Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
MEKANISME KOROSI
Mekanisme korosi dalam elektrokimia dapat ditinjau dari potensial standar (reduksi),
di mana suatu logam yang memiliki potensial reduksi lebih rendah dibandingkan dengan
potensial reduksi sistem memiliki kecenderungan spontan untuk beroksidasi. Sebagai
contoh logam Zn yang dicelupkan dalam larutan asam akan teroksidasi, karena potensial
reduksi Zn lebih rendah dibandingkan potensial reduksi H2.
Zn Zn2+ + 2e- (1.1)
Setiap atom Zn akan kehilangan 2 elektron dan melepas ion positif (kation) Zn2+, di
mana kation terlepas dari logam dan terlarut sedangkan elektron akan tetap berada dalam
logam. Lingkungan asam kaya akan H+ terlarut yang memiliki kecenderungan sebagai
akseptor elektron, sehingga membatasi akumulasi elektron dalam logam dengan cara
bereaksi pada permukaan logam dengan membentuk gas H2.
2H+ + 2e- H2 (1.2)
Jika melihat dalam berbagai sudut pandang dari keseluruhan proses oksidasi dan
reduksi, peristiwa korosi dapat digolongkan menjadi beberapa reaksi umum seperti di
bawah ini :
1
n
Anoda : M M + + ne- (1.3)
Katoda :
a. evolusi hidrogen (asam) : 2H+ + 2e- H2
b. reduksi air (netral/basa) : H2O + 2e- H2 + 2OH- (1.4)
c. reduksi oksigen (asam) : O2 + 4H+ + 2e- 2H2O (1.5)
d. reduksi oksigen (netral/basa) : O2 + 2H2O + 4e- 4OH- (1.6)
e. reduksi ion logam : M3+ + e- M2+ (1.7)
+ -
f. deposisi logam : M +e M (1.8)
2
Tabel 1.1. Potensial standar emf (electromotive force) pada temperatur 25C.
Potensial Potensial
Standar Standar
Reaksi Reaksi
(Volt vs. (Volt vs.
SHE) SHE)
Au3+ + 3e- Au +1,498 Ni2+ + 2e- Ni -0,250
Cl2 + 2e- 2Cl- +1,358 Co2+ + 2e- Co -0,277
O2 + 4H+ +4e-
+1,229 Ti+ + e- Ti -0,336
2H2O
Pt3+ + 3e- Pt +1,200 In3+ + 3e- In -0,340
O2 + 2H2O + 4e-
+0,820 Cd2+ + 2e- Cd -0,403
4OH-
Ag+ + e- Ag +0,799 Fe2+ + 2e- Fe -0,440
Hg22+ +2e- 2Hg +0,799 Cr3+ + 3e- Cr -0,744
Fe3+ + e- Fe2+ +0,771 Zn2+ + 2e- Zn -0,763
2H2O + 2e- H2 +
Cu2= + 2e- Cu +0,337 -0,828
2OH-
Sn4+ + 2e- Sn2+ +0,150 Al3+ + 3e- Al -1,662
2H+ + 2e- H2 0,000 Mg2+ + 2e- Mg -2,363
Pb2+ + 2e- Pb -0,126 Na+ + e- Na -2,714
Sn2+ + 2e- Sn -0,136 K+ + e- K -2,925
Reaksi anodik dalam setiap proses korosi adalah oksidasi logam menjadi ionnya,
sedangkan reaksi katodik dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Evolusi hidrogen terjadi
dalam asam atau media asam dan sebagai akibat dari elektrolisis air, reduksi oksigen
sangat umum terjadi pada setiap larutan cair yang mengandung banyak oksigen terlarut
(aerated), sedangkan reduksi ion logam dan deposisi logam hanya terjadi dalam proses
kimia.
3
I.2. Polarisasi
Logam dalam larutan akan mencapai potensial kesetimbangan yang tergantung
pada pertukaran elektron oleh reaksi anodik dan katodik. Suatu logam tidak berada dalam
kesetimbangan dengan larutan yang mengandung ion-ionnya, sehingga potensial elektroda
akan berbeda dari potensial korosinya, dan selisih keduanya disebut overpotensial () atau
polarisasi.
Polarisasi dapat diklasifikasikan menjadi dua tipe, aktivasi dan konsentrasi.
Polarisasi aktivasi terjadi saat aliran elektron dipengaruhi oleh suatu tahapan dalam reaksi
tersebut. Evolusi hidrogen pada permukaan logam misalnya, terdiri dari 3 tahapan utama.
Pertama, H+ bereaksi dengan sebuah elektron dari dalam logam,
H+ + e- Hads (1.9)
untuk membentuk sebuah atom hidrogen teradsorbsi (Hads) pada permukaan. Kedua, dua
buah atom ini harus bereaksi membentuk molekul hidrogen,
Kemudian tahap ketiga membutuhkan sejumlah molekul untuk menyatu lalu bernukleasi
membentuk gelembung H2 pada permukaan. Hubungan antara polarisasi/overpotensial
dengan laju reaksi yang diwakilkan oleh rapat arus, ia atau ic, adalah :
ia
a = a log (1.11)
io
untuk polarisasi anodik, dan polarisasi katodiknya adalah :
ic
c = c log (1.12)
io
dengan i0 adalah exchange current density, a dan c sebagai tetapan anoda dan katoda
Tafel.
Persamaan (1.11) dan (1.12) dapat diplot ke dalam kurva polarisasi terhadap rapat
arus secara teoritis, namun tidak akan sama dengan kurva hasil pengujian. Oleh karena itu
kurva hasil pengujian harus diekstrapolasikan pada bagian linier sehingga dapat mendekati
kurva Tafel teoritis.
4
Gambar 1.2. Kurva Tafel praktis yang diidealkan
Dari gambar di atas, kecepatan korosi material dapat dikalkulasi dalam bentuk mpy
(mils per year; 1 mil = 0,001 inchi), dengan rumusan :
i cor M
mpy = 0 ,129 (1.13)
D
Dz nFCB
iL = (1.14)
5
dengan adalah ketebalan gradien konsentrasi dalam larutan.
