-2 genital menunjukkan risiko viral shedding
meningkat pada orang yang HIV terutama risiko shedding subklinis. Tabel 5 menunjukkan
perbandingan angka reaktivasi HSV pada HIV positif dengan HIV- negatif LSL dan HIV
positif dan negatif pada wanita. Terdapat hubungan kadar CD4+ dengan shedding HSV-2
genital dan hubungan langsung antara HIV RNA plasma dengan HSV-2 shedding. Namun
demikian, pada HIV negatif reaktivasi HSV-2 juga tetap terjadi dan meskipun kadar CD4+
tinggi tetap terjadi shedding HSV-2 pada traktus genitalia. Antiretroviral telah menunjukan
perbaikan klinis infeksi HSV-2 namun, minimal dalam mengurangi shedding. Oleh karena
itu, HSV-2 seropositif yang dalam pengobatan antiretroviral HIV disertai dengan kadar RNA

4
plasma yang rendah tetap terjadi shedding HSV pada genital dan sering meningkat
jumlahnya.

Tabel - 5

Kebanyakan infeksi HSV pada orang dengan HIV akan berespon dengan pemberian
antivirus, seperti acyclovir, valacyclovir dan famcyclovir, obat ini akan mengurangi gejala
klinis dan reaktivasi subklinis dari HSV pada pasien HIV. Terapi supresif dengan acyclovir
mengakibatkan kesulitan dalam minum obat, tetapi dapat mencegah episode klinis,
mengurangi risiko shedding HSV-2 dan memiliki efek tidak langsung pada HIV. Beberapa
pasien yang berespon dengan acyclovir mungkin akan membentuk mutan timidin kinase yang
dengan antiviral standar tidak efektif.

Komplikasi tambahan HSV-2 pada wanita hamil HIV positif berpotensi mengakibatkan
penularan HIV ibu ke anak. Seperti pada penelitian yang membuktikan peningkatan risiko
transmisi HIV ke bayi pada wanita yang seropositif HSV-2 dibandingkan yang negatif HSV-
2 atau adanya ulkus genital pada akhir kehamilan. Mekanisme ini dimediasi oleh barier epitel
atau kandungan HIV RNA sistemik atau lokal masih tidak diketahui. Penelitian lanjut
diperlukan untuk menentukan potensi HSV-2 dalam mempengaruhi secara langsung atau
tidak langsung penularan HIV pada wanita yang diobati antiretroviral dan juga nevirapine
dosis tunggal untuk mengurangi penularan HIV dari ibu ke bayi.

6. Infeksi HSV Genital dalam Kehamilan


Salah satu masalah utama pasien dengan herpes genital adalah efek penyakit pada
kehamilan dan neonatus. Penularan infeksi HSV secara kongenital dan intrapartum telah

5
dijelaskan. Herpes neonatorum adalah penyakit dengan kematian dan morbiditas yang tinggi.
Penularan STD ini ke bayi yang baru lahir juga memiliki efek buruk pada orang tua.
6.1 Epidemiologi Herpes dalam Kehamilan
Prevalensi infeksi HSV genital selama kehamilan serta insiden relatif infeksi HSV
neonatal dipengaruhi oleh status sosial ekonomi, usia, dan aktivitas seksual masa lalu dari
populasi pasien yang diteliti. Di Amerika Serikat, bukti serologis infeksi HSV-2 ada di
sekitar 30% wanita kelas menengah yang mendatangi klinik prenatal; persentasenya 50-70%
pada populasi obstetri kulit putih dengan sosial ekonomi rendah. Meskipun prevalensi
serologi yang tinggi, bukti klinis HSV jauh lebih sedikit. Di Seattle, di mana populasi obstetri
memiliki 30% prevalensi HSV-2, riwayat HSV genital masa lalu atau saat ini ada pada 8%
wanita.
Infeksi HSV neonatal adalah penyakit yang dilaporkan hanya di beberapa negara bagian di
Amerika Serikat. Perkiraan insiden herpes neonatal bervariasi dari l pada 3000 kelahiran
hidup sampai l pada 20.000 kelahiran hidup. Frekuensi estimasi secara keseluruhan infeksi
HSV neonatal di Amerika Serikat diperkirakan sekitar l pada 7500 kelahiran hidup atau
sekitar 400 - 1.200 kasus nasional tahunan. Survei terbaru di Kanada melaporkan insiden 5,9
per 100.000 kelahiran hidup.
Risiko tertinggi untuk penularan HSV pada periode perinatal terjadi selama akuisisi HSV
pada wanita pada saat atau dekat dengan waktu persalinan. Hal ini membantu menjelaskan
variabilitas luas pada frekuensi herpes neonatal di seluruh dunia. Populasi obstetrik dengan
prevalensi tinggi HSV-2 memiliki insiden rendah infeksi HSV neonatal. Populasi dengan
resiko tinggi tertular HSV pada kehamilan memiliki tingkat infeksi HSV neonatal tertinggi.
Dengan demikian, praktek kontrasepsi dan perilaku sangat mempengaruhi epidemiologi
infeksi HSV neonatal. Skandinavia dan pantai barat Amerika Serikat tampaknya memiliki
tingkat HSV neonatal tertinggi (sekitar l pada 3000 kelahiran hidup). Seperti infeksi HSV
genital, data terbaru menunjukkan pergeseran ke arah infeksi HSV-1 neonatal.
Di antara 7.046 wanita yang diikuti dengan evaluasi serologi selama kehamilan, 94 tertular
HSV (64 HSV-2 dan 30 HSV-1) selama kehamilan, untuk tingkat keseluruhan 2,1%. Dari
wanita tersebut dengan waktu tertular yang diketahui, 30% tertular pada trimester pertama,
35% trimester kedua, dan 40% selama trimester ketiga. Secara keseluruhan, hanya 34 wanita
(36%) dengan tanda-tanda klinis infeksi. Tak satu pun dari wanita tersebut memperoleh
antibodi HSV selama kehamilan yang menularkan HSV ke neonatus. Namun, 9 wanita pada
kelompok yang memperoleh HSV pada akhir trimester ketiga dan 4 dari 9 wanita ini
menularkan HSV ke neonatus. Pada kelompok ini, risiko penularan neonatal terbatas pada

6
wanita yang mendapatkan HSV mendekati dengan waktu persalinan. Kelompok wanita
dievaluasi bersama dengan pasangan seksualnya. Di antara wanita yang seronegatif untuk
HSV-l yang pasangannya memiliki antibodi HSV-I, tingkat akuisisi HSV-1 selama
kehamilan adalah 3,5% (disesuaikan dengan lama kehamilan). Tingkat akuisisi HSV-2 pada
wanita yang rentan yang memiliki pasangan yang terinfeksi HSV-2 adalah 20%. Dengan
demikian, tingkat akuisisi HSV-2 pada wanita hamil tampaknya sangat tinggi, mungkin
diubah oleh lingkungan progesteron yang tinggi yang telah terbukti menggeser kerentanan
terhadap HSV 100 kali lipat pada model tikus percobaan. Meskipun penelitian menunjukkan
bahwa risiko HSV tertinggi pada wanita yang memperoleh HSV pada akhir kehamilan, 30-
50% bayi dengan HSV neonatal lahir dari ibu yang telah ditegakkan herpes genital
sebelumnya, walaupun sering tidak diakui.
6.2 Perjalanan Klinis Herpes Genital dalam Kehamilan
Sebagian besar manifestasi klinis herpes genital berulang, termasuk frekuensi subklinis
dibandingkan infeksi klinis dan durasi lesi, nyeri dan gejala konstitusional sama pada wanita
hamil dan tidak hamil. Frekuensi dan tingkat keparahan kekambuhan tampaknya meningkat
selama kehamilan. Penyebaran viseral HSV pada wanita hamil yang mendapatkan penyakit
kelamin primer telah dijelaskan, terutama jika infeksi didapat pada trimester ketiga. Terapi
antivirus rutin untuk HSV episode pertama tidak diperlukan pada kehamilan tetapi mungkin
diberikan untuk penyakit yang parah. Acyclovir (ACV) IV harus dimulai pada wanita hamil
yang memiliki bukti penyebaran infeksi, terutama hepatitis, pneumonitis, atau koagulopati.
6.3 Pengaruh HSV pada Kehamilan
Penelitian di tahun 1960-an menunjukkan bahwa infeksi HSV genital dikaitkan dengan
peningkatan frekuensi aborsi spontan dan kelahiran prematur. Penelitian ini juga
menunjukkan bahwa serviksitis HSV primer memiliki risiko komplikasi yang lebih tinggi
dibandingkan aspek lain penyakit. Brown dkk mengumpulkan 28 kasus wanita yang
memperoleh HSV genital episode pertama dalam kehamilan. Morbiditas kehamilan hanya
terlihat pada 15 wanita dengan infeksi primer klinis; yaitu wanita dengan demam, gejala
konstitusional, dan lesi yang parah. Bukti serologis dan klinis infeksi nonprimer tidak
dikaitkan dengan morbiditas kehamilan. HSV neonatal dan prematuritas paling sering terlihat
pada wanita yang mendapatkan infeksi genital primer selama trimester ketiga.
Beberapa penjelasan yang potensial dapat menjelaskan perbedaan-perbedaan pada
morbiditas neonatal pada wanita dengan infeksi HSV primer dibandingkan infeksi HSV
genital berulang. Dengan penyakit primer, penyebaran hematogen HSV serta korioamnionitis
asenden dapat mengakibatkan infeksi dan penyakit neonatal. Herpes genital vulva berulang

