Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi sistemik yang menjadi
masalah dunia dan dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang terutama
di daerah tropis dan subtropis. Badan kesehatan dunia, yaitu WHO, mencatat pada
tahun 2003 lebih dari 17 juta kasus demam tifoid terjadi di seluruh dunia, dengan
angka kematian mencapai 600.000, dan 90% dari angka kematian tersebut terdapat
di negara-negara Asia.1
Demam tifoid tetap merupakan masalah kesehatan global untuk Salmonella
typhi. Sulit untuk memperkirakan kasus demam tifoid di dunia karena gambaran
klinisnya membingungkan dengan banyaknya infeksi demam lainnya dan penyakit
ini diremehkan karena kurangnya sumber daya laboratorium di sebagian besar
wilayah di negara-negara berkembang. Akibatnya, banyak kasus masih kurang
terdiagnosis. Di daerah endemis, kebanyakan kasus demam tifoid terlihat pada usia
3-19 tahun.2
Berdasarkan studi epidemiologis yang dilakukan oleh WHO pada 441.435
sampel di 5 negara Asia, yaitu: Pakistan, India, Indonesia, Vietnam dan Cina,
didapatkan adanya perbedaan yang cukup signifikan. Insiden demam tifoid lebih
tinggi di negara-negara Asia Selatan (Pakistan dan India) dibandingkan dengan
negara-negara di Asia Timur (Indonesia, Vietnam, Cina).3
WHO mencatat Indonesia sebagai salah satu negara endemik untuk demam
tifoid. Di Indonesia, terdapat rata-rata 900.000 kasus demam tifoid dengan angka
kematian lebih dari 20.000 setiap tahunnya.1
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, angka
prevalensi demam tifoid secara nasional adalah 1,6% dengan 12 provinsi yang
memiliki prevalensi diatas angka nasional, yaitu: Provinsi Nangroe Aceh
Darusalam, Bengkulu, Jawa Barat, Banten, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara
Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Gorontalo,
Papua Barat dan Papua.4

1
Diagnosis demam tifoid dapat dilakukan dengan berbagai cara, tidak hanya
dengan melihat manifestasi klinis yang muncul pada pasien tetapi juga didukung
dengan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan
penunjang pun tersedia dalam berbagai pilihan, antara lain: kultur darah, kultur
agar darah, identifikasi biokimia, aglutinasi antibodi, dan sebagainya.1
Pemeriksaan serologi yang paling pertama ialah uji Widal, yang
mengandalkan reaksi aglutinasi antara serum pasien dengan substrat yang dibuat
dari kuman utuh yang telah dimatikan. Uji ini memiliki banyak kelemahan
dan dipengaruhi banyak faktor, diantaranya gangguan pembentukan antibodi
pada pasien, konsumsi antibiotik, kesalahan saat pengambilan darah, endemisitas
wilayah sehingga terdapat variasi nilai cutoff, reaksi silang dengan organisme lain,
serta dipengaruhi oleh vaksinasi. American Academy of Paediatrics bahkan sudah
tidak merekomendasikan pemeriksaan Widal. Begitu pula WHO sudah tidak
merekomendasikan Widal sebagai uji diagnostik untuk demam tifoid. Untuk uji
Serologis, WHO lebih merekomendasikan penggunaa TUBEX dan Typhidot
sebagai uji serologis yang lebih sensitif dan spesifik. Namun dikatakan bahwa
diagnosis definitif terbaik tetap menggunakan teknik isolasi kuman.5
Maka dari itu penting untuk mengetahui demam tifoid khususnya mengenai
prinsip diagnosis yang akan disajikan dalam penulisan referat ini sehingga
menghindari kasus demam tifoid yang tidak terdiagnosis akibat gambaran klinis
yang hampir sama dari penyakit infeksi lainnya.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epidemiologi

Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi sistemik yang


menjadi masalah dunia. Tidak hanya di negara-negara tropis, namun di
negara-negara subtropis pun prevalensi demam tifoid cukup tinggi, terlebih
di negara berkembang. WHO mencatat pada tahun 2003 lebih dari 17 juta
kasus demam tifoid terjadi di seluruh dunia, dengan angka kematian
mencapai 600.000, dan 90% dari angka kematian tersebut terdapat di
negara-negara Asia. WHO mencatat Indonesia sebagai salah satu negara
endemik untuk demam tifoid. Di Indonesia, terdapat rata-rata 900.000
kasus demam tifoid dengan angka kematian lebih dari 20.000 setiap
tahunnya.1
Berdasarkan studi epidemiologis yang dilakukan oleh WHO pada
441.435 sampel di 5 negara Asia, yaitu: Pakistan, India, Indonesia, Vietnam
dan Cina, didapatkan adanya perbedaan yang cukup signifikan. Insiden
demam tifoid lebih tinggi di negara-negara Asia Selatan (Pakistan dan India)
dibandingkan dengan negara-negara di Asia Timur (Indonesia, Vietnam,
Cina).3
Insidens demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya
berhubungan dengan sanitasi lingkungan; di daerah rural 157 kasus per
10.000 penduduk, sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 kasus
per 10.000 penduduk. Perbedaan insidens di perkotaan berhubungan erat
dengan penyediaan air bersih secara merata yang belum memadai, serta
sanitasi lingkungan terutama cara pembuangan sampah yang kurang
memenuhi syarat kesehatan lingkungan.6
Insidensi tertinggi terjadi dimana persediaan air yang terdapat pada
populasi besar terkontaminasi secara fekal. Masa inkubasi biasanya 8-14
hari, tapi bisa berkisar dari 3 hari sampai 2 bulan. Sekitar 2-5% orang yang

