Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Hemofilia adalah gangguan koagulasi yang disebabkan defisiensi


kongenital faktor koagulasi di dalam darah. Penyakit ini diturunkan secara X-
linked recessive dan bermanifestasi sebagai perdarahan spontan seperti
hemarthrosis, hematoma otot dan luka yang sulit berhenti. Hemofilia dibedakan
menjadi tiga yaitu hemofilia A (defisiensi faktor VIII), hemofilia B (defisiensi
faktor IX) dan hemofilia C (defisiensi faktor XI) (Scott and Montgomery, 2011).
Hemofilia yang paling sering terjadi adalah hemofilia A dilanjutkan
dengan B. Di berbagai negara yang sedang berkembang, prevalensi hemofilia
sebenarnya tidak diketahui karena keterbatasan fasilitas diagnosis, tetapi dari
berbagai kejadian di negara berkembang, diperkirakan prevalensi terjadi pada 1
dari 10.000 untuk hemofilia A dan 1 dari 50.000 untuk hemofilia B dari setiap
kelahiran laki laki (Carcao et al., 2013
Di Indonesia sangat sedikit penderita hemofilia yang dilaporkan.
Berdasarkan data tahun 2011, jumlah pasien hemofilia yang terdaftar di Indonesia
mencapai 1.388 pasien. Angka itu diperkirakan tidak mencerminkan jumlah
penderita sebenarnya. Informasi di masyarakat yang masih minim mengenai
penyakit hemofilia membuat penderita hemofilia tidak langsung dapat terdeteksi
(IZN, 2012). Menurut Carcau et al., prevalensi di negara berkembang tidak
diketahui karena tidak tersedianya fasilitas diagnosis (Carcao et al., 2013).
Selain penurunan aktivitas faktor VIII atau IX, ciri khas yang ditemui pada
pasien hemofilia adalah adanya pemanjangan activated partial thromboplastin
time (APTT). Pemanjangan ini disebabkan defisiensi faktor VIII dan faktor IX
yang berada pada jalur intrinsik (Unger et al., 2004). Plasma pasien hemofilia A
atau B memiliki nilai APTT yang panjang sedangkan nilai Prothrombin Time 3
(PT) normal. Pada penyakit hemofilia yang ringan, hasil APTT beberapa detik
lebih panjang dari normal (Hilman & Ault, 1995).
Pada pasien dengan kecurigaan hemofilia disertai pemanjangan APTT,
dapat dilakukan pemeriksaan mixing study secara manual untuk mengkonfirmasi
apakah terdapat defisiensi faktor VIII atau IX. Pada mixing study, plasma pasien
dengan pemanjangan activated partial thromboplastin time (APTT) dicampur
dengan plasma normal (mempunyai PT dan APTT normal). Activated partial
thromboplastin time (APTT) dari plasma campuran kemudian diukur kembali.
Apabila terdapat nilai koreksi APTT setelah dicampur dengan plasma normal
berarti terindikasi adanya defisiensi faktor koagulasi (Miller, 2013, Raffini et al.,
2011).
Terdapat hubungan secara matematis antara APTT dengan konsentrasi
faktor koagulasi sehingga pemeriksaan APTT dapat menilai aktivitas faktor
koagulasi. Semakin panjang nilai APTT, semakin rendah konsentrasi faktor
koagulasi di jalur intrinsik. Pada plasma dengan defisiensi faktor VIII atau IX,
apabila dicampur dengan plasma normal, APTT akan terkoreksi. Selama ini
besarnya nilai koreksi APTT sebelum pencampuran dengan APTT campuran,
belum diketahui apakah sesuai dengan aktivitas faktor VIII atau IX. Penelitian ini
bertujuan untuk mencari korelasi nilai koreksi APTT pada mixing study (APTT
awal APTT campuran) dengan aktivitas faktor VIII dan IX pada pasien
hemofilia.
Tanpa terapi, pasien-pasien hemofilia berat mempunyai harapan hidup
yang terbatas. Pasien hemofilia memerlukan terapi pengganti faktor VIII atau IX.
Selama ini, penentuan dosis terapi pengganti faktor VIII atau IX, memerlukan
pemeriksaan aktivitas faktor VIII dan IX. Pemeriksaan aktivitas faktor VIII dan
IX biasanya dilakukan dengan menggunakan alat koagulometer otomatis.
Walaupun alat koagulometer otomatis mempunyai presisi dan akurasi yang baik,
tetapi alat tersebut relatif mahal dan tidak semua fasilitas kesehatan mempunyai
alat itu, sehingga diperlukan metode yang lebih mudah untuk memperkirakan
kadar faktor VIII atau IX pada pasien hemofilia. Nilai koreksi APTT pada mixing
study diharapkan menjadi metode alternatif dalam memperkirakan kadar faktor
VIII atau IX pada pasien hemofilia, sehingga dapat membantu klinisi untuk
menentukan dosis terapi pengganti faktor VIII atau IX pada pasien yang
terdiagnosis hemofilia.
Leukemia merupakan suatu penyakit keganasan sel darah dimana terjadi
proliferasi berlebihan dari sel darah putih yang berasal dari sumsum tulang,
dengan ditemukan adanya sel-sel abnormal pada pemeriksaan darah tepi. Pada
leukemia, terdapat gangguan dalam hal produksi dari leukosit. Gangguan ini
menyebabkan jumlah leukosit yang dihasilkan sumsum tulang menjadi berlebihan
dan fungsi dari leukosit ini menjadi abnormal (Permono dan Ugrasena, 2010).
Leukemia akut merupakan keganasan yang paling sering ditemukan pada anak-
anak.
Di dunia, anak-anak yang terdiagnosis mengidap leukemia akut sebesar
30-40% dari semua jenis keganasan. Insidens rata-rata leukemia adalah 4-4,5
kasus/tahun/100.000 anak dibawah 15 tahun (Permono dan Ugrasena, 2010).
American Cancer Society memprediksikan angka kejadian Leukemia
Limfoblastik Akut (LLA) di Amerika Serikat mencapai 6.020 kasus (kasus anak-
anak dan dewasa) dan angka kematiannya mencapai 1.440 kasus pada tahun 2014
(ACS, 2013). Di Eropa tercatat bahwa angka kejadian LLA pada anak-anak usia 0
14 tahun mencapai sekitar 80% dan insiden rata-rata anak-anak yang menderita
leukemia sekitar 0,7% (ENHIS, 2009).
Menurut Riskesdas (2007) dalam panduan yang diluncurkan Kementrian
Kesehatan RI (2013), prevalensi kanker di Indonesia mencapai 4,3 per 1.000
penduduk dan kanker menduduki peringkat ketujuh penyebab kematian.
Sedangkan Sistem Registrasi Kanker di Indonesia (Srikandi) tahun 2005-2007
dalam Kemenkes (2013) mencatat angka kejadian kanker pada anak (0-17 tahun)
adalah 9 per 100.000 anak-anak dengan prevalensi leukemia (kanker tertinggi
pada anak) adalah 2,8 per 100.000 anak-anak.
Data yang tercatat pada Riskesdas (2013) menunjukkan bahwa prevalensi
leukemia tertinggi terdapat di provinsi Sulawesi Utara sebanyak 0,11% sedangkan
di Sumatera Utara sebanyak 0,01%. Dalam penelitian Widiaskara (Sari Pediatri
Universitas Sumatera Utara 2 ,2010), tercatat bahwa leukemia akut menduduki
peringkat pertama penyebab keganasan pada anak dari tahun 1991-2000 di Rumah
Sakit Umum Dr.Soetomo Surabaya sejumlah 524 kasus / 59% dari seluruh
keganasan. Dari 524 kasus, didapatkan bahwa 430 diantaranya didiagnosis
mengidap leukemia akut jenis limfoblastik atau LLA. Sedangkan di Rumah Sakit
Kanker Dharmais, setiap tahunnya angka kejadian LLA meningkat sebanyak 8
kasus (Rini, 2010).
Dalam pengobatan leukemia, terdapat dua jenis penanganan yaitu suportif
dan kuratif. Penanganan suportif adalah penanganan yang mengobati penyakit
penyerta leukemia dan komplikasinya, sedangkan penanganan kuratif adalah
penanganan yang bertujuan menyembuhkan leukemia yaitu kemoterapi.
Kemoterapi terbagi ada tiga tahapan, yaitu tahapan induksi, konsolidasi, dan
rumatan (Permono dan Ugrasena, 2010). Dari banyak penelitian menunjukkan
bahwa pengobatan dengan cara kemoterapi telah berhasil menaikkan angka
kesembuhan pada penderita leukemia tetapi sama seperti pengobatan lainnya yang
memiliki efek samping begitu pula dengan kemoterapi. Banyak efek samping
yang dimiliki oleh kemoterapi dimana salah satunya yaitu berupa adanya
gangguan gizi.
Status gizi pada anak-anak dapat dihitung melalui beberapa indikator
antropometri seperti BB/U, TB/U, dan BB/TB. Indikator BB/U menjelaskan
masalah gizi secara umum, indikator TB/U menjelaskan masalah gizi yang
bersifat kronis, sedangkan indikator BB/TB dan IMT menjelaskan masalah gizi
yang bersifat akut (Kementrian Kesehatan RI, 2013). Status gizi sendiri dapat
dijadikan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi prognosis suatu penyakit
nantinya.
Hasil penelitian Malihi (2013), menunjukkan bahwa anak-anak cenderung
mengalami status gizi buruk pada tahapan awal kemoterapi/fase induksi. Studi
yang sama juga membuktikan bahwa angka tahapan kemoterapi menyebabkan
adanya gangguan gizi cukup signifikan. Suatu penelitian cross-sectional di
Malaysia menunjukkan bahwa anak-anak yang mendapatkan kemoterapi
cenderung mengalami obesitas/status gizi lebih pada akhir pengobatan (Tan,
2013).
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hemofilia
2.1.1 Definisi Hemofilia