7
biasanya tidak dikaitkan dengan servisitis atau viremia. Beberapa penelitian klinis dan
penelitian berbasis populasi terbaru wanita dengan HSV genital berulang dalam kehamilan
menunjukkan tidak ada efek pada infeksi klinis berulang pada neonatus, termasuk berat
badan lahir dan usia kehamilan.
6.4 Penularan HSV ke Neonatus
Hampir semua kasus herpes neonatorum didapat secara perinatal: Bayi mendapatkan
infeksi pada saat persalinan melalui kontak dengan cairan genital yang terinfeksi HSV. Lebih
dari 70% bayi dengan infeksi HSV neonatal lahir dari ibu yang tidak ada gejala atau tanda-
tanda lesi HSV pada saat persalinan. Tabel - 6 menggambarkan frekuensi shedding virus dan
status serologis pada saat persalinan dan hubungannya dengan HSV neonatal dari penelitian
yang dilakukan di Universitas Washington. Seperti yang ditunjukkan pada Tabel - 6, HSV
neonatal dapat terjadi pada wanita tanpa memandang status serologi. Namun, risiko
bervariasi sesuai dengan status serostatus: 1/1900 pada wanita seronegatif HSV, 1/3900 pada
seropositif HSV-l, dan 1/4600 pada wanita seropositif HSV-2. Perhitungan alternatif yang
dapat memberikan risiko klinis yang lebih relevan adalah bahwa risiko penularan HSV ke
neonatus adalah 30-50% pada wanita dengan yang baru mendapatkan HSV dibandingkan <
1% pada wanita dengan infeksi kronis. Risiko rendah pada wanita seropositif HSV-2
mencerminkan rendahnya penularan dari wanita dengan reaktivasi HSV-2. Risiko rendah ini
dapat dimediasi dengan bagian antibodi ibu, atau dengan replikasi virus yang terbatas pada
saluran genital selama shedding/shedding pada penyakit, atau keduanya. Isolasi HSV adalah
faktor risiko terkuat untuk penularan HSV intrapartum ke neonatus dengan risiko relatif 346
yang dibandingkan dengan wanita yang virus tidak terisolasi. Namun, penularan HSV dari
wanita yang kultur negatif juga dapat terjadi; kami telah mendeteksi DNA HSV pada swab
dari 2 wanita yang menulakan ke neonatus mereka, yang menunjukkan sensitivitas yang
terbatas pada kultur virus. Di antara wanita yang memiliki HSV yang diisolasi di saluran
genital, akuisisi baru HSV dibandingkan reaktivasi (OR = 49), isolasi HSV-1 dibandingkan
HSV-2 (OR =35), isolasi serviks dibandingkan vulva HISV (OR = 15), dan usia ibu yang
muda merupakan faktor risiko herpes neonatal. Selain itu, persalinan Caesar pelindung
terhadap penularan HSV (OR = 0,14) dan manipulasi kandungan seperti elektroda kulit
kepala dikaitkan dengan peningkatan risiko HSV (OR = 3,5). Ini adalah penelitian pertama
menunjukkan efek perlindungan persalinan abdominal, meskipun praktik tersebut telah
disetujui selama beberapa dekade, berdasarkan tujuan menghindari kontak neonatus dengan
cairan genital yang terinfeksi. manfaat dari seksio Caesaria setelah ruptur membran tidak
pasti.

8
Tabel - 6

Penelitian ini juga telah menggambarkan bahwa risiko shedding virus dinilai tidak akurat
dengan pemeriksaan klinis yang menggunakan adanya lesi genital sebagai indikator untuk
reaktivasi virus. Pada wanita yang menerima persalinan abdominal untuk herpes genital,
DNA HSV terdeteksi dari sekresi genital pada 46% wanita. Dengan demikian, penggunaan
pendekatan virologi daripada pendekatan klinis untuk menilai adanya virus pada saat
persalinan berpotensi menargetkan intervensi operasi pada wanita yang berada pada risiko
terbesar untuk penularan HSV ke neonatus.
6.5 Manajemen Wanita Hamil dengan Herpes Genital
Manajemen wanita hamil dengan HSV genital harus individual dan berdasarkan
perjalanan klinis penyakit pada ibu serta ketersediaan metode diagnosis virologi dan serologi.
Akuisisi penyakit primer pada kehamilan membawa risiko potensial penularan transplasenta
virus ke neonatus. Pada beberapa wanita, infeksi primer akan menyebabkan aborsi spontan;
meskipun ini tampaknya relatif jarang. Satu pertanyaan umum yang diajukan oleh pasien
dengan episode pertama herpes genital selama kehamilan yang tidak keguguran adalah
penggunaan amniosentesis untuk menentukan apakah ada infeksi intrauterine, dan karenanya
anak terinfeksi secara kongenital. Sebagian besar wanita hamil dengan herpes genital
berulang melahirkan bayi normal, dan amniosentesis rutin tidak dianjurkan pada wanita
tersebut.
Kriteria untuk pemeriksaan laboratorium dan pengawasan, serta prosedur persalinan untuk
wanita dengan infeksi HSV genital berulang, adalah pertanyaan yang paling sering ditemui
dokter kandungan yang menangani ibu hamil dengan HSV-2. Tingkat prevalensi tinggi

9
infeksi HSV-2 dalam kehamilan (prevalensi antibodi 30-60% tergantung pada populasi yang
diteliti) dan insiden penyakit neonatal yang rendah (1:6000 sampai 1:20.000 kelahiran hidup)
menunjukkan bahwa hanya beberapa bayi berada di risiko tertular penyakit. Operasi Caesar
karenanya tidak secara rutin diperlukan untuk semua wanita dengan penyakit kelamin
berulang. Karena penularan intrapartum infeksi menyumbang sebagian besar kasus, hanya
wanita-wanita yang meluruhkan HSV pada saat persalinan perlu dipertimbangkan untuk
persalinan abdominal. Adanya shedding/pelepasan virus tidak diprediksi dengan shedding di
minggu sebelumnya, dan dengan demikian, pemantauan sitologi dan virologi mingguan tidak
dianjurkan. Sayangnya, metode diagnostik cepat, yang dapat diandalkan untuk mendeteksi
shedding virus HSV serviks asimtomatik saat ini tidak tersedia. Kekosongan diagnostik ini
mungkin diisi dengan PCR yang sensitif, cepat yang bisa dilakukan pada saat persalinan
untuk memandu pendekatan persalinan. Pemeriksaan ini mungkin paling berguna dalam
mengidentifikasi wanita yang tertular HSV pada akhir kehamilan dan masih seronegatif tetapi
meluruhkan jumlah besar HSV dalam saluran genital dan beresiko tinggi penularan HSV ke
neonatus. Pada wanita tersebut, risiko 30-50% penularan HSV membenarkan persalinan
operatif.
Risiko penularan neonatal HSV pada wanita yang seropositif HSV-2 adalah rendah, <1%.
Pasien dengan herpes genital berulang harus didorong untuk datang ke ruang bersalin lebih
awal pada saat persalinan. Pada saat ini, pemeriksaan genitalia eksternal dan serviks yang
cermat harus dilakukan. Wanita yang tidak memiliki bukti klinis lesi harus dilahirkan secara
pervaginam; swab untuk mendeteksi HSV dengan isolasi virus atau PCR DNA HSV
membantu dengan manajemen bayi berikutnya. Adanya lesi aktif di serviks atau genitalia
eksterna, atau prodromal, yaitu, bukti klinis infeksi virus herpes di saluran genital bawah,
indikasi untuk persalinan abdominal. Kebijakan ini akan mengakibatkan pengurangan
pemaparan beberapa bayi untuk episode shedding serviks dan/atau vulva. Hanya beberapa
bayi yang terpapar ekskresi ibu yang mengandung HSV-2 mengalami herpes neonatal. Bayi
yang terinfeksi tersebut dirujuk kepeda dokter anak untuk perawatan lanjutan. Saat ini, para
ahli menyarankan memperoleh sampel untuk deteksi HSV dari tenggorokan, nasofaring,
mata, dan rektum bayi segera dan kemudian pada interval 5-10 hari. Bukti klinis letargi, lesi
kulit, atau gejala-gejala HSV neonatal lainnya harus dievaluasi segera. Semua bayi yang
terinfeksi HSV, setelah 24 jam persalinan harus diobati dengan kemoterapi antivirus sistemik.
Penelitian definitif mengenai hubungan antara durasi ruptur membran pada wanita dengan
lesi klinis jelas dan penularan HSV ke bayi, tidak ada, tetapi kontak yang lama dengan sekret
yang terinfeksi dapat meningkatkan risiko akuisisi. Persalinan bayi dengan operasi Caesar,

