LP Anak Bronkopneumoni
LP Anak Bronkopneumoni
BRONCHOPNEUMONI
A. Pengertian
Bronchopneumoni adalah salah satu jenis pneumonia yang mempunyai pola
penyebaran berbercak, teratur dalam satu atau lebih area terlokalisasi di dalam bronchi
dan meluas ke parenkim paru yang berdekatan di sekitarnya. (Smeltzer & Suzanne C,
2002 : 572)
Bronkopneumonia adalah peradangan pada paru dimana proses peradangannya ini
menyebar membentuk bercak-bercak infiltrat yang berlokasi di alveoli paru dan dapat
pula melibatkan bronkiolus terminal.
B. Etiologi
Secara umun individu yang terserang bronchopneumonia diakibatkan oleh adanya
penurunan mekanisme pertahanan tubuh terhadap virulensi organisme patogen. Orang
yang normal dan sehat mempunyai mekanisme pertahanan tubuh terhadap organ
pernafasan yang terdiri atas: reflek glotis dan batuk, adanya lapisan mukus, gerakan silia
yang menggerakkan kuman keluar dari organ, dan sekresi humoral setempat. Timbulnya
bronchopneumonia disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, protozoa, mikobakteri,
mikoplasma, dan riketsia. (Sandra M. Nettiria, 2001 : 682) antara lain:
1. Bakteri: Streptococcus, Staphylococcus, H. Influenzae, Klebsiella.
2. Virus: Legionella pneumonia
3. Jamur: Aspergillus spesies, Candida albicans
4. Aspirasi makanan, sekresi orofaringeal atau isi lambung ke dalam paru-paru. Terjadi
karena kongesti paru yang lama., Sebab lain dari pneumonia adalah akibat flora
normal yang terjadi pada pasien yang daya tahannya terganggu, atau terjadi aspirasi
flora normal yang terdapat dalam mulut dan karena adanya pneumocystis cranii,
Mycoplasma. (Smeltzer & Suzanne C, 2002 : 572 dan Sandra M. Nettina, 2001 : 682)
C. Patofisiologi
Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme,
keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Terdapatnya bakteri di
dalam paru merupakan ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, sehingga
mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya infeksi penyakit.
Masuknya mikroorganisme ke dalam saluran nafas dan paru dapat melalui berbagai cara,
antara lain :Inhalasi langsung dari udaraAspirasi dari bahan-bahan yang ada di
nasofaring dan orofaring Perluasan langsung dari tempat-tempat lain Penyebaran secara
hematogen Mekanisme daya tahan traktus respiratorius bagian bawah sangat efisien
untuk mencegah infeksi yang terdiri dari : Susunan anatomis rongga hidung Jaringan
limfoid di nasofaring Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius
dan sekret lain yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut. Refleks batuk. Refleks epiglotis
yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi. Drainase sistem limfatis dan
fungsi menyaring kelenjar limfe regional. Fagositosis aksi limfosit dan respon
imunohumoral terutama dari Ig A. Sekresi enzim enzim dari sel-sel yang melapisi
trakeo-bronkial yang bekerja sebagai antimikroba yang non spesifik. Bila pertahanan
tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas sampai ke alveoli yang
menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan sekitarnya. Setelah itu
mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses peradangan yang meliputi
empat stadium, yaitu : A. Stadium I (4 12 jam pertama/kongesti) Disebut hiperemia,
mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang
terinfeksi.
Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat
infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel
mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut
mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur
komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk
melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini
mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi
pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara
kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan
karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering
mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin. B. Stadium II (48 jam
berikutnya) Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah
merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari
reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan
leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan
seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga
anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48
jam. C. Stadium III (3 8 hari) Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel
darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada
stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi
fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi
mengalami kongesti. D. Stadium IV (7 11 hari) Disebut juga stadium resolusi yang
terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis
dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.
