Anda di halaman 1dari 14

DERMATITIS ATOPIK

Dermatitis atopik (DA) adalah penyakit kulit kronik yang berulang, sering terjadi
pada awal kehidupan (bayi) dan waktu anak-anak. Dermatitis atopik sering dikaitkan dengan
fungsi sawar kulit yang abnormal dan sensitisasi alergen. Tidak ada kriteria atau diagnosa
khusus yang mampu membedakan dermatitis atopik dengan penyakit lain. Dengan itu,
diagnosa dermatitis atopik berdasarkan gejala klinis di dalam jadwal berikut:

Kriteria mayor (harus memenuhi 3 atau lebih Kriteria minor (harus memenuhi 3 atau lebih
kriteria) kriteria)

Pruritus Katarak (anterior-subkapsular)


Morfologi dan distribusi yang tipikal Cheilitis
Likenifikasi fleksura pada orang dewasa Konjungtivitis - rekuren
Keterlibatan wajah dan ekstensor pada Eksim asentuasi perifolikuler
bayi dan anak-anak Fasial palor/fasial eritema
Dermatitis- kronik atau kronik yang Intoleren terhadap makanan
berulang Dermatitis tangan non-alergi, iritan
Riwayat keluarga atau personal asma, Iktiosis
rhinitis alergi, dermatitis atopik Peningkatan IgE
Tipe 1 (immediate) tes reaktivitas kulit
Infeksi (kulit) S.aureus, herpes
simpleks
Infraorbital fold (Dennie-Morgan lines)
Gatal sewaktu berkeringat
Keratokonus
Keratosis pilaris
Dermatitis payudara
Warna hitam pada orbital
Palmar hyperlinearity
Pityriasis alba
Dermografisme putih
Intoleren pada wool

EPIDEMIOLOGI

Sejak tahun 1960, telah terjadi peningkatan kasus dermatitis atopik sebanyak 3 kali
lipat. Studi terbaru menunjukkan prevalensi anak-anak yang terkena dermatitis atopik adalah
kira-kira 10-20% di Amerika Serikat, Eropa Utara dan Barat, Africa, Jepang, Australia, dan
negara industrial yang lain. Prevalensi orang dewasa sekitar 1- 3%. Namun begitu, prevalensi
dermatitis atopik lebih rendah di negara-negara agrikultur seperti China dan Eropa timur,
pedalaman Afrika, dan Asia tengah. Rasio antara penderita perempuan/lelaki adalah 1.3:1.
Peningkatan prevalensi ini tidak diketahui penyebabnya.
Namun, terdapat faktor resiko yang berpotensi meningkatkan kadar penderita
penyakit dermatitis atopik ini seperti jumlah keluarga yang sedikit, pendapatan bertambah,
tingkat edukasi yang tinggi pada orang kulit hitam/putih, migrasi dari desa ke kota, serta
meningkatnya kadar penggunaan antibiotik (dikenali juga dengan Western lifestyle). Ini
diakibatkan oleh hygiene hypothesis yang mengatakan bahwa penyakit alergi ini bisa
dicegah dengan infeksi pada awal masa anak-anak yang ditransmisi oleh kontak non-higenis
dengan saudara-saudaranya yang lain.

ETIOLOGI

Dermatitis atopik merupakan penyakit kulit inflamatori yang sangat gatal, diakibatkan
oleh interaksi kompleks antara kecenderungan genetik yang menyebabkan gangguan fungsi
sawar kulit, gangguan sistem imun humoral, dan peningkatan respon imunologik terhadap
alergen dan antigen mikroba.

GEJALA KLINIS

Diagnosa dermatitis atopik adalah berdasarkan tabel yang telah dinyatakan


sebelumnya. Dermatitis atopik biasanya muncul pada awal kehidupan (bayi). Kira-kira 50%
penderita mendapat penyakit ini pada tahun pertama kehidupan dan 30% penderita lainnya
mendapat penyakit ini pada usia antara 1 hingga 5 tahun. Kurang lebih 50% hingga 80%
penderita dermatitis atopik akan terkena alergi rhinitis atau asma pada kehidupaan anak-anak
ke depannya. Namun, penderita yang terkena alergi respiratori akan mendapat gejala
dermatitis atopik yang lebih signifikan.

Sensasi yang sangat gatal dan reaktivitas kulit merupakan gejala kardinal pada
dermatitis atopik. Rasa gatal bisa hilang timbul sepanjang hari tetapi bertambah berat pada
awal sore dan malam. Konsekuensi yang bisa terjadi adalah menggaruk, papul prurigo,
likenifikasi, dan lesi pada kulit yang eksim. Lesi kulit yang akut pula ditandai dengan gejala
seperti sensasi yang sangat gatal, papul eritema dengan ekskoriasi, vesikel pada kulit yang
eritem, dan eksudat serosa. Dermatitis subakut pula ditandai dengan gejala seperti papul
eritematous berskuama yang disertai dengan ekskoriasi. Dermatitis kronik ditandai dengan
gejala seperti plak yang menebal pada kulit, likenifikasi, dan papul fibrotik (prurigo
nodularis). Pada dermatitis kronik, lesi pada ketiga-tiga stadium ini muncul pada penderita
yang sama. Pada semua stadium dermatitis atopik, kulit penderita menjadi kering. Distribusi
dan reaksi lesi dermatitis atopik ini berbeda mengikut umur penderita dan aktivitas penyakit
tersebut. Pada bayi, lesi yang muncul adalah dalam stadium akut dan predileksinya adalah
wajah, kulit kepala, dan bagian ekstensor pada tubuh. Namun begitu, bagian yang dipakaikan
popok tidak terjejas.