Hemofilia adalah gangguan produksi faktor pembekuan yang diturunkan,


berasal dari bahasa Yunani, yaitu haima yang artinya darah dan philein yang
artinya mencintai atau suka. Walaupun sebenarnya maknanya tidak sesuai, namun
kata hemofilia tetap dipakai.
Kelainan perdarahan yang diturunkan pertama kali didokumentasikan di abad
kedua oleh Kerajaan Babilonia. Namun baru pada abad ke 18 dilaporkan adanya
kemungkinan basis genetik untuk kelainan perdarahan ini dan mulai tahun 1950an
transfusi fresh frozen plasma (FFP) digunakan. Pada tahun 1980an teknik
rekombinan DNA untuk menproduksi faktor VIII (F VIII) dan faktor IX (F IX)
mulai diterapkan.
Hemofilia merupakan penyakit genetik yang diturunkan secara x-linked
resesif berdasarkan hukum Mendel dari orang tua kepada anak-anaknya. Penyakit
ini terjadi akibat kelainan sintesis salah satu faktor pembekuan, dimana pada
hemofilia A terjadi kekurangan F VIII (Antihemophilic factor), sedangkan pada
hemofilia B terjadi kekurangan F IX (Christmas factor). Hemofilia A mencakup
80-85% dari keseluruhan penderita hemofilia.
Secara klinis hemofilia dapat dibagi menjadi hemofilia ringan, hemofilia sedang
dan hemofilia berat berdasarkan derajat kekurangan faktor pembekuan yang
bersangkutan.

2.1.2 Epidemiologi
Hemofilia tersebar di seluruh ras di dunia dengan prevalensi sekitar 1
dalam 10 000 penduduk untuk hemofilia A dan 1 dalam 50 000 penduduk untuk
hemofilia B. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh World Federation of
Hemophilia (WFH) pada tahun 2010, terdapat 257 182 penderita kelainan
perdarahan di seluruh dunia, di antaranya dijumpai 125 049 penderita hemofilia A
dan 25 160 penderita hemofilia B.
Penderita hemofilia mencakup 63% seluruh penderita dengan kelainan
perdarahan. Penyakit von Willebrand merupakan jenis kelainan perdarahan yang
kedua terbanyak dalam survei ini setelah hemofilia yaitu sebesar 39.9%.Di
Indonesia, berdasarkan survei tersebut di atas, terdapat 334 orang penderita
hemofilia A, 48 orang penderita hemofilia B dan 1006 orang penderita hemofilia
yang belum ditentukan jenisnya.

2.1.3 Patofisiologi
Proses hemostasis tergantung pada faktor koagulasi, trombosit dan
pembuluh darah. Mekanisme hemostasis terdiri dari respons pembuluh darah,
adesi trombosit, agregasi trombosit, pembentukan bekuan darah, stabilisasi
bekuan darah, pembatasan bekuan darah pada tempat cedera oleh regulasi
antikoagulan, dan pemulihan aliran darah melalui proses fibrinolisis dan
penyembuhan pembuluh darah.
Cedera pada pembuluh darah akan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh
darah dan terpaparnya darah terhadap matriks subendotelial. Faktor von
Universitas Sumatera Utara Willebrand (vWF) akan teraktifasi dan diikuti adesi
trombosit. Setelah proses ini, adenosine diphosphatase, tromboxane A2 dan
protein lain trombosit dilepaskan granul yang berada di dalam trombosit dan
menyebabkan agregasi trombosit dan perekrutan trombosit lebih lanjut. Cedera
pada pembuluh darah juga melepaskan tissue factor dan mengubah permukaan
pembuluh darah, sehingga memulai kaskade pembekuan darah dan menghasilkan
fibrin. Selanjutnya bekuan fibrin dan trombosit ini akan distabilkan oleh faktor
XIII.
Kaskade pembekuan darah klasik diajukan oleh Davie dan Ratnoff pada
tahun 1950an dapat dilihat pada Gambar 1. Kaskade ini menggambarkan jalur
intrinsik dan ekstrinsik pembentukan thrombin. Meskipun memiliki beberapa
kelemahan, kaskade ini masih dipakai untuk menerangkan uji koagulasi yang
lazim dipakai dalam praktek sehari-hari.
Pada penderita hemofilia dimana terjadi defisit F VIII atau F IX maka
pembentukan bekuan darah terlambat dan tidak stabil. Oleh karena itu penderita
hemofilia tidak berdarah lebih cepat, hanya perdarahan sulit berhenti. Pada
perdarahan dalam ruang tertutup seperti dalam sendi, proses perdarahan terhenti
akibat efek tamponade. Namun pada luka yang terbuka dimana efek tamponade
tidak ada, perdarahan masif dapat terjadi. Bekuan darah yang terbentuk tidak kuat
dan perdarahan ulang dapat terjadi akibat proses fibrinolisis alami atau trauma
ringan.