10
bahkan dari wanita dengan membran yang utuh, kadang-kadang akan menyebabkan herpes
neonatal. Banyak ahli merekomendasikan bahwa jika membrane telah pecah selama lebih
dari 4-6 jam, operasi Caesar seharusnya tidak lagi dipertimbangkan untuk perlindungan
terhadap penularan HSV. Namun, penelitian mengenai infeksi HSV neonatal di Seattle
menunjukkan penularan dapat terjadi dari paparan hanya terhadap lesi genital eksternal,
yaitu, dari wanita yang kultur positif hanya pada vulva dan bukan swab servikovaginal.
Bayi yang lahir dengan operasi Caesar wanita sebelum ruptur membran atau persalinan
pervaginam untuk wanita tanpa bukti infeksi HSV baru berada pada risiko minimal
mengalami infeksi HSV. Bayi yang lahir dari wanita berisiko menularkan penyakit ke
neonatus (yaitu, wanita dengan lesi aktif) harus diobservasi dengan seksama selama bulan
pertama kehidupan dan beberapa ahli menyarankan evaluasi virologi sepanjang waktu itu
(lihat di atas). Gejala penyakit neonatal (misalnya, susah makan, demam, hipotermia, lesi
kulit, atau tanda-tanda sistem saraf pusat seperti kejang) harus diteliti secepatnya untuk bukti
infeksi HSV neonatal. Manajemen kontak antara bayi dan ibu juga harus ditangani secara
individual. Pada wanita yang memperoleh herpes genital primer di akhir kehamilan, insiden
yang tinggi lesi ekstragenital dan potensi viremia menunjukkan bahwa pemisahan singkat
antara ibu dan bayi diperlukan sampai terapi telah menghasilkan respon klinis dan virologi.
Herpes genital berulang jarang dikaitkan dengan penyebarluasan penyakit atau
perkembangan lesi ekstragenital di ekstremitas yang terkena, perlindungan bayi dari paparan
sekresi genital yang terinfeksi diperlukan. Ketika menangani bayi di rumah sakit, edukasi ibu
mengenai teknik mencuci tangan yang tepat, tetapi rooming harus diperbolehkan. Herpes
oral-labial adalah risiko yang lebih besar akuisisi postnatal dari infeksi HSV ke bayi baru
lahir daripada herpes genital. Dengan demikian, anggota perawatan dan orang dewasa lainnya
dengan lesi labia eksternal yang disebabkan oleh HSV harus dihindari selama kontak intim
dengan bayi yang baru lahir.
Peningkatan terbaru infeksi HSV-1 genital telah mengakibatkan peningkatan infeksi HSV-
1 neonatal. Sedangkan HSV-1 mengaktifkan kembali pada saluran genital lebih jarang
daripada HSV-2 genital, risiko penularan ke neonatus jauh lebih tinggi ketika HSV-1
daripada HSV-2 diisolasi dari sekresi genital. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang
manajemen wanita dengan HSV-1 selama kehamilan. Wanita dengan HSV-1 genital yang
diketahui dapat dikelola dengan cara yang sama seperti wanita dengan HSV-2 genital. Semua
wanita yang terinfeksi HSV-1 harus diteliti dengan seksama untuk menyingkirkan lesi genital
pada saat persalinan. Jika wanita tersebut diketahui shedding HSV-1 pada saat persalinan,
operasi Caesar sebelum ruptur membran harus dipertimbangkan.

11
6.5.1 Antivirus dalam Kehamilan
Ada kontroversi mengenai penggunaan terapi antivirus selama kehamilan. Insiden HSV-2
neonatal rendah pada wanita dengan herpes genital berulang sehingga efikasi pendekatan ini
untuk pencegahan penyakit neonatal sangat sulit. Namun, insiden persalinan Caesar pada
wanita dengan HSV-2 genital jauh lebih tinggi dan beberapa penelitian telah mengevaluasi
penekanan antivirus rutin dalam mengurangi shedding HSV pada persalinan dan frekuensi
persalinan abdominal. Secara umum, penelitian telah menggunakan terapi harian dengan
ACV 400 mg tiga kali sehari atau valacyclovir 500 mg dua kali sehari mulai 36 kehamilan
minggu untuk wanita dengan herpes genital berulang. Ulasan sistematis lima penelitian ini
menunjukkan bahwa pendekatan ini mengurangi risiko kekambuhan, risiko shedding virus,
dan risiko persalinan abdominal. Dengan demikian, pendekatan ini terdaftar sebagai pilihan
manajemen pada pedoman ACOG dan CDC dan secara luas digunakan di masyarakat.
Meskipun pendekatan ini dapat menurunkan risiko operasi Caesar yang terkait HSV, tidak
mungkin memiliki dampak pada HSV neonatal, karena kebanyakan wanita yang menularkan
HSV ke neonatus mereka memiliki penyakit subklinis (baru atau berulang). Keamanan ACV
pada akhir kehamilan tidak menjalani evaluasi yang luas dan kekhawatiran mengenai potensi
neutropenia atau gangguan ginjal pada bayi baru lahir tetap ada. Masalah potensial yang lebih
besar dengan penggunaan prodrugs (valacyclovir) karena mencapai kadar obat yang lebih
tinggi pada neonatus. Sehingga, pendekatan manajemen pasien yang berguna, penggunaan
yang luas antivirus untuk mencegah HSV neonatal pada wanita yang seropositif HSV-2 tidak
terbukti bermanfaat.
6.5.2 Pencegahan didapatnya HSV dalam Kehamilan.
Kunci untuk pencegahan HSV neonatal adalah pencegahan akuisisi infeksi HSV-1 atau
HSV-2 genital pada akhir kehamilan. 30% dari wanita hamil adalah seropositif HSV-2,
identifikasi wanita yang berisiko memerlukan penggunaan tes serologi tipe-spesifik dan
pengujian untuk antibodi selama kehamilan. Wanita yang seronegatif HSV-2 harus konseling
mengenai pencegahan atau setidaknya menghindari aktivitas koitus tanpa kondom pada
trimester terakhir. Beberapa menganjurkan pengujian pasangan seksual untuk
mengidentifikasi "pasangan tidak setia" Pengujian pasangan dapat menimbulkan kesulitan
logistik, tetapi memungkinkan untuk definisi yang lebih tepat risiko akuisisi HSV pada ibu
hamil, karena hanya sekitar 20% wanita yang berisiko akuisisi HSV.

12
7. Diagnosis Herpes Genital
7.1 Diagnosis Klinis
Perbedaan antara infeksi HSV genital dengan etiologi infeksi atau non infeksi ulkus
genital sulit dan konfirmasi laboratorium infeksi harus selalu dicari. Berdasarkan
epidemiologis, HSV adalah penyebab paling umum ulkus genital baik di negara maju dan di
negara berkembang, terutama dengan penurunan infeksi T pallidum dan H. ducreyi.
Sedangkan karakteristik yang dijelaskan di bawah ini dapat menyebabkan klinisi pada jalur
diagnostik, tumpang tindih dalam presentasi klinis substansial, dan diagnosis etiologi
berdasarkan penampilan klinis sering tidak akurat. Hal ini terutama berlaku pada orang yang
terinfeksi HIV, yang mungkin pada peningkatan risiko untuk beberapa STD yang berbeda.
Pada penelitian prospektif di mana orang berisiko terinfeksi HSV-2 kembali ke klinik untuk
evaluasi gejala genitourinari, hanya 39% dari mereka dengan HSV-2 yang baru diperoleh
didiagnosis berdasarkan klinis. Dengan demikian, sensitivitas untuk diagnosis HSV-2 rendah,
bahkan dalam populasi yang dimonitor. Selain itu, 20% dari mereka yang diberi diagnosis
klinis herpes genital tidak terinfeksi, menunjukkan bahwa diagnosis positif palsu dari
latarbelakang klinis sering terjadi. Mengingat dampak diagnosis STI virus seumur hidup,
kami merasa bahwa manajemen pasien yang tepat harus mencakup konfirmasi laboratorium.
Pada pasien dengan beberapa vesikel berkelompok atau riwayat lesi ukuran, durasi, dan
karakter yang sama, infeksi HSV adalah etiologi ulkus yang paling mungkin. Lesi herpes
genital sering nyeri ketika disentuh dan tanda klinis ini mungkin berguna dalam membedakan
ulkus herpes genital bersatu dari etiologi lain seperti T. pallidum. Bagaimanapun, harus
diingat bahwa kadang-kadang kedua organisme dapat hidup berdampingan dalam lesi yang
sama. lesi ulseratif yang persisten, lunak dan besar pada pasien yang berisiko infeksi T.
pallidum, terutama yang tidak nyeri, dan terdapat adenopati inguinal bilateral kenyal , harus
meningkatkan kecurigaan bahwa kedua patogen mungkin ada.
Infeksi HSV primer dan berulang dapat disertai dengan limfadenopati yang nyeri. Kelenjar
getah bening inguinalis pada palpasi biasanya mobile, dan hanya sedikit keras. Supurasi,
sering terlihat dengan H. ducreyi dan/atau limfogranuloma venereum, hanya jarang terlihat
pada infeksi HSV genital. Kelenjar getah bening yang tidak nyeri tekan, kenyal, lembut lebih
sering terjadi pada infeksi T. pallidum. Karena keragaman tanda-tanda dan gejala infeksi
HSV, konfirmasi laboratorium etiologi ulkus genital harus dicari pada hampir semua kasus.
Penyebab ulkus genital non infeksi, seperti pada penyakit usus inflamasi (Penyakit Crohn),
ulkus mukosa yang dikaitkan dengan Sindrom Behcet, atau fixed drug eruption, mungkin
juga sulit dibedakan dengan herpes genital. Penyebab noninfeksi biasanya berhubungan

13
dengan ulkus yang menetap pada periode waktu yang lebih lama daripada yang terkait
dengan herpes genital berulang. Selain itu, lesi itu sendiri terlihat lebih besar dan lebih dalam
daripada yang biasanya terlihat pada infeksi HSV genital. Riwayat pembesaran dan
pengecilan lesi persisten dengan gejala penyakit usus biasanya muncul pada mereka yang
memiliki ulkus genital sebagai manifestasi mukokutan Penyakit Crohn. Lesi oral persisten,
konjungtivitis, dan/atau penyakit sistem saraf pusat dapat membantu membedakan Sindrom
Behcet dari herpes genital berulang. Tumpang tindih antara infeksi HSV genital primer
dengan konjungtivitis dan meningitis aseptik dan sindrom Behcet mungkin terjadi,
bagaimanapun dapat menyebabkan kebingungan diagnostik. Pada pasien dengan fixed drug
eruption, riwayat obat-obatan (misalnya, trimetoprim-suIfamethoxazole) dapat diketahui.
Eksoriasi yang dihasilkan dari goresan akibat infestasi skabies batang penis juga bisa
menyerupai herpes genital, meskipun lesi ini tidak memiliki perubahan yang terlihat pada
HSV. Tidak adanya bukti laboratorium yang menunjang infeksi HSV sering mengarah pada
diagnosis non-infeksi.
7.2 Diagnosis Laboratorium
Konfirmasi laboratorium herpes genital harus dilakukan pada semua orang. Pengetahuan
tentang diagnosis berguna dalam (1) menjelaskan potensi infektifitas selama episode lesi, (2)
mengidentifikasi orang yang berisiko menularkan infeksi subklinis, (3) memilih wanita yang
berisiko di masa depan untuk penularan infeksi ke neonatus, dan (4) memastikan diagnosis
pada mereka yang diresepkan terapi antivirus. Isolasi virus, deteksi DNA HSV dengan PCR,
deteksi antigen HSV dengan EIA atau FA adalah semua tes yang berguna. Dalam 5 tahun
terakhir, PCR DNA HSV muncul sebagai tes terbaik untuk digunakan pada pasien yang
datang dengan ulkus genital herpes. PCR 4 kali lebih sensitif dibandingkan kultur virus, dapat
dilakukan dalam sistem yang tinggi, dalam jangka waktu singkat dan dengan primer tipe
spesifik. DNA HSV bersifat stabil dengan demikian tidak terlalu bermasalah dalam
trasportasi sampel. Secara historis, isolasi virus telah dianggap sebagai standar emas, yang
diikuti dengan subtipe dari isolat tersebut.
Serodiagnosis berguna untuk mendokumentasikan infeksi baru dan untuk diagnosis pada
orang tanpa lesi atau dengan lesi atipikal. Perkembangan komersial metode serologi tipe
spesifik memberikan kesempatan untuk mengidentifikasi orang dengan infeksi HSV-2 yang
tidak terdiagnosis. Seperti kebanyakan HSV tampaknya ditularkan dari orang yang memiliki
penyakit yang tidak terdiagnosis atau infeksi asimtomatik, uji serologi yang lebih aktif untuk
infeksi HSV-2 harus dimulai pada populasi prevalensi tinggi. Adanya antibodi HSV-2 di
serum mengidentifikasi infeksi HSV-2 yang hampir selalu di genital, dan kemungkinan untuk

