Anda di halaman 1dari 9

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pengembangan wilayah merupakan program komprehensif dan terintegrasi
dari semua kegiatan dengan mempertimbangkan sumberdaya yang ada dalam
rangka memberikan kontribusi untuk pembangunan (Anwar, 1999). Upaya
pembangunan pada suatu wilayah bertujuan agar kesejahteraan masyarakat
tercapai. Pengembangan wilayah memanfaatkan sumberdaya alam, sumberdaya
manusia, kelembagaan, teknologi dan prasarana secara optimal dan berkelanjutan.
Kegiatan-kegiatan ekonomi (perdagangan, industri dan pertanian), perlindungan
lingkungan, penyediaan fasilitas pelayanan dan penyediaan prasarana
(transportasi, komunikasi dan lain-lain) adalah bentuk kegiatan yang mampu
menggerakkan perkembangan wilayah (Witoelar, 2002 diacu dalam Gustiani,
2005).
Populasi digunakan sebagai indikator pertumbuhan kota (Hsu, 1996 diacu
dalam Cheng dan Masser, 2003). Pertumbuhan wilayah perkotaan yang kian pesat
ditandai dengan meningkatnya populasi. Konsentrasi populasi kota-kota di dunia
diprediksikan pada tahun 2020 mencapai 2,5 juta jiwa, hampir 65 persen berada di
sepanjang pantai (Agenda 21, 1992 diacu dalam Vallega, 2001). Sebagai contoh
kasus, Australia telah mengalami pertumbuhan urbanisasi secara signifikan,
dimana lebih dari 86 persen penduduknya tinggal di wilayah pesisir timur hingga
ke wilayah pesisir selatan, diantaranya kota Sydney, Brisbane, Melbourne dan
Perth (Norman, 2011). Kota-kota tersebut kemudian berkembang pesat menjadi
kota-kota pantai (waterfront city) yang terkenal dan menjadi daya tarik utama
sebagai kawasan wisata.
Di Indonesia terdapat 516 kota andalan dengan 216 kota diantaranya
merupakan kota tepian air (waterfront city) yang berada di tepi pantai, sungai atau
danau (Suprijanto, 2007). Perkembangan kota pantai (waterfront city) di
Indonesia tidak terlepas dari pengaruh kejayaan kerajaan-kerajaan di Nusantara
dengan kegiatan utamanya perdagangan, jasa dan pusat pemerintahan
(Mulyandari, 2010). Kota pantai di Indonesia secara historis merupakan titik awal
pertumbuhan suatu kota, dan juga berfungsi sebagai pintu gerbang aktivitas
kawasan perkotaan baik aktivitas ekonomi, sosial maupun budaya yang
2

berorientasi ke laut (Laras, 2011). Wilayah pesisir dewasa ini memegang peran
penting dalam perkembangan kota.
Kota Ternate merupakan salah satu waterfront city di Indonesia, yang pada
awalnya dikenal dalam sejarah dunia sebagai pusat perdagangan rempah-rempah
skala internasional di abad ke-15. Jumlah penduduk pada tahun 2010 adalah
185.705 jiwa dengan laju pertumbuhan selama periode 10 tahun terakhir (2000-
2010) sebesar 1,79% dan memiliki penduduk terpadat di Maluku Utara dengan
kepadatan penduduk 740 jiwa/km2 (BPS Kota Ternate, 2011) yang sebagian besar
bermukim di wilayah pesisir.
Pertambahan jumlah penduduk berkorelasi positif terhadap kebutuhan
lahan sebagai tempat bermukim maupun penyediaan sarana dan prasarana
perkotaan. Lahan merupakan sumberdaya alam yang hampir tidak dapat
diperbaharui (non renewable), sedangkan kebutuhan lahan semakin meningkat
seiring dengan pertambahan jumlah penduduk (Hardjowigeno dan Widiatmaka,
2007). Kondisi yang demikian terjadi di Kota Ternate, dimana jumlah penduduk
semakin bertambah, namun ketersediaan lahan terbatas karena kondisi topografis
yang kurang menunjang. Untuk itu kebijakan pengembangan wilayah pesisir
diarahkan untuk penyediaan infrastruktur sehingga dapat melayani kebutuhan
masyarakat kota yang semakin heterogen. Kebijakan tersebut termuat dalam
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Ternate tahun 2006-2015 yang
mengalokasikan wilayah pesisir yang berada di pusat kota (CBD) untuk
dikembangkan sebagai kawasan waterfront (BAPPEDA Kota Ternate, 2006).
Kawasan waterfront Kota Ternate tumbuh sebagai pusat pelayanan jasa,
perdagangan, sarana ibadah, transportasi dan ruang terbuka hijau (taman kota
berbasis budaya).
Isu kawasan waterfront di Kota Ternate berkaitan dengan perkembangan
spasial kota. Pengembangan kawasan dengan cara reklamasi pantai berarti
menambah luas wilayah pesisir Kota Ternate. Penambahan daratan di wilayah
pesisir tentunya berdampak pada perubahan garis pantai. Dengan bertambahnya
luas daratan, maka penggunaan lahan di Kota Ternate ikut meningkat. Sistem
penggunaan lahan perkotaan yang didominasi oleh aktivitas manusia yang
3