D. Manifestasi Klinik
Bronchopneumonia biasanya didahului oleh infeksi traktusrespiratoris bagian atas
selama beberapa hari suhu tubuh naik sangat mendadak sampai 39-40 derajat celcius dan
kadang disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispenia
pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung serta sianosis sekitar
hidung dan mulut, kadang juga disertai muntah dan diare. Batuk biasanya tidak
ditemukan pada permulaan penyakit tapi setelah beberapa hari mula-mula kering
kemudian menjadi produktif.
Pada stadium permulaan sukar dibuat diagnosis dengan pemeriksaan fisik tetapi
dengan adanya nafs dangkal dan cepat, pernafasan cuping hidung dan sianosis sekitar
hidung dan mulut dapat diduga adanya pneumonia. Hasil pemeriksaan fisik tergantung
luas daerah auskultasi yang terkena, pada perkusi sering tidak ditemukan kelainan dan
pada auskultasi mungkin hanya terdengar ronchi basah nyaring halus dan sedang.
(Ngastiyah, 2005).
E. Pemeriksaan Penunjang
Gambaran darah menunjukkan leukositosis, biasanya 15.000 40.000/ mm3 dengan
pergeseran ke kiri. Jumlah leukosit yang tidak meningkat berhubungan dengan
infeksi virus atau mycoplasma.
Nilai Hb biasanya tetap normal atau sedikit menurun
Sinar x : mengidentifikasi distribusi struktural; dapat juga menyatakan abses
luas/infiltrat, empiema(stapilococcus); infiltrasi menyebar atau terlokalisasi
(bakterial); atau penyebaran /perluasan infiltrat nodul (virus). Pneumonia
mikoplasma sinar x dada mungkin bersih.
Analisa gas darah( AGDA ) menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia.Pada stadium
lanjut dapat terjadi asidosis metabolik.
Pemeriksaan gram/kultur sputum dan darah : diambil dengan biopsi jarum, aspirasi
transtrakeal, bronkoskopifiberotik atau biopsi pembukaan paru untuk mengatasi
organisme penyebab. Kultur dahak dapat positif pada 20 50% penderita yang tidak
diobati.
JDL: leukositosis biasanya ada, meski sel darah putih rendah terjadi pada infeksi
virus, kondisi tekanan imun memungkinkan berkembangnya pneumonia bakterial.
Pemeriksaan serologi: titer virus atu legionella, aglutinin dingin.
LED : meningkat
Pemeriksaan fungsi paru : volume mungkin menurun (kongesti dan kolaps alveolar);
tekanan jalan nafas mungkin meningkat dan komplain menurun, hipoksemia.
Elektrolit : natrium dan klorida mungkin rendah
Bilirubin : mungkin meningkat
Aspirasi perkutan/biopsi jaringan paru terbuka :menyatakan intranuklear tipikal dan
keterlibatan sitoplasmik (CMV)
F. Penatalaksanaan
Sebaiknya pengobatan diberikan berdasarkan etiologi dan uji resistensi tetapi hal ini
tidak dapat selalu dilakukan dan memakan waktu yang cukup lama, maka dalam praktek
diberikan pengobatan polifarmasi maka yang biasanya diberikan:
a. Penisilin 50.000 U/kgBB/hari,ditambah dengan kloramfenikol 50-70 mg/kgBB/hari
atau diberikan antibiotik yang mempunyai spektrum luas seperti ampisilin.
Pengobatan ini diteruskan sampai bebas demam 4-5 hari.
b. Pemberian oksigen dan cairan intravena, biasanya diperlukan campuran glukose 5%
dan Nacl 0.9% dalam perbandingan 3:1 ditambah larutan KCL 10 mEq/500 ml/botol
infus.
c. Karena sebagian besar pasien jatuh kedalam asidosis metabolik akibat kurang makan
dapat diberikan koreksi sesuai denagn hasil analisa gas darah arteri.
d. Pasien bronkopnemonia ringan tidak usah dirawat dirumah sakit.
Seringkali pasien pneumonia yang dirawat di rumah sakit datang sudah dalam
keadaan payah, sangat dispnea, pernapasan cuping hidung, sianosis, dan gelisah.