Jika diasumsikan sebuah elektroda tidak mengalami polarisasi aktivasi, maka
persamaan untuk polarisasi konsentrasi adalah :
RT i
k = 2,3 log 1 (1.15)
nF iL
I.3.Pasivasi
Pasivasi dihasilkan saat logam atau paduan tertentu membentuk lapisan pelindung
yang tipis pada permukaannya dalam larutan korosif. Pasivasi dapat didefinisikan sebagai
sebuah bentuk ketahanan korosi akibat pembentukan lapisan pelindung di bawah kondisi
teroksidasi dengan polarisasi anodik yang tinggi.
Epit
Kurva pada Gambar 1.3 mengilustrasikan perilaku dari sebuah logam aktif-pasif.
Awalnya logam tersebut menunjukkan perilaku umum dari logam nonpasivasi, di mana
saat potensial makin positif laju disolusi logam meningkat secara ekponensial, menyerupai
perilaku Tafel. Lalu pada potensial yang lebih tinggi (Epp), laju disolusi menurun sampai
6
nilai yang sangat kecil dan bertahan tidak terpengaruh oleh kenaikkan potensial, saat inilah
logam dikatakan mengalami pasivasi. Akhirnya pada potensial yang lebih tinggi (Epit), laju
disolusi meningkat kembali seiring peningkatan potensial.
Reaksi yang terjadi pada logam aktif-pasif berubah dengan pertambahan potensial.
Pada lingkungan netral dengan kandungan oksigen terlarut yang cukup, di bawah potensial
korosi (Eo) evolusi hidrogen merupakan reaksi dominan yang terjadi. Lalu setelah
memasuki daerah aktif, terjadi disosiasi logam seperti pada Reaksi (2.3) hingga potensial
pasivasi primer (Epp). Dalam daerah pasivasi terjadi reaksi antara ion logam terdisosiasi
dengan ion hidroksida hasil reduksi air :
yang membentuk lapisan pasif hingga mencapai potensial pitting (Epit), setelah itu logam
akan terdisosiasi kembali dengan cepat. Kadangkala terjadi evolusi oksigen pada daerah
ini.
7
Diagram Pourbaix menunjukkan kestabilan lapisan oksida logam pada potensial
yang lebih mulia dalam larutan pengoksidasi, misalnya logam Fe membentuk presipitat
hidroksida Fe(OH)3 atau Fe(OH)2, yang dihasilkan dari reaksi berikut :
Lapisan pasif ini dipengaruhi oleh keasaman, temperatur, dan kandungan ion Cl-
terlarut, serta untuk kurva polarisasi anodik secara keseluruhan dipengaruhi pula oleh laju
polarisasi (untuk daerah pasivasi) dan komposisi logam paduan.
8
BAB II
JENIS KOROSI
Setiap jenis korosi yang terjadi akan memiliki bentuk yang berbeda pula. Berbagai
bentuk korosi akibat terjadinya proses mekanisme korosi dapat dilihat pada gambar 2.1.
Untuk mengetahui lebih lanjut megenai jenis-jenis korosi, akan diterangkan pada subbab-
subbab berikut.
9
II.1. Korosi Sumuran (pitting)
Korosi bisa ditemukan dalam berbagai bentuk, namun yang umum terjadi
pada lingkungan air laut dibagi menjadi korosi merata dan lokal (korosi galvanik dan
sumuran/pitting). Korosi merata merupakan jenis yang paling banyak mengkonsumsi
logam, namun jenis korosi lokal lebih berbahaya serta sukar untuk diprediksi dan
dikendalikan. Walaupun korosi lokal tidak mengkonsumsi banyak material, penetrasi
dan kegagalan yang terjadi lebih cepat dibandingkan dengan yang merata.
Kecepatan korosi dapat dilihat sebagai penipisan ketebalan per satuan waktu
dengan rumus berikut :
534W
mpy = (2.1)
DAT
Korosi jenis ini hasil dari rusaknya lapisan pasif pada permukaan logam,
umumnya berada dalam media yang mengandung klor (Cl). Korosi sumuran sukar
untuk diprediksi, khususnya dalam bentuk yang curam dengan penampang inisiasi
yang kecil/sempit.
10
lebih cepat akibat konsentrasi ion Cl- terlarut pada daerah tersebut dalam bentuk
endapan garam Cl yang terakumulasi, karena adanya gaya elektrostatik antara anion
Cl- dengan permukaan logam yang bermuatan positif. Reaksi hidrolisis dan hasil
oksidasi logam yang terjadi di bawah endapan garam tersebut membentuk
lingkungan klorin yang asam :
Fe2+ + 2H2O + 2Cl- Fe(OH)2 + 2HCl (2.2)
sehingga dalam kondisi pH yang rendah akan mempercepat reaksi oksidasi logam di
bawahnya dan menyebabkan terbentuknya lapisan yang sukar terurai, Fe(OH)3, pada
permukaan endapan, dari lapisan Fe(OH)2 yang tidak stabil dengan reaksi sebagai
berikut :
Fe(OH)2 HFeO2- + H+ (2.3)
11
II.2. Korosi Merata
Korosi jenis ini tergantung pada faktor kecepatan reaksi oksidasi pada
permukaan logam, di mana kecepatan oksidasi yang terjadi relatif sama pada seluruh
permukaan yang terserang sehingga terjadi kehilangan logam secara progresif .
Produk korosi yang terjadi akan mempengaruhi laju korosi selanjutnya. Lapisan
produk korosi yang protektif akan melindungi logam dasar sehingga laju korosi akan
menurun.
Korosi jenis ini dapat diamati pada logam Al dalam larutan basa, Zn dalam
asam sulfat, atau baja tulangan dalam beton.