14
aktif secara intermiten (shedding), berpotensi menghasilkan penularan. Dengan demikian,
konseling yang disediakan untuk orang-orang yang seropositif HSV-2 harus sejalan dengan
orang yang diagnosis klinis herpes genital.
8. Konseling / Pencegahan
Karena kronisitasnya, untuk banyak orang diagnosis herpes genital membawa komplikasi
jangka panjang yang signifikan. Banyak pasien yang didiagnosis herpes genital melaporkan
perasaan depresi dan isolasi dan takut ditolak dan ditemukan. Perasaan ini cenderung mereda,
meskipun tidak sepenuhnya, dengan waktu. Survei anggota kelompok dukungan Asosiasi
Kesehatan Sosial Amerika menunjukkan bahwa 50% responden mengalami depresi dan
perasaan penolakan bahkan setelah bertahun-tahun hidup dengan penyakit ini. Penderitaan
yang terkait diagnosis HSV diperburuk oleh kesulitan yang sering dalam memperoleh
diagnosis yang akurat dan kesulitan penyedia layanan kesehatan dalam menangani
permasalahan emosi dan seksual yang menyertai penyakit. Selama penyakit akut, pasien
sering terlalu khawatir dengan penyakit fisik dan dengan memiliki diagnosis STD untuk
memahami sifat kronis infeksi. Dengan demikian, strategi terbaik konseling adalah meminta
pasien untuk kembali setelah penyakit primer memutuskan untuk menangani permasalahan
jangka panjang yang ditimbulkan dengan memiliki STD yang tidak sembuh. Pada kunjungan
pertama, penanganan paliatif adalah tujuan yang paling penting. Selain terapi antivirus,
tindakan lokal seperti sitz bath atau mengeringkan daerah genital dengan pengering rambut
dapat mengurangi ketidaknyamanan lesi.
Dokter harus menekankan riwayat perjalanan infeksi herpes yang berulang dan sangat
bervariasi dan menjelaskan potensi penularan selama shedding subklinis. Namun, juga
penting untuk meyakinkan pasien bahwa mereka akan dapat terus melakukan hubungan
intim, meskipun terdapat infeksi. Wanita sering khawatir mengenai potensi untuk memiliki
anak yang sehat dan perlu diyakinkan bahwa risiko penularan saat melahirkan minimal untuk
wanita dengan herpes genital berulang. Pasien perlu didorong untuk memberitahu pasangan
seksual mengenai infeksi mereka, untuk menjauhkan diri selama kekambuhan, dan
menggunakan kondom secara konsisten di lain waktu. Hal ini penting ditekankan selama
beberapa kunjungan dan melihat pasien di kekambuhan pertama mereka untuk memastikan
kemampuan mereka mengenali kekambuhan. Banyak pasien kecewa pada pertama
kekambuhan mereka karena mereka menyadari bahwa infeksi ini akan terulang, sementara
yang lain merasa lega bahwa gejala jauh lebih ringan daripada gejala selama episode primer.
Kebanyakan pasien membenci kurangnya prediktabilitas penyakit. Upaya mengendalikan
kekambuhan meliputi menghindari makanan tertentu, suplemen vitamin, dan pengurangan

15
stres. Evaluasi ilmiah manfaat metode ini tidak ada dan penuh dengan kesulitan. Meskipun
persepsi umum bahwa stres menyebabkan kekambuhan, penelitian prospektif menunjukkan
bahwa stres mengikuti kekambuhan.
Pada banyak pengaturan, termasuk wanita hamil, pengunjung klinik STD, dan orang-orang
yang mencari perawatan primer, ketertarikan pada uji serologi HSV-2 pada pasien tinggi dan
acceptability dan acceptance melebihi 50%. Karena sebagian besar orang dengan infeksi
HSV-2 tidak memiliki riwayat herpes genital, uji serologi untuk mengidentifikasi mereka
yang terinfeksi juga merupakan bagian penting dari pengendalian herpes genital. Pengaturan
di mana skrining serologi berguna untuk manajemen pasien adalah klinik prenatal, klinik
STD, dan pengaturan yang merawat pasien yang terinfeksi HIV. Uji serologi tipe spesifik
harus tersedia sebagai bagian dari evaluasi umum untuk STD.
Tekanan psikososial yang sering yang menyertai herpes genital diagnosis episode pertama
yang simptomatik digunakan untuk menghalangi penggunaan yang lebih luas uji serologi
untuk mengidentifikasi orang yang tidak didiagnosis HSV-2 Namun, beberapa penelitian
telah menunjukkan bahwa tekanan/distress yang menyertai diagnosis serologi herpes genital
adalah ringan dan sementara. Selain itu, diagnosis seperti itu sering memberikan penjelasan
gejala genital sebelumnya tidak terdiagnosis. Pengetahuan mengenai status HSV-2 dan
pengungkapan kepada pasangan dikaitkan dengan risiko yang lebih rendah penularan HSV-2.
Dengan demikian, manfaat uji serologi pada individu yang potensial dan kesehatan
masyarakat mungkin lebih besar daripada kemarahan yang dapat dimengerti yang setelah
diberitahu infeksi HSV-2.
Strategi untuk pengendalian herpes genital belum juga ditetapkan, meskipun alat untuk
menguji strategi saat ini tersedia. Kombinasi metode mungkin akan diperlukan untuk
membatasi epidemi herpes genital saat ini. Untuk orang dengan didiagnosis infeksi HSV,
pengungkapan infeksi kepada pasangan menyebabkan penurunan 50% risiko penularan HSV-
2. Menghindari hubungan seksual selama kekambuhan atau prodormal juga penting, karena
shedding virus paling mungkin terjadi pada waktu tersebut. Kondom mengurangi risiko
penularan HSV-2 dari laki-laki ke wanita dan dari wanita ke laki-laki. Perlindungan yang
diberikan oleh kondom tidak menyeluruh (50%), mengingat distribusi yang luas reaktivasi
HSV. Terapi antivirus telah terbukti efektif menekan shedding subklinis. Percobaan klinis
acak, internasional menunjukkan bahwa valacyclovir harian yang diberikan kepada pasangan
sumber pada pasangan HSV-2 menyebabkan penurunan 50% pada penularan HSV-2 ke
pasangan seksual yang rentan. Dengan demikian, penekanan kronis reaktivasi virus dapat
menjadi salah satu strategi untuk pengendalian HSV dalam berbagai kondisi. Mengingat

16
bahwa kebanyakan orang dengan infeksi HSV-2 memiliki gejala ringan dan penyakit yang
belum diketahui, dampak kesehatan masyarakat dari kekambuhanan pada pasangan
cenderung terbatas. Interaksi tiga modalitas kontrol - pengungkapan kepada pasangan,
penggunaan kondom, dan terapi supresif - belum diteliti. Perilaku rasa malu berpotensi
mengimbangi manfaat terapi supresif jika itu menyebabkan penurunan penggunaan kondom,
seperti yang telah diamati pada beberapa pasien HIV yang menerima ART. Sedangkan
nonoxynol-9 dan mikrobisida lainnya telah terbukti protektif pada model hewan percobaan
infeksi HSV, data manusia tidak ada, dan saat ini mikrobisida tidak dianjurkan. Mikrobisida
lain dengan aktivitas antivirus sedang diteliti.
9. Terapi Herpes Genital
Terapi herpes genital meliputi tujuan berikut: (1) mencegah infeksi; (2) memperpendek
perjalanan klinis penyakit, termasuk frekuensi komplikasi infeksi primer seperti meningitis
aseptik dan retensi urin; (3) mencegah kekambuhan klinis laten setelah infeksi genital awal;
(4) mencegah kekambuhan berikutnya pada wanita dengan latensi; (5) mengurangi penularan
penyakit; dan (6) pemberantasan infeksi laten. Meskipun terdapat terobosan besar dalam
terapi herpes genital dalam 25 tahun terakhir, hanya beberapa tujuan yang dijelaskan di atas
telah dicapai dengan intervensi terapeutik yang tersedia.
9.1 Analog Nukleosida
Acyclovir. Keutamaan terapi infeksi HSV genital adalah formulasi analog nukleosida,
yang paling sering digunakan dalam bentuk oral. ACV adalah antivirus pertama yang
dikembangkan dan yang digunakan untuk terapi herpes genital. ACV adalah analog
nukleosida asiklik yang merupakan substrat untuk HSV-specified timidin kinase (TK). ACV
secara selektif terfosforilasi oleh sel yang terinfeksi HSV menjadi ACV-monofosfat (ACV-
MP). Enzim selular kemudian memfosforilasi ACV-MP menjadi ACV-trifosfat, inhibitor
kompetitif polimerase DNA virus. ACV-TP dimasukkan ke dalam rantai DNA pertumbuhan
virus dan menyebabkan pemutusan rantai.
ACV memiliki aktivitas in vitro yang poten terhadap HSV-1 dan HSV-2. Dalam model
hewan, ACV topikal atau sistemik sangat mengurangi keparahan infeksi HSV mukokutan
dan, jika diberikan dalam waktu 96 jam setelah inokulasi virus, mencegah latensi ganglionik.
Banyak percobaan ACV pada herpes genital primer dan berulang telah dilakukan. Pada
infeksi HSV genital primer, ACV IV (5 mg/kg per 8 jam selama 5 hari), ACV 200 mg oral (5
kali/hari selama 10-14 hari) dan ACV topikal (5% dalam polietilen glikol oitment) semuanya
mengurangi durasi gejala, shedding virus, dan mempercepat penyembuhan lesi. Terapi
sistemik mencegah pembentukan lesi baru dan menurunkan gejala sistemik. Dengan