3
terinfeksi menjadi pembawa kronis yang membawa S. typhi pada kantong
empedu. Banyak infeksi ringan dan atipikal terjadi dan kambuh sering
terjadi. Pasien yang terinfeksi HIV berisiko tinggi mengalami penyakit berat
karena S. typhi dan S. paratyphi.2
Case fatality rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08%
dari seluruh kematian di Indonesia. Namun berdasarkan hasil Survei
Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan RI (SKRT Depkes RI)
tahun 1995, demam tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit dengan
mortalitas tinggi.6

2.2 Etiologi

Penyebab demam tifoid adalah bakteri dari Genus Salmonella.


Salmonella memiliki dua spesies yaitu Salmonella enterica dan Salmonella
bongori. Salmonella enterica terbagi dalam enam subspesies, yaitu : I.
Salmonella enterica subsp. enterica; II. Salmonella enterica subsp.
salamae; IIIa. Salmonella enterica subsp. arizonae; IIIb. Salmonella
enterica subsp. diarizonae; IV. Salmonella enterica subsp. hotenae; V.
Salmonella enterica subsp. indica.1
Salmonella enterica subsp. enterica memiliki setidaknya 1454
serotipe, beberapa diantaranya adalah : Salmonella Choleraesuis,
Salmonella Dublin, Salmonella Enteritis, Salmonella Gallinarum,
Salmonella Hadar, Salmonella Heidelberg, Salmonella Infantis,
Salmonella Paratyphi, Salmonella Typhi, Salmonella Typhimurium, dan
Salmonella Genrus. Salmonella Typhi dan Salmonella Paratyphi adalah
bakteri penyebab demam tifoid. 1
Bakteri ini berbentuk batang, Gram-negatif, tidak membentuk spora,
motil, berkapsul dan mempunyai flagela. Bakteri ini dapat hidup sampai
beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu.
Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 66 C) selama 15 20 menit,

4
pasteurisasi, pendidihan dan klorinasi.6 Salmonella typhi mempunyai 3
macam antigen, yaitu:
1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh
kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau
disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol
tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (Antigen flagela), yang terletak pada flagela, fimbriae atau pili
dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan
tahan 14 terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan
alkohol yang telah memenuhi kriteria penilaian.
3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat
melindungi kuman terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut akan bereaksi dengan antibodi pada
tubuh penderita sehingga akan menimbulkan reaksi aglutinin atau aglutinasi
yang akan ditandai dengan kenaikan titer pada pemeriksaan widal.7

2.3 Patogenesis
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk ke dalam tubuh
manusia melalui makanan yang terkontaminasi bakteri ini. Sebagian
Salmonella typhi dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk
ke usus halus dan berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa
IgA usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel dan
selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan
difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup
dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque
peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam
makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia
pertama yang asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ
retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman
meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau

5
ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi yang
mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda
dan gejala penyakit infeksi sistemik, seperti demam, malaise, mialgia, sakit
kepala dan sakit perut. 7
Sekitar 80% dari total sel yang memproduksi imunoglobulin dalam
tubuh manusia berada dalam lamina propria usus. Enterosit (intestinal
epithelial cells, IEC) merupakan sel imunokompeten yang berperan pada
berbagai reaksi lokal terhadap mikro-organisme patogen. Interaksi enterosit
dengan faktor-faktor sekitar selain mengaktivasi proses enzimatik terhadap
antigen makanan juga mengaktivasi ekspresi molekul adesi, MHC kelas I
dan II, presentasi antigen terhadap limfosit, produksi sitokin, transportasi
sIg (secretory immunoglobulins) dan kompleks imun dengan sIgA. Sel
imunokompeten yang lain adalah makrofag dan sel dendrit yang memegang
peran penting dalam melindungi tubuh terhadap antigen di tingkat mukosa.
Ini berarti, sistem imun seluler yang teraktivasi oleh kehadiran mikro-
organisme probiotik akan meningkatkan produksi IgA (imunoglobulin A)
yang berperan pada sistem imun mukosa. Sintesis IgA tergantung pada sel
T dan sitokin yang diproduksi oleh limfosit yang teraktivasi.8
Imunitas humoral pada demam tifoid berperan dalam menegakkan
diagnosis berdasarkan kenaikan titer antibodi terhadap antigen kuman
Salmonella typhi. Imunitas seluler berperan dalam penyembuhan penyakit,
berdasarkan sifat kuman yang hidup intraselluler. Adanya rangsangan
antigen kuman akan memicu respon imunitas humoral melalui sel limfosit
B, kemudian berdiferensiasi menjadi sel plasma yang akan mensintesis
immunoglobulin (Ig). Yang terbentuk pertama kali pada infeksi primer
adalah antibodi O (IgM) yang cepat menghilang, kemudian disusul antibodi
flagela H (IgG). IgM akan muncul 48 jam setelah terpapar antigen, namun
ada pustaka lain yang menyatakan bahwa IgM akan muncul pada hari ke 3-
4 demam.9

