Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

ANESTESI PADA DIABETES MELITUS

Pembimbing :
dr. I Nyoman Sp. An

Penyusun :
Mitha Faramita
030.11.191

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI


RUMAH SAKIT TNI AL DR. MINTOHARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 24 JULI 26 AGUSTUS 2017

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas Anugerah Keselamatan dan Belas Kasih-Nya yang telah
memampukan penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas makalah Sari Pustaka dengan judul
Anestesi Pada Diabetes Melitus. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam
Kepaniteraan Klinik di Stase Ilmu Anestesi Rumah Sakit TNI AL Dr. Mintohardjo
Dalam kesempatan kali ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah
membantu dalam penyusunan dan penyelesaian makalah ini, terutama kepada dr. I Nyoman,
Sp.An selaku pembimbing atas pengarahannya selama penulis belajar dalam Kepaniteraan
Klinik. Dan kepada para dokter dan staff Ilmu Anestesi Rumah Sakit TNI AL Dr. Mintohardjo,
serta rekan-rekan seperjuangan dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi. Penulis sangat terbuka
dalam menerima kritik dan saran karena penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna.
Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi setiap orang yang membacanya.

Jakarta, Agustus 2017

Penulis

2
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT DENGAN JUDUL


ANESTESI PADA DIABETES MELITUS
Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk menyelesaikan
KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI
RUMAH SAKIT TNI AL DR. MINTOHARDJO

Jakarta, Agustus 2017

dr. I Nyoman, Sp. An

3
DAFTAR ISI

BAB I ................................................................................................................................................ 5
PENDAHULUAN ............................................................................................................................... 5
BAB II ............................................................................................................................................... 7
PEMBAHASAN ................................................................................................................................. 7
2.1 DEFINISI ............................................................................................................................ 7
2.2 KLASIFIKASI 1 5789............................................................................................................... 7
2.3 PATOFISIOLOGI ................................................................................................................. 8
2.4 DIAGNOSIS...................................................................................................................... 10
2.5 EFEK PEMBEDAHAN DAN PEMBIUSAN PADA METABOLISME ....................................... 11
2.6 FAKTOR RISIKO UNTUK PASIEN BEDAH DIABETES ......................................................... 11
2.7 PENILAIAN PRABEDAH ................................................................................................... 13
2.8 PENGARUH OBAT ANESTESI PADA PENDERITA DM....................................................... 14
2.9 TEKNIK ANESTESIA PADA PENDERITA DM ..................................................................... 15
2.10 KONTROL METABOLIK PERIOPERATIF ........................................................................... 16
2.11 PERAWATAN PASCA BEDAH .......................................................................................... 20
2.12 PENATALAKSANAAN PADA KASUS PEMBEDAHAN DARURAT ....................................... 21
BAB III ............................................................................................................................................ 22
KESIMPULAN ................................................................................................................................. 22
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................................... 23