12
Rangkaian sederhana pada Gambar 2.5 menunjukkan proses korosi galvanik,
antara logam Fe dengan logam Al dalam larutan teraerasi NaCl 3,5% (air laut
sintetis). Logam Al mengalami reaksi oksidasi (korosi) karena potensial standarnya
lebih negatif daripada Fe, sehingga pada elektroda terjadi reaksi :
Pada logam permukaan logam Fe terjadi reaksi reduksi oksigen sebagai akibat
dari penambahan elektron dari Al, sedangkan pada permukaan logam Al terjadi
oksidasi Al menjadi Al3+. Hasil oksidasi Al membentuk lapisan Al2O3 yang bersifat
pasif, namun lapisan tersebut tidak bertahan lama akibat adanya ion-ion Cl- pada
media, sebagai perusak agresif lapisan pasif logam. Reaksi tersebut akan terus
berlangsung hingga logam Al habis.
13
Vcr = C / (rm )1/2
14
II.5. Korosi Permukaan
Korosi di lingkungan atmosferik berkaitan dengan media korosif yang berupa
oksigen atau gas-gas polutan (O2, SO2, CO2, H2S) yang terlarut dalam air-
terkondensasi pada permukaan logam. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam korosi
atmosferik antara lain kelembaban (humidity), kadar polutan, temperatur atau panas
matahari, serta aliran udara.
Gambar 2.8. Korosi logam baja di lingkungan oksigen dan air terkondensasi
yang mengandung gas SO2
Gambar 2.9. Korosi permukaan (atmosferik) logam baja di lingkungan oksigen dan
air terkondensasi
15
intergranular. Korosi intergranular dapat terjadi pada karena adanya impurities,
kelebihan unsur paduan atau malah pengurangan salah satu dari unsur paduan. Pada
stainless steel, kekurangan chrome pada daerah batas butir menyebabkan terjadinya
korosi intergranular.
Pada temperatur sekitar 950 sampai 1450oF, stainless steel akan mengalami
sensitisasi. Bila kadar karbon lebih besar daripada 0,02%, karbon akan terkumpul
pada batas butir dan akan menarik chrome keluar dari baja untuk membentuk krom
karbida. Hal ini menyebabkan rendahnya kadar chrome pada daerah disekitar batas
butir sehingga daerah tersebut akan lebih rentan terhadap serangan korosi. Korosi
intergranular dapat dijelaskan secara skematis pada gambar 2.10.
16
Korosi memainkan peranan penting dalam inisisi dari retakan. Sumuran atau
diskontinuitas pada permukaan akan berfungsi sebagai peningkat tegangan.
Konsentrasi tegangan pada ujung notch akan meningkat drastis seiring dengan
penurunan radius notch. Setelah crack terjadi, konsentrasi tegangan akan
menyebabkan perambatan retakan tersebut.
Tegangan berperan dalam merusak lapisan pasif yang melindungi permukaan
logam. Pecahnya lapisan pasif tersebut akan menyebabkan serangan korosi timbul di
berbagai tempat pada permukaan logam. Hal tersebut merupakan awal dari timbulnya
retakan. Rusaknya lapisan pasif yang diikuti oleh retakan tidak memungkinkan
pemulihan dari lapisan pasif tersebut, sehingga propagasi akan terus berlanjut.
Korosi retak tegang memberikan penampilan seperti perpatahan getas,
sebagai hasil dari proses korosi lokal. Pada korosi retak tegang, terdapat baik
perpatahan intergranular maupun perpatahan transgranular. Perpatahan intergranular
merambat melalui batas butir, sedangkan perpatahan transgranular merambat dengan
membelah butir. Perpatahan intergranular dapat diamati pada gambar 2.11 dan
perpatahan transgranular dapat diamati pada gambar 2.12.
17
Gambar 2.12. Perpatahan transgranular
Peningkatan tegangan menyebabkan menurunnya jumlah waktu yang
diperlukan sampai retakan terjadi. Ada suatu nilai tegangan minimum tertentu
dimana retakan tidak terjadi. Nilai tegangan minimum tersebut tergantung kepada
temperatur, komposisi logam dan komposisi lingkungan. Pada beberapa kasus,
tegangan minimum tersebut bernilai kira-kira 10% dari tegangan luluhnya,
sedangkan pada kasus lain retakan tidak akan terjadi bila tegangan tidak melampaui
70% dari titik luluhnya.
Sumber tegangan dapat terdiri dari berbagai macam sumber seperti tegangan
pakai, residual, termal, atau karena pengelasan. Pada sejumlah kasus, retakan terjadi
meskipun tidak ada tegangan eksternal pada material yang dipakai. As-welded steel
memiliki tegangan sisa yang mendekati titik luluhnya. Sumber lain dari tegangan
disebabkan karena produk dari korosi. Produk korosi tersebut dapat menyebabkan
tegangan sebesar 10.000 lb/in2 pada daerah ujung dari retakan.
Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi korosi retak tegang adalah
faktor lingkungan. Korosi retak tegang secara umum timbul pada media aqueous.
Akan tetapi fenomena ini dapat muncul pada logam cair, lelehan garam, dan larutan
inorganik aqueous tertentu. Hadirnya bahan pengoksidasi juga cenderung untuk
mempercepat terjadinya retakan.
Selain oleh lingkungan, korosi retak tegang juga dipengaruhi oleh faktor
metalurgi dari logam yang bersangkutan. Faktor-faktor tesebut antara lain adalah
komposisi, orientasi butir, komposisi dan distribusi dari presipitat, interaksi dilokasi
18
setrta fasa dari logam tersebut. Selain itu proses manufaktur seperti pengerjan dingin
juga mempengaruhi timbulnya korosi retak tegang.
Stress Corrosion Cracking merupakan proses inisiasi retak dan
perambatannya (propagation) yang terjadi pada material logam dan paduannya akibat
dari suatu proses yang melibatkan kombinasi antara tegangan atau tekanan dan
lingkungan yang korosif secara bersamaan. Tegangan tersebut bisa berupa aplikasi
tekanan yang diberikan ataupun tegangan sisa yang ada akibat proses fabrikasi,
ataupun tegangan yang terdapat dalam sistem sambungan (bolt, nut, dan weldment).