6
Gambar 2.1 Patogenesis Demam Tifoid. 10

2.4 Manifestasi Klinis


Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-
gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai berat, dari
asimptomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi
hingga kematian.6
Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang
meningkat. Pada minggu pertama, ditemukan keluhan dan gejala serupa
dengan penyakit infeksi akut umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing,
nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak
enak di perut, batuk, dan epistaksis. Karakteristik demamnya adalah demam
yang meningkat secara perlahan-lahan berpola seperti anak tangga dengan
suhu makin tinggi dari hari ke hari, lebih rendah pada pagi hari dan tinggi
terutama pada sore hingga malam hari. 6
Pada akhir minggu pertama, demam akan bertahan pada suhu 39-
40C. Pasien akan menunjukkan gejala rose spots, yang warnanya seperti

7
salmon, pucat, makulopapul 1-4 cm lebar dan jumlahnya kurang dari 5;
dan akan menghilang dalam 2-5 hari. Hal ini disebabkan karena terjadi
emboli oleh bakteri di dermis. 6
Pada minggu kedua, gejala klinis menjadi semakin berkembang
jelas, berupa demam, bradikardia relatif dimana setiap peningkatan 1 C
tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit, kemudian
didapatkan pula lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung lidah
merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan
mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis. 6 Terdapat
dua fase yang terjadi pada penyakit demam tifoid, yaitu:1
Fase pertama: suhu tubuh meningkat sampai 40C disertai dengan
keluarnya keringat, nafsu makan menurun, batuk, sakit kepala, dan sukar
buang air besar. Pada anak-anak, sering muntah-muntah dan diare. Fase
pertama berakhir dalam seminggu dan menjelang berakhir penderita
tidak bergairah dan kurang kesadaran.
Fase kedua: pada minggu kedua sampai minggu ketiga, gejala infeksi
intestinal semakin jelas dan demam semakin meningkat, dan denyut nadi
menjadi lemah dan cepat, nafas berbau tidak sedap, kulit kering, rambut
kering, bibir kering pecah-pecah, lidah ditutupi selaput putih dan
kelihatan kotor, ujung dan tepinya kemerahan, perut kembung dan orang
tersebut nampak sakit berat. Pada minggu ketiga, sukar buang air besar
digantikan dengan diare. Feses mungkin juga mengandung darah.
Demam tifoid yang berat dapat menimbulkan komplikasi berupa
perdarahan, kebocoran usus (perforasi), infeksi selaput usus (peritonitis),
bronkopneumoniae dan kelainan di otak (meningitis). Gejala ini tidak
sampai pada minggu keempat dan kelima dimana penurunan demam dan
kondisi umum lainnya membaik secara perlahan.

2.5 Diagnosis
Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi
klinis yang diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Sampai

8
saat ini masih dilakukan berbagai penelitian yang menggunakan
berbagai metode diagnostik untuk mendapatkan metode terbaik dalam
usaha penatalaksanaan penderita demam tifoid secara menyeluruh.
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis
demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu : (1) pemeriksaan darah
tepi; (2) pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman; (3)
uji serologis; dan (4) pemeriksaan kuman secara molekuler.6
1. Pemeriksaan darah tepi
Pada pemeriksaan hitung leukosit terdapat gambar leukopeni
(3000-8000 per mm3), limfositosis relatif, monositosis dan eosinofilia
serta trombositopenia ringan. Terjadinya leukopeni diakibatkan depresi
sumsum tulang oleh endotoksin dan mediator endogen yang ada.
Diperkirakan kejadian leukopeni 25%, namun banyak yang melaporkan
bahwa dewasa ini hitung leukosit kebanyakan dalam batas normal atau
leukositosis ringan. Kejadian trombositopenia sehubungan dengan
produksi yang menurun dan destruksi yang meningkat oleh sel-sel RES
(Reticuloendothelial System). Sedangkan anemia disebabkan produksi
hemoglobin (Hb) yang menurun serta kejadian perdarahan intestinal
yang tak nyata (occult bleeding).17

2. Uji widal
Dasar reaksi uji Widal adalah reaksi aglutinasi antara antigen
kuman Salmonella Typhi dengan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang
spesifik terhadap Salmonella Typhi terdapat dalam serum penderita
demam tifoid, orang yang pernah tertular Salmonella Typhi, dan orang
yang pernah mendapatkan vaksin demam tifoid. Antigen yang digunakan
pada uji Widal adalah suspensi Salmonella Typhi yang sudah dimatikan
dan diolah di laboratorium. Tujuan uji Widal adalah untuk menentukan
adanya aglutinin dalam serum penderita yang diduga menderita
demam tifoid. Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya
aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosis. Secara

9
umum, aglutinin O mulai muncul pada hari ke 6-8 dan aglutinin H mulai
muncul pada hari ke 10-12 dihitung sejak hari timbulnya demam.
Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula kemungkinan
didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer
aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan pada
selang waktu minimal 5 hari. Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat
selama 2 sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam tifoid.4,15
Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut :
a. Titer aglutinin O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi
akut.
b. Titer aglutinin H yang tinggi ( > 160) menunjukkan sudah pernah
mendapat imunisasi atau pernah menderita infeksi.
c. Titer aglutinin yang tinggi terhadap antigen Vi terdapat pada carrier.4