2.1.4 Gejala Klinis dan Diagnosis


Manifestasi klinis hemofilia A serupa dengan hemofilia B yaitu
perdarahan yang sukar berhenti. Secara klinis hemofilia dapat dibagi menjadi
hemofilia ringan (konsentrasi FVIII dan F IX 0.05-0.4 IU/mL atau 5-40%),
hemofilia sedang (konsentrasi FVIII dan F IX 0.01-0.5 IU/mL atau 1-5%) dan
hemofilia berat (konsentrasi FVIII dan F IX di bawah 0.01 IU/mL atau di bawah
1%).
Pada penderita hemofilia ringan perdarahan spontan jarang terjadi dan
perdarahan terjadi setelah trauma berat atau operasi,. Pada hemofilia sedang,
perdarahan spontan dapat terjadi atau dengan trauma ringan. Sedangkan pada
hemofilia berat perdarahan spontan sering terjadi dengan perdarahan ke dalam
sendi, otot dan organ dalam.
Perdarahan dapat mulai terjadi semasa janin atau pada proses persalinan.
Umumnya penderita hemofilia berat perdarahan sudah mulai terjadi pada usia di
bawah 1 tahun. Perdarahan dapat terjadi di mukosa mulut, gusi, hidung, saluran
kemih, sendi lutut, pergelangan kaki dan siku tangan, otot iliospoas, betis dan
lengan bawah. Perdarahan di dalam otak, leher atau tenggorokan dan saluran
cerna yang masif dapat mengancam jiwa. Diagnosis ditegakkan dengan anamesis,
pemeriksaan fisik dan laboratorium. Anamnesis diarahkan pada riwayat mudah
timbul lebam sejak usia dini, perdarahan yang sukar berhenti setelah suatu
tindakan, trauma ringan atau spontan, atau perdarahan sendi dan otot. Riwayat
keluarga dengan gangguan perdarahan terutama saudara laki-laki atau dari pihak
ibu juga mendukung ke arah hemofilia.
Hasil pemeriksaan darah rutin dan hemostasis sederhana sama pada
hemofilia A dan B. Darah rutin biasanya normal, sedangkan masa pembekuan dan
masa thromboplastin parsial teraktifkan (APTT) memanjang, dan masa
pembekuan thromboplastin abnormal. Masa perdarahan dan masa prothrombin
(PT) umumnya normal.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan memeriksa kadar F VIII untuk
hemofilia A dan F IX untuk hemofilia B, dimana kedua faktor tersebut di bawah
normal. Pemeriksaan petanda gen hemofilia pada kromosom X juga dapat
memastikan diagnosis hemofilia dan dapat digunakan untuk diagnosis antenatal.
Secara klinis, hemofilia A tidak dapat dibedakan dengan hemofilia B, oleh karena
itu diperlukan pemeriksaan khusus F VIII dan IX.
Wanita pembawa sifat hemofilia A dapat diketahui dengan memeriksa
kadar F VIII yang bisa di bawah normal, analisis mutasi gen hemofilia atau rasio
F VIII dengan antigen faktor von Willebrand (FVIII/vWF:Ag ratio) yang kurang
dari 1. Sedangkan wanita pembawa sifat hemofilia B dapat diketahui melalui
aktivitas F IX yang dapat menurun atau pemeriksaan genetic. Diagnosis banding
hemofilia adalah penyakit von Willebrand, defisiensi faktor koagulasi lain seperti
FV, FVII, FX, FXI, atau fibrinogen, atau kelainan trombosit seperti Glanzmann
trombastenia.

2.1.5 Tatalaksana
Tatalaksana penderita hemofilia harus dilakukan secara komprehensif
meliputi pemberian faktor pengganti yaitu F VIII untuk hemofilia A dan F IX
untuk hemofilia B, perawatan dan rehabilitasi terutama bila ada sendi, edukasi dan
dukungan psikososial bagi penderita dan keluarganya.
Bila terjadi perdarahan akut terutama daerah sendi, maka tindakan RICE
(rest, ice, compression, elevation) segera dilakukan. Sendi yang mengalami
perdarahan diistirahatkan dan diimobilisasi. Kompres dengan es atau handuk
basah yang dingin, kemudian dilakukan penekanan atau pembebatan dan
meninggikan daerah perdarahan. Penderita sebaiknya diberikan faktor pengganti
dalam 2 jam setelah perdarahan.
Untuk hemofilia A diberikan konsentrat F VIII dengan dosis 0.5 x BB (kg)
x kadar yang diinginkan (%). F VIII diberikan tiap 12 jam sedangkan F IX
4
diberikan tiap 24 jam untuk hemofilia B. Kadar F VIII atau IX yang diinginkan
tergantung pada lokasi perdarahan dimana untuk perdarahan sendi, otot, mukosa
mulut dan hidung kadar 30-50% diperlukan. Perdarahan saluran cerna, saluran
kemih, daerah retroperitoneal dan susunan saraf pusat maupun trauma dan
tindakan operasi dianjurkan kadar 60-100%. Lama pemberian tergantung pada
beratnya perdarahan atau jenis tindakan. Untuk pencabutan gigi atau epistaksis,
diberikan selama 2-5 hari, sedangkan operasi atau laserasi luas diberikan 7-14
hari. Untuk rehabilitasi seperti pada hemarthrosis dapat diberikan lebih lama lagi.
Kriopresipitat juga dapat diberikan untuk hemofilia A dimana satu
kantung kriopresipitat mengandung sekitar 80 U F VIII. Demikian juga dengan
obat antifibrinolitik seperti asam epsilon amino-kaproat atau asam traneksamat.
Aspirin dan obat antiinflamasi non steroid harus dihindari karena dapat
mengganggu hemostasis.
Profilaksis F VIII atau IX dapat diberikan secara kepada penderita
hemofilia berat dengan tujuan mengurangi kejadian hemartrosis dan kecacatan
sendi. WHO dan WFH merekomendasikan profilaksis primer dimulai pada usia 1-
2 tahun dan dilanjutkan seumur hidup. Profilaksis diberikan berdasarkan Protokol
Malm yang pertama kali dikembangkan di Swedia yaitu pemberian F VIII 20-40
U/kg selang sehari minimal 3 hari per minggu atau F IX 20-40 U/kg dua kali per
minggu. Untuk penderita hemofilia ringan dan sedang, desmopressin (1-deamino-
8-arginine vasopressin, DDAVP) suatu anolog vasopressin dapat digunakan untuk
meningkatkan kadar F VIII endogen ke dalam sirkulasi, namun tidak dianjurkan
untuk hemofilia berat. Mekanisme kerja sampai saat ini masih belum jelas, diduga
obat ini merangsang pengeluaran vWF dari tempat simpanannya (Weibel-Palade
bodies) sehingga menstabilkan F VIII di plasma. DDAVP dapat diberikan secara
intravena, subkutan atau intranasal.
Penderita hemofilia dianjurkan untuk berolah raga rutin, memakai
peralatan pelindung yang sesuai untuk olahraga, menghindari olahraga berat atau
kontak fisik. Berat badan harus dijaga terutama bila ada kelainan sendi karena
berat badan yang berlebih memperberat arthritis. Kebersihan mulut dan gigi juga
harus diperhatikan. Vaksinasi diberikan sebagaimana anak normal terutama
terhadap hepatitis A dan B. Vaksin diberikan melalui jalur subkutan, bukan
intramuskular. Pihak sekolah sebaiknya diberitahu bila seorang anak menderita
hemofilia supaya dapat membantu penderita bila diperlukan.
Upaya mengetahui status pembawa sifat hemofilia dan konseling genetik
merupakan hal yang terpadu dalam tatalaksana hemofilia. Konseling genetik perlu
diberikan kepada penderita dan keluarga. Konseling meliputi penyakit hemofilia
itu sendiri, terapi dan prognosis, pola keturunan, deteksi pembawa sifat dan
implikasinya terhadap masa depan penderita dan pembawa sifat. Deteksi
hemofilia pada janin dapat dilakukan terutama bila jenis mutasi gen sudah
diketahui. Sampel dapat diperoleh melalui tindakan sampling villus khorionik atau
amnionsintesis.

