Anda di halaman 1dari 37

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Helminthiasis menurut World Health Organization (WHO) adalah
infestasi oleh satu atau lebih cacing parasit usus, dimana penularan terjadi
melalui kontaminasi telur maupun larva dari cacing tersebut pada makanan
atau melalui kontak langsung dengan kulit. Telur cacing maupun larva
dapat dijumpai pada feses manusia yang pada gilirannya akan mencemari
tanah pada kondisi lingkungan dengan sanitasi yang buruk.1
Secara garis besar, helminth/cacing terbagi atas Nemahelminthes dan
Platyhelminthes. Nemahelminthes (cacing gilik/benang) terbagi atas
nematoda usus yang ditularkan melalui tanah dan nematoda jaringan,
platyhelminthes (cacing pipih) terbagi atas kelas cestoda dan trematoda.
Parasit-parasit cacing tersebut dapat bersifat patogen dan ditemukan di
dalam tubuh manusia.2
Menurut WHO dan Jurnal of Clinical Investigation, infeksi oleh Soil
transmitted helminth yang merupakan kelompok dari nematoda usus
adalah infeksi yang paling umum di seluruh dunia dengan spesies utama
yang menginfeksi manusia adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides),
cacing cambuk (Trichuris trichiura) dan cacing tambang (Necator
americanus dan Ancylostoma duodenale).3,4 Masalah penyakit cacing
merupakan masalah yang terjadi di daerah tropis dan subtropis. Lebih dari
1,5 milyar orang atau 24% dari populasi dunia terinfeksi oleh cacing yang
ditularkan melalui tanah dengan angka kejadian terbesar didapat di Sub-
Saharan Afrika, Amerika, Cina, dan Asia Timur. Lebih dari 270 juta anak
pra usia sekolah dan lebih dari 600 juta anak usia sekolah tinggal di area
dimana parasit cacing ini banyak dijumpai dan dibutuhkan pengobatan
maupun pencegahan.3

1
2

Penyakit kecacingan tergolong dalam Neglected Tropical Disease


yaitu kelompok penyakit menular di daerah tropis dan subtropis yang
mempengaruhi populasi masyarakat yang hidup dalam kemiskinan dengan
sanitasi yang tidak memadai. Ketersediaan air bersih, sanitasi, dan
kebersihan erat kaitannya dengan transmisi atau penularan infeksi
kecacingan tersebut.5,6
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menyatakan bahwa, 11
dari 20 penyakit Neglected Tropical Disease terdapat di Indonesia, salah
satunya adalah kecacingan. Namun, di Indonesia penyakit kecacingan
masih dianggap sebagai hal sepele oleh sebagian besar masyarakat,
padahal dampak jangka panjangnya dapat menimbulkan kerugian bagi
penderita maupun keluarga.7
Infestasi dari helminthiasis dapat menimbulkan morbiditas hingga
kematian karena mempengaruhi status gizi, proses kognitif, menimbulkan
reaksi jaringan seperti granuloma, obstruksi usus, dan prolapsus rektum.
Manifestasi yang ditimbulkan oleh infeksi cacing yang ditularkan melalui
tanah berupa penurunan nafsu makan, diare, disentri, dan menurunnya
penyerapan zat mikronutrien sehingga akan mengganggu status gizi
penderita. Pada kasus yang lebih berat dapat terjadi komplikasi yang
membutuhkan intervensi bedah seperti obstruksi usus dan dubur.8
Beberapa penelitian tentang masalah kecacingan telah dilakukan di
beberapa daerah di Indonesia. Di Medan Belawan Sumatera Utara pada
tahun 2008 menunjukkan angka kecacingan yang cukup tinggi yaitu
53,8%.9 Penelitian di Kalimantan Selatan juga menunjukkan bahwa
sebesar 28,5% anak positif kecacingan.10 Prevalensi kecacingan sebesar
31,6% pada anak SD di Kota Palu.11 Anak usia sekolah merupakan
kelompok usia yang rentan terhadap berbagai masalah kesehatan yang
berkaitan dengan perilaku hidup bersih dan sehat termasuk di dalamnya
masalah penyakit kecacingan.12,13
Provinsi Sumatera Utara yang terletak di bagian barat Indonesia
tergolong ke dalam daerah beriklim tropis sehingga menunjang
3

pertumbuhan parasit cacing. Di Sumatera Utara, prevalensi kecacingan


pada anak sekolah diharapkan mampu diturunkan hingga 10%. Namun
hasil survey yang dilakukan menunjukkan bahwa prevalensi kecacingan di
Sumatera Utara adalah sebesar 30,8% dengan jenis cacing yang ditemukan
adalah cacing gelang 32%, cacing cambuk 11%, infeksi campuran (cacing
gelang dan cacing cambuk) 3,8%, dan cacing tambang 3%. Oleh sebab itu,
kecacingan masih merupakan masalah kesehatan di Sumatera Utara karena
prevalensinya masih di atas target yang telah ditetapkan.
Pada survei awal yang dilakukan di Saloo Hilinaa Kabupaten Nias
Utara Provinsi Sumatera Utara tampak bahwa lingkungan tersebut
memiliki sanitasi yang kurang baik dan kesadaran masyarakat terhadap
kebersihan lingkungan masih rendah terutama anak-anak. Selain itu dalam
2 tahun terakhir di daerah tersebut pemberian obat cacing tidak pernah
dilakukan. Di Pulau Nias, kebiasaan buang air besar di tempat terbuka
lebih dari 50% pada penduduk di Pulau Nias, dan hanya kurang lebih 20%
dari penduduk Kabupaten Nias mempunyai toilet/WC.14 Ketersediaan air
bersih, sanitasi, dan kebersihan erat kaitannya dengan transmisi atau
penularan infeksi kecacingan.5,15
Oleh karena itu, maka muncul suatu permasalahan yang menjadikan
peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana gambaran helminthiasis pada
anak usia sekolah yang akan dilakukan di Sekolah Dasar Negeri 071164
Saloo Hilinaa Nias Utara.