17
demikian, ACV oral lebih baik daripada topikal yang memiliki efikasi yang terbatas dan
penggunaannya tidak dianjurkan. Efek klinis ACV pada infeksi episode pertama cukup besar,
mengurangi demam dan gejala konstitusional dalam waktu 48 jam dari memulai terapi dan
dengan cepat menghilangkan/meringankan gejala. Dengan demikian, terapi harus dimulai
pada semua pasien dengan dugaan HSV genital episode pertama yang datang dengan lesi
aktif. Rekomendasi pribadi kami adalah untuk memulai terapi dengan 400 mg tiga kali per
hari (Tabel - 7). Dosis ACV yang lebih tinggi (800 mg 5x/hari) tidak memberikan manfaat
tambahan jika tidak menambahkan obat-obatan topikal dan oral. Kami memulai terapi dengan
dugaan diagnosis klinis. Jika diagnosis alternatif dibuat, maka terapi bisa dihentikan. Karena
riwayat perjalanan penyakit untuk gejala semakin meningkat selama seminggu pertama,
permulaan terapi yang lebih awal dianjurkan bahkan pada pasien datang dengan beberapa
lesi. ACV Oral juga efektif untuk pengobatan episode pertama proctitis HSV pada laki-laki
homoseksual dan stomatitis HSV. Sedangkan pengobatan infeksi episode pertama sangat
memperpendek perjalanan episode pertama, tidak memiliki efek pada kekambuhan jangka
panjang. Dengan demikian, semua pasien harus diberi konseling mengenai riwayat perjalanan
penyakit, tingkat kekambuhan yang tinggi, terutama pada orang-orang dengan infeksi HSV-2,
komplikasi yang potensial (termasuk herpes neonatal), dan risiko penularan ke pasangan
seksual. Seperti yang ditunjukkan pada (Tabel 7), ACV juga telah diteliti untuk terapi
episode kambuhan herpes genital dan terapi supresif harian pada wanita dengan kekambuhan
klinis. ACV harian sangat menurunkan tingkat deteksi HSV pada mukosa genital dengan
kultur virus dan PCR DNA HSV.

18
Tabel - 7

Valacyclovir. Keterbatasan utama ACV adalah availabilitas oral yang buruk, karena
hanya fraksi kecil 1O-2O% dosis - diserap. Dengan demikian, upaya telah dilakukan untuk
memproduksi senyawa yang akan menghasilkan kadar ACV darah yang lebih tinggi.
Valacyclovir, ester dari ACV, cepat dan hampir sepenuhnya dikonversi menjadi ACV oleh
enzim usus dan hati dan meningkatkan bioavailabilitas ACV sampai 54%. Oleh karena itu,
dosis valacyclovir 1000 mg oral menghasilkan area yang sama di bawah kurva ACV IV.
Secara umum, penelitian yang membandingkan valacyclovir dengan ACV pada infeksi HSV
genital menunjukkan obat tersebut sebanding pada host yang imunokompeten. Valacyclovir
memberikan kenyamanan yang potensial melalui pengurangan frekuensi dosis. Valacyclovir

19
telah dievaluasi untuk pengobatan herpes genital pada beberapa penelitian dan
direkomendasikan oleh FDA dan pedoman CDC STD untuk pengobatan herpes genital
pertama episode, terapi supresif harian, dan wabah kekambuhan.
Valacyclovir telah dievaluasi untuk menekan kekambuhan herpes. Valacyclovir 500 mg
sekali sehari dibandingkan dengan plasebo pada 382 pasien dengan riwayat minimal 8
kekambuhan per tahun. Penelitian ini berlanjut sampai kekambuhan pertama atau selama 16
minggu. Pada saat itu, 69% penerima valacyclovir bebas kekambuhan, dibandingkan dengan
9,5% penerima plasebo. Penelitian yang membandingkan valacyclovir 500 mg sekali sehari
dengan dosis lain dan dengan ACV selama 1 tahun penekanan herpes genital berulang
menunjukkan bahwa valacyclovir 500 mg PO sekali sehari efektif untuk pasien dengan 9 atau
lebih sedikit kekambuhan per tahun. Namun, pada pasien dengan 10 atau lebih kekambuhan
per tahun, valacyclovir 250 mg PO dua kali sehari atau 1000 mg sekali sehari lebih efektif.
Valacyclovir 1000 mg dua kali sehari telah dibandingkan dengan ACV 200 mg lima kali
sehari selama 10 hari untuk terapi herpes genital episode pertama. Tidak ada perbedaan yang
signifikan dicatat antara ACV dan valacyclovir dan keduanya ditoleransi dengan baik.
Penelitian lain 739 pasien dengan herpes genital berulang yang membandingkan valacyclovir
500 mg dua kali sehari dengan ACV 200 mg lima kali sehari selama 5 hari tidak menemukan
perbedaan yang signifikan antara kedua rejimen. Sebuah percobaan perbandingan
menunjukkan bahwa efikasi ACV 400 mg dua kali sahari dan valacyclovir 500 mg dua kali
sehari untuk menekan kekambuhan klinis dan reaktivasi virus sangat sama. Kedua obat
menurunkan tingkat isolasi virus 95% dan tingkat deteksi DNA HSV 75%. Episode shedding
yang tersisa singkat dan dengan nomor salinan yang rendah; namun, jumlah HSV yang
diperlukan untuk penularan tidak diketahui. Valacyclovir adalah satu-satunya obat anti-HSV
yang telah dievaluasi untuk mengurangi penularan HSV-2 pada pasangan seksual; 500 mg
sekali sehari mengurangi penularan HSV-2 sebesar 48%.
Efek samping selama terapi dengan valacyclovir jarang dan tidak terjadi pada tingkat yang
berbeda pada penerima plasebo atau valacyclovir. Seperti yang diharapkan dari pengalaman
klinis dengan ACV, sakit kepala dan mual adalah keluhan yang paling sering. Penyesuaian
dosis diperlukan pada orang dengan penyakit gangguan ginjal berat.
Valacyclovir 8 g/hari telah dievaluasi dalam uji klinis untuk pencegahan penyakit
cytomegalovirus pada pasien imunokompromais. Sindrom mikroangiopati trombotik telah
dijelaskan pada sekitar 3% pasien dengan infeksi HIV, resipien sumsum tulang dan
transplantasi ginjal yang menerima dosis valacyclovir tinggi selama rata-rata 53 hari (kisaran
8-100 hari). Hubungan antara valacyclovir dan sindrom penyakit trombotik tidak pasti saat

20
ini; mikroangiopati trombotik belum dijelaskan pada orang imunokompeten yang menerima
hingga 3 g valacyclovir per hari.
Famciclovir. Famciclovir adalah prodrug dari penciclovir, analog nukleosida yang efektif
menghambat HSV-1 dan HSV-2. Sama dengan ACV, penciclovir membutuhkan TK virus
untuk fosforilasi menjadi monofosfat dan resistensi silang dengan ACV adalah umum.
Penciclovir trifosfat menghambat sintesis DNA virus dengan aktivitas in-vitro serupa pada
ACV. Waktu paruh intrasel penciclovir tampaknya lebih lama daripada ACV (> 10 jam).
Bioavailabilitas famciclovir oral adalah 77%. Keamanan Famciclovir telah dievaluasi dalam
beberapa uji klinis, dan obat tersebut tampaknya ditoleransi dengan baik. Efek samping yang
paling umum yang dilaporkan adalah mual, sakit kepala, dan diare, terjadi dalam proporsi
yang sama penerima famciclovir dan plasebo. Meskipun evaluasi laboratorium penerima
Famciclovir tidak menunjukkan adanya efek yang membahayakan, dosis yang lebih rendah
disarankan untuk pasien dengan gangguan kreatinin clearance.
Efikasi famciclovir oral untuk pengobatan herpes genital berulang telah dievaluasi pada
beberapa percobaan. Dalam satu percobaan yang melibatkan 467 subyek dengan herpes
genital berulang, penerima famciclovir dibandingkan dengan penerima placebo secara
signifikan mengurangi waktu penyembuhan (rata-rata 3,8 hari untuk penerima famciclovir
dibandingkan 4,8 hari untuk penerima placebo), shedding virus (1,7 hari dibandingkan 3,3
hari), dan durasi semua gejala (3,2 hari dibandingkan 3,7 hari). Famciclovir 125 mg dua kali
sehari efektif; dosis yang lebih tinggi tidak memberi manfaat tambahan untuk pasien
imunokompeten dengan herpes genital berulang.
Pada uji klinis yang membandingkan famciclovir dengan ACV 200 mg 5 kali sehari untuk
pengobatan herpes genital episode pertama, dua obat sebanding dalam kemampuan mereka
untuk mempengaruhi shedding virus, penyembuhan lesi, dan perbaikan gejala. Famciclovir
juga efektif untuk menekan herpes genital jika dibandingkan dengan plasebo. Tidak jelas
mengapa dosis yang lebih rendah famciclovir efektif untuk pengobatan episodik (125 mg dua
kali sehari) dibandingkan dengan pengobatan penekanan (250 mg dua kali sehari). Pada
penelitian perbandingan dari penekan harian famciclovir dibandingkan dengan valacyclovir,
waktu kekambuhan pertama lebih pendek pada penerima famciclovir, dan HSV terdeteksi
pada 3,2% hari pada penerima famciclovir dibandingkan 1,3% hari pada penerima
valacyclovir (p = 0,014). Data ini menunjukkan bahwa famciclovir mungkin tidak seefektif
ACV atau valacyclovir untuk menekan HSV dan mungkin kurang efektif jika digunakan
untuk mengurangi risiko penularan HSV-2 seksual.