Pada anak-anak yang lebih meningkat umurnya dan mempunyai kelainan atau
penyakit kulit lain yang kronik, penderita lebih cenderung untuk terkena dermatitis atopik
kronik yang ditandai dengan gejala seperti likenifikasi dan lokasinya pada ekstensor fleksura.
Dermatitis atopik biasanya hilang dengan sendiri seiring dengan pertambahan usia penderita.
Namun, penderita lebih cenderung kepada terjadinya pruritus dan inflamasi apabila terpapar
pada iritan eksogen. Eksim pada tangan menjadi manifestatsi primer pada kebanyakan pasien
dewasa dermatitis atopik.

Gambar 1. Gambar kiri menunjukkan bayi dengan lesi dermatitis atopik . Gambar kanan menunjukkan lesi
dermatitis atopik yang berkrusta pada anak ini.

Gambar 2. Gambar di atas menunjukkan likenifikasi pada bagian leher dan bahu pasien dermatitis atopik.

Tes laboratorium.

Test laboratorium biasanya tidak diperlukan dalam evaluasi rutin dan terapi
uncomplicated atopic dermatitis. Kira-kira 70 % hingga 80% pasien dermatitis atopik
mempunyai serum IgE yang meningkat. Kondisi ini beruhubung dengan sensitisasi alergen
makanan atau alergen hirup dan/atau yang disebabkan oleh rhinitis alergi dan asma.
Sebanyak 20% hingga 30% penderita mempunyai kadar IgE serum yang normal. Pada
dermatitis atopik subtipe ini, penderita memiliki hanya sedikit sensitisasi IgE terhadap
allergen makanan dan alergen hirup. Tetapi penderita juga memiliki sensitisasi terhadap
antigen mikroba seperti toksin S.aureus dan Candida albicans atau Malassezia sympodialis.
Namun, sesetengah penderita menunjukkan reaksi positif dengan tes tempel atopik (atopy
patch test). Majoritas penderita dermatitis atopik memiliki eosinofilia darah perifer. Penderita
dermatitis atopik meningkatkan pelepasan histamin secara spontan dari basofil. Temuan
klinis ini memberikan gambaran respon imun Th2 dalam penyakit ini terutamanya penderita
dengan elevasi kadar serum IgE.

DIAGNOSA DAN DIAGNOSA BANDING

Kriteria major dari dermatitis atopik adalah pruritus dan dermatitis ekzematous
dengan morfologi dan distribusi yang tipikal, berlangsung kronik atau remiten. Banyak
penyakit seperti penyakit inflamatori, imunodefisiensi, maligna kulit, kelainan genetik,
penyakit infeksi dan infestasi memiliki gejala yang sama seperti dermatitis atopik. Oleh itu,
penting untuk memperhatikan gejala-gejala yang ada sebelum diagnosa dermatitis atopik
ditegakkan. Bayi yang lahir dengan masalah pertumbuhan, diare, ruam yang eritem dan
berskuama di seluruh tubuh, dan infeksi kulit atau sistemik berulang harus dievaluasi dengan
sindrom imunodefisiensi. Sindrom Wiskott-Aldrich adalah penyakit X-linked recessive
disorder yang ditandai dengan kelainan kulit merupakan suatu penyakit yang sukar
dibedakan dengan dermatitis atopik. Gejala yang bisa diperhatikan pada penyakit Waskott-
Aldrich ini adalah thrombositopenia, berbagai abnormalitas pada imunitas seluler dan
humoral, serta infeksi bakteri yang berulang.

Pada sindrom hiper IgE pula ditandai dengan gejala seperti peningkatan kadar serum
IgE, gangguan fungsi sel T, infeksi bakteri yang berulang seperti abses kutan yang
disebabkan oleh S.aureus dan/atau penyakit kulit yang pruritik disebabkan oleh S.aureus
pustulosis atau dermatofitosis yang menetap. Erupsi papulopustular pada wajah dapat dilihat
pada awal kehidupan bayi. Walaupun bakteri S.aureus merupakan patogen yang memainkan
peran penting dalam penyakit ini, namun infeksi oleh bakteri lain, virus, dan jamur turut
bisa berlaku, terutamanya apabila penderita mengkonsumsi obat profilaksis antistafilokokal.
Fitur lain dari sindrom hiper IgE adalah pneumonia dengan formasi pneumatosele, anomaly
gigi pada gigi primer, fraktur tulang, dan osteopenia. Adalah sangat penting untuk
memerhatikan pasien dewasa yang datang dengan gejala dermatitis ekzematous tanpa adanya
riwayat eksim pada waktu anak-anak, alergi respiratorik, atau riwayat keluarga dengan
kontak dermatitis alergi. Kontak alergen harus dipertimbangkan pada pasien suspek
dermatitis atopik yang tidak berespon baik dengan obat-obatan bagi penyakit tersebut. Telah
banyak dilaporkan bahwa pasien dengan dermatitis kronik mempunyai kontak alergi terhadap
glukokortikoid topikal dan penghambat calcineurin topikal. Selain itu, limfoma kutaneus sel
T harus dipertimbangkan pada pasien dewasa yang menunjukkan gejala dermatitis kronik
yang tidak berespon baik dengan terapi glukokortikoid topikal. Secara idealnya, prosedur
biopsi dilakukan pada 3 tempat yang berbeda karena secara histologinya akan ditemukan
spongiosis dan infiltrat seluler yang mirip dengan dermatitis atopik. Dermatitis eksematous
juga sering dilaporkan pada pasien HIV serta pada pasien dengan penyakit infestasi seperti
skabies. Kelainan lain yang bisa menyerupai dermatitis atopik termasuklah psoriasis, iktiosis,
dan dermatitis seboroik.