4
BAB I

PENDAHULUAN

Diabetes mellitus merupakan masalah endokrin yang paling sering dihadapi ahli anestesi
dalam melakukan pekerjaannya. Sebanyak 5 % orang dewasa di Barat mengidap diabetes
mellitus, lebih dari 50 % penderita diabetes mellitus suatu saat mengalami tindakan pembedahan
dalam hidupnya dan 75 % merupakan usia lanjut di atas 50 tahun. Sedangkan di Indonesia angka
prevalensi penderita diabetes mellitus adalah 1,5 % dan diperkirakan 25 % penderita diabetes
mellitus akan mengalami pembiusan dan pembedahan. Karena faktor penyulit inilah mereka
lebih banyak memerlukan pembedahan dari pada orang lain.1,2,3
Penyebab tingginya morbiditas dan mortalitas pada diabetes mellitus adalah karena
penyulit kronis, hal tersebut terjadi karena hiperglikemia yang tak terkontrol dalam jangka waktu
lama, berupa mikro dan makroangiopati. Penyulit kronis tersebut berhubungan dengan disfungsi
organ seperti penyakit arteri koroner, penyakit pembuluh darah otak, hipertensi, insufisiensi
ginjal, neuropati autonomik diabetik, gangguan persendian jaringan kolagen (keterbatasan
ekstensi leher, penyembuhan luka yang buruk), gastroparesis, dan produksi granulosit yang
inadekuat Oleh karena itu perhatian utama ahli anestesi harus tertuju pada evaluasi preoperatif
dan penanganan penyakit-penyakit tersebut untuk menjamin kondisi preoperatif yang
optimal.1,4,5,6
Ada tiga komplikasi akut DM yang mengancam jiwa, yaitu ketoasidosis diabetik, koma
non ketotik hipenosmolor dan hipoglikomia.Penurunan aklifitas insulin meningkatkan
katabolisme asam lemak bebas menghasilkan benda keton (asetoasetat dan hidroksibutirat).
Akumulasi asam-asam organik berakibat timbulnya asidosis metabolik anion-gab yang disebut
kotoasidosis diabetik. Kotoasidosis diabelik dapat diketahuidengan asidosis laktat. Dimana
asidosis laktat pada plasma terjadipeningkatan laktat (>6 mmol/L) dan tidak terdapat aseton
dalamurine dan plasma. Ketoasidosis alkoholik dapat dibedakan denganketoasidosis diabetik dari
adanya riwayat baru saja mongkonsumsi alkoholdalam jumlah yang banyak (pesta minum) yang
terjadi pada pasien non diabetik dengan kadar glukosa rendah atau sedikit meningkat.
Manifestasi klinik dari ketoasidosis adalah dyspnoe (uji kompensasi untuk asidosis
metabolik), nyeri perut yang menyerupai kolik abdomen, mual dan muntah, dan perubahan
sensoris. Penalalaksanaan kotoasidosis diabetik tergantung pada koreksi hiperglikemia (yang
5
mana jarang melebihi 500 mg/dl), penurunan kalium total tubuh, dan dehidrasi diinfus dengan
insulin, natrium dan cairan isotonis.
Pertentangan akan terjadi antara kebutuhan biaya untuk mengurangi lama rawat inap dan
penanganan perioperatif pasien diabetes mellitus yang tergantung pada periode stabilisasi
preoperatif. Kontrol gula darah yang lebih baik pada penderita yang akan mengalami
pembedahan mayor menunjukkan perbaikan morbiditas dan mortalitas perioperatif. Pencegahan
hipoglikemia dan hiperglikemia tidak sesuai lagi untuk perkembangan pengetahuan saat ini.
Sementara terdapat sedikit perbedaan pendapat tentang penanganan pasien yang akan mengalami
tindakan mayor, untuk bedah minor sendiri masih terdapat banyak dilema. Dalam keadaan
bagaimana kasus anestesi dan bedah sehari dapat dikerjakan? Apakah waktu masuk pada saat
hari pembedahan menambah risiko pada pasien? Jika ada, pemeriksaan apa yang dibutuhkan
untuk menilai sfetem kardiovaskuler penderita asimptomatis yang akan dilakukan pembedahan
mayor Patut disayangkan, hanya terdapat sedikit data yang memberikan Jawaban untuk
pertanyaan-pertanyaan ire. Pemahaman patofisiologi dan kepentingan dari penelitian terbaru
akan memperbaiki perawatan perioperatif pasien yang akan mengalami pembedahan.7
Dalam referat ini akan dibahas tentang patofisiologi diabetes mellitus serta
penatalaksanaan persiapan operasi.