1.2. Rumusan Masalah


Bagaimana gambaran infeksi kecacingan pada siswa/i Sekolah
Dasar di SD N 071164 Saloo Hilinaa Nias Utara

1.3. Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran penyakit
helminthiasis pada siswa/i sekolah dasar di SD N 071164 Saloo Hilinaa
Nias Utara
4

1.4. Manfaat Penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk:

a. Fakultas Kedokteran Universitas HKBP Nommensen


Menambah sumber referensi penelitian di Fakultas Kedokteran Universitas
HKBP Nommensen
b. Peneliti
Menambah pengetahuan dan pengalaman belajar bagi peneliti dalam
melakukan penelitian
c. Dinas Kesehatan Setempat
Sebagai informasi dan masukan bagi institusi kesehatan setempat
mengenai status kecacingan siswa/i SD N 071164 Saloo Hilinaa Nias
Utara. Sebagai bahan pertimbangan dalam usaha peningkatan kesehatan
siswa-siswi SD N 071164 Saloo Hilinaa Nias Utara
d. Siswa/i dan Orangtua
Sebagai informasi untuk orangtua siswa/i SD N 071164 Saloo Hilinaa
Nias Utara Sumatera Utara tentang status kecacingan anak mereka.
Sebagai informasi kepada siswa/i dan guru SD N 071164 Saloo Hilinaa
Nias Utara Sumatera Utara.
e. Peneliti Selanjutnya
Sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya
5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI DAN KLASIFIKASI HELMINTH


Helminth berasal dari bahasa Yunani yang berarti cacing.
Berdasarkan taksonomi, helminth terbagi atas Phylum Nemathelminthes
dan Phylum Platyhelminthes. Nemahelminthes (cacing gilik atau cacing
benang) merupakan cacing kelas nematoda yang terbagi atas nematoda
usus dan nematoda jaringan. Platyhelminthes (cacing pipih) terbagi atas
kelas Trematoda dan kelas Cestoda.16,2 Helminthiasis merupakan infestasi
oleh satu atau lebih cacing parasit usus.1

2.2. EPIDEMIOLOGI
Nematoda merupakan spesies terbanyak di antara cacing-cacing
yang hidup sebagai parasit. Infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah
atau soil transmitted helmith (STH) merupakan infeksi cacing yang paling
umum dan banyak dijumpai. Menurut World Health Organization (WHO),
lebih dari 1,5 milyar orang atau 24% dari populasi dunia terinfeksi oleh
STH dan anak-anak usia sekolah merupakan kelompok usia yang paling
banyak terinfeksi.3 Secara umum, Ascaris lumbricoides merupakan jenis
cacing yang paling sering menginfeksi manusia, diikuti dengan Trichuris
trichiura, Hookworm, dan Strongyloides stercoralis. Prevalensi tertinggi
dijumpai di negara-negara berkembang di Asia, Afrika, dan Amerika
Latin.4
Beberapa survei yang dilakukan di Indonesia menunjukkan
penyebaran infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah masih cukup
tinggi. Infeksi Ascaris lumbricoides sering disertai dengan infeksi
Trichuris. Prevalensi Ascaris dan Trichuris tertinggi ditemukan di
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat dan Jawa Barat.
Infeksi cacing tambang ditemukan di daerah perkebunan di Indonesia
yaitu Sukabumi, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Terdapat beberapa faktor

5
6

yang menunjang perkembangan cacing ini di Indonesia antara lain iklim


tropis yang lembab, higiene dan sanitasi yang kurang baik, tingkat
pendidikan dan sosial ekonomi yang rendah, kepadatan penduduk yang
tinggi serta kebiasaan hidup yang kurang baik.16,17

2.3. JENIS-JENIS CACING YANG MENGINFEKSI MANUSIA 2,16


2.3.1. NEMATODA
Nematoda merupakan anggota filum Nemahelminthes, merupakan
kelompok cacing dengan bentuk bulat memanjang seperti benang.
Nematoda merupakan kelompok cacing yang paling banyak dijumpai.

a. Ascaris lumbricoides
Hospes dan Nama Penyakit
Hospes dari cacing Ascaris lumbricoides adalah manusia, penyakit yang
disebabkan oleh cacing ini disebut dengan Ascariasis.
Siklus Hidup
Jika telur yang fertil jatuh pada kondisi tanah yang sesuai, dalam 5-10 hari
maka telur tersebut dapat menginfeksi manusia. Telur dapat bertahan
hidup di dalam tanah selama 17 bulan. Infeksi biasanya terjadi melalui
kontaminasi tanah melalui tangan atau makanan, kemudian masuk ke
dalam usus dan akan menetas pada usus kecil (duodenum). Tahap
selanjutnya, larva akan melewati dinding usus dan melalui sistem porta
menuju hati dan selanjutnya ke paru. Larva kemudian dibatukkan dan
tertelan kembali menuju jejunum. Diperlukan waktu 65 hari untuk menjadi
cacing dewasa.
7