Diagnosa banding Dermatitis Atopik


Paling sering Jarang ditemukan pada bayi dan anak-anak
Dermatitis kontak (alergi dan iritan) Metabolik/nutrisional
Dermatitis seboroik Fenylketonuria
Skabies Defisiensi Prolidase
Psoriasis Deficiency karboksilase multipel
Iktiosis vulgaris Defisiensi zat besi (acrodermatitis
Keratosis pilaris enleropathica; prematur; defisiensi zat
Dermatofitosis besi dalam ASI; kista fibrotik)
Pertimbangkan Lain-lain: biotin, asam lemak
Ekzema asteatotik esensial,
Asiduria organik
Liken simpleks chronicus
Dermatitis numular
Penyakit imunodefisiensi primer
Dermatosis palmoplantar
Penyakit imunodefisiensi campuran
Impetigo
berat
Erupsi obat
Sindrom DiGeorge
Dermatitis perioral Hypogammaglobulinemia
Pityriasis alba Agammaglobulinemia
Penyakit fotsensitivitas (hydroa Sindrom Wiskolt-Aldrich
vacciniforme; erupsi cahaya Ataxia-telangiectasia
polimorfik; porphyrias) Sindrom Hiperimmunoglobulin E
Dermatitis moluskum Chronic mukokutaneous kandidiasis
Sindrom Omenn
Jarang ditemukan pada remaja dan
dewasa Sindrom genetik
Limfoma kutaneus sel T (mycosis Sindrom Netherton
fungoides atau Sindrom Sezary) Sindrom Hurler
HIV-dengan dermatosis
Lupus erytematosus Inflammatory, autoimmune disorders
Dermatomiositis Eosinophilic gastroenteritis
Graft-versus-host disease Gluten-sensitive enteropati
Pemfigus foliaceus Neonatal lupus erythematosus
Dermatitis herpetiformis
Penyakit fotosensitivitas {hydroa Proliferative disorders
vacclniforme, erupsi cahaya histiositosis sel Langerhans
polimorfik; porphyrias)
KOMPLIKASI

Okuler
Komplikasi pada mata yang berhubungan dengan dermatitis atopik berat
menyumbang untuk terjadinya morbiditas yang signifikan. Dermatitis kelopak mata dan
blefaritis kronik sering dikaitkan dengan dermatitis atopik serta sering mengakibatkan
gangguan visus yang terjadi akibat skar pada kornea. Keratokonjungtivits atopik biasanya
terjadi bilateral dan bisa disertai dengan gejala lain seperti gatal, sensasi terbakar, mata
yang berair, serta keluar cairan mucoid yang banyak. Konjungtivitis vernal adalah proses
inflamatori kronik berat yang terjadi secara bilateral dan disertai dengan hipertrofi
papilaris atau cobblestone pada konjungtiva kelopak mata atas. Sensasi prutitus diperberat
dengan paparan terhadap iritan, cahaya, atau keringat. Keratokonus pula adalah
deformitas konikal pada kornea yang disebabkan oleh gosokan kronik pada mata pasien
dengan dermatitis atopik dan rhinitis alergi. Sekitar 21% pasien dengan dermatitis atopik
berat menderita katarak. Walaubagaimanapun, tidak diketahui secara jelas manifestasi
primer yang berlaku ini adalah disebabkan oleh dermatitis atopik sendiri atau daripada
penggunaan glukokortikoid topikal pada sekitar daerah mata.