6
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI

Diabetes mellitus adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh defisiensi insulin ditandai
dengan peningkatan kadar glukosa dalam plasma.8,9
Saat ini, American Diabetes Association (ADA) dan WHO mengeluarkan kriteria
diagnostik terbaru. Kedua badan tersebut menganjurkan penurunan nilai ambang kadar glukosa
plasma puasa dan menetapkan klasifikasi lebih berdasarkan etiologi.7
ADA telah menspesifikasikan bahwa diagnosis diabetes mellitus dibuat jika kadar
glukosa plasma sewaktu pada individu asimtomatik > 11,1 mmol/L (200 mg/dl). Jika
kadar glukosa plasma puasa > 7,0 mmol/L (126 mg/dl) pada individu asimtomatik, pemeriksaan
harus diulang pada hari yang berbeda dan diagnosis dibuat jika nilainya tetap di atas batas ini.
ADA menetapkan kadar glukosa plasma diantara 6,1 dan 7,0 mmol/L (110 dan 126 mg/dl)
sebagai kadar glukosa plasma puasa terganggu. WHO juga merekomendasikan bahwa diagnosis
diabetes mellitus dibuat jika kadar glukosa plasma sewaktu> 11,1 mmol/L atau 200 mg/dl
(darah vena > 10,0 mmol/L atau 180 mg/dl). Diabetes mellitus dapat juga didiagnosis bila kadar
glukosa plasma puasa > 7,0 mmol/L (126 mg/dl) dan tes kedua yang serupa atau tes toleransi
glukosa oral memberikan .hasil pada batas diabetes.7

2.2 KLASIFIKAS 1 5789

Diabetes mellitus diklasifikasikan menjadi 2 tipe utama.

Tipe I (kerusakan sel p pankreas) dan tipe II (gangguan sekresi insulin, dan biasanya
retensi insulin) direkomendasikan untuk menggantikan Istitah insulin Dependent
Diabetes Mellitus (IDDM) dan Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Tipe
I. Jenis ini paling sering terdapat pada anak-anak dan dewasa muda.Defisiensi insulin
terjadi karena produksi yang rendah yang disebabkan oleh adanya destruka sel-sel
pembuat insulin melalui mekanisme imunologik, sehingga pasien ini selalu memerlukan

7
insulinsebagaipengobatannyadancenderunguntukmengalami ketoasidosisjika
insulindihentikan pemberiannya.
Tipe II . Kelainan ini disebabkan oleh 2 sebab yaitu resistensi insulin dan defisiensi
insilin relatif, muncul pada usia dewasa, pasien tidak cenderung mengalami ketoasidodis,
sering kali berbadan gemuk. Pengobatan penderita ini kadang cukup dengan diet saja,
bila perlu dapat diberikan obat anti diabetes oral dan jarang sekali memerlukan insulin
kecuali pada keadaan stres atau infeksi berat.

2.3 PATOFISIOLOGI

Pulau-pulau Langerhans yang menjadi sistem endokrinologis dari pankreas tersebar di


seluruh pankreas tetapi berat semuanya hanya 1 - 3% dari berat total pankreas.Besarnya pulau-
pulau Langerhans ini berbeda-beda, yang terkecil adalah 50m. sedangkan yang terbesar 300 m.
Terbanyak adalah yang besarnya antara 100 dan 225 m. Jumlah semua pulau Langerhans di
pankreas diperkirakan antara 100.000 dan 2.500.00. Pulau-pulau Langerhans paling kurang
tersusun atas tiga jenis sel : sel-sel a memproduksi glukagon yang menjadi faktor hiperglikemik,
sel-sel d yang mensekresi insulin , dan sel-sel d yang membuat somatostatin. Pertama insulin
disintesa sebagai proinsulin diubah menjadi insulin melalui pembelahan proteolitik dan
kemudian dibungkus kedalam butir-butir diantara sel-sel b. Sejumlah besar insulin, normalnya
kira-kira 200 unit disimpan dalam pankreas.Sintesa terus berlangsung dengan rangsangan
glukosa.Glukosa dan fruktosa merupakan pengatur utama pelepasan insulin. Stimulator lain dari
pelepasan insulin termasuk asam amino, glukagon, hormon-hormon gastrointestinal (gastrin,
sekretin, cholecystokinin-pancreozymin, dan enteroglucagon), dan asetilkolin. Epinefrin
dan.norepinefrin menghambat pelepasan insulin dengan merangsang reseptor a adrenergik dan
merangsang pelepasan insulin pada reseptor b adrenergik.5,9
Pada tipe I terjadi defisiensi insulin yang berat menyebabkan mobilisasi asam lemak
bebas dari jaringan lemak dan pelepasan asam amino dari dalam otot.Hiperglikemia terjadi
karena dosis insulin yang normal tidak cukup untuk menandingi meningkatnya kebutuhan
insulin. Hati melalui proses glukoneogenesis, akan mengubah asam amino dan asam lemak bebas
membentuk glukosa dan benda keton. Keduanya mempunyai peran penting dalam timbulnya