kompleks berpengaruh terhadap dinamika spasial-temporal perkembangan


wilayah (Hu dan Lo, 2007).
Indikator ketersediaan infrastruktur menjadi tolak ukur perkembangan
kota. Peningkatan pelayanan infrastruktur ikut mempengaruhi pola permukiman
di perkotaan. Umumnya masyarakat cenderung memilih tempat bermukim yang
dekat atau mudah diakses dalam hal sarana dan prasarana wilayah. Preferensi
bermukim dipengaruhi oleh faktor kondisi lingkungan permukiman yang baik,
fasilitas transportasi dan penyediaan barang dan jasa, serta pusat lapangan kerja
(Sinulingga, 1999). Ketersediaan infrastruktur yang memadai akan mendorong
pertumbuhan kota yang berkelanjutan.
Pendekatan dalam penyediaan infrastruktur di kawasan pesisir harus
didasari konsep penataan ruang wilayah pesisir yang berkelanjutan.
Pengembangan infrastruktur berkelanjutan berarti perlunya mengedepankan
keseimbangan dan integrasi aspek fisik-lingkungan, sosial-budaya dan ekonomi
(Madiasworo, 2011 diacu dalam Lubis, 2011). Pemenuhan ketiga aspek tersebut
dapat dilakukan melalui penataan ruang kawasan yang kembali menjadikan
pesisir sebagai beranda, agar memiliki nilai estetika sehingga mampu memberikan
kualitas visual yang baik terhadap lansekap kota (Bischof, 2007 diacu dalam
Lubis, 2011). Untuk mewujudkan hal tersebut, maka keterpaduan antara konsep
infrastruktur fisik (grey infrastructure), infrastruktur hijau/ramah lingkungan
(green infrastructure), dan infrastruktur sosial (social infrastructure) dapat
diterapkan guna membangun infrastruktur yang berkelanjutan.
Pengembangan kawasan waterfront di Kota Ternate, diharapkan dapat
meningkatkan pelayanan infrastruktur perkotaan. Studi ini difokuskan pada tiga
poin berikut yang berkaitan dengan pertumbuhan Kota Ternate. Pertama,
memodelkan perkembangan Kota Ternate setelah pengembangan kawasan
waterfront. Ini berarti bahwa pengembangan kawasan waterfront merupakan
faktor kunci yang mempengaruhi proses pembangunan perkotaan. Kedua,
mengkaji cakupan pelayanan infrastruktur kota sebagai penunjang kegiatan sosial
ekonomi masyarakat. Ketiga, menentukan arahan dalam penataan dan pengelolaan
infrastruktur secara berkelanjutan di kawasan waterfront berdasarkan persepsi
stakeholders guna perbaikan infrastruktur kearah yang lebih baik.
4