Infeksi
Dermatitis atopik biasanya dipersulit dengan infeksi viral pada kulit yang rekuren
disebabkan oleh defek pada fungsi sel T. Infeksi virus yang paling berat adalah herpes
simpleks yang mana penyakit ini bisa terjadi pada pasien di segenap peringkat umur,
menyebabkan terjadinya erupsi Kaposi variseliform atau ekzema herpetikum. Setelah
waktu inkubasi selama 5 hingga 12 hari, lesi yang multipel, gatal, erupsi lesi
vesikulopapuler yang menyebar dan berkelompok akan menjadi hemoragik serta
berkrusta. Erosi yang sangat nyeri serta punched out lesion turut terjadi. Lesi ini bisa
bergabung membentuk lesi yang sangat besar, menjadi gundul, dan bagian yang berdarah
bisa menyebar ke seluruh tubuh. Pada dermatitis atopik, vaksin bagi cacar bisa
menyebabkan terjadinya erupsi berat yang menyeluruh (dikenali juga dengan vaksinatum
ekzema) memberikan gambaran seperti ekzema herpetikum. Dengan itu, vaksinasi
merupakan kontraindikasi pada pasien dermatitis atopik kecuali ada bukti yang jelas
menunjukkan pasien beresiko tinggi untuk terkena penyakit cacar. Infeksi jamur
superfisial juga sering didapatkan pada pasien dermatitis atopik dan menyumbang kepada
severitas penyakit ini. Pasien dermatitis atopik juga mempunyai tingkat prevalensi yang
tinggi untuk terjadinya infeksi Tricophyton rubrum berbanding dengan pasien non-atopik.

M.furfur turut mempunyai peran dalam penyakit DA ini. Jamur yang mempunyai yis
lipofilik ini sering terdapat pada area yang terkena seboroik pada kulit. Antibodi IgE bagi
M.furfur dapat ditemukan pada pasien DA dan sering terdapat pada dermatitis di kepala
dan leher. Sensitisasi IgE terhadap M.furfur sangat jarang ditemukan pada pasien lain
atau pasien dengan asma. Tes tempel alergen terhadap yis ini menunjukkan hasil positif.
S.aureus ditemukan lebih dari 90% pada kulit dengan lesi DA. Krusta yang berwarna
kuning seperti madu, folikulitits, dan pioderma merupakan indikator terjadinya infeksi
sekunder akibat S.aureus dan memerlukan rawatan antibiotik. Limfadenopati regional
turut sering ditemukan. Pada pasien dengan DA berat dan disertai dengan infeksi
S.aureus, bisa diberikan kombinasi terapi antistafilokokal dan topikal glukokortikoid.
Walaupun pustulosis stafilokokal yang rekuren menjadi masalah yang signifikan pada
DA, namun infeksi aureus yang lebih dalam jarang ditemukan dan perlu
mempertimbangkan kemungkinan yang mengarah ke sindrom imunodefisiensi seperti
sindrom hiper IgE.

Dermatitis pada tangan


Pasien DA sering menunjukkan gejala non-spesifik dermatitis iritan pada tangan.
Ianya sering diperberat apabila kondisi tangan sentiasa dalam keadaan basah dan lembap
serta mencuci tangan menggunakan sabun, deterjen dan disinfektan yang mengiritasi.
Pasien DA dengan pekerjaan yang melibatkan kerja basah lebih rentan untuk terjadinya
dermatitis tangan dalam jangka waktu yang lama. Hal ini sering menjadi kausa bagi
disabilitas dalam melakukan pekerjaan.

Dermatitis eksfoliatif
Pasien dengan keterlibatan bagian kulit yang ekstensif bisa terkena dermatitis
eksfoliatif. Penyakit ini ditandai dengan gejala seperti lesi yang kemerahan, berskuama,
kadang-kadang lesi tersebut luruh/gugur, berkrusta, terjadi toksisitas sistemik,
limfedenopati dan demam. Walaupun komplikasi ini jarang terjadi, namun ianya bisa
mengakibatkan kematian. Kondisi ini biasanya disebabkan oleh superinfeksi akibat
produksi toksin oleh S.aureus atau infeksi herpes simpleks, iritasi kulit yang menetap atau
terapi yang tidak benar. Dalam kasus tertentu, terminasi penggunaan glukokortikoid harus
dilakukan untuk mengawal severitas dermatitis atopik.

PROGNOSIS

Keseluruhan proses dermatitis atopik tidak diketahui secara pasti. Prediksi dermatitis
atopik ini tidak bisa dilakukan dengan pasti pada setiap pasien, namun, penyakit ini lebih
berat dan persisten pada anak-anak. Waktu remisi muncul lebih sering dengan
pertambahan usia anak tersebut. Sekitar 40% hingga 60% anak-anak yang mendapat
dermatitis atopik dengan severitas ringan pada waktu bayi sembuh secara spontan selepas
mencecah umur 5 tahun. Walaupun studi awal menunjukkan bahwa sekitar 84% anak-
anak dengan dermatitis atopik akan lebih cenderung untuk memiliki tingkat severitas
yang lebih berat pada usia remaja, namun, studi terbaru menunjukkan bahwa gejala
dermatitis atopik hilang pada 20% anak-anak dengan dermatitis atopik yang didapat sejak
bayi hingga usia remaja., dan 65% pasien mempunyai gejala dermatitis atopik yang
sedang. Selain itu, lebih satu per dua dari remaja yang dirawat dengan dermatitis ringan
akan mengalami relaps pada usia dewasa.

Pasien dewasa yang mempunyai riwayat terjadinya remisi dermatitis atopik untuk
beberapa tahun pada waktu anak-anak menunjukkan gejala dermatitis tangan,
terutamanya jika mereka terlibat dengan pekerjaan yang sering menyebabkan tangan
dalam kondisi yang basah dan lembap. Faktor yang diduga menyebabkan prognosa buruk
pada pasien dermatitis atopik adalah penyakit lesi yang meluas pada waktu anak-anak,
mempunyai riwayat keluarga dengan penyakit asma atau rhinitis alergi (orang tua atau
saudara), onset dermatitis atopik yang terjadi sangat awal, anak tunggal, dan kadar serum
IgE yang sangat tinggi.