Contoh umum dari SCC adalah amine corrosion cracking (kaustik cracking) yang
biasa terjadi pada Carbon Steel dan Stainless Steel dan juga chloride corrosion
cracking yang umumnya hanya terjadi pada Stainless Steel. SCC adalah jenis korosi
internal, proses ini menghasilkan penurunan kekuatan mekanis dengan metal loss
yang rendah. Kerusakan yang terjadi tidak bisa dilihat dengan inspeksi biasa. SCC
mengakibatkan proses perpatahan yang singkat dan jenis patahan yang brittle pada
struktur maupun komponen.
Caustic Stress Corrosion Cracking merupakan salah satu jenis dari korosi
antar butir yang umumnya terjadi pada Carbon Steel, dan juga pada Stainless Steel
dibawah tekanan dalam lingkungan kaustik dan temperatur yang tinggi. Korosi jenis
ini tidak terjadi pada temperatur ruang, tetapi biasa ditemui pada temperatur diatas
o
temperatur ruang, biasanya diatas 60 C. Umumnya Caustic stress cracking
merupakan patahan transgranular (brittle) tetapi bisa juga berupa intergranular
apabila material mengalami sensitasi terlebih dahulu. Tegangan yang diperlukan
untuk pembentukan cracking mutlak selalu menyertai pada saat proses terjadi.
Tegangan sisa akibat proses fabrikasi baik itu metal forming, bending, maupun
penyambungan cukup besar untuk terjadinya pembentukan crack.
19
Gambar 2.13. Jenis patahan intergranular dan transgranular.
Gambar 2.14. Jenis patahan Caustic Stress Corrosion Cracking pada SS 304. Terlihat
retakan yang bercabang.
20
Gambar 2.15. Caustic Corrosion dan Caustic Stress Corrosion Cracking, digambarkan
dalam grafik isocorrosion
Gambar 2.16. Ketahanan Korosi dari Carbon Steel,Stainless Steel dan Nikel Alloy
dalam larutan Kaustik, berdasarkan temperatur dan konsentrasi.
21
II.8. Korosi Celah ( Crevice )
Laju korosi dari suatu logam biasanya lebih besar pada celah yang disebabkan
oleh kontak dengan material lain. Hal ini disebabkan karena adanya beda aerasi
antara celah dengan sekelilingnya. Mekanisme awal dari korosi celah ini dapat dilihat
pada gambar 2.17. Misalkan logam terebut tercelup pada air laut yang teraerasi
dengan pH 7. Reaksi yang terjadi pada awalnya adalah:
M M+ + e- oksidasi
O2 + 2H2O + 4e- 4OH- reduksi
Pada awalnya reaksi korosi akan berjalan secara seragam pada seluruh
permukaan logam. Akan tetapi setelah beberapa lama, daerah celah akan kekurangan
oksigen karena daerah tersebut tidak teraerasi dengan baik dan oksigen terus menerus
bereaksi.
22
proses migrasi dan hidrolisis, laju korosi meningkat tajam akibat adanya ion klorida
dan hidrogen. Saat korosi celah terjadi, reduksi oksigen juga terjadi terus menerus di
luar celah tersebut. Hal ini mengakibatkan daerah di luar celah tersebut terproteksi
dari korosi.
23
II.10. Korosi Sulfide Stress Cracking (SSC)
Sulfide stress cracking terjadi ketika H2S yang berada dalam reservoir
kontak langsung dengan high strength steel yang biasa digunakan dalam pengeboran,
perlengkapan dan sumur produksi. SSC merupakan fenomena embrittlement dimana
kegagalan (failure) dapat terjadi pada saat tekanan sumur (well) berada dibawah yield
strength dari material. Selain itu SCC juga dipengaruhi oleh konsentrasi sulfida,
temperatur dan pH. Contoh SSC dapat dilihat pada Gambar 2.19.
Korosi Fatigue merupakan korosi yang terjadi akibat kombinasi dari tegangan
berulang dan lingkungan yang korosif. Proses fatigue diperkirakan menyebabkan
kerusakan pada lapisan pasif pelindung, sehingga menyebabkan korosi terjadi
semakin cepat. Apabila material logam yang mengalami proses fatigue tersebut
dalam waktu yang bersamaan diekspos dalam lingkungan yang korosif, kegagalan
akan terjadi bahkan pada beban tekanan yang lebih rendah dan dalam waktu yang
lebih singkat.
24
Dalam lingkungan yang korosif, besarnya tegangan yang bisa diterima
material harganya bisa lebih rendah bahkan tidak ada sekalipun. Berbeda dengan
mekanikal fatigue, dalam korosi fatigue tidak ada batas beban tertentu.
25
Lingkungan yang korosif bisa menyebabkan pertumbuhan retak yang semakin cepat
dan atau perambatan retak pada tingkatan tegangan yang lebih rendah dibandingkan
di lingkungan udara.
26
BAB III
KOROSI INTERNAL PADA PRODUKSI MINYAK DAN GAS
BUMI
Pada lingkungan produksi minyak dan gas bumi terdapat beberapa faktor yang
bersifat korosif, antara lain oksigen, gas karbondioksida (CO2), hidrogen sulfida (H2S),
asam-asam organik, dan unsur sulfur. Selain itu juga kondisi lingkungan yang
berpengaruh, antara lain temperatur dan tekanan.