21
ACV Oral, famciclovir, dan valacyclovir semuanya telah terbukti bermanfaat dalam
mengurangi durasi herpes genital berulang. Serangkaian penelitian telah menunjukkan bahwa
baik dokter dan pasien memulai terapi mengurangi durasi lesi dan mempersingkat waktu di
mana virus dapat diisolasi dari lesi. Terapi yang dimulai pasien cenderung memberikan
manfaat yang lebih besar karena permulaan obat yang lebih awal daripada terapi yang
dimulai dokter. Penelitian terbaru terapi episodik herpes genital menunjukkan bahwa manfaat
klinis pengobatan kekambuhan penting dan bahwa pemberian yang cepat obat antivirus
dikaitkan dengan perbaikan lesi (kekambuhan yang tidak berkembang di luar prodromal).
Terlepas dari agen yang dipilih, terapi harus dimulai oleh pasien pada tanda atau gejala
pertama kekambuhan. Manajemen tersebut memerlukan edukasi pasien mengenai manifestasi
herpes genital dan penyediaan pasokan yang tepat obat antivirus untuk digunakan di rumah.
Dosis yang dianjurkan saat ini ditunjukkan pada Tabel - 7. Pemberian singkat terapi (1-2 atau
3 hari) memberikan efikasi yang sama, lebih nyaman, dan berkurangnya biaya dibandingkan
rejimen pengobatan 5 hari. Keberhasilan pemberian terapi antivirus yang sangat singkat
mencerminkan pentingnya replikasi virus pada awal kekambuhan, setelah sistem imun
mengenali infeksi. Tidak semua episode atau pasien dengan HSV berulang memerlukan
terapi antivirus, karena episode akan sembuh sendiri pada pasien imunokompeten dengan
perawatan suportif. Pada orang dengan episode gejala yang berat, terapi antivirus episodik
mungkin berguna tetapi terapi supresif lebih efektif. Kebanyakan pasien imunosupresi
memerlukan terapi, pada pasien tersebut pemberian terapi singkat tidak boleh digunakan.
Terapi antivirus topikal juga memiliki manfaat yang minimal pada HSV genital berulang.
Antivirus dan replikasi mempengaruhi hasilnya. Di Amerika Serikat, preparat topikal 5%
pada polietilen glikol menghasilkan efek antivirus tapi manfaat klinisnya kecil. Di Eropa di
mana preparat adalah preparat ACV 5% dalam krim, manfaat terapi yang lebih konsisten
dicapai. Kami tidak menyarankan terapi topikal saja untuk HSV genital selain terapi oral.
9.2 Terapi Antivirus Supresif
Tingkat kekambuhan herpes genital bervariasi pada individu dari waktu ke waktu.
Kebanyakan pasien yang mencari bantuan medis untuk HSV genital simptomatik melaporkan
5-8 kekambuhan per tahun. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terapi ACV oral harian
pada pasien dengan HSV genital berulang yang sering (4-12 episode per tahun) efektif dalam
mencegah kekambuhan klinis herpes genital. ACV dalam dosis 200 mg dua sampai lima kali
sehari sampai 6 tahun akan mencegah kekambuhan pada 65-85% pasien selama terapi
dilanjutkan. Pada sebuah penelitian 5 tahun ACV supresif, jumlah kekambuhan rata-rata
menurun dari 1,7 pada tahun pertama menjadi 0,8 pada tahun kelima. Terapi supresif pada

22
orang dengan penyakit yang sering berulang menghasilkan penghilangan gejala dan dapat
memberikan manfaat medis dan psikososial. Isolat yang pulih dari pasien yang mendapatkan
terapi ACV jangka panjang tidak berbeda dalam kerentanan mereka terhadap isolat pra
pengobatan.
Untuk terapi jangka panjang, rejimen dosis yang sederhana dan mudah diperlukan untuk
mencapai kepatuhan maksimum. ACV 400 mg dua kali sehari atau valacyclovir 500 mg
empat kali sehari adalah dosis permulaan awal yang terbaik pada pasien imunokompeten.
Lebih dari 90% orang dengan herpes genital yang sering berulang yang imunokompeten
memiliki pengurangan yang signifikan dalam jumlah kekambuhan klinis pada terapi supresif.
Bahkan pada mereka yang dalam terapi supresif, kekambuhan masih terjadi. Sekitar 25%
orang yang dalam terapi supresif akan mengalami kekambuhan setiap periode 3 bulan.
Dengan demikian, ada kemungkinan bahwa sebagian besar pasien yang dalam terapi supresif
kronis akan, pada beberapa waktu, mengalami terobosan. Dibandingkan dengan kekambuhan
yang tidak diobati, terapi supresif dikaitkan dengan gejala yang lebih ringan, durasi shedding
virus yang lebih singkat, dan durasi lesi yang lebih singkat. Kebanyakan pasien lebih memilih
terapi suspresif daripada terapi episodik dan tingkat kualitas hidup mereka terkait dengan
herpes lebih tinggi pada terapi supresif.
Karena herpes genital yang sering berulang dapat mengganggu pasien selama bertahun-
tahun, banyak pasien ingin mengonsumsi ACV oral untuk waktu yang lama. Penelitian
hewan praklinis ACV menunjukkan tidak ada karsinogenisitas yang terkait obat, efek pada
fertilitas, atau perkembangan janin yang abnormal. Terapi supresif kronik memakai dosis 200
mg 5 kali sehari atau 200 mg 2 kali sehari tidak ada pengaruh pada fungsi sperma pada pria.
Efek samping ACV oral supresif harian jarang terjadi. Data dari percobaan multicenter dan
percobaan sejumlah kecil pasien yang diobati hingga 10 tahun tidak menunjukkan toksisitas
klinis atau laboratorium. Reaksi alergi terhadap ACV langka dan keberhasilan desensitisasi
telah dilaporkan.
Salah satu masalah utama yang dihadapi dokter dengan pasien herpes genital adalah
penggunaan terapi ACV intermiten dibandingkan ACV supresif jangka panjang. Kami
percaya semua pasien harus diberitahu mengenai pilihan terapi antivirus episodik dan
supresif. Pasien dengan herpes genital yang sering berulang yang mengalami
ketidaknyamanan yang fisik cukup besar, gangguan emosi, dan potensi penularan infeksi ke
pasangan seksual adalah semua kandidat untuk terapi supresif jangka panjang. Selain itu,
riwayat perjalanan HSV-2 menunjukkan bahwa risiko shedding virus tertinggi dalam tahun
pertama akuisisi dan orang tersebut mungkin menjadi kandidat yang sangat baik untuk terapi

23
supresif. Terapi supresif awal dapat mencegah penularan lebih lanjut pada saat risiko
potensial terbesar, membantu dalam penyesuaian herpes genital, dan meningkatkan kualitas
hidup. Penelitian menunjukkan bahwa dibutuhkan 5-7 hari terapi sebelum efek klinis dapat
dilihat. Keputusan untuk memulai terapi supresif harus dilakukan berkenaan dengan
preferensi pasien, tingkat keparahan obyektif penyakit, tekanan psikologis pada yang
memiliki kekambuhan, dan potensi infeksi pada pasangan yang rentan. Biaya terapi jangka
panjang menyangkut banyak orang, meskipun harga ACV generik di Amerika Serikat relatif
rendah ($60 per tahun untuk ACV 400 mg dua kali sehari).
9.3 Terapi HSV pada Orang dengan HIV
Relatif sedikit uji klinis telah dilakukan pada populasi ini, meskipun penggunaan klinis
obat-obat ini sudah banyak. Kurangnya uji klinis mencerminkan underestimasi pentingnya
HSV pada infeksi HIV serta persepsi bahwa pasar untuk antivirus dalam kondisi ini adalah
kecil. Penelitian terbaru, yang dijelaskan di atas, menunjukkan efek obat untuk HSV pada
HIV plasma cenderung menyebabkan penggunaan yang lebih luas analog nukleosida pada
populasi ini. ACV, valacyclovir, dan famciclovir telah diteliti sebagai terapi untuk HSV pada
orang yang terinfeksi HIV dan tampaknya efektif. Terapi supresif lebih disukai untuk orang
yang terinfeksi HIV daripada terapi episodik, dan dosis harus dua kali sehari, bahkan untuk
valasiklovir.
9.4 Terapi Herpes Genital Rekuren
Acyclovir dalam Kehamilan. Meskipun ACV tidak teratogenik pada hewan, sampai
penelitian yang mendefinisikan peran dan keamanannya dalam kehamilan tersedia,
penggunaan rutin ACV oral pada kehamilan tidak dianjurkan. Evaluasi farmakokinetik ACV
di trimester ketiga kehamilan menunjukkan bahwa penggunaan ACV tampak serupa pada
wanita hamil dengan orang dewasa lainnya. Perhatian yang potensial adalah perkembangan
uropati obstruktif sekunder pada bayi baru lahir akibat kristal ACV. Namun, tidak ada
kelainan diamati dalam penelitian ini, atau dalam jumlah yang banyak bayi yang lebih besar
dengan herpes neonatal yang diobati dengan ACV IV jangka panjang, dan dosis tinggi,
kenyataannya, neutropenia tidak terjadi pada bayi yang diobati dengan terapi ACV jangka
panjang dan bayi tersebut perlu dipantau. Sedangkan penelitian terbaru menunjukkan tidak
ada kelainan laboratorium pada bayi dari ibu yang diobati dengan valacyclovir harian pada
akhir kehamilan agak meyakinkan, jumlahnya kecil dan peristiwa langka belum dapat
dikesampingkan.
Glaxo-Wellcome, bekerjasama dengan CDC, terus membuka pendaftaran sukarela wanita
yang menerima ACV (dan beberapa yang menerima valacyclovir) selama kehamilan. Pada