Masalah yang perlu diperhatikan ialah:
a.Menjaga kelancaran pernafasan.
b. Kebutuhan istirahat.
c.Kebutuhan nutrisi dan cairan.
d. Mengontrol suhu tubuh.
e.Mencegah komplikasi/gangguan rasa aman dan nyaman.
f. Kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan produksi
sputum ditandai dengan adanya ronchi, dan ketidakefektifan batuk.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan proses infeksi pada jaringan paru
(perubahan membrane alveoli) ditandai dengan sianosis, PaO2 menurun, sesak nafas.
3. Hipertermi berhubungan dengan inflamasi terhadap infeksi saluran nafas ditandai
dengan peningkatan suhu tubuh, mengigil, akral teraba panas.
4. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan metabolisme
sekunder terhadap demam dan proses infeksi ditandai dengan nafsu makan menurun,
BB turun, mual dan muntah, turgor kulit tidak elastis.
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai O 2 dengan
kebutuhan oksigen ditandai dengan tidak mampu berpartisipasi dalam kegiatan
sehari-hari sesuai kemampuan tanpa bantuan.
6. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan suhu
tubuh,kehilangan cairan karena berkeringat banyak, muntah atau diare.
7. Resiko infeksi berhubungan dengan resiko terpajan bakteri pathogen
3. INTERVENSI
Diagnosa 1
Tujuan dan criteria hasil : setelah dilakukan asuhan keperawatan selama (x)
diharapkan jalan nafas pasien efektif dengan criteria hasil : jalan nafas paten, tidak ada
bunyi nafas tambahan, tidak sesak, RR normal (35-40x/menit), tidak ada penggunaan
otot bantu nafas, tidak ada pernafasan cuping hidung
INTERVENSI RASIONAL
Observasi TTV terutama respiratory rate Member informasi tentang pola
pernafasan pasien, tekanan darah, nadi,
Auskultasi area dada atau paru, catat hasil suhu pasien.
pemeriksaan Crekcels, ronkhi dan mengi dapat
terdengar saat inspirasi dan ekspirasi
pada tempat konsolidasi sputum
Latih pasien batuk efektif dan nafas dalam
Memudahkan bersihan jalan nafas dan
Lakukan suction sesuai indikasi ekspansi maksimum paru
Diagnosa 2
Tujuan dan KH : setelah dilakukan asuhan (..x..) diharapkan ventilasi pasien tidak
terganggu dengan KH : GDA dalam rentang normal ( PO2 = 80 100 mmHg, PCO2 =
35 45 mmHg, pH = 7,35 7,45, SaO2 = 95 99 %), tidak ada sianosis, pasien tidak
sesak dan rileks.
Intervensi Rasional
Kaji frekuensi, kedalaman, kemudahan- Memberi informasi tentang pernapasan
bernapas pasien. pasien.
Diagnosa 3
Tujuan dan KH : setelah dilakukan asuhan keperawatan selama (...x...) diharapkan suhu
pasien turun atau normal (36,5 37,5C) dengan KH: pasien tidak gelisah, pasien tidak
menggigil, akral teraba hangat, warna kulit tidak ada kemerahan.
Intervensi Rasional
Kaji suhu tubuh pasien
- Data untuk menentukan intervensi
Diagnosa 4
Tujuan dan KH : setelah dilakukan asuhan keperawatan selama (...x...) diharapkan
kebutuhan nutrisi pasien adekuat dengan KH: nafsu makan pasien meningkat, BB
pasien ideal, mual muntal berkurang, turgor kulit elastis, pasien tidak lemas
Intervensi Rasional
Kaji penyebab mual muntah pasien Untuk menentukan intervensi selanjutnya
Mulut yang bersih meningkatkan nafsu
Berikan perawatan mulut makan
Sputum dapat menyebabkan bau mulut
Bantu pasien membuang atau yang nantinya dapat menurunkan nafsu
mengeluarkan sputum sesering mungkin makan
Diagnosa 5:
Tujuan dan K.H : setelah diberikan asuhan keperawatan selama (x) diharapkan
toleransi pasien terhadap aktifitas meningkat dengan KH : pasien mampu berpartisipasi
dalam kegiatan sehari hari sesuai kemampuan tanpa bantuan, pasien mampu
mempraktekkan teknik, penghematan energy, TTV stabil (S = 36,5C 37,5C, N = 75
100x/menit, RR = 35 -40 x/ menit)
Intervensi Rasional
Evaluasi tingkat kelemahan dan toleransi - Sebagai informsdi dalam menentukan
pasien dalam melakukan kegiatan intervensi selanjutnya
Diagnosa 6
Tujuan dan KH : setelah dilakukan asuhan keperawatan selama (x) diharapkan volume
cairan tubuh pasien seimbang dengan KH : membrane mukosa pasien lembab, turgor kulit
baik, pengisian capiler cepat / < 3detik, input dan output seimbang, pasien tidak muntah.