Sumber : http://www.cdc.gov/parasites/ascariasis/biology.html

Manifestasi Klinis
Gejala klinis yang paling sering ditemui berkaitan dengan penyakit
paru atau sumbatan pada usus atau saluran empedu. Manifestasi pada paru
berupa batuk, sesak, adanya infiltrat pada paru dan eosinofilia (Sindrom
Loffler). Cacing dewasa memakan sari-sari makanan hasil pencernaan host
sehingga dapat menyebabkan kekurangan protein, vitamin, kalori yang
menyebabkan pertumbuhan terhambat. Obstruksi pada usus, saluran
empedu, dan pankreas dapat terjadi karena sumbatan cacing yang besar.
Diagnosis
Diagnosis penyakit ascariasis dapat dilakukan dengan pemeriksaan tinja
secara langsung dengan menemukan telur cacing dalam tinja.

b. Necator americanus dan Ancylostoma duodenale


Hospes dan Nama Penyakit
Hospes dari parasit ini adalah manusia. Penyakit yang ditimbulkan oleh
cacing ini adalah Nekatoriasis dan Ankilostomiasi.
8

Siklus Hidup
Telur dikeluarkan dengan tinja dan setelah menetas dalam waktu 1-1,5 hari
keluarlah larva rabditiform. Dalam waktu 3 hari larva rabditiform tumbuh
menjadi larva filariform yang dapat menembus kulit dan dapat hidup
selama 7-8 minggu. Larva filariform akan menuju kapiler darah menuju
jantung kanan kemudia ke paru, bronkus, trakea, laring dan selanjutnya ke
usus halus. Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit atau
menelan larva filariform.

Sumber : http://www.cdc.gov/parasites/hookworm/biology.html

Manifestasi Klinis
Gejala klinis dapat dijumpai pada stadium larva maupun stadium dewasa.
Pada stadium larva, apabila larva filariform menembus kulit, maka dapat
terjadi ground itch yaitu perubahan kulit, mual, muntah, iritasi faring,
batuk, sakit leher, dan serak. Pada stadium dewasa, cacing N.americanus
dapat menyebabkan kehilangan darah sebanyak 0,005-0,1 cc/hari,
sedangkan A.duodenale menyebabkan kehilangan darah sebanyak 0,08-
0,34 cc/hari. Pada infeksi kronik atau berat dapat terjadi anemia dan
9

eosinofilia. Cacing tambang dapat menyebabkan daya tahan berkurang dan


prestasi menurun.

Diagnosis
Diagnosis dapat dilakukan dengan menemukan telur cacing di dalam tinja
segar.

c. Trichuris trichiura
Hospes dan Nama Penyakit
Hospes dari parasit ini adalah manusia. Penyakit yang ditimbulkan oleh
cacing ini disebut trichuriasis.

Siklus Hidup
Telur yang dibuahi dikerluarkan dari hospes bersama tinja. Telur matang
dalam waktu sampai 6 minggu di tanah yang lembab dan teduh. Telur
matang berisi larva dan merupakan bentuk infeksi. Cara infeksi langsung
bila secara kebetulan hospes menelan telur matang. Larva keluar melalui
dinding telur dan masuk ke dalam usus halus. Sesudah dewasa, cacing
turun ke usus bagian distal dan masuk kolon terutama sekum. Cacing ini
tidak mempunyai siklus paru. Masa pertumbuhan mulai dari telur tertelan
sampai cacing dewasa betina bertelur 30-90 hari.
10

Sumber : http://www.cdc.gov/parasites/whipworm/biology.html

Manifestasi Klinis
Pada infeksi berat terutama pada anak, cacing tersebar di seluruh kolon
dan rektum, dapat terlihat di mukosa rektumyang mengalami prolapsus
akibat mengejan. Iritasi dan mukosa usus dapat terjadi karena cacing
memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus sehingga terjadi
perdarahan di tempat perlekatannya. Cacing ini juga mengisap darah
hospesnya sehingga terjadi anemia. Gejala diare disertai disentri, anemia,
dan penurunan berat badan dapat terjadi pada kasus berat.

Diagnosis
Diagnosis dapat dilakukan dengan menemukan telur cacing di dalam tinja.

d. Strongyloides stercoralis
Hospes dan Nama Penyakit
Manusia adalah hospes parasit ini. Penyakit yang disebabkan oleh cacing
ini disebut strongiloidiasis.

Siklus Hidup
Parasit ini mempunyai tiga macam daur hidup
11

1. Siklus Langsung
Bila larva filariform menembus kulit manusia, larva tumbuh,
masuk ke dalam peredaran darah vena kemudian melalui jantung kanan
sampai ke paru. Dari paru parasit yang mulai dewasa menembus
alveolus masuk ke trakea dan laring. Sesudah sampai di laring terjadi
refleks batuk sehingga parasit tertelan, kemudia sampai di usus halus
bagian atas dan menjadi dewasa. Cacing betina yang dapat bertelur
ditemukan 28 hari sesudah infeksi.
2. Siklus tidak langsung
Larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan
cacing betina bentuk bebas. Bentuk bebas lebih gemuk dari bentuk
parasit.
Sesudah pembuahan, cacing betina menghasilkan telur yang
menetas menjadi larva rabditiform. Larva rabditiform dalam waktu
beberapa hari dapat menjadi larva filariform yang infektif dan masuk ke
dalam hospes yang baru atau mengulangi siklus hidup bebas.
3. Autoinfeksi
Larva rabditiform kadang-kadang menjadi larva filariform di usus
atau di daerah sekitar anus (perianal). Bila larva filariform menembus
mukosa usus atau kulit perianal, maka terjadi daur perkembangan di
dalam hospes. Autoinfeksi dapat menyebabkan infeksi menahun.
12