24
I999, 756 wanita yang menerima ACV pada trimester pertama dilaporkan. Sebanyak 3,2%
anak-anak memiliki cacat lahir dibandingkan dengan tingkat latar belakang yaitu 3%. Tidak
ada pola kelainan yang konsisten telah dicatat. Meskipun jumlah wanita yang dievaluasi
adalah tidak memadai untuk mengecualikan peningkatan kecil di tingkat kelainan bawaan,
kurangnya peningkatan yang signifikan secara statistik pada insiden kecacatan dan kurangnya
pola kelainan dapat meyakinkan. Keamanan valacyclovir dan famciclovir pada awal
kehamilan belum ditetapkan. Penggunaan ACV dan valacyclovir pada akhir kehamilan untuk
mencegah persalinan abdominal dibahas di atas; tidak ada data tentang famciclovir yang telah
diterbitkan dalam kehamilan.
9.5 Munculnya Resistensi
Resistensi in vitro untuk ACV dapat diakibatkan dari defisiensi TK, kelainan TK, atau
strain HSV resisten DNA polimerase. Defisiensi TK adalah mekanisme resistensi HSV yang
paling umum terhadap ACV. Penelitian pada hewan telah menunjukkan bahwa mutan
defisiensi TK kurang virulen dan kurang mampu membangun latensi saraf. Namun, beberapa
strain yang resisten ACV- muncul untuk membuat TK yang cukup untuk membangun latensi
ganglionik dan reaktivasi terutama pada pasien imunokompromais. Penyakit yang disebabkan
oleh strain dengan mutasi polymerase DNA juga telah dilaporkan. Strain HSV yang resisten
ACV telah ditemukan dari pasien yang belum pernah diobati dengan ACV. Sekitar 3% isolat
yang diperoleh dari pasien imunokompeten menunjukkan resistensi in vitro terhadap ACV.
Frekuensi resistensi in vitro tidak berubah dari waktu sebelum ketersediaan ACV dan tidak
meningkat pada pasien yang menerima beberapa tahun ACV supresif harian. Pada wanita
yang diikuti secara longitudinal dengan kultur virus harian, sekitar 3% isolat adalah resisten
ACV in vitro. Strain resisten diisolasi pada hari yang sama dengan strain sensitif dari lokasi
genital lainnya dan diikuti pada hari-hari berikutnya dengan strain sensitif ACV. Dengan
demikian, demonstrasi resistensi ACV in vitro pada populasi imunokompeten belum
dikaitkan dengan kegagalan klinis terapi ACV dan pengujian rutin sensitivitas tidak
dianjurkan. Isolasi yang langka strain resisten ACV mungkin merupakan mutasi acak yang
cepat dibersihkan oleh sistem imun pada host yang sehat. Pengecualian adalah laporan herpes
genital dengan strain HSV-2 yang ditandai dengan kelainan TK. Pada orang ini, semua isolat
pulih dari beberapa kekambuhan yang memiliki kelainan TK dan ACV tidak memberikan
manfaat klinis. Kasus lain infeksi HSV resisten ACV telah dilaporkan dari pasien
imunokompeten, sering dengan infeksi HSV nongenital.
Sebagian besar isolat resisten ACV dari pasien imunokompromais adalah yang menjalani
beberapa pemberian ACV untuk infeksi. Namun, frekuensi resistensi ACV pada pasien yang

25
terinfeksi HIV rendah dan faktor risiko untuk perkembangan resistensi belum ditetapkan.
Pada penelitian surveilans untuk herpes resisten ACV, 5% dari isolat adalah ACV resisten.
Risiko resistensi ACV adalah jumlah CD4 yang rendah dan terapi ACV topikal. dengan
demikian, pengawasan terus - menerus strain HSV yang dikaitkan dengan kekambuhan
dan/atau HSV mukokutan persisten diperlukan. Saat ini, pengujian in vitro rutin isolat HSV
untuk sensitivitas ACV tidak dianjurkan. Namun, isolat dari pasien dengan infeksi HSV
persisten tidak responsif terhadap ACV, terutama mereka dengan penyakit HIV lanjut, harus
memiliki pengujian untuk resistensi ACV. Dalam kondisi ini, resistensi in vitro berkorelasi
baik dengan kegagalan ACV. Kebanyakan infeksi HSV yang resisten ACV membutuhkan
terapi dengan agen alternatif. Karena Famciclovir memiliki mekanisme kerja yang sama,
sebagian besar strain resisten ACV juga resisten famciclovir. Pengobatan dengan infus
kontinu ACV dosis tinggi telah dilaporkan berhasil. Pengamatan terbaru terapi supresif ACV
dibandingkan dengan terapi episodik dikaitkan dengan insiden yang lebih rendah HSV
resisten ACV pada penerima sumsum tulang berkaitan dengan terapi antivirus supresif pada
pasien yang terinfeksi HIV, kekhawatiran untuk keresistenan ACV dapat mengakibatkan
peningkatan tingkat resistensi ACV.
Pengenalan terapi antiretroviral mengalami penurunan tingkat HSV resisten ACV pada
orang yang terinfeksi HIV. Namun, episode herpes genital parah dan berkepanjangan
berlawanan terhadap terapi antivirus telah dicatat sebagai bagian dari sindrom pemulihan
imun pada pasien yang memulai terapi retroviral. Dalam beberapa kasus, penelitian in vitro
menunjukkan kerentanan isolat ACV dan menunjukkan bahwa respon imun cepat
bertanggung jawab untuk lesi klinis yang parah.
9.6 Terapi HSV Resisten terhadap Acyclovir
Foscarnet. Foscarnet adalah inhibitor polimerase DNA virus yang sama dengan struktur
asam fosfonoasetat secara in vitro, foscarnet memiliki aktivitas antivirus yang poten dan
efektif dalam mempercepat penyembuhan lesi pada hewan.foscarnet merupakan senyawa
larut dan dapat efektif diberikan hanya bentuk intravena atau topikal. Satu penelitian
menunjukkan pada pria penyembuhan dengan 0,3% krim foscarnet dibandingkan dengan
plasebo. Namun, percobaan kolaboratif di Kanada krim foscarnet 0,3% pada pria dan 1%
pada wanita menunjukkan efek sedikit secara keseluruhan dalam mengurangi gejala atau lesi.
Toksisitas sistemik selama pemberian IV membatasi penggunaan foscarnet untuk pasien
yang gagal terapi ACV karena perkembangan resistensi. Pada populasi ini, bagaimanapun,
foscarnet menjadi agen yang lebih disukai. Pemberian infus foscarnet menyembuhkan 81%
dari 26 pasien dengan infeksi HSV resisten ACV. Sebuah penelitian komparatif foscarnet 40

26
mg/kg IV/8 jam dan vidarabine 15 mg/kg/hari menunjukkan bahwa terapi foscarnet
menyebabkan penyembuhan 8 pasien sedangkan semua pasien dberikan vidarabine gagal
terapi. Efek samping sering terjadi tetapi jarang membutuhkan penghentian terapi. Toksisitas
yang paling umum adalah insufisiensi ginjal dan gangguan metabolisme, terutama
hipofosfatemia. Kekambuhan HSV setelah terapi foscarnet dapat berupa sensitif ACV atau
resisten ACV. Resistensi HSV terhadap foscarnet juga telah dilaporkan, biasanya dalam
kondisi terapi foscarnet jangka panjang. Pada kondisi itu, penambahan ACV dapat
bermanfaat.
Cidofovir. Analog nukleotida lainnya dengan aktivitas yang baik terhadap virus herpes
adalah cidofovir, sebuah fosfonat nukleosida asiklik. Tidak seperti ACV, yang membutuhkan
fosforilasi oleh enzim spesifik HSV, cidofovir terfosforilasi hanya oleh enzim seluler. Oleh
karena itu, cidofovir aktif terhadap strain HSV
dengan TK yang defisien atau yang mengalami kelainan dan, pada kenyataannya, tampak
lebih aktif terhadap isolat tersebut daripada terhadap strain tipe liar. Cidofovir topikal dan IV
telah berhasil digunakan untuk menyembuhkan lesi resisten ACV pada beberapa pasien
dengan AIDS dan setelah transplantasi sumsum tulang, meskipun resistensi cidofovir yang
terkait dengan mutasi polimerase pada pasien imunokompromais juga telah dilaporkan. Uji
klinis acak, buta - ganda, terkontrol plasebo gel cidofovir topikal 0,3% atau 1,0% pada 30
pasien dengan AIDS yang tidak merespon terapi ACV menunjukkan bahwa 10 dari 20
penerima cidofovir sembuh dengan setidaknya 50% dibandingkan dengan tidak ada yang
sembuh dari penerima plasebo. Kebanyakan pasien yang diobati dengan cidofovir topikal
terjadi penghentian shedding virus. Tidak ada reaksi sistemik tercatat; namun, 23% penerima
cidofovir memiliki efek samping kulit lokal ringan atau sedang. Namun, penelitian toksisitas
jangka panjang cidofovir menunjukkan tumor pada hewan, perkembangan lebih lanjut obat
untuk orang imunokompeten tidak berkembang. Karena potensi toksisitas ginjal pada
pemberian IV, penggunaan cidofovir topikal lebih disukai untuk pengobatan herpes genital.
Ketersediaan agen yang lebih aman ini untuk terapi herpes pada orang sehat menunjukkan
bahwa cidofovir akan menjadi alternatif terapi yang penting hanya pada populasi
imunokompromais.
Trifluridine. Trifluridine adalah agen antivirus yang poten; toksisitas menghalangi
pemberian sistemik. Namun, trifluridine sering digunakan untuk pengobatan infeksi herpes
oftalmika. Serangkaian 26 pasien dengan AIDS dan herpes yang tidak respons terhadap ACV
menunjukkan penyembuhan total pada 7 pasien dan penyembuhan parsial pada 14 pasien.
Laporan anekdot juga menunjukkan bahwa penggunaan IFN- dapat mempotensiasi efek