Perumusan Masalah

Pengembangan wilayah Kota Ternate secara eksternal tidak dapat


dilepaskan dari kedudukan, peran dan fungsinya dalam lingkup antar wilayah,
baik dalam wilayah Propinsi Maluku Utara, Kawasan Timur Indonesia, Nasional
serta kemungkinan keterkaitannya dengan negara lain di Kawasan AsiaPasifik.
Berdasarkan strukturnya, wilayah Kota Ternate terletak pada jalur pelayaran
internasional serta berada di titik singgung lingkaran pasifik yang secara langsung
akan dipengaruhi oleh perubahan global. Pengaruh ini akan memungkinkan Kota
Ternate berkembang sebagai salah satu pintu masuk dan keluar diantara sistem
banyak pintu (multygate system) ke arah lingkaran Pasifik tersebut. Kondisi
semacam ini membentuk suatu sistem keterkaitan wilayah antar kotakota (pulau
pulau) yang berada di dalam satu Kawasan LautPulau (KLP), yang secara
fungsional dapat menghilangkan atau mengabaikan batasbatas administratif
dalam upaya pemberdayaan wilayahnya.
Sementara dari tinjauan nasional, Kota Ternate berada dalam konstelasi
wilayah yang dilewati jalur Alur Laut Kepulauan Indonesia 3 (ALKI 3) dan jalur
poros pengembangan strategis Nasional (Manado-Ternate-Sorong-Biak-
Jayapura). Selain itu Kota Ternate juga berperan sebagai jalur transit ke
kabupaten/kota dalam lingkup provinsi Maluku Utara. Secara regional Kota
Ternate masuk dalam pengelompokan Kawasan Timur Indonesia, yang saat ini
menjadi fokus untuk pengembangan dan pembangunan nasional.
Dipihak lain, Kota Ternate diperhadapkan pada kondisi geografis
wilayahnya yang berupa daerah perbukitan dengan sebuah gunung api aktif dan
memiliki kemiringan lereng terbesar diatas 40% yang mengerucut kearah puncak
gunung dan dikelilingi laut. Hal ini tentunya berdampak pada ketersediaan lahan
untuk pengembangan ruang publik kota. Wilayah pesisir menjadi salah satu
alternatif strategis dalam pengembangan kawasan, khususnya dalam pemenuhan
infrastruktur perkotaan dengan metode reklamasi pantai yang saat ini tengah
menjadi tren pengembangan kawasan kota pantai (waterfront city) di Indonesia.
Secara spasial, luas kawasan pesisir Kota Ternate saat ini semakin
bertambah. Kawasan tersebut meliputi pesisir timur dan pesisir selatan kota yang
dijadikan kawasan pengembangan waterfront. Teknik reklamasi pantai bertujuan
5

untuk mendapatkan lahan/daratan baru melalui pengurugan atau pengeringan.


Strategi ini dipilih antara lain karena semakin langkanya ketersediaan lahan
perkotaan untuk mengakomodir pemenuhan kebutuhan fungsi perkotaan. Hal
yang demikian akan berpengaruh terhadap spasial kota dan perubahan garis pantai
karena kawasan waterfront bersinggungan langsung dengan wilayah pesisir.
Sebelum pengembangan kawasan waterfront, kondisi eksisiting
infrastruktur masih terbatas cakupan pelayanannya terutama di wilayah belakang
(hinterland) yaitu di kecamatan Pulau Ternate, sebagian kecamatan Ternate Utara
dan sebagian kecamatan Ternate Selatan yang cenderung berada pada kondisi
topografis perbukitan (upland) dan jauh dari pusat kota. Ketimpangan sebaran
infrastruktur menyebabkan perbedaan yang cukup signifikan antara wilayah
bagian barat dan wilayah bagian timur Pulau Ternate, dari segi cakupan pelayanan
terhadap penduduk. Kondisi ini menunjukkan adanya prioritas pembangunan
wilayah yang berorientasi di wilayah bagian timur Pulau Ternate sebagai kawasan
cepat tumbuh dalam menghubungkan dengan pulau-pulau sekitarnya dalam
lingkup lokal maupun regional.
Perkembangan kawasan kota pantai (waterfront city) khususnya di
kawasan pesisir timur dan sebagian pesisir selatan Kota Ternate menyebabkan
berkembangnya hierarki wilayah di kawasan tersebut serta kawasan sekitarnya.
Hal ini dapat dilihat dari indikator sebaran dan ketersediaan infrastruktur. Secara
teoritik, hierarki wilayah sebenarnya ditentukan oleh tingkat kapasitas pelayanan
wilayah secara totalitas yang tidak terbatas, yang ditunjukkan oleh kapasitas
infrastruktur, kapasitas kelembagaan, sumberdaya manusia serta kapasitas
perekonomiannya. Pengembangan wilayah harus memperhatikan karakteristik
potensial yang dimiliki wilayah.
Permasalahan muncul setelah pengembangan waterfront, baik dari segi
ekosistem dan fisik lingkungan pesisir, sosial ekonomi, serta persoalan sarana dan
prasarana lingkungan. Sistem drainase buruk dan pembuangan air limbah kawasan
waterfront yang bermuara ke laut mengakibatkan badan air terkontaminasi. Status
perairan dalam kondisi buruk di kawasan waterfront Kota Ternate untuk
pemanfaatan budidaya perikanan akibat beban pencemaran dari limbah
permukiman, pasar, restoran, pertokoan, industri kecil, dan aktivitas pelabuhan
6