Sumber : http://www.cdc.gov/parasites/strongyloides/biology.html

Manifestasi Klinis
Creeping eruption dapat terjadi jika larva filariform menembus kulit dalam
jumlah banyak yang disertai rasa gatal yang hebat. Cacing dewasa
menyebabkan kelainan pada mukosa usus halus. Infeksi sedang dapat
menyebabkan rasa sakit seperti tertusuk-tusuk di daerah epigastrium
tengah dan tidak menjalar. Mual, muntah, diare, konstipasi dapat dijumpai.

Diagnosis
Diagnosis adalah dengan menemukan larva rabditiform dalam tinja segar,
dalam biakan, atau aspirasi duodenum.
13

2.3.2. TREMATODA
Trematoda merupakan anggota Phylum Platyhelminthes.
Trematoda merupakan cacing daun dan hidup sebagai parasit. Cacing
kelas trematoda umumnya membutuhkan hospes definitif dalam siklus
hidupnya. Terdapat beberapa hospes definitif dari cacing trematoda di
antaranya kucing, anjing, kambing, sapi, babi, tikus, burung, musang,
harimau, dan manusia.

a. Clonorchis sinensis
Hospes dan Nama Penyakit
Hospes dari parasit ini adalah manusia, kucing, anjing, beruang kutub, dan
babi. Penyakit yang ditimbulkannya disebut klonorkiasis.
Siklus Hidup
Telur dikeluarkan oleh tinja. Telur menetas jika dimakan keong air
(Bulinus, Semisulcospira). Infeksi terjadi jika makan ikan yang dimasak
kurang matang. Ekskitasi terjadi di duodenum. Kemudian larva masuk ke
duktus koledokus, lalu menuju ke saluran empedu yang lebih kecil dan
menjadi dewasa dalam waktu sebulan. Seluruh daur hidup berlangsung
selama 3 bulan.

Sumber : http://www.cdc.gov/parasites/clonorchis/biology.html
14

Manifestasi Klinis
Parasit ini dapat menyebabkan iritasi saluran empedu dan penebalan
dinding saluran, dapat terjadi perubahan jaringan hati berupa radang sel
hati yang dapat menimbulkan sirosis hati disertai asites dan edema.

Diagnosis
Diangosis ditegakkan dengan menemukan telur cacing yang berbentuk
khas dalam tinja atau dalam cairan duodenum.

b. Fasciola hepatica
Hospes dan Nama Penyakit
Hospes cacing ini adalah kambing dan sapi. Kadang-kadang parasit ini
ditemukan pada manusia. Penyakit yang ditimbulkannya disebut
fasioliasis.
Siklus Hidup
Telur dikeluarkan melalui saluran empedu ke dalam tinja dalam keadaan
belum matang. Telur menjadi matang dalam air setelah 9-15 hari dan
berisi mirasidium. Telur kemudian menetas dan mirasidium keluar
mencari keong air (Lymnaea spp). Dalam keong air terjadi perkembangan.
Infeksi terjadi dengan makan tumbuhan air yang mengandung
sumbermetaserkaria.
15

Sumber : http://www.cdc.gov/parasites/fasciola/biology.html

Manifetasi Klinis
Gejala yang timbul dapat berupa demam, nyeri pada bagian kanan atas
abdomen, hepatomegali, malaise, urtikaria, eosinofilia. Saluran empedu
mengalami peradangan, penebalan dan sumbatan, sehingga menimbulkan
sirosis periportal. Sekresi prolin oleh cacing dewasa menyebabkan
penebalan dinding saluran empedu. Migrasi cacing dapat terjadi di luar
hati dan dapat menimbulkan gejala tergantung organ tempat migrasi larva.
Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan menemukan telur cacing di dalam
tinja.

c. Schistosoma japonicum
Hospes dan Nama Penyakit
Hospesnya adalah manusia dan berbagai macam binatang seperti anjing,
kucing, rusa, tikus sawah, sapi, babi rusa, dan lain-lain. Penyakit ini
menyebabkan oriental schistosomiasis, schistosomiasis japonica, penyakit
Katayama atau penyakit demam keong.
16

Siklus Hidup
Telur ditemukan di dinding usus halus dan juga di alat-alat dalam seperti
hati, paru, dan otak. Cacing ini membutuhkan keong air sebagai hospes
perantaranya. Telur cacing yang dikeluarkan dari tinja manusia akan
menetas di dalam air menjadi mirasidium. Mirasidium kemudian masuk ke
dalam tubuh keong air dan berkembang menjadi sporokista I-Sporokista
II-banyak serkaria. Serkaria akan menginfeksi manusia di dalam air dan
akan menjadi cacing dewasa di dalam hati dan vena mesenterika usus
halus, selanjutnya telur akan dikeluarkan lagi melalui tinja.