2.1.6 Komplikasi dan Prognosis


Sampai sekarang masih belum jelas mengapa perdarahan sendi atau
hemarthrosis sering terjadi pada penderita hemofilia, namun diduga bahwa hal ini
disebabkan oleh rendahnya ekspresi tissue factor di jaringan sinovial sehingga
perdarahan mudah terjadi. Darah dan deposit besi dalam sendi mengiritasi
sinovium dan merangsang reaksi inflamasi dalam sendi. Sinovitis kronis ini
menyebabkan pertumbuhan jaringan sinovium yang penuh dengan pembuluh
darah yang rapuh dan rawan terhadap perdarahan berikutnya, sehingga
menciptakan suatu siklus setan. Sendi yang mengalami perdarahan berulang ini
disebut sebagai sendi target. Hasil akhirnya adalah suatu arthropati hemofilik
dimana sendi menjadi kaku, terjadi deformitas permanen, misalignment,
perbedaan panjang anggota gerak serta hipotrofi otot yang berdekatan. Cacat sendi
ini merupakan salah satu morbiditas penderita hemofilia yang utama.
Perdarahan intrakranial merupakan penyebab kematian utama penderita
hemofilia. Studi di Inggris menunjukkan bahwa 34% kematian penderita
hemofilia disebabkan oleh perdarahan ini, terutama di usia balita dimana 11 dari
13 kematian karena perdarahan intracranial. Seumur hidupnya risiko perdarahan
intrakranial pada seorang penderita hemofilia sebesar 2-8% dengan tingkat
kematian 30%.
Perdarahan otot terutama terjadi di otot paha, betis, dinding perut bagian
posterior dan bokong. Tekanan akibat perdarahan otot ini dapat mengakibatkan
neuropati seperti neuropati nervus femoralis akibat perdarahan ileospoas.
Nekrosis iskhemik dan kontraktur merupakan efek perdarahan otot lainnya.
Penularan penyakit seperti hepatitis C dan HIV melalui transfusi produk
darah dan faktor pengganti merupakan masalah besar terutama pada tahun 1980
an. Upaya penapisan yang lebih baik saat ini telah sangat mengurangi risiko
penularan tersebut, meskipun penularan Parvovirus B19 dan penyakti Creutzfeld-
Jacob masih sulit dihindari. Kemajuan teknologi telah memungkinkan diproduksi
faktor pengganti yang bebas dari risiko penularan penyakit tersebut dengan teknik
rekombinan DNA.
Pembentukan antibodi atau inhibitor F VIII dapat timbul pada sekitar 20%
penderita hemofilia A. Adanya inhibitor ini perlu dicurigai bila seorang penderita
tidak menunjukkan penyembuhan yang diharapkan meski telah diberi faktor
pengganti dengan dosis yang cukup. Dalam hal ini dosis F VIII harus dinaikkan
atau diberikan F VIIa untuk memotong jalur koagulasi.
Menurut studi di Inggris, harapan hidup penderita hemofilia berat pada
usia 35, 55 dan 75 tahun adalah 89%, 68% dan 23%, dengan median usia harapan
hidup 63 tahun. Untuk penderita hemofilia sedang harapan hidup untuk kategori
usia yang sama adalah 96%, 88% dan 49% dengan median usia harapan hidup 75
tahun. Sebagai perbandingan harapan hidup rerata pria di Inggris adalah 97%,
92% dan 59% dengan median usia harapan hidup 78 tahun.

2.2 Leukimia
2.2.1. Definisi Leukemia
Istilah leukemia pertama kali dijelaskan oleh Virchow sebagai darah
putih pada tahun 1874, adalah penyakit neoplastik yang ditandai dengan
diferensiasi dan proliferasi sel induk hematopoetik.18
Leukemia adalah suatu keganasan yang berasal dari perubahan genetik
pada satu atau banyak sel di sumsum tulang. Pertumbuhan dari sel yang normal
akan tertekan pada waktu sel leukemia bertambah banyak sehingga akan
menimbulkan gejala klinis.19 Keganasan hematologik ini adalah akibat dari
proses neoplastik yang disertai gangguan diferensiasi pada berbagai tingkatan sel
induk hematopoetik sehingga terjadi ekspansi progresif kelompok sel ganas
tersebut dalam sumsum tulang, kemudian sel leukemia beredar secara sistemik.20
Leukemia adalah proliferasi sel leukosit yang abnormal, ganas, sering
disertai bentuk leukosit yang lain daripada normal dengan jumlah yang
berlebihan,21 dapat menyebabkan kegagalan sumsum tulang dan sel darah putih
sirkulasinya meninggi.22

2.2.2. Patofisiologi
Pada keadaan normal, sel darah putih berfungsi sebagai pertahanan tubuh
terhadap infeksi. Sel ini secara normal berkembang sesuai perintah, dapat
dikontrol sesuai dengan kebutuhan tubuh. Leukemia meningkatkan produksi sel
darah putih pada sumsum tulang yang lebih dari normal. Mereka terlihat berbeda
dengan sel darah normal dan tidak berfungsi seperti biasanya. Sel leukemi
memblok produksi sel darah normal, merusak kemampuan tubuh terhadap infeksi.
Sel leukemi juga merusak produksi sel darah lain pada sumsum tulang termasuk
sel darah merah dimana sel tersebut berfungsi untuk menyuplai oksigen pada
jaringan.29
Analisis sitogenik menghasilkan banyak pengetahuan mengenai aberasi
kromosomal yang terdapat pada pasien dengan leukemia. Perubahan kromosom
dapat meliputi perubahan angka, yang menambahkan atau menghilangkan seluruh
kromosom, atau perubahan struktur termasuk translokasi (penyusunan kembali),
delesi, inversi dan insersi. Pada kondisi ini, dua kromosom atau lebih mengubah
bahan genetik, dengan perkembangan gen yang berubah dianggap menyebabkan
mulainya proliferasi sel abnormal.18
Leukemia terjadi jika proses pematangan dari stem sel menjadi sel darah
putih mengalami gangguan dan menghasilkan perubahan ke arah keganasan.
Perubahan tersebut seringkali melibatkan penyusunan kembali bagian dari
kromosom (bahan genetik sel yang kompleks). Translokasi kromosom
mengganggu pengendalian normal dari pembelahan sel, sehingga sel membelah
tidak terkendali dan menjadi ganas. Pada akhirnya sel-sel ini menguasai sumsum
tulang dan menggantikan tempat dari sel-sel yang menghasilkan sel-sel darah
yang normal. Kanker ini juga bisa menyusup ke dalam organ lainnya termasuk
hati, limpa, kelenjar getah bening, ginjal, dan otak.30

2.2.3. Klasifikasi Leukemia

Secara sederhana leukemia dapat diklasifikasikan berdasarkan maturasi sel


dan tipe sel asal yaitu :31
1. Leukemia Akut
Leukemia akut adalah keganasan primer sumsum tulang yang
berakibat terdesaknya komponen darah normal oleh komponen darah
abnormal (blastosit) yang disertai dengan penyebaran ke organ-organ
lain.32 Leukemia akut memiliki perjalanan klinis yang cepat, tanpa
pengobatan penderita akan meninggal rata-rata dalam 4-6 bulan.33
2. Leukemia Limfositik Akut (LLA)
LLA merupakan jenis leukemia dengan karakteristik adanya
proliferasi dan akumulasi sel-sel patologis dari sistem limfopoetik yang
mengakibatkan organomegali (pembesaran alat-alat dalam) dan kegagalan
organ.
LLA lebih sering ditemukan pada anak-anak (82%) daripada umur
dewasa (18%).21 Insiden LLA akan mencapai puncaknya pada umur 3-7
tahun. Tanpa pengobatan sebagian anak-anak akan hidup 2-3 bulan setelah
terdiagnosis terutama diakibatkan oleh kegagalan dari sumsum tulang19
(gambar 2.8. hapusan sumsum tulang dengan pewarnaan giemsa
perbesaran 1000x).27
3. Leukemia Mielositik Akut (LMA)
LMA merupakan leukemia yang mengenai sel stem hematopoetik
yang akan berdiferensiasi ke semua sel mieloid. LMA merupakan
leukemia nonlimfositik yang paling sering terjadi.31
LMA atau Leukemia Nonlimfositik Akut (LNLA) lebih sering
ditemukan pada orang dewasa (85%) dibandingkan anak-anak (15%).20
Permulaannya mendadak dan progresif dalam masa 1 sampai 3 bulan
dengan durasi gejala yang singkat. Jika tidak diobati, LNLA fatal dalam 3
sampai 6 bulan.18(gambar 2.8. hapusan sumsum tulang dengan pewarnaan
giemsa perbesaran 1000x).27
4. Leukemia Granulositik/Mielositik Kronik (LGK/LMK)
LGK/LMK adalah gangguan mieloproliferatif yang ditandai
dengan produksi berlebihan sel mieloid (seri granulosit) yang relatif
matang.34 LGK/LMK mencakup 20% leukemia dan paling sering
dijumpai pada orang dewasa usia pertengahan (40-50 tahun).
Abnormalitas genetik yang dinamakan kromosom philadelphia ditemukan
pada 90-95% penderita LGK/LMK.36(gambar 2.8. hapusan sumsum
tulang dengan pewarnaan giemsa a. perbesaran 200x, b. perbesaran
1000x).27
Sebagian besar penderita LGK/LMK akan meninggal setelah
memasuki fase akhir yang disebut fase krisis blastik yaitu produksi
berlebihan sel muda leukosit, biasanya berupa mieloblas/promielosit,
disertai produksi neutrofil, trombosit dan sel darah merah yang amat
kurang.21