PENATALAKSANAAN

Terapi yang bisa dilakukan adalah hidrasi kulit, terapi farmakologik dan identifikasi
serta eliminasi faktor pencetus dermatitis atopik seperti bahan iritan, deterjen, alergen,
agen infeksi, dan stres emosional. Terdapat banyak faktor menyumbang kepada simptom
dermatitis atopik yang kompleks. Oleh sebab itu, rencana terapi berbeda-beda dan unik
pada bagi setiap pasien karena reaksi kulit pada setiap individu dan faktor pencetusnya
adalah berbeda.

Terapi topikal

Hidrasi kutaneus
Pasien dermatitis atopik mempunyai kulit yang kering dan fungsi sawar kulit yang
terganggu. Kondisi ini bisa menyumbang kepada morbiditas dengan cara membentuk
mikrofisura dan celahan pada kulit sekaligus menjadi port de entry bagi patogen kulit,
bahan iritan, dan alergen, sekaligus mengakibatkan infeksi sekunder. Kondisi ini bisa
menjadi lebih parah ketika musim dingin. Untuk mengurangi gejala secara simptomatis,
dapat dilakukan mandi dengan air hangat selama 20 menit diikuti dengan aplikasi emolien
yang oklusif untuk mengembalikan kelembapan kulit. Kombinasi penggunaan emolien
yang efektif dengan terapi hidrasi membantu mengembalikan dan mempertahankan sawar
stratum korneum serta mengurangkan frekuensi aplikasi glukokortikoid topikal.
Pelembap tersedia dalam berbagai sediaan antaranya krem, losion, atau ointment. Namun
begitu, sesetengah losion dan krem bersifat mengiritasi akibat penambahan substansi lain
seperti preservatif, pelarut, dan pewangi. Losion yang mengandungi air bisa mengering
disebabkan oleh efek evaporasi. Ointment hidrofilik tersedia dalam berbagai viskositas
tergantung dari kebutuhan pasien. Ointment yang oklusif kadangkala tidak bisa
ditoleransi dengan baik karena mengganggu fungsi duktus ekrin dan bisa menginduksi
terjadinya folikulitis.

Terapi topikal untuk menggantikan lipid epidermal yang abnormal, memperbaiki


hidrasi kulit, dan disfungsi sawar kulit bisa diberikan pada pasien dermatitis atopik ini.
Hidrasi dengan mandi dan kompres basah (wet dressing) merangsang penetrasi
glukokortikoid topikal. Kompresi basah tersebut juga bisa melindungi lesi dari garukan
yang persisten, seterusnya menggalakkan proses penyembuhan lesi ekskoriasi. Kompresi
basah direkomendasikan pada bagian yang terkena dermatitis atopik berat atau bagian
yang melibatkan terapi dalam jangka waktu yang lama. Namun, penggunaan kompresi
basah yang berlebihan bisa mengakibatkan maserasi dan dipersulit dengan infeksi
sekunder. Kompresi basah dan mandi berpotensi untuk membuat kulit menjadi kering dan
membentuk fisura sekiranya tidak diikuti dengan aplikasi emolien topikal. Oleh sebab itu,
kompres basah sebaiknya hanya untuk dermatitis atopik yang sukar dikawal dan harus
diobservasi oleh dokter.

Terapi glukokortikoid topikal


Terapi glukokortikoid topikal merupakan dasar untuk anti-inflamatorik lesi kulit yang
ekzematous. Disebabkan oleh efek sampingnya, kebanyakan dokter menggunakan
glukokortikoid topikal hanya untuk mengawal eksaserbasi akut dermatitis atopik.
Walaubagaimanapun, studi terbaru menunjukkan bahwa kontrol dermatitis atopik bisa
dilaksanakan dengan regimen terapi setiap hari dengan glukokortikoid topikal. Kontrol
untuk jangka waktu yang lama bisa dikekalkan pada sesetengah pasien dengan
mengaplikasikan fluticasone pada bagian kulit yang telah sembuh tetapi beresiko untuk
terjadinya ekzema sebanyak 2 kali dalam seminggu.

Penjelasan dan instruksi menggunakan glukokortikoid topikal harus diberikan secara


jelas dan lengkap untuk mencegah terjadinya efek samping. Glukokortikoid fluorinated
yang poten tidak boleh diaplikasikan ke wajah, genitalia dan bagian lipatan kulit, tetapi
preparasi glukokortikoid yang berpotensi rendah bisa diaplikasikan ke bagian ini. Pasien
juga harus diberikan instruksi supaya mengaplikasikan glukokortikoid pada bagian lesi
sahaja dan aplikasi emolien pada bagian kulit yang sehat. Kadangkala penyebab
kegagalan terapi dengan glukokortikoid topikal adalah disebabkan oleh aplikasi atau
penggunaan obat yang tidak mencukupi. Jumlah topikal glukokortikoid yang diperlukan
untuk diaplikasi ke seluruh tubuh adalah kira-kira 30 gram krem atau ointment. Jadi,
untuk merawat seluruh tubuh sebanyak 2 kali sehari selama 2 minggu memerlukan kira-
kira 840 gram (2 lb) glukokortikoid topikal.