III.1. Oksigen
Umumnya oksigen tidak terdapat pada kedalaman lebih dari 100 meter,
sehingga pada daerah tersebut tidak ada pengaruh oksigen pada proses korosi. Akan
tetapi, oksigen dapat mempengaruhi korosi internal bilamana terjadi kontaminasi
dengan udara luar (atmosfer). Oksigen merupakan oksidator kuat sehingga akan
meningkatkan potensial korosi logam di lingkungan air (fluida) yang mengandung
oksigen terlarut. Kelarutan oksigen di dalam air merupakan faktor yang menentukan
laju korosi. Pada temperatur ruang, oksigen yang terlarut dalam air berkisar antara 7
8 ppm. Pada kondisi ini, sebagai contoh laju korosi baja mencapai 10 mpy (larutan
stagnan) dan dapat mencapai 600 mpy (kondisi turbulen). Akan tetapi dengan cara
pengurangan kadar oksigen di dalam larutan (scavenging) sampai dengan 7 8 ppb,
maka laju korosi dapat diturunkan sampai dengan 0,4 mpy. Reaksi yang terjadi
adalah :
reaksi anoda :
Fe Fe++ + 2e
O2 + 2H2O + 4e 4OH-
27
Laju korosi dapat meningkat dengan kenaikan kelarutan oksigen seperti
terlihat pada Gambar 3.1.
28
III.2. Karbondioksida (CO2)
Gas karbondioksida merupakan asam lemah dan bersifat korosif bilamana
terlarut dalam air. Sebelum bersifat asam, CO2 pertama kali harus terhidrasi menjadi
H2CO3. Pada baja proses korosi dikontrol oleh laju pembentukan produk korosi CO2
berupa scale FeCO3 yang bersifat protektif. Pada kondisi turbulen pembentukan scale
FeCO3 ini akan terhambat, sehingga cenderung meningkatkan laju korosi. Oleh
karena itu kecepatan fluida sangat berpengaruh terhadap laju korosi yang diakibatkan
oleh gas CO2. Kecepatan kritis yang menunjukan batas turbulensi ditunjukkan oleh
persamaan berikut :
29
III.3. Hidrogen Sulfida (H2S)
Hidrogen sulfida bila terlarut dalam air bersifat asam lemah. Pada kondisi
tekanan 1 atm H2S pH larutan dapat mencapai 4, selain itu H2S dapat bertindak
sebagai katalis penyerapan atom hidrogen ke dalam high-strength steel yang dapat
menimbulkan sulfide stress cracking. Produk korosi H2S pada baja berupa besi
sulfida, di mana pembentukannya tidak dipengaruhi oleh kecepatan alir fluida. Laju
korosi akibat H2S ini sangat dipengaruhi oleh temperatur dan tekanan parsial H2S.
Pada produksi minyak dan gas bumi (effluent) dihasilkan campuran bahan
seperti, hydrokarbon dari C1 sampai C25, gas bersifat asam seperti CO2, H2S dan
asam organik, Nitrogen dan uap air. Temperatur yang dihasilkan dibawah 200 0C.
Korosi internal yang terjadi pada produksi minyak dan gas bumi dapat
diakibatkan oleh gas yang dihasilkan (seperti CO2, H2S dan asam organik), effluent
yang diinjeksikan (seperti : oksigen, bakteri, chlorine) atau fluida yang digunakan.
Pada industri minyak dan gas, kasus internal korosi 50% diakibatkan oleh gas CO2.
Gas CO2 terlarut dalam air akan membentuk asam karbonat. Mekanisme
korosi yang diakibatkan oleh CO2 dan H2S dapat dilihat pada rekasi di bawah ini :
Fe + 2H+ Fe++ + H2
Fe + H2CO3 FeCO3 + H2
Untuk H2S :
H2 S H+ + HS-
Fe + 2H+ Fe++ + H2
Fe + H2S FeS + H2
30
BAB IV
KOROSI CO2
Dalam produksi gas dan minyak, CO2 selain H2S merupakan salah satu factor
utama penyebab korosi. Gas ini tidak bersifat korosif jika berada dalam keadaan kering dan
tidak terlarut dalam air. Jika terlarut dalam air gas ini akan membentuk suatu asam lemah
H2CO3 yang bersifat korosif.
Laju korosi pada korosi CO2 ditentukan oleh sifat lapisan produk korosi yang terbentuk
pada permukaan logam. Jika lapisan terbentuk pada keadaan yang sesuai maka akan
terbentuk lapisan protektif yang dapat menurunkan laju korosi.
31
Tabel 4.1. Perbandingan Daya Larut CO2 dan O2
Asam karbonat merupakan asam lemah, dimana pada temperatur kamar kurang dari
0,1 % saja yang terdisosiasi.
Jika korosi CO2 dapat dikategorikan sebagai korosi yang dakibatkan oleh asam
lemah, dimana baja terkorosi akibat reduksi dari H+ dan oksidasi dari Fe, seharusnya dari
reaksi di atas tingkat korosif dari CO2 seharusnya sangat lemah, hal ini dikarenakan tingkat
disosiasi yang rendah.
Nyatanya, tingkat korosif dari asam karbonat adalah lebih tinggi dari nilai dari
reaksi diatas. Fenomena yang diketahui pada tahun 1924, adalah pada pH tertentu , korosi
yang terjadi pada baja lebih banyak disebabkan oleh larutan cair yang mengandung CO2
dibandingkan dengan HCl. Dari hasil eksperimen diketahui bahwa ion hidrogen
merupakan unsur korosif utama dalam korosi CO2.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Schwenk, deWaard dan Milliams serta White
dan Ogundele, diperoleh hasil yang berbeda mengenai sumber ion H+ unutk terjadinya
reaksi katodik pembentukan gas hydrogen. Schwenk mengemukakan bahwa H2CO3
32
menyediakan sumber H+ yang berujung pada rekasi evolusi hydrogen normal pada katodik.
Sedangakan deWaard dan Milliams megemukakan bahwa H2CO3 langsung tereduksi pada
permukaan logam.
Lalu Ogundele dan White mengajukan bahwa ion HCO3 langsung tereduksi
menjadi ion CO32-. Mekanisme korosi oleh CO2 dimulai dari pembentukan lapisan pada
permukaan logam, serta diikuti oleh kegagalan pada lapisan tersebut sebagai pemisah
antara permukaan logam dengan lingkungan yang mengandung CO2 terlarut.