2.2.4 Gejala Klinis


Gejala klinis dari leukemia pada umumnya adalah anemia,
trombositopenia, neutropenia, infeksi, kelainan organ yang terkena infiltrasi,
hipermetabolisme.42
1. Leukemia Limfositik Akut
Gejala klinis LLA sangat bervariasi. Umumnya menggambarkan
kegagalan sumsum tulang. Gejala klinis berhubungan dengan anemia
(mudah lelah, letargi, pusing, sesak, nyeri dada), infeksi dan perdarahan.
Selain itu juga ditemukan anoreksi, nyeri tulang dan sendi,
hipermetabolisme.21 Nyeri tulang bisa dijumpai terutama pada sternum,
tibia dan femur.34 .
2. Leukemia Mielositik Akut21
Gejala utama LMA adalah rasa lelah, perdarahan dan infeksi yang
disebabkan oleh sindrom kegagalan sumsum tulang. perdarahan biasanya
terjadi dalam bentuk purpura atau petekia. Penderita LMA dengan leukosit
yang sangat tinggi (lebih dari 100 ribu/mm3) biasanya mengalami
gangguan kesadaran, sesak napas, nyeri dada dan priapismus. Selain itu
juga menimbulkan gangguan metabolisme yaitu hiperurisemia dan
hipoglikemia
3. Leukemia Limfositik Kronik21
Sekitar 25% penderita LLK tidak menunjukkan gejala. Penderita LLK
yang mengalami gejala biasanya ditemukan limfadenopati generalisata,
penurunan berat badan dan kelelahan. Gejala lain yaitu hilangnya nafsu
makan dan penurunan kemampuan latihan atau olahraga. Demam, keringat
malam dan infeksi semakin parah sejalan dengan perjalanan penyakitnya.
4. Leukemia Granulositik/Mielositik Kronik21
LGK memiliki 3 fase yaitu fase kronik, fase akselerasi dan fase krisis blas.
Pada fase kronik ditemukan hipermetabolisme, merasa cepat kenyang
akibat desakan limpa dan lambung. Penurunan berat badan terjadi setelah
penyakit berlangsung lama. Pada fase akselerasi ditemukan keluhan
anemia yang bertambah berat, petekie, ekimosis dan demam yang disertai
infeksi.

2.2.5 Penatalaksanaan Medis


1. Kemoterapi
a. Kemoterapi pada penderita LLA
Pengobatan umumnya terjadi secara bertahap, meskipun tidak
semua fase yang digunakan untuk semua orang.
Tahap 1 (terapi induksi)
Tujuan dari tahap pertama pengobatan adalah untuk membunuh
sebagian besar sel-sel leukemia di dalam darah dan sumsum tulang.29
Terapi induksi kemoterapi biasanya memerlukan perawatan di rumah
sakit yang panjang karena obat menghancurkan banyak sel darah normal
dalam proses membunuh sel leukemia.9 Pada tahap ini dengan
memberikan kemoterapi kombinasi yaitu daunorubisin, vincristin,
prednison dan asparaginase.19
Tahap 2 (terapi konsolidasi/ intensifikasi)
Setelah mencapai remisi komplit, segera dilakukan terapi
intensifikasi yang bertujuan untuk mengeliminasi sel leukemia residual
untuk mencegah relaps dan juga timbulnya sel yang resisten terhadap obat.
Terapi ini dilakukan setelah 6 bulan kemudian.
Tahap 3 ( profilaksis SSP)
Profilaksis SSP diberikan untuk mencegah kekambuhan pada SSP.
Perawatan yang digunakan dalam tahap ini sering diberikan pada dosis
yang lebih rendah.29 Pada tahap ini menggunakan obat kemoterapi yang
berbeda, kadang-kadang dikombinasikan dengan terapi radiasi, untuk
mencegah leukemia memasuki otak dan sistem saraf pusat.9
Tahap 4 (pemeliharaan jangka panjang)
Pada tahap ini dimaksudkan untuk mempertahankan masa remisi.
Tahap ini biasanya memerlukan waktu 2-3 tahun.
Angka harapan hidup yang membaik dengan pengobatan sangat
dramatis. Tidak hanya 95% anak dapat mencapai remisi penuh, tetapi 60%
menjadi sembuh. Sekitar 80% orang dewasa mencapai remisi lengkap dan
sepertiganya mengalami harapan hidup jangka panjang, yang dicapai
dengan kemoterapi agresif yang diarahkan pada sumsum tulang dan
SSP.18
b. Radioterapi
Radioterapi menggunakan sinar berenergi tinggi untuk membunuh
sel-sel leukemia. Sinar berenergi tinggi ini ditujukan terhadap limpa atau
bagian lain dalam tubuh tempat menumpuknya sel leukemia. Energi ini
bisa menjadi gelombang atau partikel seperti proton, elektron, x-ray dan
sinar gamma. Pengobatan dengan cara ini dapat diberikan jika terdapat
keluhan pendesakan karena pembengkakan kelenjar getah bening
setempat.21
c. Transplantasi Sumsum Tulang
Transplantasi sumsum tulang dilakukan untuk mengganti sumsum
tulang yang rusak dengan sumsum tulang yang sehat. Sumsum tulang yang
rusak dapat disebabkan oleh dosis tinggi kemoterapi atau terapi radiasi.
Selain itu, transplantasi sumsum tulang juga berguna untuk mengganti sel-
sel darah yang rusak karena kanker.49 Pada penderita LMK, hasil terbaik
(70-80% angka keberhasilan) dicapai jika menjalani transplantasi dalam
waktu 1 tahun setelah terdiagnosis dengan donor Human Lymphocytic
Antigen (HLA) yang sesuai.33
Pada penderita LMA transplantasi bisa dilakukan pada penderita
yang tidak memberikan respon terhadap pengobatan dan pada penderita
usia muda yang pada awalnya memberikan respon terhadap pengobatan.30
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Asuhan Keperawatan Hemofilia