Pasien tidak diare, TTV normal (S = 36,5C 37,5C, N = 75 100x/menit, RR = 35 -40 x/
menit)
Intervensi Rasioanl
- Observasi TTV @ 2- 4 jam, kaji turgor- Peningkatan suhu menunjukkan peningkatan
kulit. metabolic
Diagnosa 7
Tujuan dan KH : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2 x 24 jam diharapkan
infeksi tidak terjadi dengan KH: klien bebas dari tanda dan gejala infeksi, menunjukkan
kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi, jumlah leukosit dalam batas normal,
menunjukkan perilaku hidup sehat
Intervensi Rasioanl
Kaji suhu badan 8 jam Mendeteksi adanya tanda dari infeksi
Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik Mempermudah untuk penanganan jika
dan lokal infeksi terjadi
Inspeksi kulit dan membran mukosa Panas, kemerahan merupakan tanda dari
terhadap kemerahan, panas infeksi
Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan Dengan melibatkan keluarga tanda infeksi
gejala infeksi lebih cepat diketahui
Kolaborasi
Berikan terapi antibiotik Antibiotik efektif untuk mencegah
penyebaran bakteri
4. IMPLEMENTASI
Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi yang telah di buat sebelumnya.
5. EVALUASI
Dx 1 :
- Jalan nafas pasien efektif
- Tidak ada bunyi nafas tambahan
- Jalan nafas pasien paten
- Pasien tidak sesak
- RR normal (30-40x/menit)
- Tidak ada penggunaan otot bantu nafas
- Tidak ada pernafasan cuping hidung
Dx 2 :
- Ventilasi pasien tidak terganggu
- GDA normal
PO2 = 80-100mmHg
PCO2 = 35-45mmHg
pH = 7,35-7,45
SaO2 = 95%-99%
- Tidak ada sianosis
- Tidak ada sesak
- Pasien terlihat rileks
Dx 3 :
- Suhu pasien normal (36,5-37,50C)
- Pasien tidak gelisah
- Pasien tidak menggigil
- Akral teraba hangat
Dx 4 :
- Kebutuhan nutrisi pasien adekuat
- Nafsu makan pasien meningkat
- Pasien tidak mual muntah
- Turgor kulit elastic
- BB pasien ideal
- Pasien tidak lemas
Dx 5 :
- Toleransi pasien terhadap aktivitas meningkat
- Pasien mampu berpartisipasi dalam kegiatan sehari-hari sesuai tingkat
kemampuan tanpa bantuan
- Pasien mampu mempraktekkan penghematan energy
- TTV stabil : S = 36,5-37,50C
N = 100-120x/menit
RR = 30-40x/menit
Dx 6 :
- Volume cairan pasien adekuat/seimbang
- Membran mukosa pasien lembab
- Turgor kulit elastis
- TTV stabil : S = 36,5-37,50C
N = 100-120x/menit
RR = 30-40x/menit
- CRT < 3 detik
Dx 7 :
- klien bebas dari tanda dan gejala infeksi
- menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
- jumlah leukosit dalam batas normal
- menunjukkan perilaku hidup sehat
DAFTAR PUSTAKA
Dongoes. Marlym.2000.Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3 Jakarta : EGC.
BRONCHOPNEUMONI
OLEH
ALDESIANA CAHYANINGRUM
NIM. 1501460008
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2017