3. Kultur darah
Kultur merupakan gold standar, termasuk kultur sumsum tulang
dalam diagnosis DT dan secara khusus cocok untuk pasien yang kultur
darahnya negatif. Aspirat sumsum tulang memberikan hasil positif
sekitar 80-95% pada pasien tifoid. Kultur sumsum tulang berguna untuk
diagnosis penyakit yang berkepanjangan dan pada pasien yang sedang
menjalani terapi antibiotik. Akan tetapi walaupun metode ini sangat
sensitif tetapi metode ini sulit sehingga jarang diterapkan dalam praktek
sehari-hari. Kultur tinja dan urine baru menunjukkan hasil positif setelah
minggu pertama infeksi, dan sensifitasnya lebih rendah daripada kultur
darah dan biasanya digunakan untuk diagnosis karier kronis. 1,11
Diagnosis definitif demam tifoid tergantung pada isolasi S.typhi
dari darah, sumsum tulang atau lesi anatomi tertentu. Adanya gejala
klinis dari karakteristik demam tifoid atau deteksi dari respon antibodi
spesifik adalah sugestif demam tifoid tetapi tidak definitif. Kultur darah
adalah gold standard dari penyakit ini. Aspirasi sum-sum tulang adalah
standar emas untuk diagnosis demam tifoid dan sangat berguna bagi

10
pasien yang sebelumnya telah diobati, yang memiliki sejarah panjang
penyakit dan pemeriksaan kultur darah yang negatif. Aspirasi duodenum
juga telah terbukti sangat memuaskan sebagai tes diagnostik namun
belum diterima secara luas karena toleransi yang kurang baik pada
aspirasi duodenum, terutama pada anak-anak.1

4. Uji Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA)


Prinsip dasar uji ELISA adalah reaksi antigen-antibodi. Uji ini
sering dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap
antigen O9 LPS, antibodi IgG terhadap antigen flagela d (Hd) dan
antibodi terhadap antigen Vi Salmonella Typhi. Chaicumpa dkk
mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73%
pada sampel feses, dan 40% pada sampel sumsum tulang. 1

5. Pemeriksaan Dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di
Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap
antigen LPS Salmonella Typhi dengan menggunakan membran
nitroselulosa yang mengandung antigen Salmonella Typhi sebagai
pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai
reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah
distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di
tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.
Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini
sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan
86.5% bila dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas
sebesar 88.9% dan nilai prediksi positif sebesar 94.6%.12

6. Uji Typhidot
Uji Typhidot merupakan alat diagnostik demam tifoid yang
diproduksi oleh Biodiagnostic Research, Bangi, Malaysia. Hasil uji

11
Typhidot dinilai positif apabila didapatkan reaksi dengan intensitas yang
sama dengan atau lebih besar dari reaksi kontrol, terlihat pada kertas
saring komersial yang telah disiapkan. Tes ini memperingatkan, jika hasil
yang diperoleh tak tentu, tes harus diulang setelah 48 jam.13

Gambar 2.2 Prinsip dari tes Typhidot. Bagian atas; prosedur tes, bagian bawah;
interpretasi hasil tes. 12

7. Tubex test

Pemeriksaan Tubex merupakan metode diagnostik demam tifoid


dengan tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik dibandingkan
dengan pemeriksaan widal. Kedua pemeriksaan tersebut lebih cepat,
mudah, sederhana dan akurat untuk digunakan dalam penegakan
diagnosis demam tifoid. Pemeriksaan tubex merupakan sarana
penunjang demam tifoid yang mudah untuk dikerjakan, dan hasilnya
relatif cepat diperoleh yaitu sekitar 1 jam. Pemeriksaan ini mendeteksi

12
antibodi IgM anti Salmonella typhi pada serum pasien. Dikatakan positif
pada pemeriksaan ini apabila ditemukan Salmonella typhi serogroup D.
Berdasarkan penelitian Karen H Keddy tahun 2011, pemeriksaan Tubex
memiliki sensitivitas hingga 83,4%, spesifisitas 84,7%, PPV 70,5%, dan
NPV 92,2%.7

2.6 Penatalaksanaan
2.6.1 Non Medikamentosa
Istirahat dan perawatan, dengan tujuan mencegah komplikasi
dan mempercepat penyembuhan. Tirah baring dan perawatan
profesional bertujuan untuk mencegah komplikasi. Dalam
perawatan perlu dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian dan
perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk
mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta hygiene
perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.16
Diet dan Terapi penunjang (simptomatik dan suportif)
dengan tujuan mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien
secara optimal. Dimana penderita demam tifoid diberi diet bubur
saring, kemudian ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya
diberi nasi, yang perubahan diet tersebut disesuaikan dengan tingkat
kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring tersebut ditujukan
untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau
perforasi usus. Hal ini disebabkan ada pendapat bahwa usus harus
diistirahatkan. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa selulosa
(menghindari sementara sayuran berserat) dapat biberikan dengan
aman pada pasien demam tifoid.16

2.6.2 Medikamentosa
Pemberian obat antimikroba seperti :
a. Kloramfenikol merupakan obat pilihan untuk mengobati
demam tifoid di Indonesia diberikan dengan dosis 4500 mg
per hari dapat diberikan secara oral atau intravena. Diberikan