A. Pengkajian Keperawatan
1. Biodata Klien Terjadi pada semua umur biasanya anak laki-laki dan
wanita sebagai carier.
2. Keluhan Utama
a. Perdarahan lama ( pada sirkumsisi )
b. Epitaksis
c. Memar, khususnya pada ekstremitas bawah ketika anak mulai berjalan
dan terbentur pada sesuatu.
d. Bengkak yang nyeri, sendi terasa hangat akibat perdarahan jaringan
lunak dan hemoragi pada sendi
e. Pada hemofilia C biasanya perdarahan spontan
f. Perdarahan sistem GI track dan SSP
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Apakah klien mengalami salah satu atau beberapa dari keluhan utama
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Apakah dulu klien mengalami perdarahan yang tidak henti-hentinya serta
apakah klien mempunyai penyakit menular atau menurun seperti
Dermatitis, Hipertensi, TBC.
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga klien ada yang menderita hemofili pada laki-laki atau carrier
pada wanita.
6. Kaji Tingkat Pertumbuhan Anak
Pertumbuhan dan perkembangan anak tidak terlewati dengan sempurna.
7. ADL (Activity Daily Life)
a. Pola Nutrisi : anoreksia, menghindari anak tidak terlewati dengan
sempurna
b. Pola Eliminasi : hematuria, feses hitam
c. Pola personal hygiene : kurangnya kemampuan untuk melakukan
aktivitas perawatan dini.
d. Pola aktivitas : kelemahan dan adanya pengawasan ketat dalam
beraktivitas
e. Pola istirahat : tidur terganggu karena nyeri
8. Pemeriksaan
a. Pemeriksaan fisik
- Keadaan umum : kelemahan
- BB : menurun
- Wajah : Wajah mengekspresikan nyeri
- Mulut : Mukosa mulut kering, perdarahan mukosa mulut
- Hidung : epitaksis
- Thorak/ dada : Adanya tarikan intercostanalis dan bagaimana suara
paru
- Suara jantung pekak
- Adanya kardiomegali
- Abdomen adanya hepatomegali
- Anus dan genetalia
Eliminasi urin menurun
Eliminasi alvi feses hitam
- Ekstremitas : Hemartrosis memar khususnya pada ekstremitas bawah
b. Pemeriksaan Penunjang ( labolatorium )
1) Uji Skrinning untuk koagulasi darah
- Masa pembekuan memanjang (waktu pembekuan normal adalah 5-
10 menit)
- Jumlah trombosit ( normal )
- Uji pembangkitan tromboplastin ( dapat menemukan pembentukan
yang tidak efisien dari tromboplastin akibat kekurangan F VIII )
2) Biopsi hati ( kadang-kadang ) digunakan untuk memperoleh jaringan
untuk pemeriksaan patologi dan kultur.
3) Uji fungsi hati (kadang-kadang) digunakan untuk mendeteksi adanya
penyakit hati
B. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan mekanisme pembekuan
darah yang tidak normal.
2. Risiko injuri berhubungan dengan perdarahan.
3. Kurang pengetahuan berhubungan dengan informasi inadekuat.
4. Resiko kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan keterbatasan gerak
sendi sekunder akibat hemartosis perdarahan pada sendi.
5. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan anak menderita penyakit
serius.
C. Rencana Keperawatan
1. Diagnosa : Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan
mekanisme pembekuan darah yang tidak normal.
Tujuan (NOC) :
a. Keseimbangan cairan
b. Hidrasi
c. Status nutrisi : masukan makanan dan minuman
Kriteria Hasil :
a. Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan berat badan,
berat jenis urine normal
b. Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal.
c. Tidak ada tanda-tanda dehidrasi, elastisitas turgor kulit baik, membran
mukosa lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan.
Intervesi (NIC) :
a. Monitoring tannda-tanda vital
R/ Penurunan sirkulasi darah dapat terjadi peningkatan kehilangan
cairan mengakibatkan hipotensi dan takikardi
b. Instruksikan dan pantau anak berkaitan dengan perawatan gigi yaitu
menggunakan sikat gigi berbulu anak
R/ Sikat gigi berbulu keras dapat menyebabkan perdarahan mukosa
mulut.
c. Kolaborasi pemberian produk plasma sesuai indikasi
R/ Pemberian plasma untuk mempertahankan homeostatis.
2. Diagnosa : Risiko injuri berhubungan dengan perdarahan.
Tujuan (NOC) : menurunkan resiko injuri
Kriteria Hasil :
a. Klien terbebas dari cidera
b. Klien mampu menjelaskan cara atau metode untuk mencegah
injuri/cidera
c. Mampu memodifikasi gaya hidup untuk mencegah injuri
d. Menggunakan fasilitas kesehatan yang ada
Intervesi (NIC) :
a. Ciptakan lingkungan yang aman seperti menyingkirkan benda-benda
tajam, memberikan bantalan pada sisi keranjang bayi untuk yang tidak
aktif
R/ Anak yang aktif memiliki resiko cidera yang tinggi apabila tidak
diawasi
b. Tekankan bahwa olahraga kontak fisik dilarang
R/ Kontak fisik dapat menyebabkan perdarahan
c. Berikan tekanan setelah injeksi / fungsi vena
R/ Tekanan ini meminimalkan perdarahan
d. Anjurkan orang tua untuk memberikan pengawasan pada saat bermain
di luar rumah.
e. Kolaborasi pemberian analgesik (hindari aspirin), bisa disarankan
menggunakan asetaminofen
R/ Aspirin dapat mengganggu pH darah dan dapat ketidakcukupan mudah
terjadi
3. Diagnosa : Nyeri yang berhubungan dengan perdarahan dan
pembengkakan.
Tujuan (NOC) : Pasien tidak menderita nyeri atau menurunkan intensitas
atau skala nyeri yang dapat diterima anak.
Kriteria Hasil : Anak tidak menunjukkan tanda-tanda nyeri yang ditandai
oleh ekspresi wajah relaks, ekspresi rasa nyaman, mampu tertidur, dan
tidak ada kebutuhan obat anlgesik.
Intervesi :
a. Kaji tingkat nyeri anak
R/ untuk mengendalikan rasa nyeri, dan untuk memantau status
perdarahan anak karena nyeri yang konsisten atau meningkat, dapat
mengindikasikan perdarahan berlanjut.
b. Anjurkan untuk tidak menggunakan obat yang dijual bebas seperti
aspirin.
c. R/ Aspirin dapat mengganggu pH dan dapat membuat perdarahan
mudah terjadi
d. Ajarkan keluarga atau anak tentang apa itu hemofilia & tanda serta
gejalanya
e. Berikan penjelasan pada keluarga dan atau anak bahwa penyakit ini
belum dapat disembuhkan dan tujuan terapi adalah mencegah munculnya
gejala.
R/ Informasi yang adekuat akan dapat meningkatkan pengetahuan klien.

4. Diagnosa resiko tinggi kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan


keterbatasan gerak sendi sekunder akibat hemartosis
Hasil yang diharapkan : Menurunkan resiko kerusakan mobilitas fisik
Kriteria Hasil :
a. Tanda vital tetap normal.
b. Peningkatan rentang gerak sendi
c. tidak ada tanda inflamasi
Intervesi :
a. Ajarkan untuk melakukan latihan rentang gerak aktif pada anggota
gerak yang sehat
R/ Meningkatkan kepercayaan diri pada klien.
b. Lakukan latihan rentang gerak pasif pada anggota gerak yang sakit.
R/ Melatih persendian dan menurunkan resiko perlukaan.
c. Kolaborasi / konsultasi dengan ahli terapi fisik / okupasi, spesialisasi,
rehabilitas.
R/ Sangat membantu dalam membuat program latihan / aktivitas individu
dan menentukan alat bantu yang sesuai.
5. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan anak menderita penyakit
serius.
Tujuan : Klien dapat menerima support adekuat
Kriteria Hasil :
a. Keluarga tidak mengalami penurunan koping keluarga
b. Normalisasi keluarga yang memuaskan
c. Kesejahteraan emosi pemberi asuhan
Intervensi :
a. Gali perasaan orang tua dan anggota keluarga tentang kondisi kronis
dan dampaknya pada gaya hidup mereka.
b. Rujuk pada konseling genetik untuk identifikasi kerier hemofilia dan
beberapa kemungkinan yang lain.
c. Rujuk kepada agen atau organisasi bagi penderita hemofilia.