33
larutan yang lebih korosif dibandingkan dengan pengasaman sampai pH
yang sama oleh asam mineral. Hal ini disebabkan oleh sifat H2CO3 yang
merupakan asam lemah dan tidak terdisosiasi sepenuhnya dalam larutan,
dan menyediakan reservoir untuk ion H+. Namun dengan hadirnya ion
pembentuk scale seperti Fe2+ dan Ca2+ pada larutan maka pembentukan
lapisan yang dapat menghambat korosi akan terjadi pada permukaan
struktur.
Efek H2S
H2S dapat meningkatkan laju korosi CO2 dengan berperan sebagai
pembentuk lapisan yang non-protektif pada permukaan logam. Dari bebrapa
penelitian diperoleh bahwa pada kadar H2S di bawah 30 ppm dalam
lingkungan CO2 jenuh, laju korosi akan meningkat, dikarenakan FeS yang
terbentuk mengganggu pembentukan lapisan FeCO3, membentuk cacat pada
lapisan, menyebabkan korosi yang terlokalisir. Begitupun pada kadar H2S
yang ditingkatkan dan pada temperatur di atas 60C, terbentuk lapisan
protektif dan menurunkan laju korosi.
Efek Asam Asetat
Adanya asam organic pada sistem akan menurunkan nilai supersaturation
dari Fe2+. Hal ini akan berakibat pada berkurangnya laju pengendapan pada
permukaan sehingga lapisan yang erbentuk kurang protektif. Asam organic
juga meningkatkan kemampuan oksidasi H+.
Penggantian konsentrasi dari bikarbonat menjadi asetat akan menaikkan
kelarutan Fe. Hal ini akan menurunkan tingkat protektif lapisan tersebut.
2. Fisik
Kandungan Air (Water Cut)
Adanya kandungan air diatas 30% menurut Rule of Thumb,
mengindikasikan kemungkinan terjadinya korosi. Air dalam system gas
berasal dari fluida dari reservoir dalam bentuk bebas maupun dalam bentuk
uap air. Uap air dengan penurunan temperature akan membentuk condensed
water (air terkondensasi). Air terkondensasi merupakan ancaman yang lebih
besar dibandingkan dengan air biasa, dikarenakan tidak mempunyai
kemampuan buffer, dan kandungan pembentuk scale, seperti ion karbonat.
34
Efek Wax
Adanya wax, dapat menyebabkan terbentuknya daerah katoda anoda pada
antara daerah yang tertutupi dan tidak tertutupi wax.
Efek Crude Oil
Tingkat maturity yang berbeda dari hidrokarbon mempengaruhi laju korosi.
Hidrokarbon juga mempunyai efek buruk dalam merusak kestabilan lapisan
protektif yang terbentuk, dan mempercepat terjadinya korosi terlokalisir.
3. Metalurgi
Dari segi metalurgis faktor yang mempengaruhi terjadinya korosi akibat CO2
dipengaruhi oleh
-. Komposisi dan elemen paduan
-. Struktur Mikro
-. Proses dan Manufaktur
1) Komposisi dan Elemen Paduan
Material murni akan lebih susah terserang korosi dibandingkan dengan
material material paduan. Ini dikarenakan tingkat homogenitas yang tinggi
dari material tersebut. Namun dalam pemakaiannya material murni sangat
mahal, sehingga digantikan dengan logam logam paduan.
Pada baja semakin tinggi kadar C, maka laju korosi pada baja tersebut akan
meningkat, dikarenakan semakin banyak fasa karbida yang terbentuk. Fasa
karbida bersifat lebih katodik dibandingkan dengan ferrite. Komposisi logam
logam paduan mempengaruhi ketahanan korosi material tersebut. Pada baja
tahan karat sifat ketahanan korosi diperoleh dari adanya lapisan tipis, padat
dan stabil dari oksida chrome dan nikel di permukaan dengan persentase
minmal chrome sebesar 12 %.
2) Struktur Mikro
Komponen komponen mikrostruktur logam seperti batas butir, cacat dan
dislokasi serta fasa mempengaruhi dalam ketahanan struktur tersebut terhadap
korosi, walapun perbedaan potensial yang ditimbulkannya sangat kecil, dalam
satuan milivolt.
35
Batas butir memiliki perbedaan tingkat energi dengan butir di sekelilingnya.
Hal ini menyebabkan daerah batas butir dan butir akan bersifat anodic dan
katodik, sehingga proses korosi akan lebih mudah terjadi.
Cacat cacat kristal merupakan daerah dengan tingkat energi yang lebih
tinggi daripada kristal lainnya yang tidak cacat, sehingga bersifat lebih aktif
dan potensial untuk terserang korosi pada kondisi korosif. Demikian juga pada
daerah dengan jumlah dislokasi yang lebih banyak, akan menjadi lebih aktif.
Perbedaan fasa juga mempengaruhi sifat korosi, dimana juga akan terdapat
beda potensial antar fasa.
3) Proses dan Manufaktur
Ketahanan korosi suatu struktur juga dipengaruhi oleh proses yang dilakukan
selama manufaktur. Mulai dari proses melting logam dari bijih harus
diperhatikan agar tidak mengandung impurities yang dapat menghasilkan
cacat cacat yang berakibat pada timbulnya daerah anodic katodik. Selain
itu proses heat treatment yang dilakukan juga harus disesuaikan untuk
memperoleh mikrostruktur yang tahan terhadap korosi. Antara lain dengan
melakukan normalisasi dibandingkan dengan proses Quenching dan
Tempering. Mikrostruktur hasil normalisasi akan memiliki ketahanan korosi
yang lebih baik, karena struktur yang diperoleh lebih homogen, sedangkan
hasil dari proses quenching lebih beresiko terhadap korosi, dan memerlukan
proses tempering untuk menghilangkan tegangan sisa. Semakin tinggi
temperature tempering, maka laju korosi akan semakin turun. Dari hasil
lapisan yang diperoleh, lapisan dari normalisasi lebih tebal dan seragam
dibandingkan dengan hasil quenching dan tempering. Pendinginan yang lebih
lambat menyebabkan pearlite terdistribusi merata dalam matrix logam, dan hal
ini membantu dalam mendorong kristal FeCO3 ke permukaan saat ferit
terkorosi.