Sumber : http://www.cdc.gov/parasites/schistosomiasis/biology.html

Manifestasi Klinis
Kelainan tergantung dari beratnya infeksi. Kelainan yang ditemukan pada
stadium I adalah gatal-gatal (urtikaria). Gejala intoksikasi disertai demam,
hepatomegali, dan eosinofilia tinggi. Pada stadium II ditemukan sindrom
disentri. Pada stadium III atau stadium menahun ditemukan sirosis hati dan
splenomegali; biasanya penderita menjadi lemah.
17

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur di dalam tinja atau dalam
jaringan biopsi seperti biopsi rektum.

d. Schistosoma mansoni
Hospes dan Nama Penyakit
Hospes definitif dari parasit ini adalah manusia dan kera baboon di Afrika
sebagai hospes reservoar. Penyakit yang ditimbulkan oleh cacing ini pada
manusia disebut skistosomiasis usus.
Siklus Hidup
Cacing ini membutuhkan keong air sebagai hospes perantaranya. Telur
cacing yang dikeluarkan dari tinja manusia akan menetas di dalam air
menjadi mirasidium. Mirasidium kemudian masuk ke dalam tubuh keong
air dan berkembang menjadi sporokista I-Sporokista II-banyak serkaria.
Serkaria akan menginfeksi manusia di dalam air dan akan menjadi cacing
dewasa di dalam hati dan vena mesenterika usus halus, selanjutnya telur
akan dikeluarkan lagi melalui tinja.

Sumber : http://www.cdc.gov/parasites/schistosomiasis/biology.html
18

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis S.mansoni sama dengan S.japonicum namun lebih
ringan. Pada penyakit ini splenomegali dapat menjadi berat sekali.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur di dalam tinja atau dalam
jaringan biopsi seperti biopsi rektum.

e. Schistosoma haematobium
Hospes dan Nama Penyakit
Hospes definitifnya adalah manusia. Penyakit yang ditimbulkan cacing ini
adalah skistosomiasis kandung kemih.
Siklus Hidup
Cacing ini membutuhkan keong air sebagai hospes perantaranya. Telur
cacing yang dikeluarkan dari tinja manusia akan menetas di dalam air
menjadi mirasidium. Mirasidium kemudian masuk ke dalam tubuh keong
air dan berkembang menjadi sporokista I-Sporokista II-banyak serkaria.
Serkaria akan menginfeksi manusia di dalam air dan akan menjadi cacing
dewasa di dalam vena kandung kemih dan hati, selanjutnya telur akan
dikeluarkan lagi melalui tinja.

Sumber : http://www.cdc.gov/parasites/schistosomiasis/biology.html
19

Manifestasi Klinis
Kelainan utama yang disebabkan cacing ini adalah hematuria dan disuria
bila terjadi sisititis. Sindorm disentri ditemukan jika terjadi kelainan di
rekrum. Kelainan utama ditemukan di kandung kemih.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur di dalam tinja atau dalam
jaringan biopsi seperti biopsi rektum.

f. Paragonimus westermani
Hospes dan Nama Penyakit
Hospes dari cacing ini adalah manusia dan binatang yang memakan
ketam/udang batu seperti kucing, musang, anjing, harimau, dan lain-lain.
Siklus Hidup
Telur menjadi matang dalam waktu kira-kira 16 hari lalu menetas.
Mirasidium mencari keong air dan dalam keong terjadi perubahan. Infeksi
terjadi dengan memakan ketam/udang batu yang tidak dimasak sampai
matang.

Sumber : www.cdc.gov/parasites/paragonimus/biology.html
20

Diagnosis
Diagnosis dilakukan dengan menemukan telur dalam sputum atau cairan
pleura. Kadang-kadang telur ditemukan juga dalam tinja.

2.3.3. Cestoda
Cestoda merupakan anggota Phylum Platyhelminthes. Cestoda
merupakan cacing pita dan hidup sebagai parasit. Manusia merupakan
hospes cestoda dalam bentuk cacing dewasa dan larva.

a. Diphyllobothrium latum (Taenia lata, Dibothriocephalus latus, broad


tapeworm, fish tapewom)
Hospes dan Nama Penyakit
Hospes definitif dari parasit ini adalah manusia dan hospes reservoarnya
adalah anjing, kucing, dan beberapa mamalia lainnya. Penyakit yang
disebabkan oleh cacing ini adalah difilobotriasis.

Siklus Hidup
Telur cacing dikeluarkan melalui tinja. Telur menetas di dalam air. Larva
yang disebut korasidium dimakan oleh hospes perantara pertama yaitu
Copepoda seperti Cyclops dan Diaptomus. Dalam hospes ini, larva
tumbuh menjadi proserkoid, kemudian Cyclops dimakan oleh hospes
perantara kedua yaitu ikan salem, selanjutnya proserkoid berubah menjadi
larva pleroserkoid atau disebut sparganum. Infeksi pada manusia terjadi
dengan memakan ikan yang tidak dimasak dengan baik sehingga
sparganum tumbuh menjadi cacing dewasa di rongga usus halus.
21

Sumber : http://www.cdc.gov/parasites/diphyllobothrium/biology.html

Manifestasi Klinis
Penyakit ini tidak menimbulkan gejala berat, hanya gejala di saluran
pencernaan seperti diare, tidak nafsu makan, dan rasa tidak enak di perut.
Bila cacing hidup di permukaan usus, dapat terjadi anemia hipokrom-
makrositer karena cacing itu banyak menyerap vitamin B12. Bila jumlah
cacing banyak, dapat terjadi sumbatan usus secara mekanik atau obstruksi
usus.