3.2 Asuhan Keperawatan Leukimia


A. Pengkajian
1. Data biografi pasieN
Leukemia banyak menyerang laki-laki dari pada wanita dan
menyerang pada usia lebih dari 20 tahun khususnya pada orang
dewasa.
2. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pada penyakit leukemia ini klien biasanya lemah, lelah, wajah terlihat
pucat, sakit kepala, anoreksia, muntah, sesak, nafas cepat.
b. Riwayat penyakit
Pada riwayat penyakit klien dengan leukemia, kaji adanya tanda-tanda
anemia yaitu pucat, kelemahan, sesak, nafas cepat. Kaji adanya tanda-
tanda leucopenia yaitu demam dan adanya infeksi. Kaji adanya tanda-
tanda trombositopenia yaitu ptechiae, purpura, perdarahan membran
mukosa. Kaji adanya tanda-tanda invasi ekstra medulola yaitu
limfadenopati, hepatomegali, splenomegali. Kaji adanya pembesaran
testis. Kaji adanya hematuria, hipertensi, gagal ginjal, inflamasi disekitar
rectal, nyeri ( Lawrence, 2003).
c. Riwayat Kesehatan Keluarga
Adanya gangguan hematologis, adanya faktor herediter misal kembar
monozigot.
d. Riwayat kebiasaan sehari-hari
Perbedaan pola aktivitas dirumah dan dirumah sakit.
e. Riwayat psikososial
1) Psikologi
Pada kasus ini biasanya klien dan keluarga takut dan cemas terhadap
penyakit yang diderita. Klien sangat membutukan dukungan dari
keluarga dan perawat.
2) Sosial Ekonomi
Klien mempunyai hubungan yang baik dengan keluarga maupun
dengan tetangga disekitar rumahnya dengan adanya keluarga dan
tetangga yang membesuk serta klien hidup dalam keadaan ekonomi
yang sederhana.
f. Data penunjang
Data laboratorium pada klien dengan leukemia :
1) Anemi normokrom normositer
2) Leukosit >15.000/mm3 (5000-10000/ mm3)
3) Sitogenik : kelainan pada kromosom 12, 13, 14, kadang-kadang pada
kromosom 6, 11
4) Hb : 7,3 mg / dl ( N : 12.0 16.0 g/dL).
5) Trombosit : 100.000 (150.000-400.000/mm3)
6) SDP : 60.000/cm (50.000)
7) PT/PTT : memanjang
8) Copper serum : meningkat
9) Zink serum : menurun
g. Penatalaksanaan
Terapi dan obat yang diberikan pada klien dengan leukemia :
- Transfusi bila perlu
- Klorambusil

B. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko infeksi berhubungan dengan menurunnya sistem pertahanan tubuh
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan akibat anemia
3. Resiko terhadap cedera : perdarahan yang berhubungan dengan penurunan
jumlah trombosit
4. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual dan
muntah
5. Perubahan membran mukosa mulut : stomatitis yang berhubungan dengan
efek samping agen kemoterapi
6. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan
anoreksia, malaise, mual dan muntah, efek samping kemoterapi dan atau
stomatitis
7. Nyeri yang berhubungan dengan efek fisiologis dari leukemia
8. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pemberian agens
kemoterapi, radioterapi, imobilitas.
9. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan alopesia atau perubahan cepat
pada penampilan.
10. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan mempunyai anak
yang menderita leukemia (Simon, 2003).

C. Intervensi Keperawatan
1. Dx. 1
Tujuan : pasien bebas dari infeksi
Kriteria hasil :
a. Normotermia
b. Hasil kultur negative
c. Peningkatan penyembuhan
Intervensi :
a. Pantau suhu dengan teliti (TTV)
Rasional : untuk mendeteksi kemungkinan infeksi
b. Tempatkan klien dalam ruangan khusus
Rasional : untuk meminimalkan terpaparnya klien dari sumber infeksi
c. Anjurkan semua pengunjung dan staf rumah sakit untuk menggunakan
teknik mencuci tangan dengan baik.
Rasional : untuk meminimalkan pajanan pada organisme infektif
d. Gunakan teknik aseptik yang cermat untuk semua prosedur invasif
Rasional : untuk mencegah kontaminasi silang/menurunkan resiko infeksi
e. Evaluasi keadaan klien terhadap tempat-tempat munculnya infeksi seperti
tempat penusukan jarum, ulserasi mukosa, dan masalah gigi
Rasional : untuk intervensi dini penanganan infeksi
f. Inspeksi membran mukosa mulut. Bersihkan mulut dengan baik
Rasional : rongga mulut adalah medium yang baik untuk pertumbuhan
organisme
g. Berikan periode istirahat tanpa gangguan
Rasional : menambah energi untuk penyembuhan dan regenerasi seluler
h. Berikan diet lengkap nutrisi sesuai usia
Rasional : untuk mendukung pertahanan alami tubuh
i. Berikan antibiotik sesuai ketentuan
Rasional : diberikan sebagai profilaktik atau mengobati infeksi khusus

2. Dx. 2
Tujuan : terjadi peningkatan toleransi aktifitas
Kriteria hasil : - klien tidak pusing
a. Klien tidak lemah
b. HB 12 gr/%
c. Leukosit normal
d. Tidak anemis
Intervensi :
a. Evaluasi laporan kelemahan, perhatikan ketidakmampuan untuk
berpartisipasi dala aktifitas sehari-hari Rasional : menentukan derajat dan
efek ketidakmampuan
b. Berikan lingkungan tenang dan perlu istirahat tanpa gangguan
Rasional : menghemat energi untuk aktifitas dan regenerasi seluler atau
penyambungan jaringan
c. Kaji kemampuan untuk berpartisipasi pada aktifitas yang diinginkan atau
dibutuhkan
Rasional : mengidentifikasi kebutuhan individual dan membantu
pemilihan intervensi
d. Berikan bantuan dalam aktifitas sehari-hari dan ambulasi
Rasional : memaksimalkan sediaan energi untuk tugas perawatan diri
e. Kolaborasikan pemasangan tranfusi darah
Rasional : transfusi darah dapat meningkatkan kadar hemoglobin di dalam
darah klien.

3. Dx. 3
Tujuan : klien tidak menunjukkan bukti-bukti perdarahan
Kriteria hasil : HB 12gr/% dan Tidak anemis
a. Gunakan semua tindakan untuk mencegah perdarahan khususnya pada
daerah ekimosi.
Rasional : karena perdarahan memperberat kondisi dengan adanya anemia
b. Cegah ulserasi oral dan rectal
Rasional : karena kulit yang luka cenderung untuk berdarah
c. Gunakan jarum yang kecil pada saat melakukan injeksi
Rasional : untuk mencegah perdarahan
d. Menggunakan sikat gigi yang lunak dan lembut
Rasional : untuk mencegah perdarahan
e. Laporkan setiap tanda-tanda perdarahan (tekanan darah menurun, denyut
nadi cepat, dan pucat)
Rasional : untuk memberikan intervensi dini dalam mengatasi perdarahan
f. Hindari obat-obat yang mengandung aspirin
Rasional : karena aspirin mempengaruhi fungsi trombosit
g. Ajarkan orang tua dan klien yang lebih besar ntuk mengontrol perdarahan
hidung
Rasional : untuk mencegah perdarahan
4. Dx. 4
Tujuan : Tidak terjadi kekurangan volume cairan, pasien tidak mengalami
mual dan muntah
Kriteria hasil :
- klien tidak lemah dan anemis
- Turgor kulit baik
- Mukosa bibir lembab, tidak sianosis
Intervensi :
a. Berikan antiemetik awal sebelum dimulainya kemoterapi
Rasional : untuk mencegah mual dan muntah
b. Berikan antiemetik secara teratur pada waktu dan program kemoterapi
Rasional : untuk mencegah episode berulang
c. Kaji respon klien terhadap anti emetic
Rasional : karena tidak ada obat antiemetik yang secara umum berhasil
d. Hindari memberikan makanan yang beraroma menyengat
Rasional : bau yang menyengat dapat menimbulkan mual dan muntah
e. Anjurkan makan dalam porsi kecil tapi sering
Rasional : karena jumlah kecil biasanya ditoleransi dengan baik
f. Berikan cairan intravena sesuai ketentuan
Rasional : untuk mempertahankan hidrasi