Terdapat 7 golongan bagi glukokortikoid topikal dan diatur mengikut potensi


berdasarkan vasoconstrictor assay. Disebabkan oleh efek sampingnya, glukokortikoid
yang sangat poten hanya digunakan untuk jangka waktu pendek dan pada bagian yang
mengalami likenifikasi tetapi bukan pada daerah wajah atau lipatan kulit. Tujuan utama
penggunaan emolien adalah untuk menghidrasi kuli dan glukokortikoid potensi rendah
adalah untuk terapi maintenance. Glukokortikoid potensi sedang bisa digunakan untuk
jangka waktu panjang bagi merawat dermatitis atopik kronik yang melibatkan bagian
badan dan ekstrimitas. Glukokortikoid gel yang disediakan dengan basa glycol propylene
sering mengiritasi serta menyebabkan kekeringan pada kulit. Obat ini tidak boleh
diaplikasikan pada daerah kulit kepala atau jenggot.

Faktor yang berperan mempengaruhi potensi dan efek samping glukokortikoid


termasuk struktur molekuler kompaun, vehikulum, jumlah obat yang diaplikasi, durasi
aplikasi, sifat oklusif, serta faktor si pemakai seperti umur, luas permukaan badan dan
berat, inflamasi pada kulit, anatomi kulit, dan perbedaan metabolisme kutaneus dan
sistemik pada setiap individu. Efek samping glukokortikoid topikal berkait langsung
dengan susunan potensi kompaun dan durasi penggunaannya. Selain itu, ointment
mempunyai resiko tinggi untuk mengoklusi epidermis, seterusnya meningkatkan absorbsi
sistemik jika dibandingkan dengan krem. Efek samping dari glukokortikoid dapat dibagi
menjadi dua yaitu efek samping lokal dan efek samping sistemik yang disebabkan oleh
supresi hypothalamus pituitary-adrenal.

Efek sampingnya termasuklah striae, atrofi kulit, dermatitis perioral dan akne rosasea.
Glukokortikoid poten bisa mengakibatkan supresi adrenal (terutamanya pada bayi dan
anak kecil). Glukokortikoid sedang (fluticasone propionate) 0.05% krem pada bagian
wajah dan bagian tubuh lain yang signifikan adalah aman untuk digunakan pada anak-
anak berumur 1 bulan sampai 3 bulan. Pada penggunaan fluticason 0.05% krem juga bisa
diaplikasikan pada anak-anak seawal umur 3 bulan selama maksimal 4 minggu.
Fluticason losion pula bisa digunakan pada anak-anak 12 bulan dan ke atas. Krem dan
ointment mometason bisa digunakan pada anak-anak berumur 2 tahun dan ke atas.

Inhibitor calcineurin topikal


Takrolimus dan pimekrolimus topikal adalah imunomodulator non-steroid. Ointment
takrolimus 0.03% bisa digunakan untuk terapi intermiten pada penderita dermatitis atopik
anak-anak ( 2 tahun) dengan tingkat severitas sedang hingga berat. Ointment takrolimus
0.1% pula bisa digunakan pada orang dewasa, manakala dalam sedian krem (1%)
digunakan untuk terapi bagi pasien 2 tahun dengan tingkat severitas dermatitis atopik
dari ringan sampai sedang. Kedua-dua obat ini efektif dan aman digunakan selama 4
tahun (ointment takrolimus) dan 22 tahun (krem pimekrolimus). Efek samping bagi
penggunaan obat ini adalah rasa sensasi terbakar pada kulit. Obat ini tidak mengakibatkan
atrofi kulit. Oleh itu, obat ini bisa dipakai pada wajah dan lipatan kulit.

Identifikasi dan Eliminasi Faktor Pencetus

Pasien dermatitis atopik lebih sensitif terhadap bahan iritan berbanding dengan orang
normal. Oleh itu, adalah penting bagi pasien untuk mengidentifikasi dan mencegah faktor
yang bisa mencetuskan itch-scratch cycle (siklus gatal-garuk). Faktor pencetus ini
antaranya adalah sabun dan deterjen, kontak dengan bahan kimia, asap, memakai pakaian
baru, dan paparan pada suhu dan kelembapan yang ekstrim. Apabila menggunakan sabun,
pasien harus mengurangkan durasi kontak dengan bahan tersebut dan menggunakan
sabun yang mempunyai pH yang menghampiri pH neutral.pakaian baru harus dicuci
terlebih dahulu sebelum dipakai untuk mengurangkan kadar formaldehid dan bahan kimia
yang lain. Deterjen yang tertinggal pada pakaian turut bisa menyebabkan iritasi kulit.
Sebaiknya, penggunaan deterjen serbuk diganti dengan deterjen cecair sahaja.

Kondisi persekitaran seperti suhu panas dan lembap serta berkeringat harus
disesuaikan mengikut kondisi pasien agar tidak memperberat penyakit. Walaupun sinaran
cahaya matahari memberi manfaat kepada penderita dermatitis atopik, namun paparan
yang berlebihan harus dicegah.