Diagnosa
Diagnosa dapat ditegakkan dengan menemukan telur atau proglotid yang
dikeluarkan dalam tinja.
22

b. Taenia saginata
Hospes dan Nama Penyakit
Hospes definitif dari Taenia saginata adalah manusia. Hospes perantaranya
adalah sapi, kerbau, dan hewan lain dari family Bovidae. Penyakit yang
disebabkan oleh cacing ini disebut taeniasis saginata

Siklus Hidup
Telur melekat di rumput bersama tinja bila orang defekasi di padang
rumput atau karena tinja yang hanyut pada saat banjir. Ternak yang
memakan rumput yang terkontaminasi dihinggapi cacing gelembung
karena cacing yang tertelan dicerna dan embrio hekasakan menetas
kemudian menembus dinding usus halus ternak masuka ke saluran getah
bening atau darah dan ikut ke jaringan ikat di sela-sela otot untuk tumbuh
menjadi cacing gelembung, disebut sistiserkus bovis yaitu larva Taenia
saginata.
Bagian tubuh ternak yang sering dihinggapi larva tersebut adalah otot
maseter, paha belakang, dan punggung. Setelah 1 tahun biasanya cacing
ini mengalami degenerasi, namun ada juga yang bertahan hidup hingga 3
tahun. Infeksi terjadi ketika memakan daging sapi yang kurang matang,
sehingga skoleks keluar dari cacing gelembung dengan cara evaginasi dan
melekat pada mukosa usus halus, biasanya yeyunum. Cacing gelembung
akan dewasa dalam waktu 8-10 minggu, biasanya di rongga usus hospes
terdapat seekor cacing.
23

Sumber : http://www.cdc.gov/parasites/taeniasis/biology.html

Manifestasi Klinis
Gejala klinis yang dapat timbul dapat berupa sakit ulu hati, perut tidak
enak, mual, muntah, diare, pusing. Gejala tersebut dapat disertai dengan
ditemukannya progolotid cacing yang bergerak-gerak lewat dubur bersama
atau tanpa tinja. Jika proglotid masuk ke dalam tinja maka timbul gejala
yanglebih berat seperti ileus yang disebabkan oleh obstruksi usus oleh
strobila cacing. Eosinofilia dapat ditemukan di darah tepi.
Diagnosa
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan proglotid yang aktif bergerak
dalam tinja atau keluar spontan, juga dengan menemukan telur dalam tinja.

c. Taenia solium
Hospes dan Nama Penyakit
Hospes definitif dari Taenia solium adalah manusia, hospes perantanya
adalah babi. Penyakit yang disebabkan oleh cacing ini disebut taeniasis
solium dan yang disebabkan stadium larva disebut sistiserkosis.
24

Siklus Hidup
Telur bila termakan oleh hospes perantara yang sesuai, maka dindingnya
dicerna dan embrio heksakan keluar dari telur, menembus dinding usus
dan masuk ke saluran getah bening atau darah. Embrio heksakan kemudia
ikut ke aliran darah dan menyangkut di jaringan otot babi, biasanya di oto
lidah, punggung, dan pundak babi. Larva tersebut berukuran 0,6-1,8 cm.
Bila daging babi yang mengandung larva sistiserkus dimakan setengah
matang atau mentah oleh manusia, dinding kista dicerna, skoleks
mengalami evaginasi untuk kemudian melekat pada dinding usus halus
seperti yeyunum. Dalam waktu 3 bulan, cacing tersebut menjadi dewasa
dan melepaskan proglotid dengan telur.

Sumber : http://www.cdc.gov/parasites/taeniasis/biology.html

Manifestasi Klinis
Gejala yang muncul dapat berupa nyeri ulu hati, mencret, mual, obstipasi,
dan sakit kepala. Pada pemeriksaan darah tepi, dapat dijumpai
eosinoofilia. Gejala klinis yang berat disebabkan oleh larva yang disebut
dengan sistiserkosis yang sering terjadi pada subkutis, mata, jaringan otak,
25

otot, otot jantung, hati, paru, dan rongga perut. Sistiserkus pada suatu
waktu dapat menimbulkan pseudohipertrofi otot, disertai gejala miositis,
demam tinggi, dan eosinofilia.

Diagnosa
Diagnosis dapat dilakukan dengan menemukan telur dan proglotid dalam
tinja.

2.4. PENGOBATAN 18
Antelmintik atau obat cacing adalah obat yang digunakan untuk
memberantas atau mengurangi cacing dalam lumen usus atau jaringan
tubuh.

Mebendazol
Mebendazol merupakan antelmintik spektrum luas. Mebendazol efektif
untuk mengobati infeksi cacing gelang, cacing kremi, cacing tambang, dan
T.trichiura, maka berguna untuk mengobati infestasi campuran cacing-
cacing tersebut. cara kerja mebendazol adalah dengan menyebabkan
kerusakan struktur subseluler cacing, menghambat ambilan glukosa secara
irreversibel sehingga terjadi pengosongan glikogen pada cacing sehingga
cacing akan mati perlahan-lahan.