5. Dx. 5
Tujuan : pasien tidak mengalami mukositis oral
Kriteria hasil : - kesehatan oral klien baik
Intervensi :
a. Inspeksi mulut setiap hari untuk adanya ulkus oral
Rasional : untuk mendapatkan tindakan yang segera
b. Hindari mengukur suhu oral
Rasional : untuk mencegah trauma
c. Gunakan sikat gigi berbulu lembut, aplikator berujung kapas, atau jari
yang dibalut kasa
Rasional : untuk menghindari trauma
d. Berikan pencucian mulut yang sering dengan cairan salin normal atau
tanpa larutan bikarbonat
Rasional : untuk menuingkatkan penyembuhan
e. Gunakan pelembab bibir
Rasional : untuk menjaga agar bibir tetap lembab dan mencegah pecah-
pecah (fisura)
f. Hindari penggunaan larutan lidokain pada anak kecil
Rasional : karena bila digunakan pada faring, dapat menekan refleks
muntah yang mengakibatkan resiko aspirasi dan dapat menyebabkan
kejang
g. Berikan diet cair, lembut dan lunak Rasional : agar makanan yang masuk
dapat ditoleransi klien
h. Inspeksi mulut setiap hari
Rasional : untuk mendeteksi kemungkinan infeksi
i. Dorong masukan cairan dengan menggunakan sedotan
Rasional : untuk membantu melewati area nyeri
j. Hindari penggunaa swab gliserin, hidrogen peroksida dan susu magnesia
Rasional : dapat mengiritasi jaringan yang luka dan dapat membusukkan
gigi, memperlambat penyembuhan dengan memecah protein dan dapat
mengeringkan mukosa
k. Berikan obat-obat anti infeksi sesuai ketentuan
Rasional : untuk mencegah atau mengatasi mukositis
l. Berikan analgetik
Rasional : untuk mengendalikan nyeri
6. Dx. 6
Tujuan : pasien mendapat nutrisi yang adekuat
Kriteria hasil :
- klien tidak pucat
-Klien tidak anemis
- Mukosa bibir lembab
- Nafsu makan meningkat
- Bb meningkat
Intervensi :
a. Dorong klien untuk tetap rileks saat makan
Rasional : jelaskan bahwa hilangnya nafsu makan adalah akibat langsung
dari mual dan muntah serta kemoterapi
b. Izinkan klien memakan semua makanan yang dapat ditoleransi,
rencanakan unmtuk memperbaiki kualitas gizi pada saat selera makan
klien meningkat
Rasional : untuk mempertahankan nutrisi yang optimal
c. Berikan makanan yang disertai suplemen nutrisi gizi, seperti susu bubuk
atau suplemen yang dijual bebas
Rasional : untuk memaksimalkan kualitas intake nutrisi
d. Izinkan klien untuk terlibat dalam persiapan dan pemilihan makanan
Rasional : untuk mendorong agar klien mau makan
e. Dorong masukan nutrisi dengan jumlah sedikit tapi sering
Rasional : karena jumlah yang kecil biasanya ditoleransi dengan baik
f. Dorong klien untuk makan diet tinggi kalori kaya nutrient
Rasional : kebutuhan jaringan metabolik ditingkatkan begitu juga cairan
untuk menghilangkan produk sisa suplemen dapat memainkan peranan
penting
g. Timbang BB, ukur TB dan ketebalan lipatan kulit trisep
Rasional : membantu dalam mengidentifikasi malnutrisi protein kalori,
khususnya bila BB kurang dari normal

7. Dx. 7
Tujuan : klien tidak mengalami nyeri atau nyeri menurun sampai tingkat yang
dapat diterima klien
Kriteria hasil : - skala nyeri 3
Intervensi :
a. Mengkaji tingkat nyeri dengan skala 0 sampai 5
Rasional : informasi memberikan data dasar untuk mengevaluasi
kebutuhan atau keefektifan intervensi
b. Jika mungkin, gunakan prosedur-prosedur (misal pemantauan suhu non
invasif, alat akses vena
Rasional : untuk meminimalkan rasa tidak aman
c. Evaluasi efektifitas penghilang nyeri dengan derajat kesadaran dan sedasi
Rasional : untuk menentukan kebutuhan perubahan dosis. Waktu
pemberian atau obat
d. Lakukan teknik pengurangan nyeri non farmakologis yang tepat
Rasional : sebagai analgetik tambahan
e. Berikan obat-obat anti nyeri secara teratur
Rasional : untuk mencegah kambuhnya nyeri

8. Dx. 8
Tujuan : klien mampu mempertahankan integritas kulit
Kriteria hasil :
- klien bersih
- Klien merasa nyaman
Intervensi :
a. Berikan perawatan kulit yang cemat, terutama di dalam mulut dan daerah
perianal
Rasional : karena area ini cenderung mengalami ulserasi
b. Ubah posisi dengan sering
Rasional : untuk merangsang sirkulasi dan mencegah tekanan pada kulit
c. Mandikan dengan air hangat dan sabun ringan
Rasional : mempertahankan kebersihan tanpa mengiritasi kulit
d. Kaji kulit yang kering terhadap efek samping terapi kanker
Rasional : efek kemerahan atau kulit kering dan pruritus, ulserasi dapat
terjadi dalam area radiasi pada beberapa agen kemoterapi
e. Anjurkan pasien untuk tidak menggaruk dan menepuk kulit yang kering
Rasional : membantu mencegah friksi atau trauma kulit
f. Dorong masukan kalori protein yang adekuat
Rasional : untuk mencegah keseimbangan nitrogen yang negative
g. Anjurkan memilih pakaian yang longgar dan lembut diatas area yang
teradiasi
Rasional : untuk meminimalkan iritasi tambahan

9. Dx. 9
Tujuan : pasien atau keluarga menunjukkan perilaku koping positif
Kriteria hasil :
- Keluarga tidak cemas
- Klien memahami instruksi dari perawat
Intervensi :
a. Berikan penutup kepala yang adekuat selama pemajanan pada sinar
matahari, angin atau dingin
Rasional : karena hilangnya perlindungan rambut
b. Anjurkan untuk menjaga agar rambut yang tipis itu tetap bersih, pendek
dan halus
Rasional : untuk menyamarkan kebotakan parsial
c. Jelaskan bahwa rambut mulai tumbuh dalam 3 hingga 6 bulan dan
mungkin warna atau teksturnya agak berbeda
Rasional : untuk menyiapkan klien dan keluarga terhadap perubahan
penampilan rambut baru
d. Dorong hygiene dan alat alat yang sesuai dengan jenis kelamin , misalnya
wig, skarf, topi, tata rias, dan pakaian yang menarik
Rasional : untuk meningkatkan penampilan

10. Dx. 10
Tujuan : pasien atau keluarga menunjukkan pengetahuan tentang prosedur
diagnostik atau terapi
Kriteri hasil :
- Klien dan keluarga bisa memahami prosedur yang disampaikan perawa
- Klien dan keluarga tidak cemas
Intervensi :
a. Jelaskan alasan setiap prosedur yang akan dilakukan pada klien
Rasional : untuk meminimalkan kekhawatiran yang tidak perlu
b. Jadwalkan waktu agar keluarga dapat berkumpul tanpa gangguan dari staff
Rasional : untuk mendorong komunikasi dan ekspresi perasaan
c. Bantu keluarga merencanakan masa depan, khususnya dalam membantu
klien menjalani kehidupan yang normal
Rasional : untuk meningkatkan perkembangan klien yang optimal
d. Dorong keluarga untuk mengespresikan perasaannya mengenai kehidupan
klien sebelum diagnosa dan prospek klien untuk bertahan hidup
Rasional : memberikan kesempatan pada keluarga untuk menghadapi rasa
takut secara realistis
e. Diskusikan bersama keluarga bagaimana mereka memberitahu klien
tentang hasil tindakan dan kebutuhan terhadap pengobatan dan
kemungkinan terapi tambahan
Rasional : untuk mempertahankan komunikasi yang terbuka dan jujur
f. Hindari untuk menjelaskan hal-hal yang tidak sesuai dengan kenyataan
yang ada
Rasional : untuk mencegah bertambahnya rasa khawatiran keluarga
(Doenges, 1999).

Anda mungkin juga menyukai