laut (Drakel, 2004). Hal ini terkait pula dengan pengelolaan sampah, dimana
sistem persampahan di kawasan ini masih minim pengelolaan dan masih terjadi
tumpukan sampah di pesisir pantai.
Kapasitas pemenuhan infrastruktur sosial dan ekonomi, misalnya pasar
tradisional masih belum memenuhi daya tampung untuk para pedagang.
Akibatnya lahan di kawasan terminal angkutan kota dimanfaatkan sebagai lokasi
untuk berjualan. Kondisi ini tentunya menimbulkan kesemrawutan di sekitar
kawasan terminal. Dampak yang terjadi ialah konflik dalam pemanfaatan kawasan
tersebut, areal untuk parkir kendaraan menjadi berkurang dan sering kali terjadi
kemacetan lalu lintas. Aspek sosial ekonomi yang timbul ialah munculnya sektor
informal (kawasan PKL) yang tidak terencana di kawasan. Keadaan tersebut
membutuhkan arahan dalam penataan dan pengelolaan infrastruktur kawasan
waterfront yang terintegrasi.
Berdasarkan berbagai permasalahan diatas, maka dapat dirumuskan
pertanyaan penelitian (research question) sebagai berikut:
1. Bagaimana perubahan garis pantai dan perubahan penggunaan lahan di Kota
Ternate sebelum (2001) dan sesudah (2010) pengembangan waterfront?
2. Bagaimana perubahan hierarki wilayah Kota Ternate setelah pengembangan
waterfront?
3. Bagaimana perkembangan eksisting sebaran dan ketersediaan infrastruktur
perkotaan dapat melayani standar kebutuhan masyarakat?
4. Bagaimana prediksi kebutuhan infrastruktur hingga 20 tahun mendatang
(2032) untuk perencanaan infrastruktur perkotaan?
5. Bagaimana arahan penataan dan pengelolaan infrastruktur di kawasan
waterfront?

Tujuan Penelitian
Tujuan utama dari penelitian ini adalah menilai perkembangan Kota
Ternate dalam kurun waktu sebelum dan sesudah pengembangan kawasan
waterfront ditinjau dari aspek infrastruktur untuk perencanaan wilayah. Secara
lebih detil dapat dijabarkan dalam sub tujuan sebagai berikut :
1. Melakukan pemetaan perubahan garis pantai dan perubahan penggunaan
lahan sebelum dan sesudah pengembangan waterfront.
7

2. Menganalisis perubahan hierarki wilayah berdasarkan karakteristik wilayah


yang dimiliki setelah pengembangan waterfront.
3. Melakukan pemetaan sebaran dan ketersediaan infrastruktur eksisting di Kota
Ternate.
4. Memprediksikan kebutuhan infrastruktur hingga 20 tahun mendatang (2032)
untuk perencanaan infrastruktur perkotaan.
5. Menyusun arahan penataan dan pengelolaan infrastruktur di kawasan
waterfront.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk :


1. Memberikan kontribusi data spasial ketersediaan infrastruktur perkotaan.
2. Memberikan arahan perencanaan infrastruktur perkotaan hingga 20 tahun
mendatang (2032).
3. Memberikan pemikiran serta kajian ilmiah pada konsep infrastruktur
perkotaan dan waterfront city.
4. Memberikan arahan penataan dan pengelolaan infrastruktur perkotaan kepada
Pemerintah Daerah dalam merancang konsep kebijakan pengelolaan
kelayakan infrastruktur yang berkelanjutan.