13
sampai dengan 7 hari bebas panas. Namun demikian, dalam
lima tahun terakhir telah dilaporkan kasus demam tifoid berat
pada anak bahkan fatal yang disebabkan oleh adanya resistensi
obat ganda terhadap Salmonella typhi (multiple drugs resistance
(MDR)). Disamping itu pemakaian kloramfenikol dapat
menimbulkan efek samping berupa penekanan sumsum tulang
dan yang paling ditakuti terjadinya anemia aplastik.
Sefalosporin generasi III (seftriakson, sefotaksim, sefiksim),
fluorokuinolon (siprofloksasin, ofloksasin, perfloksasin) dan
azitromisin saat ini sering digunakan untuk mengobati demam
tifoid MDR.
b. Tiamfenikol dengan dosis 4500 mg per hari. Tiamfenikol
memiliki dosis dan keefektifan yang hampir sama dengan
kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti
kemungkinan terjadinya anemia aplastik lebih rendah
dibandingkan dengan kloramfenikol.
c. Kotrimoksazol adalah kombinasi dua obat antibiotik, yaitu
trimetroprim dan sulfametoksazol dengan dosis untuk orang
dewasa adalah 22 tablet (1 tablet mengandung sulfametoksazol
400 mg dan 80 mg trimetropim) deberikan selama 2 minggu.
d. Ampisilin atau amoksisilin dengan dosis yang dianjurkan
berkisar antara 50-150 mg/BB dan digunakan selama 2 minggu.
Obat ini memiliki kemampuan untuk menurunkan demam lebih
rendah dibandingkan dengan obat kloramfenikol.
e. Sefalosporin generasi ketiga seperti seftriakson dengan
pemberian dosis yang dianjurkan adalah antara 3-4 gram dalam
dekstrosa 100 cc diberikan selama jam per infus sekali sehari,
diberikan selama 3 hingga 5 hari. Sefiksim merupakan
antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga oral,
mempunyai aktifitas antimikroba terhadap kuman gram positif
maupun negatif termasuk Enterobacteriaceae. Sefiksim

14
mempunyai efikasi dan toleransi yang baik untuk pengobatan
demam tifoid anak.
f. Fluorokuinolon merupakan obat bakterisidal yang kuat terhadap
bermacam-macam mikroorganisme. Flurokuinolon biasanya
digunakan sebagai obat alternatif pada demam tifoid MDR.
Contoh obat golongan ini yaitu:
- Norfloksasin dosis 2400 mg/hari selama 14 hari
- Siprofloksasin dosis 2500 mg/hari selama 6 hari
- Ofloksasin dosis 2400 mg/hari selama 7 hari
- Pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
- Fleroksasin 400 mg/hari selama 7 hari
- Levofloksasin dosis 1500 mg/hari selama 5 hari
g. Azitromisin dosis 2500 mampu mengurangi kegagalan klinis,
durasi rawat inap dan angka relaps dibanding obat
fluorokuinolon dan seftriakson. Penelitian invitro menunjukkan
azitromisin lebih poten terhadap Salmonella spp. dibandingkan
dengan obat lini pertama dan makrolid lain. Belum terdapat
laporan tentang resistensi Salmonella typhi terhadap
azitromisin. Studi terbaru menunjukkan azitromisin efektif
secara klinis dan bakteriologis dalam mengobati demam tifoid
bahkan yang disebabkan oleh strain MDR.14

15

Tabel 2.1 Antibiotik untuk Pengobatan Demam Tifoid tahun 2010.

Tabel 2.2 Antibiotik untuk Pengobatan Demam Tifoid pada kasus


Khusus.

2.7 Pencegahan
Vaksinasi tifoid belum dianjurkan secara rutin di USA, demikian
juga di daerah lain. Indikasi vaksinasi adalah 1) bila hendak mengunjungi
daerah endemik, risiko terserang demam tifoid semakin tinggi untuk daerah

16
berkembang (Amerika Latin, Asia, Afrika), 2) orang yang terpapar dengan
penderita karier tifoid, dan 3) petugas laboratorium/mikrobiologi
kesehatan.6
Adapun jenis vaksin yang tersedia: 1,6
Vaksin oral : -Ty21a (vivotif Berna) belum beredar di
Indonesia.
Vaksin parenteral : -ViCPS (Typhim Vi/Pasteur Merieux),
vaksin kapsul polisakarida.
Vaksin hidup oral Ty21a secara teoritis dikontraindikasikan pada
sasaran yang alergi atau reaksi efek samping berat, penurunan imunitas, dan
kehamilan (karena sedikitnya data). Bila diberikan bersama dengan obat
anti-malaria (klorokuin, meflokuin) dianjurkan minimal setelah 24 jam
pemberian obat baru dilakukan vaksinasi bersamaan dengan obat
sulfonamid atau antimikroba lainnya. 6
Serokoversi (peningkatan titer antibodi 4 kali) setelah vaksinasi
dengan ViCPS terjadi secara cepat yaitu sekitar 15 hari 3 minggu dan
90% bertahan selama 3 tahun. Kemampuan proteksi sebesar 77% pada
daerah endemik (Nepal) dan sebesar 60% untuk daerah hiperendemik. 6

2.8 Komplikasi
Menurut Setiati et al. (2014), komplikasi demam tifoid dapat dibagi
atas dua bagian, yaitu:
Komplikasi Intestinal
1. Perdarahan Usus
Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan
minor yang tidak membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan hebat dapat
terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut
darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5
ml/kgBB/jam. Perdarahan ini dapat disebabkan pada plak usus yang
terinfeksi dapat terbentuk tukak/luka berbentuk lonjong dan memanjang