Alergen spesifik
Alergen yang berpotensi untuk mengeksaserbasi dermatitis atopik adalah seperti
berikut: makanan, inhalasi (debu/habuk, bulu haiwan, pollen bunga). Alergen ini harus
diidentifikasi secara teliti dalam anamnesis dengan pasien serta dilakukan tes tusuk (skin
prick test) dan test serum IgE pada pasien.

Stres emosional
Stres bukanlah penyebab terjadinya dermatitis atopik, tetapi ianya bisa
mengeksaserbasi gejala dari penyakit ini. Dermatitis atopik biasanya berespon dengan
pasien yang sedang dalam kondisi stres, malu frustasi dan berbagai stres emosional yang
lain. Respon ini disertai dengan rasa gatal dan diikuti degan tindakan menggaruk.
Kadangkala, perilaku menggaruk ini menjadi kebiasaan pada sesetengah pasien.
Relaksasi dan modifikasi perilaku dapat membantu pasien mengatasi kebiasaan ini.

Agen infeksi
Bagi pasien yang telah terkena infeksi atau kolonisasi S.aureus berat, terapi dengan
antibiotik anti-stafilokokal sangat membantu. Pasien yang tidak terkolonisasi dengan tipe
aureus yang resisten bisa dirawat dengan sefalosporin atau penicillinase resistant-
penicillin (dicloxacilin, oxacilin, cloxacilin). Akibat dari peningkatan satfilokokus yang
resisten-eritromisin, maka telah diperkenalkan obat-obatan baru seperti makrolida yang
baru untuk merawat dermatitis atopik.

Herpes simpleks bisa memprovokasi dermatitis yang rekuren dan sering tersalah
diagnosa dengan infeksi S.aureus. Jika terdapat punched-out lesion, vesikel, dan/atau lesi
pada kulit yang terinfeksi tetapi tidak berepon dengan antibiotik oral, maka pemeriksaan
penunjang yang mengarah ke H.simpleks harus dilakukan. Antara pemeriksaan penunjang
yang bisa dilakukan adalah pewarnaan Giemsa dengan smear Tzanck (sampel diambil
dari dasar vesikel), test direct immunofluorescence assay, identifikasi material genetik
herpes dengan PCR, atau dengan kultur virus. Untuk infeksi yang dicurigai disebabkan
oleh herpes simpleks, obat anti-inflamatorik harus dihentikan seketika. Pada orang
dewasa dengan lesi herpes simpleks pada kulit, terapi yang bisa diberikan kepada pasien
adalah acyclovir 400 mg peroral 3 kali sehari selama 10 hari atau 200 mg peroral 4 kali
sehari selama 10 hari. Terapi intravena juga bisa diberikan pada pasien dengan ekzema
herpeticum berat yang menyebar. Infeksi dermatofita bisa mempersulit dermatitis atopik
dan menyumbang kepada eksaserbasi aktivitas penyakit. Pasien dengan infeksi
dermatofita bisa di rawat dengan anti-jamur sistemik atau topikal.

Pruritus

Terapi pruritus harus mengarah langsung ke penyebab utamanya. Reduksi inflamasi


kulit dan kulit kering dapat diatasi dengan cara mengaplikasikan glukokortikoid topikal
dan hidrasi kulit. Tindakan ini dipercayai dapat mengurangkan efek pruritus. Beberapa
anti-histamin mempunyai efek ansiolitik ringan dan bisa mengurangkan gejala
simptomatik melalui efek penenang dan sedatif. Disebabkan pruritus bertambah berat
pada malam hari, antihistamin yang mempunyai efek sedatif (eg: hydroxyzine atau
diphenhydramine) mampu memberi banyak kelebihan pada pasien. Sekiranya pruritus
nokturnal bertambah berat, maka penggunaan jangka pendek obat sedatif dapat diberikan.
Rawatan antibiotik dengan antihistamin topikal tidak direkomendasikan karena berpotensi
mencetuskan sensitisasi pada kulit. Namun begitu, aplikasi krem topikal doxepin 5%
selama 1 minggu dapat mereduksi severitas pruritus tanpa mengakibatkan sensitisasi.

Preparat ter
Preparat ter mengandungi antipruritik dan anti inflamasi yang meberi efek pada kulit
walaupun efek yang dihasilkan tidak seperti glukokortikoid topikal. Preparat ter
bermanfaat dalam mengurangkan potensi glukokortikoid topikal pada terapi maintenance
dermatitis atopik kronik. Shampo ter juga bisa diberikan pada pasien dengan dermatitis
kulit kepala dan sering membantu mengurangkan konsentrasi dan frekwensi aplikasi
glukokortikoid topikal. Preparat ter ini tidak bnoleh digunakan pada inflamasi kulit yang
akut karena bisa menyebabkan iritasi pada kulit. Efek samping dari preparat ter adalah
folikulitis dan fotosensitivitas. Ter juga dikatakan mengandung efek karsinogenik.