Proses heat treatment proses sensitasi atau pengendapan carbida chromium
pada batas butir sebaiknya dihindari. Endapan karbida yang terbentuk bersifat
getas dan memiliki ketahanan korosi yang lebih rendah dibandingkan dengan
lingkungannya. Jika karbida logam yang lebih aktif dipasangkan dengan
lapisan pasif oksida chromium, maka karbida chromium akan terkorosi secara
36
galvanis, menyebabkan korosi dan retak antar butir yang terjadi pada batas
butir. Proses pengendapan karbida berlangsung pada temperatur antara 415C
hingga 820C. Diatas 820C chrome sudah dapat larut, sedangkan pada 415C
laju difusi karbon tidak mencukupi untuk membentuk karbida. Baja tahan
karat yang mengalami hal diatas disebut tersensitasi. Penaggulanagn dilakukan
dengan pemanasan pada temperature di atas 815C, dimana Cr telah dapat
larut, lalu didinginkan dengan cepat, sehingga tidak ada carbide yang
mengendap di batas butir.
Selain heat treatment, perbedaan persentase canai dingin pada struktur juga
akan menimbulkan adanya daerah katodik aanodik, dimana daerah dengan
persentase yang lebih tinggi akan lebih cepat terkorosi. Adanya canai dingin
juga memungkinkan adanya tegangan sisa, yang potensial terkena stress
corrosion cracking.
37
<100 m dan bersifat getas. Akumulasi Fe3C pada permukaan dapat
menghambat laju korosi dengan adanya pelepasan dan pengumpulan ion
Fe2+ di permukaan, dimana hal ini pada kondisi yang tepat akan membantu
pembentukan lapisan FeCO3 pada permukaan. Gabungan antara lapisan
Fe3C dan FeCO3 lebih meningkatkan ketahanan korosi struktur. Namun
Fe3C juga dapat meningkatkan laju korosi dengan membentuk paduan
galvanis dengan Fe, sehingga mempercepat pengionan Fe.
Lapisan FeCO3
Lapisan ini merupakan yang terpenting dalam mekanisme pengahambatan
laju korosi pada korosi CO2. Pembentukan lapisan protektif menghambat
transport produk reaksi dari permukaan. Lapisan ini juga mengahambat
reaksi difusi yang terjadi pada sel elektrokimia yang terbentuk. Kekuatan
ikatan serta ketebalan lapisan bergantung dari mikrostruktur logam.
Lapisan yang terbentuk pada logam hasil normalisasi akan lebih tebal, padat
dubandingkan dengan hasil quenching dan tempering.
38
Pada temperatur antara 75C sampai 100C, reaksi pengendapan
mulai mempengaruhi reaksi korosi.
Pada temperatur tinggi, >100C, pengendapan berlangsung dengan
sangat cepat. Fe yang dilepas oleh rekasi korosi dengan cepat
terendapkan kembali pada permukaan, membentuk lapisan
protektif yang rapat melekat.
pH
pH mempengaruhi tingkat kelarutan dari FeCO3. peningkatan pH
menurunkan tingkat kelarutan FeCO3 yang mendorong terjadinya
pengendapan, lalu kemudian menurunkan laju korosi. Dari berbagai
percobaan diperoleh bahwa lapisan protektif hanya dapat diperoleh pada pH
diatas 5,5.
39
Kandungan Fe2+
Pembentukan FeCO3 terjadi pada keadaan dimana konsentrasi dari Fe2+
melewati jangkauan kelarutan dari FeCO3. Pembentukan FeCO3 sendiri
berasal dari hasil reaksi pada katoda yaitu HCO3- dan hasil dari anoda Fe2+.
Konsentrasi ion Fe2+ yang dibawah kelarutan FeCO3 tidak hanya mencegah
pembentukan lapisan yang mengandung FeCO3, namun juga dapat merusak
lapisan yang sudah ada.
Laju Aliran
Laju aliran mempunyai dua efek yang bertolak belakang. Di satu pihak
adanya bantuan kecepatan aliran akan memberikan efek stirring pada laju
pengendapan, sehingga mempercepat pengendapan. Di lain pihak, laju
aliran yang terlalu tinggi akan menimbulkan kerusakan pada lapisan atau
film yang porous sehingga akan memungkinkan kontak antara struktur
dengan fluida.
40
Gambar 4.5. Hubungan laju korosi dengan laju aliran.
Non Protektif
41
Protektif
2. Pitting Corrosion
CO2 yang terlarut dengan air akan membentuk asam karbonat, dan sangat korosif
bagi baja karbon. Namun begitu produk korosi CO2, besi karbonat (FeCO3) akan
membentuk lapisan protektif. Begitupun jika lapisan FeCO3 tersebut pecah,
42
sumuran-sumuran pada lapisan akan terbentuk dengan cepat dan dapat
menyebabkan kegagalan.
3. Mesa Attack
Kerusakan ini timbul akibat adanya perbedaan tingkat protektif dari pelapis
(coating) dalam satu area struktur. Struktur yang terserang oleh mesa attack dapat
dilihat pada gambar. Permukaan rata dan cekungan yang dalam di antara
permukaan rata tersebut menjadi ciri kerusakan ini. Mesa attack dapat
ditanggulangi dengan pemberian inhibitor secara merata.
43
Gambar 4.8. Mesa Attack
4. Raindrop
Bentuk korosi akibat CO2 pada struktur produksi gas, dimana titik - titik dan tetesan
air akan jatuh menurut gravitasi dan perbedaan berat jenis. Tetesan air tersebut
akan membentuk sumuran sumuran yang sangat dalam pada permukaan struktur.