17
terhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen usus dan mengenai
pembuluh darah maka terjadi perdarahan.
2. Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya
timbul pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu
pertama. Penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut
yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian
meyebar ke seluruh perut. Tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat,
tekanan darah turun dan bahkan sampai syok.
Komplikasi Ekstraintestinal
1. Komplikasi hematologi
Komplikasi hematologik berupa trombositopenia, hipofibrino-
genemia, peningkatan prothrombin time, peningkatan partial
thromboplastin time, peningkatan fibrin degradation products sampai
koagulasi intravaskular diseminata (KID) dapat ditemukan pada
kebanyakan pasien demam tifoid. Trombositopenia saja sering dijumpai,
hal ini mungkin terjadi karena menurunnya produksi trombosit di
sumsum tulang selama proses infeksi atau meningkatnya destruksi
trombosit di sistem retikuloendotelial. Obat-obatan juga dapat
menyebabkan penurunan trombosit.
Penyebab KID pada demam tifoid belumlah jelas. Hal-hal yang
sering dikemukakan adalah endotoksin mengaktifkan sistem koagulasi
dan fibrinolisis. Pelepasan kinin, prostaglandin dan histamin
menyebabkan vasokonstriksi dan kerusakan endotel pembuluh darah dan
selanjutnya mengakibatkan perangsangan koagulasi (KID kompensata
maupun dekompensata.
2. Hepatitis tifosa
Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai pada 50%
kasus dengan demam tifoid lebih banyak dijumpai pada S. typhi daripada
S. paratyphi. Hepatitis tifosa dapat terjadi pada pasien dengan malnutrisi
dan sistem imun kurang.

18
3. Pankreatitis tifosa
Merupakan komplikasi yang bisa dijumpai pada demam tifoid.
Penatalaksanaan pankreatitis tifosa sama seperti penanganan pankreatitis
pada umumnya; antibiotik yang diberikan adalah antibiotik intravena
seperti seftriakson atau kuinolon.
4. Miokarditis
Miokarditis terjadi pada 1 5% penderita demam tifoid sedangkan
kelainan elektrokardiografi dapat terjadi pada 10 15% penderita. Pasien
dengan miokarditis biasanya tanpa gejala kardiovaskular atau dapat
berupa keluhan sakit dada, gagal jantung kongestif, aritmia, atau syok
kardiogenik. Sedangkan perikarditis jarang terjadi. Kelainan ini
disebabkan kerusakan miokardium oleh kuman S.typhi dan miokarditis
sering sebagai penyebab kematian. Biasanya dijukmpai pada pasien yang
sakit berat pada infeksi keadaan akut.
5. Manifestasi neuropsikiatrik/toksik tiroid
Manifestasi neuropsikiatrik dapat berupa delirium dengan atau
tanpa kejang, semi-koma atau koma, Parkinson rigidity/trasient
parkinsonism, sindrom akut otak, mioklonus generalisata, skizofrenia
sitotosik, mania akut, hipomania, ensefalomielitis, meningitis,
polineuritis perifer, sindrom Guillain-Barre dan psikosis. Gejala demam
tifoid diikuti suatu sindrom klinis berupa gangguan atau penurunan
kesadaran akut (kesadran berkabut, apatis, delirium, somnolen, stupor
atau koma) dengan atau tanpa disertai kelainan neurologis lainnya dan
dalam pemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal. Sindrom
klinis seperti ini oleh beberapa peneliti disebut sebagai toksik tiroid,
sedangkan penulis lainnya menyebutnya dengan demam tifoid berat,
demam tifoid ensefalopati, atau demam tiroid dengan toksemia.

2.9 Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung dari umur, keadaan umum,
derajat kekebalan tubuh, jumlah dan virulensi Salmonella, serta cepat dan

19
tepatnya pengobatan. Angka kematian pada anak-anak 2,6%, dan pada
orang dewasa 7,4%, rata-rata 5,7%. 1

20
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien


Nama : Ny. Wirlawati
Umur : 51 Tahun
Pekerjaan : PNS
Alamat : Jl. Bumi Roviga
Pend. Terakhir : D3
Agama : Islam
Tgl Pemeriksaan : 14 Agustus 2017
Ruangan : Seroja, Kelas 2

3.2. Anamnesis
Keluhan Utama : Demam
Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke rumah sakit dengan
keluhan demam yang dirasakan sejak 5 hari yang lalu. Demam dirasakan
terutama meningkat di sore hari, naik perlahan, tidak disertai dengan
menggigil. Pasien mengeluh sakit kepala sejak 3 hari yang lalu, hilang timbul,
seperti ditusuk tusuk pada semua area kepala. Sakit kepala timbul saat
demam mulai meningkat dan keluhan terasa ringan saat pagi hari. Pasien
mengeluh badan terasa lemas hingga sulit beraktivitas. Selain itu pasien
mengeluh sakit perut pada perut bagian bawah seperti ditusuk tusuk sejak 5
hari SMRS. Terdapat mual tetapi pasien menyangkal adanya muntah serta
nafsu makan menurun. Pasien mengeluh nyeri sendi pada kedua lutut dan
sendi jari jari tangan sejak 5 hari yang lalu. Pasien belum BAB sejak 3 hari
yang lalu. BAK lancar dan menyangkal adanya nyeri saat buang air kecil.
Pasien mengaku sering jajan dan makan di warung pinggir jalan sepulang
kerja.