Kerangka Pemikiran
Perkembangan Kota Ternate dapat diidentifikasi dari perubahan spasial
kota sebelum (tahun 2001) dan setelah pengembangan kawasan waterfront (tahun
2010). Ini menandakan bahwa pengembangan kawasan waterfront menjadi tolak
ukur terhadap perkembangan kota. Pengembangan kawasan waterfront dilakukan
dengan cara reklamasi pantai guna mendapatkan lahan/daratan baru. Kawasan
waterfront yang berada di kawasan pesisir menyebabkan perubahan spasial kota
yang dapat dianalisis dari parameter garis pantai dan penggunaan lahan.
Wilayah-wilayah pesisir yang dekat dengan kawasan waterfront
cenderung ikut berkembang seiring dengan berkembangnya kawasan waterfront.
Wilayah-wilayah yang berkembang ditandai dengan meningkatnya aksesibilitas
dan jumlah sarana dan prasarana (infrastruktur) di wilayah tersebut. Untuk
mengetahui hierarki wilayah kota Ternate, maka dapat dianalisis dengan indikator
8

aksesibilitas dan ketersediaan infrastruktur. Wilayah-wilayah yang termasuk


kategori hierarki 1 merupakan pusat pelayanan kota, wilayah dengan kategori
hierarki 2 berarti masih bergantung pada wilayah hierarki 1, sedangkan wilayah
dengan kategori hierarki 3 merupakan wilayah belakang (hinterland). Untuk itu,
analisis skalogram digunakan dalam menentukan hierarki wilayah.
Ketersediaan infrastruktur yang dianalisis meliputi infrastruktur fisik,
infrastruktur sosial dan ekonomi, dan infrastruktur hijau. Ketiga jenis infrastruktur
tersebut dianalisis sebaran dan ketersediaannya guna menyediakan data spasial
ketersediaan infrastruktur perkotaan dan mengetahui cakupan pelayanan
infrastruktur kepada masyarakat. Cakupan pelayanan infrastruktur berkorelasi
dengan jumlah penduduk dan akses pencapaian. Untuk menganalisis sebaran dan
ketersediaan infrastruktur, maka digunakan analisis spasial (SIG) untuk
menentukan jarak dan wilayah pelayanan. Selain itu dilakukan prediksi kebutuhan
infrastruktur guna perencanaan hingga 20 tahun mendatang (2032), berdasarkan
proyeksi jumlah penduduk.
Pengembangan kawasan waterfront masih menyisakan permasalahan
diantaranya adalah belum optimalnya pengelolaan sampah, konflik penggunaan
lahan pasar tradisional dan terminal angkutan kota serta timbulnya kawasan PKL
(sektor informal) yang tidak tertata, yang tentunya harus segera diselesaikan.
Arahan penataan dan pengelolaan berdasarkan persepsi stakeholder diharapkan
dapat menjadi alternatif penangan permasalahan yang ada di kawasan waterfront.
Untuk itu, analisis AHP digunakan untuk menentukan skala prioritas penataan dan
pengelolaan infrastruktur di kawasan waterfront. Kerangka pemikiran penelitian
disajikan pada Gambar 1.
9

Perubahan Garis
Sebelum Pengembangan Pantai
Kawasan Waterfront Perubahan Spasial
(sebelum tahun 2001) Kota
Perubahan
Penggunaan Lahan

Hierarki I
(Pusat Pelayanan)

Pengembangan
Wilayah Kota Ternate Hierarki Wilayah Hierarki II
Data Spasial Sebaran dan
Ketersediaan Infrastruktur
Hierarki III
(Wilayah Belakang/
hinterland)
Analisis Cakupan Pelayanan
Infrastruktur
Infrastruktur Fisik

Setelah Pengembangan Jumlah Penduduk


Kawasan Waterfront Sebaran & Ketersediaan Infrastruktur Sosial & Prediksi Kebutuhan
(setelah tahun 2010) Infrastruktur Ekonomi Infrastruktur hingga tahun 2032
Akses Pencapaian
Infrastruktur Hijau
Alternatif Arahan
Penataan dan Pengelolaan
Infrastruktur di Kota Ternate

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Anda mungkin juga menyukai