27
antivirus trifluridine. Imiquimod topikal, TLR-7 dan 8 agonis digunakan untuk pengobatan
kutil, juga efektif pada beberapa pasien.
Resiquimod dan Imiquimod. Resiquimod dan imiquimod telah dievaluasi dalam uji
klinis untuk herpes genital; baik bekerja di model hewan, meskipun resiquimod memiliki
aktivitas anti-HSV yang lebih besar. Agen ini diberikan secara topikal selama kekambuhan
untuk merangsang respon imun lokal selagi terdapat antigen, dan menunda waktu untuk
kekambuhan berikutnya. Namun, imiquimod tidak efektif dalam menunda waktu untuk
kekambuhan genital HSV berikutnya dalam percobaan klinis. Resiquimod telah diuji lebih
teliti tetapi hasilnya tidak konsisten. Percobaan menunjukkan penundaan yang lama untuk
waktu kekambuhan berikutnya dibandingkan dengan administrasi vehikulum, 169 berbanding
57 hari (p = 0,006). Namun, penelitian tiga fase menghasilkan hasil negatif dan pasien yang
menerima resiquimod memiliki waktu penyembuhan kekambuhan awal yang panjang.
Sebaliknya, penelitian untuk mengevaluasi shedding virus setelah pemberian resiquimod
menunjukkan bahwa peserta yang menerima resiquirnod memiliki tingkat shedding subklinis
yang lebih ringan, tingkat hari dengan lesi yang lebih rendah, serta waktu yang lebih lama
untuk terjadinya kekambuhan. Dalam pandangan kami, perkembangan komersial lebih lanjut
senyawa ini telah berhenti sebelum waktunya.
9.7 Antivirus Lainnya
Beberapa terapi lain untuk HSV genital telah dicoba dengan berbagai obat topikal. Obat
yang ada tidak mempunyai manfaat terapi dapat ditunjukkan tercantum dalam Tabel - 8 di
bawah. Helikase inhibitor telah terbukti memiliki aktivitas antivirus in vitro yang poten tetapi
pengembangan klinis masih dalam tahap awal.

Tabel - 8
Agen berikut ini telah diuji untuk herpes genital dan hasilnya menunjukkan kurangnya
efikasi: vidarabine, idoxuridine, edoxuridine, Isoprinosin, eter, 2-deoksi-D-glukosa, vaksin
BCG, kloroform, povodine iodine, surfaktan topikal, pewarna fotodinamik, topikal IFN-
transfer factor, dan lisin.

28
9.8 Imunoterapi
Penggunaan antigen HSV untuk meningkatkan respon imun host telah menjadi area
penelitian HSV yang lama. Pada model hewan, pemberian vaksin HSV dengan berbagai
adjuvan dikaitkan dengan penurunan frekuensi reaktivasi. Pada percobaan pada manusia,
terkontrol plasebo double-blind vaksin gD2 rekombinan dalam alum terbukti mengurangi
tingkat kekambuhan dari HSV genital 25%. Pada sebuah penelitian tindak lanjut, vaksin GD2
gH2 rekombinan (10 ug) pada MF-59 mengurangi keparahan kekambuhan HSV setelah
imunisasi tetapi tidak mengurangi tingkat kekambuhan. Efek ini sederhana secara klinis tetapi
menunjukkan prinsip bahwa imunoterapi menjanjikan sebagai terapi untuk herpes genital.
Beberapa pendekatan baru untuk imunoterapi sedang dalam penelitian. Beberapa modulator
imun, terutama yang melibatkan peningkatan reseptor toll-like jalur 7 dan 8 menunjukkan
aktivitas in vivo pada hewan dan manusia kecil. Kemampuan untuk mengurangi keparahan
penyakit untuk jangka waktu yang lama merupakan alternatif terapi yang menarik bagi
banyak pasien, tetapi produk yang efektif terbukti sulit dipahami.
10. Pencegahan Infeksi
Beberapa modalitas yang sebagian efektif telah dibuat untuk pencegahan HSV-2 yaitu;
pengungkapan kepada pasangan, antivirus supresif, dan penggunaan kondom yang dibahas di
atas. Namun, penularan penyakit masih mungkin terjadi meskipun penggunaan kondom saat
shedding virus terjadi di daerah traktus genital tidak tercakupi oleh kondom. Spermisida
mengandung surfaktan topikal nonoxynol 9, yang menginaktivasi HSV in vitro. Nonoxynol 9
telah terbukti tidak efektif dalam pengobatan infeksi HSV genital. Mikrobisida lain yang
sedang dalam perkembangan meliputi Carraguard dan PRO2000. Data efisiensi manusia
untuk pencegahan penularan atau akuisisi HSV-2 dengan produk ini tidak tersedia.
Prevalensi yang tinggi infeksi HSV asimptomatik dan atipikal menyiratkan bahwa
perkembangan vaksin HSV yang efektif adalah pendekatan terbaik untuk pencegahan HSV.
Vaksin protein sub-unit profilaksis telah diuji dan efektif pada berbagai model hewan. Upaya
berpusat pada glikoprotein D dan B, karena respon imun terhadap glikoprotein ini tampaknya
menginduksi kadar antibodi tinggi. Percobaan vaksin HSV yang terdiri dari campuran
glikoprotein menimbulkan rendahnya kadar titer antibodi dan tidak melindungi terhadap
infeksi. Vaksin gD dan gB HSV-2 rekombinan pada emulsi adjuvant MF-59 asli yang
diinduksi imunitas humoral dan seluler sebanding dengan yang diamati pada infeksi alami.
Namun, pada percobaan efikasi pasangan untuk infeksi HSV-2 dan orang yang datang ke
klinik STD, vaksin tidak memberikan perlindungan yang berguna secara klinis dari infeksi.
Vaksin subunit yang serupa yang terdiri dari gD HSV-2 menunjukkan efikasi parsial terhadap

29
infeksi HSV-2 pada wanita seronegatif untuk HSV-1 dan HSV-2. Vaksin menurunkan risiko
perkembangan herpes genital klinis 75% dan risiko tertular infeksi HSV-2 sebesar 40%.
Vaksin tidak melindungi laki-laki atau wanita seropositif HSV-1. Percobaan lain
mengevaluasi vaksin ini dalam kelompok besar wanita seronegatif HSV. Perlindungan
terhadap penyakit secara klinis tetapi tidak terhadap infeksinys mungkin tidak menjadi
manfaat dari sudut pandang kesehatan masyarakat, jika orang yang terinfeksi terus
mengeluarkan virus secara subklinis dan dapat menularkan virus ke pasangan seksual. Vaksin
lainnya yang dalam perkembangan adalah vaksin hidup yang dilemahkan, mutan virus cacat
replikasi, vektor virus hidup yang mengekspresikan protein subunit, vaksin berbasis vektor
rekombinan dan vaksin DNA. Produk-produk ini sedang dalam tahap perkembangan
praklinis atau klinis awal.
11. Ringkasan
Infeksi HSV genital adalah penyakit kesehatan masyarakat yang penting. Dalam 4 dekade
terakhir, infeksi herpes genital meningkat pada prevalensi di banyak kelompok populasi,
tersebar luas pada populasi umum di negara-negara berkembang, dan telah muncul sebagai
penyebab utama dari penyakit ulkus kelamin di seluruh dunia. Infeksi HSV episode pertama
adalah penyakit lokasi anatomi multipel, berlangsung 3-4 minggu, dan memiliki tingkat
komplikasi yang tinggi. Sebaliknya, episode penyakit kelamin berulang adalah intensitas dan
durasi yang lebih ringan. Morbiditas utama herpes genital berulang adalah frekuensi
kekambuhan, kronisitasnya, dan dampaknya pada hubungan dan seksualitas pribadi pasien.
Penularan penyakit ke neonatus adalah perhatian utama untuk wanita. Penelitian
menunjukkan efektivitas dan keamanan ACV dan senyawa yang terkait dalam mengurangi
banyak manifestasi klinis herpes genital. Perhatian yang besar pada diagnosis infeksi HSV-2
yang tidak diketahui diperlukan karena orang-orang tersebut adalah sumber utama infeksi
baru. Interaksi sel, mukosa, klinis, dan epidemiologi antara HSV-2 dan HIV menjadi lebih
jelas dalam dekade terakhir dan peran HSV-2 dalam memicu epidemi HIV telah dijelaskan.
Penelitian lebih lanjut pada mekanisme reaktivasi HSV mudah-mudahan akan memberikan
alat tambahan untuk mencoba mengendalikan penyakit ini. Sementara itu, pengetahuan
tentang riwayat perjalanan penyakit akan membantu dokter dalam memberikan informasi
kepada pasien untuk memahami kompleksitas penyakit ini, menurunkan penularan ke
pasangan seksual dan neonatus, dan menjelaskan komplikasi jangka panjang penyakit.
Dengan cara ini, dokter dapat sangat berperan dalam mengatasi gangguan psikologis dan fisik
penyakit ini.

30

Anda mungkin juga menyukai