21
Riwayat Penyakit Terdahulu : Pasien belum pernah mengalami hal
seperti ini sebelumnya, riwayat hipertensi (+), riwayat diabetes melitus (-),
riwayat kolesterol tinggi (-), riwayat asam urat tinggi (-).
Riwayat Penyakit dalam Keluarga : Riwayat hipertensi (+). Terdapat
keluhan yang sama dengan salah satu anggota keluarga di rumah seminggu
yang lalu yang saat ini juga dirawat di rumah sakit.

3.3. Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum :
SP : CM/SS/GB BB : 54 kg TB : 162 cm IMT : 20,5 kg/m2
Vital Sign :
Tekanan darah : 120/80 mmHg Pernapasan : 18 kali/menit
Nadi : 58 kali/menit Suhu : 39 oC
Kepala :
Wajah : Simetris
Deformitas : Tidak ada
Bentuk : Normocephal
Mata :
Konjungtiva : Anemis -/-
Sklera : Ikterus -/-
Pupil : Isokor +/+ RCL +/+, RCTL +/+
Mulut : Lidah kotor (+), mulut kering, sianosis (-)
Leher :
Kelenjar GB : Pembesaran (-)
Tiroid : Pembesaran (-)
JVP : Peningkatan (-)
Massa lain : Tidak ditemukan
Dada :
Paru-paru :
Inspeksi : Simetris bilateral, retraksi dinding dada -/-
Palpasi : Vocal fremitus kiri = kanan

22
Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : Vesikular +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis terlihat pada SIC V linea midclavicularis
sinistra
Palpasi : Ictus cordis teraba pada SIC V linea midclavicularis sinistra
Perkusi :
Batas atas : SIC II linea parasternal sinistra
Batas kanan : SIC IV linea parasternal dextra
Batas kiri : SIC V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I/II reguler, murmur (-), gallop (-)
Perut :
Inspeksi : Warna kulit normal, kesan cembung
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan meningkat
Perkusi : Tympani
Palpasi : Nyeri tekan kuadran kiri bawah (+), nyeri tekan epigastrium
(+), hepatomegali (-),
splenomegali (-)
Anggota Gerak :
Atas : Akral hangat +/+, edema -/-
Bawah : Akral hangat +/+, edema -/-

Pemeriksaan Khusus : (-)

3.4. Resume
Ny. W umur 51 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan demam
sejak 5 hari yang lalu, meningkat terutama sore hari. Pasien mengeluh sakit
kepala seperti ditusuk-tusuk yang memberat saat demam meningkat sejak 3
hari yang lalu. Nyeri epigastrium disertai mual sejak 5 hari SMRS. Terdapat
obstipasi, penurunan nafsu makan, atralgia, serta badan terasa lemah. TD =

23
120/80 mmHg, R = 18 x/menit, N = 58 x/menit, S = 39oC., tampak lidah kotor
(+), peristaltik (+) kesan meningkat.

3.5. Diagnosis Kerja


Suspek Demam Tifoid

3.6. Diagnosis Banding


- Demam dengue
- Chikungunya
- Malaria

3.7. Usulan Pemeriksaan Penunjang


- Darah lengkap
- Tubex Test
- Pemeriksaan fungsi hati : SGOT dan SGPT

3.8. Penatalaksanaan
Non Medikamentosa :
- Istirahat yang cukup dengan tujuan mencegah komplikasi dan
mempercepat penyembuhan.
- Mengonsumsi makanan bergizi, minum yang cukup, diet bubur saring
dan menghindari sementara mengonsumsi makanan berserat.
- Menjaga kebersihan diri, kebersihan tempat tidur, pakaian, alat makan
dan perlengkapan yang dipakai.
Medikamentosa :
- IVFD RL 20 tpm
- Paracetamol 500 mg 3x1
- Ranitidin 150 mg 2x1
- Tiamfenikol 500 mg 4x1

24
3.9. Hasil Pemeriksaan Penunjang
Lab :
- RBC = 4,08 juta/ul
- HGB = 11,7 g/dl
- HCT = 35,3 %
- PLT = 195.000/ul
- WBC = 3.800/ul
Radiologi :
EKG : Sinus ritme, Heart Rate 100/menit, Axis 90
Pemeriksaan Lainnya :
Tubex test:
IgM anti-Salmonella positif
Pemeriksaan Fungsi Hati:
SGOT : 22 u/L
SGPT : 16 u/L

3.10. Diagnosis Akhir


Demam Tifoid

3.11. Prognosis
Dubia ad bonam

25
3.12. Pembahasan
Pada kasus ini pasien perempuan usia 51 tahun, saat dianamnesis
datang dengan keluhan utama demam sejak 5 hari yang lalu. Menurut pasien
demam meningkat di sore hari dan meningkat secara perlahan. Pasien
mengeluh sakit kepala seperti ditusuk-tusuk yang memberat saat demam
meningkat sejak 3 hari yang lalu. Nyeri epigastrium disertai mual sejak 5 hari
SMRS. Terdapat obstipasi, penurunan nafsu makan, atralgia, serta badan
terasa lemah.
Berdasarkan teori, pada minggu pertama ditemukan keluhan dan
gejala serupa dengan penyakit infeksi akut umumnya yaitu demam, nyeri
kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare,
perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis. Karakteristik demamnya
adalah demam yang meningkat secara perlahan-lahan berpola seperti anak
tangga dengan suhu makin tinggi dari hari ke hari, lebih rendah pada pagi
hari dan tinggi terutama pada sore hingga malam hari. 6
Pada kasus ini tampak gejala gastrointestinal berupa anoreksia, mual
dan nyeri epigastrium serta nyeri kuadran kiri bawah abdomen. Hal ini dapat
dihubungkan dengan patogenenesis dari terjadinya demam tifoid. Salmonella
typhi dan Salmonella paratyphi masuk ke dalam tubuh manusia melalui
makanan yang terkontaminasi bakteri ini. Sebagian Salmonella typhi
dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan
berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang
baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel dan selanjutnya ke lamina
propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel
fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di
dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque peyeri ileum distal dan
kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.7
Dari pemeriksaan fisik didapatkan nadi 58 kali per menit dan suhu
39C. Hal ini menunjukkan adanya bradikardi relatif dimana setiap
peningkatan 1 C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit,
kemudian didapatkan pula lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepi dan