Albendazol
Albendazol adalah obat cacing derivat benzimidazol berspektrum lebar
yang diberikan per oral. Dosis tunggal efektif untuk infeksi cacing kremi,
cacing gelang, cacing trichuris, cacing S.stercoralis, dan cacing tambang.
Obat ini bekerja dengan berikatan dengan -tubulin parasit sehingga
menghambat polimerisasi mikrotubulus dan memblok pengambilan
glukosa oleh larva maupun cacing dewasa sehingga persediaan glikogen
menurun dan pembentukan ATP berkurang, akibatnya cacing akan mati.
26

Pirantel Pamoat
Pirantel pamoat terutama digunakan untuk memberantas cacing gelang,
cacing kremi, dan cacing tambang. Cara kerjanya adalah dengan
meningkatkan frekuensi impuls sehingga cacing mati dalam keadaan
spastis.

Praziquantel
Praziquantel merupakan antelmintik berspektrum lebar dan efektif pada
cestoda dan trematoda pada hewan dan manusia. Cara kerjanya adalah
meningkatkan aktivitas otot cacing sehingga timbul kontraksi dan paralisis
spastik, yang mengakibatkan terlepasnya cacing dari tempatnya yang
normal pada tubuh hospes. Pada dosis yang lebih tinggi, praziquantel
menyebabkan isi cacing keluar dan mekanisme pertahanan tubuh dipacu
untuk menghancurkan cacing tersebut.
27

2.5. GAMBAR 19
28

2.6. KERANGKA KONSEP


Ascariasis
Trichuriasis
Ancylostomiasis
Gambaran Necatoriasis
Helminthiasis pada Stronglyloidiasis
anak SD Chlonorkiasis
Fascioliasis
Schistosomiasis
Paragonimiasis
Taeniasis
29

BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian


Desain penelitian yang digunakan untuk penelitian ini adalah Cross
Sectional. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini akan dilakukan di Laboratorium Parasitologi
Fakultas Kedokteran Universitas HKBP Nommensen pada bulan
Desember-Januari 2015.
Sampel berupa feses akan diambil dari siswa/i di SD N 071164
Saloo Hilinaa Nias Utara pada bulan Desember 2015.

3.3. Populasi Penelitian


Populasi dari penelitian ini adalah seluruh murid sekolah dasar di SD N
071164 Saloo Hilinaa Nias Utara yang berjumlah 346 orang.

3.4. Sampel dan Cara Perhitungan Sampel


3.4.1. Sampel
Sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini sebanyak 84 orang
anak yang masing-masing akan diambil fesesnya untuk diperiksa. Sampel
akan diambil dengan menggunakan teknik Stratified Random Sampling.

3.5.1. Cara Perhitungan Sampel

()2
=
2
Keterangan:
Z = Derivat baku alpha (1,96)
P = Proporsi kategori (0,316)
Q = 1-P (0,684)

29
30

D = Presisi (10%)
Dari hasil perhitungan maka jumlah sampel pada penelitian ini adalah
sebanyak 83,034 dibulatkan menjadi 84.

3.5. Prosedur Kerja


1. Menemui Kepala Sekolah dan meminta izin untuk melakukan
penelitian dengan melampirkan surat pengantar.
2. Mengumpulkan dan mengarahkan siswa/i yang dipilih sebagai sampel.
Mengambil tinja sebanyak 100 mg (sebesar kelereng atau ibu jari
tangan) dengan menggunakan sendok yang terdapat pada tutup pot
tinja. Masukkan tinja ke dalam pot dan tutup rapat. Pot tersebut diisi
dengan tinja dan dikumpulkan pada keesokan harinya.
3. Feses harus diberi formalin 5%-10% sampai terendam agar telur
cacing tidak rusak atau menetas menjadi larva.
4. Pot yang telah diisi feses akan dikumpulkan kembali oleh peneliti dan
dibawa ke Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas
HKBP Nommensen untuk diperiksa.
5. Pemeriksaan feses akan dilakukan dengan menggunakan teknik Kato-
Katz.

Teknik Kato-Katz
Alat yang digunakan :
1. Pot tinja
2. Sampel berupa feses
3. Gelas objek
4. Potongan-potongan plastik selofan (22 x 40 mm) yang direndam
dalam larutan Kato yang terdiri dari larutan phenol 6%, glycerol,
dan larutan malachyte green 3%.
5. Formalin 5%-10%
6. Aquades
7. Lidi
31

8. Tabung reaksi dan pinset


9. Mikroskop

Cara Pembuatan Sampel Tinja


1. Pakai sarung tangan
2. Tulis nomor kode pada gelas objek dengan spidol sesuai dengan
yang tertulis di pot tinja.
3. Tutuplah tinja dengan selofan yang sudah direndam dalam larutan
Kato
4. Diamkan sediaan kurang lebih selama 20-30 menit.
5. Baca di bawah mikroskop dengan pembesaran 4x,10x, dan 40x
6. Baca seluruh lapangan pandang, tentukan spesiesnya, hitung jumlah
telur untuk setiap spesies yang ditemukan.

Klasifikasi Prevalensi Penyakit Cacingan


Kategori Prevalensi Prevalensi
Tinggi 50%
Sedang 20% - <50%
Rendah <20%

Prevalensi cacingan :

jumlah sampel tinja positif telur cacing


x 100%
jumlah sampel tinja yang diperiksa
32

Tabel Hasil Pemeriksaan


Positif
Kode Nematoda/Cacing Benang Trematoda/Cacing Cestoda/Cacing Negatif
A.lumbricoides T.trichiura Hookworm S.stercoralis Daun Pita
33

DAFTAR PUSTAKA

1. Helminthiasis [Internet]. WHO. 2015 [cited 2015 Sep 15]. Available from:
http://www.who.int/topics/helminthiasis/en/

2. Natadisastra D, Agoes R, editors. Parasitologi Kedokteran: Ditinjau dari


Organ Tubuh yang Diserang. Jakarta: EGC; 2014. 16-37 p.