Fototerapi
Cahaya matahari memberi banyak kebaikan pada pasien dermatitis atopik.
Walaubagaimanapun, sinaran yang terlalu panas bisa mencetuskan pruritus yang
memperberat kondisi pasien. Broadband UVB, Broadband UVA, Narrowband UVB (311
nm), UVA-1 (340 hingga 400 nm) dan kombinasi fototerapi dengan UVA-B menjadi
terapi adjuvan (tambahan) yang bermanfaat untuk pasien dermatitis atopik. Investigasi
dari mekanisma fotoimunologi yang bertanggungjawab terhadap efektifitas terapi
menunjukkan bahwa sel Langerhans epidermis dan eosinofil mungkin merupakan sasaran
dari UVA fototerapi dengan dan tanpa psoralen, sedangkan UVB yang diberikan
menghasilkan efek imnunosupresif dengan cara memblokir fungsi antigen-presenting
Langerhans cell dan mengubah produksi keratinosit sitokin. Indikasi bagi fotokemoterapi
dengan psoralen dan UVA adalah pasien dengan dermatitis atopik yang parah dan
menyebar. Efek samping jangka waktu pendek bagi fototerapi adalah eritema, nyeri kulit,
pruritus, dan pigmentasi. Efek samping jangka panjang pula adalah proses penuaan yang
prematur dan juga maligna kulit.

Rawat inap
Pasien dermatitis atopik dengan kondisi eritodermik atau menderita penyakit ini
dengan tingkat severitas yang berat tidak memungkinkan untuk di rawat jalan. Pasien
seperti ini harus di rawat inap sebelum mempertimbangkan terapi sistemik alternatif yang
lain. Pada kebanyakan kasus, tindakan mengisolasi pasien daripada alergen yang ada di
sekitarnya atau mengatasi stres emosional dan mengedukasi pasien dengan benar
biasanya bisa memperbaiki kondisi penyakit mereka.

Terapi sistemik
Glukokortikoid sistemik
Penggunaan glukokortikoid sistemik seperti prednison jarang diberikan pada pasien
dengan dermatitis atopik yang kronik. Sesetengah pasien dan dokter lebih gemar
menggunakan sistemik glukokortikoid tersebut untuk mencegah perawatan kulit (hidrasi
dan terapi topikal) yang mengambil waktu sangat lama. Walaubagaimanapun,
peningkatan perbaikan pada pasien yang mengkonsumsi glukokortikoid sistemik biasanya
berkait rapat dengan rebound yang parah selepas terapi glukokortikoid sistemik
dihentikan. Terapi jangka pendek glukokortikoid oral sesuai untuk eksaserbasi akut
dermatitis atopik. Sekiranya terapi dengan glukokortikoid oral dimulakan, dosis yang
diberikan harus dikurangi (tappering) dan perawatan kulit juga harus dilakukan dengan
cara aplikasi glukokortikoid topikal dan sering mandi serta aplikasi emolien untuk
mencegah terjadinya rebound.

Siklosporin
Siklosporin merupakan imunosupresif poten yang bekerja pada sel T dengan
mensupresi transkripsi sitokin. Banyak studi menyatakan bahwa terapi siklosporin jangka
pendek bisa memberi kebaikan kepada pasien dermatitis atopik dewasa dan anak-anak.
Dosis 5mg/kgBB biasanya diberikan dengan jangka waktu pendek dan jangka waktu
panjang (1 tahun). Ada juga sumber yang mengatakan bahwa siklosporin dalam bentuk
mikroemulsi bisa diberikan setiap hari pada pasien dewasa dengan dosis 150 mg (dosis
rendah) dan 300 mg (dosis tinggi). Terapi dengan siklosporin menunjukkan perbaikan
pada kondisi pasien dan memperbaiki kualitas hidup mereka. Efek dari diskontinuitas
obat ini adalah relaps penyakit kulit yang cepat, peningkatan serum kreatinin atau
gangguan fungsi renal yang signifikan, dan hipertensi.

Antimetabolit
Pemberian monoterapi dengan mycophenolate mofetil peroral dalam jangka pendek
sebanyak 2 g setiap hari bisa menghilangkan lesi pada pasien dewasa dermatitis atopik
yang resisten terhadap terapi lain termasuk glikokortikoid topikal dan sistemik, dan
fototerapi psoralen dan UVA. Namun begitu, tidak semua pasien yang berespon baik
dengan obat ini. Terapi dengan obat ini harus dihentikan jika pasien tidak menunjukkan
respon setelah 4 hingga 8 minggu perawatan.

Methotrexate merupakan anti-metabolit yang mempunyai efek poten terhadap sintesis


inflamatorik sitokin dan kemotaksis sel. Methotrexate diberikan kepada pasien dermatitis
atopik dengan penyakit yang menetap. Azathioprine sering digunakan pada pasien dengan
dermatitis atopik berat. Efek samping dari penggunaan obat ini adalah supresi sumsum
tulang.

Referensi dari Leung DYM, Eichenfield LF, Boguniewicz M. Atopic Dermatitis. In : Wolff KG,LA. Katz,
SI. Gilchrest, BA. Paller, AS. Leffeld, DJ. Fitzpatricks Deramatology In General Medicine. 7thed:
McGraw Hill; 2008. Pg. 185-194

Anda mungkin juga menyukai