26
ujung lidah merah serta tremor). Biasanya gejala ini muncul pada minggu
kedua tetapi pada kasus ini didapatkan gejala timbul pada minggu pertama. 6
Berdasarkan anamnesis pasien mengaku sering makan di warung
pinggir jalan dekat dengan kantornya. Seperti yang telah diketahui, penularan
S. typhi terjadi paling sering yakni melalui makanan dan minuman yang
terkontaminasi oleh tinja pasien atau karier demam tifoid yang asimptomatik.
Makanan dan minuman ini juga dapat terkontaminasi urin pasien meskipun
lebih jarang terjadi. Transmisi dari tangan ke mulut akan terjadi jika
seseorang menggunakan toilet yang terkontaminasi dan mengabaikan higiene
tangan setelahnya. Transmisi secara seksual dengan sesama pasangan lelaki
juga pernah dilaporkan. Pekerja kesehatan terkadang tertular setelah terpapar
dengan pasien yang terinfeksi atau selama mengolah spesimen klinis dan
kultur dari bakteri tersebut.7
Pada kasus ini didiagnosis banding dengan Demam dengue,
chikungunya dan malaria. Ketiga penyakit ini memiliki gejala klinis yang
ditemukan pada pasien ini berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Oleh karena itu, perlu dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu darah rutin dan
pemeriksaan tubex test. Dari hasil darah rutin didapatkan nilai leukosit 3800
ul menunjukkan leukopenia dan nilai lainnya dalam batas normal.
Berdasarkan teori, pemeriksaan hitung leukosit terdapat gambar leukopeni
(3000-8000 per mm3), limfositosis relatif, monositosis dan eosinofilia serta
trombositopenia ringan. Terjadinya leukopeni diakibatkan depresi sumsum
tulang oleh endotoksin dan mediator endogen yang ada. Diperkirakan
kejadian leukopeni 25%, namun banyak yang melaporkan bahwa dewasa ini
hitung leukosit kebanyakan dalam batas normal atau leukositosis ringan.6
Pemeriksaan penunjang yang digunakan yaitu tubex test dengan hasil
IgM anti salmonella positif. Pemeriksaan Tubex merupakan metode
diagnostik demam tifoid dengan tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang
lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan widal. Kedua pemeriksaan
tersebut lebih cepat, mudah, sederhana dan akurat untuk digunakan dalam
penegakan diagnosis demam tifoid. Pemeriksaan tubex merupakan sarana

27
penunjang demam tifoid yang mudah untuk dikerjakan, dan hasilnya relatif
cepat diperoleh yaitu sekitar 1 jam. Pemeriksaan ini mendeteksi antibodi
IgM anti Salmonella typhi pada serum pasien. Deteksi dapat dilakukan lebih
dini, yaitu hari ke 4-5 untuk infeksi primer dan hari ke 2-3 untuk infeksi
sekunder. Dikatakan positif pada pemeriksaan ini apabila ditemukan
Salmonella typhi serogroup D. Perlu diketahui bahwa uji Tubex hanya dapat
mendeteksi IgM dan tidak dapat mendeteksi IgG sehingga tidak dapat
dipergunakan sebagai modalitas untuk mendeteksi infeksi lampau.7
Pada kasus ini dilakukan tatalaksana berupa non medikamentosa dan
medikamentosa. Istirahat yang cukup dengan tujuan mencegah komplikasi
dan mempercepat penyembuhan. Mengonsumsi makanan bergizi, minum
yang cukup, diet bubur saring dan menghindari sementara mengonsumsi
makanan berserat. Perubahan diet tersebut disesuaikan dengan tingkat
kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring tersebut ditujukan untuk
menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. Hal ini
disebabkan ada pendapat bahwa usus harus diistirahatkan. Beberapa peneliti
menunjukkan bahwa selulosa (menghindari sementara sayuran berserat)
dapat biberikan dengan aman pada pasien demam tifoid Selain itu, menjaga
kebersihan diri, kebersihan tempat tidur, pakaian, alat makan dan
perlengkapan yang dipakai.6
Untuk terapi medikamentosa diberikan terapi antimikroba yaitu
tiamfenikol dengan dosis 4500 mg per hari. Tiamfenikol memiliki dosis dan
keefektifan yang hampir sama dengan kloramfenikol, akan tetapi komplikasi
hematologi seperti kemungkinan terjadinya anemia aplastik lebih rendah
dibandingkan dengan kloramfenikol.7

28

Anda mungkin juga menyukai