5. Flow Enhanced
Adanya reaksi asam karbonat dengan struktur akan semakin diperparah dengan
adanya tekanan dari arus aliran hidrokarbon, terutama pada daerah tikungan dan
bentuk U, dimana aliran arus akan menghantam dinding struktur, dan tidak
memungkinkan terbentuknya lapisan yang protektif pada dinding struktur.
44
Gambar 4.10. Flow Enhanced Corrosion
6. Wormhole
Pada wormhole attack, sekumpulan sumuran CO2 terhubungkan dan membentuk
saluran lubang dengan bentuk seperti lubang cacing.
45
BAB V
V.1. Korosi
Definisi umum:
Degradasi metal untuk kembali ke-bentuk asalnya karena bereaksi dengan
lingkungannya.
46
V.3. Konsep pengendalian korosi
Korosi adalah proses alam yang dapat dikendalikan dengan penerapan teknologi yang
tepat.
MEMISAHKAN LOGAM DARI LINGKUNGAN
(Pengecatan, Penerapan Lapis Lindung)
CATHODIC PROTECTION
(Membalikkan arah arus dalam proses korosi)
47
PRINSIP PROTEKSI KATODIK
48
V.4. Sacrificial anode cathodic protection
Metal dengan potensial yang lebih negatif dari struktur yang dilindungi
Jenis-jenis
ZINC [Zn]
ALUMINIUM [Al]
MAGNESIUM [Mg]
Platinized
Silicon iron
4.1..3
A
49
V.7. Keuntungan sistem sacrificial anode dan impressed current
50
V.9. Keperluan arus proteksi
Data keperluan arus proteksi diperoleh berdasarkan data empiris. Untuk lingkungan
air laut, data arus proteksi yang diperlukan telah dipublikasikan oleh nace dalam
recommendation PRACTICE RP 0176-83:
Umur Struktur
Kondisi Lingkungan
Interferensi (AC/DC)
51
Contoh Perhitungan:
Data:
Suatu Struktur Tangki Air Yang Berisi Air Laut Memiliki Panjang 10 meter, Lebar 3 meter
dan Tinggi 1 Meter. Bagian dalam dari tangki tidak menggunakan lapis lindung, dan
direncanakan akan diproteksi dengan sistem proteksi katodik selama 2 tahun.
Kerapatan Arus Proteksi untuk air laut 60mAmp/m
Untuk memproteksi tangki tersebut akan digunakan anoda aluminium tipe SRF-A-
14.6 yang mempunyai berat bersih 14 Kilogram. Aluminium anoda ini akan dipasang
dengan cara dilas ke struktur tangki.
= Panjang * Lebar
+ [ Panjang * Tinggi ] * 2
+ [ Lebar * Tinggi ] * 2
------------------------------------- = 56 m
52
BAB VI
VI. 1. Pipeline
a. Pengukuran Pipe to soil potential reading
Prosedur Pengukuran:
Pipa melalui test point dihubungkan dengan kutub (-) voltmeter dan
dihubungkan juga elektroda standard Cu/CuSO4 dengan kutub (+) Volt
meter
53
b. Pengukuran Soil/ Mud Resistivity
Tampak Atas
a a a
C1 P1 P2 C2
Resistivity meter
Gambar 6.2. Skema Pengukuran Soil / Mud Resistivity
Prosedur Pengukuran:
54
c. Pengukuran Coating Thickness
Tampak Atas
Pipa
Probe
Thickness meter
Prosedur Pengukuran:
55
d. Pengukuran Direct Current Voltage Gradient Survey
Tampak Atas
Pipa
Arah
GROUND Pergerakan
Volt meter
Prosedur Pengukuran:
Daerah pipa yang akan diukur ditentukan terlebih dahulu berdasarkan data
dari potential reading yaitu pada daerah yang terproteksi.
56
e. Pengukuran pH tanah
Tampak Samping
pH meter
GROUND
Prosedur Pengukuran:
Tampak Atas
Elektroda
Elektrodatimbal
timbal
V
Volt meter
Volt meter
A
Ampere
Amperemeter
meter
57
Prosedur Pengukuran:
Coupon baja yang terlapisi coating (coated) dan tidak telapisi coating
(bared) disiapkan dengan luas permukaan tertentu
Nilai arus yang terukur pada Ampere meter dicatat untuk setiap perubahan
potensial yang kita atur
Selang
Gas Detector
Pompa
58
Prosedur Pengukuran:
Pengambilan data.
Probe
Corrosionmeter
Prosedur Pengukuran:
Pengambilan data.
59
VI.3. Prinsip Kerja Corrosionmeter
Corrosionmeter pada prinsipnya merupakan suatu rangkaian listrik yang
terdiri atas sebuah generator dan empat buah resistor, yang membentuk bridge
circuit seperti yang terlihat pada rangkaian berikut:
60
tersebut diketahui maka nilai R3 (elemen yang terkorosi terekspos terhadap
lingkungan) dapat ditentukan. Resistor R3 adalah elemen yang terkorosi maka
nilainya dapat berubah terhadap waktu. Dengan demikian pada saat
pengukuran, posisi detektor diatur agar berada pada posisi null (balance) yang
mana pada kondisi ini akan terbaca probe reading yang merepresentasikan
pembacaan besaran korosi. Untuk setiap jenis probe yang digunakan
mempunyai harga faktor koreksi atau disebut dengan multiplier.
Multiplier
Metal Loss ( Mils ) = probe reading X
1000
Contoh: Suatu wire probe dengan diameter 0.04 inchi mempunyai multiplier 10.
Bila probe reading awal 150 dan akhir 250 maka:
10
Metal Loss = (250 150) X
1000
= 1 Mils
61
LAMPIRAN
SLIDE PRESENTASI
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
78
79
80
81
82
83
84
85
86
87
88
89
90
91
92
93
94
95
96
97
98
99
100
101
102
103
104
105
106
107
108
109
110