3. Soil-transmitted helminth infections [Internet]. WHO. 2015 [cited 2015 Sep


15]. Available from: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs366/en/

4. Hotez PJ, Brindley PJ, Bethony JM, King CH, Pearce EJ, Jacobson J.
Helminth infections: The Great Neglected Tropical Diseases. J Clin Invest
[Internet]. 2008;118(4):131121. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2276811/

5. Neglected Tropical Disease [Internet]. WHO. 2015 [cited 2015 Nov 15].
Available from: http://www.who.int/neglected_diseases/water-
sanitation/en/

6. Echaz A, Bonanno D, Juarez M, Cajal SP, Heredia V, Caropresi S, et al.


Effect of Poor Access to Water and Sanitation As Risk Factors for Soil-
Transmitted Helminth Infection: Selectiveness by the Infective Route.
PLoS Negl Trop Dis [Internet]. 2015;9(9). Available from:
http://dx.plos.org/10.1371/journal.pntd.0004111

7. Penyakit Kecacingan Masih Dianggap Sepele. Kementerian Kesehatan


Republik Indonesia. 2010.

8. Helminthiasis [Internet]. WHO. 2015 [cited 2015 Oct 7]. Available from:
http://www.who.int/tdr/diseases-topics/helminths/en/
34

9. Salbiah. Hubungan Karakteristik Siswa Dan Sanitasi Lingkungan Dengan


Infeksi Cacingan Siswa Sekolah Dasar Di Kecamatan Medan Belawan.
2008;72.

10. Rahayu N, Ramdani M. Faktor Resiko Terjadinya Kecacingan di SDN


Tebing Tinggi di Kabupaten Balangan Provinsi Kalimantan Selatan
Abstrak. J Buski (Jurnal Epidemiol dan Penyakit Bersumber Binatang)_.
2013;4(3):1504.

11. Chadijah S, Sumolang P, Veridiana NN. Hubungan Pengetahuan, Perilaku,


dan Sanitasi Lingkungan dengan Angka Kecacingan Pada Anak Sekolah
Dasar di Kota Palu. Media Litbangkes. 2014;24:506.

12. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia


Tahun 2013. 2014.

13. Gyorkos TW, Maheu-Giroux M, Blouin B, Casapia M. Impact of health


education on soil-transmitted helminth infections in schoolchildren of the
Peruvian Amazon: a cluster-randomized controlled trial. PLoS Negl Trop
Dis [Internet]. 2013;7(9):e2397. Available from:
http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3772033&tool=
pmcentrez&rendertype=abstract

14. Pencanangan Tahun Sanitasi Internasional di Nias oleh PEMKAB Nias dan
Unicef [Internet]. Nias Online. 2008 [cited 2015 Nov 24]. Available from:
http://niasonline.net/2008/06/26/pencanangan-tahun-sanitasi-internasional-
2008-di-nias-oleh-pemkab-nias-dan-unicef/

15. Bos R, Keiser J. Effect of Sanitation on Soil-Transmitted Helminth


Infection: Systematic Review and Meta-Analysis. 2012;9(1).
35

16. Departemen Parasitologi. Parasitologi Kedokteran. Edisi Keem. Sutanto I,


Ismid IS, Sjarifuddin PK, Sungkar S, editors. Jakarta: FKUI, Jakarta; 2008.
383 p.

17. Kementrian Kesehatan RI Direktorat Jenderal PP dan PL. Pedoman


Pengendalian Kecacingan. Jakarta: Bakti Husada; 2012. 1-38 p.

18. Syarif A, Elysabeth. Kemoterapi Parasit. In: Gunawan S, editor.


Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan
Terapeutik FKUI; 2011. p. 541.

19. Ash LR, Orihel TC. Atlas of Human Parasitology. 5th ed. Singapore:
American Society for Clinical Pathology; 2007. 173-185 p.
36

DAFTAR ISI

BAB 1 ..................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

1.1. LATAR BELAKANG .............................................................................. 1

1.2. Rumusan Masalah .................................................................................... 3

1.3. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 3

1.4. Manfaat Penelitian .................................................................................... 4

BAB 2 ..................................................................................................................... 5

TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 5

2.1. DEFINISI DAN KLASIFIKASI HELMINTH ........................................ 5

2.2. EPIDEMIOLOGI ..................................................................................... 5

2.3. JENIS-JENIS CACING YANG MENGINFEKSI MANUSIA 2,16 ......... 6

2.3.1. NEMATODA .................................................................................... 6

2.3.2. TREMATODA................................................................................ 13

2.3.3. Cestoda ............................................................................................ 20

2.4. PENGOBATAN ..................................................................................... 25

2.5. GAMBAR .............................................................................................. 27

2.6. KERANGKA KONSEP ......................................................................... 28

BAB 3 ................................................................................................................... 29

METODOLOGI PENELITIAN ............................................................................ 29

3.1. Desain Penelitian .................................................................................... 29

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................ 29

3.3. Populasi Penelitian ................................................................................. 29

3.4. Sampel dan Cara Perhitungan Sampel ................................................... 29


37

3.4.1. Sampel ............................................................................................. 29

3.5. Prosedur Kerja ........................................................................................ 30

Tabel Hasil Pemeriksaan ....................................................................................... 32

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 33

Anda mungkin juga menyukai