8
gejala ketoasidosis.Pada tipe I dijumpai peningkatan glukagon yang merangsang hati untuk
mengubah asam lemak bebas menjadi benda keton.Hipotesis terjadinya tipe I dihubungkan
dengan infeksi virus yang membentuk respon autoimun yang menyebabkan dirusaknya sel beta
oleh antibodi. Infeksi oleh virus dianggap sebagai trigger factor pada mereka yang sudah
mempunyai predisposisi genetik terhadap diabetes mellitus. Virus-virus yang dianggap
mempunyai pengaruh adalah : virus coxsackie B, virus encephalamiokardias, mumps, rubella,
cytomegalovirus, mononudeosis infectiosa, varicella dan virus hepatftis.4,6,7,9
Sedangkan patofisiologi tipe II tidak jelas dipahami, tapi yang pasti ada hubungannya
dengan faktor keturunan.Pada tipe II terjadi defisiensi insulin relatif, hal ini kadang diperberat
oleh resistensi insulin yang biasanya disebabkan karena kegemukan.

Dianggap bahwa kegemukan akan :

Mengurangi jumlah reseptor insulin di sel target


Menyebabkan resistensi terhadap insulin karena perubahan pada post reseptor

- Transport glukosa berkurang


- Menghalangi metabolisme glukosa intraseluler

Menimbulkan faktor-faktor yang bertanggung jawab terhadap defek seluler, berupa:

- Bertambahnya penimbunan lemak


- Bertambah masuknya energi ke dalam tubuh
- Komposisi diet (terutama banyak makanan lemak)
- Inaktivasi lemak

Pada malnutrisi protein dianggap sel-sel (5 banyak yang rusak. Sedangkan alkohol
dianggap menambah risiko terjadinya pankreatitis.4,9
Diabetes mellitus meningkatkan risiko iskemik miokard, infark serebrovaskular dan
iskemik renal karena meningkatnya insidensi dari penyakit arteri koronaria, ateromia arterial
dan penyakit parenkim ginjal. Peningkatan mortalitas dijumpai pada semua penderita yang

9
dilakukan -pembedahan dan terutama penderita tipe I men punyai risiko komplikasi pasca
operasi.
Respon stres terhadap pembedahan yang dihubungkan dengan hiperglikenia pada pasien
non diabetes sebagai hasil dari meningkatnya sekresi hormon katabolik pada keadaan defisiensi
insulin relatif.Defisiensi ini berkembang dari kombinasi antara menurunnya sekresi insulin dan
resistensi insulin. Sebagian dari resistensi insulin dihasilkan dari meningkatnya sekresi
katekolamin, kortisol dan growth hormone dan melibatkan perubahan dari ikatan post-reseptor
dari insulin dan selanjutnya penurunan dari transport glukosa transmembran.6,7,9

2.4 DIAGNOSIS

Diabetes mellitus dapat diketahui dengan adanya gejala yang timbul sebagai akibat
hiperglikemia seperti pofiuria, polidifsia, pofifagia, penurunan berat badan, gangguan kesadaran,
ketosis dan gangguan degeneratif (neuropati, retinopati, nefropati).9,10
Diagnosis diabetes dapat ditegakkan metafii 3 cara. Dua dari 3 cara ini dapat dikerjakan
dengan mudah oleh dokter di bagian emergensi (Jinat tabef).14

TABEL I : KRITERIA DIAGNOSIS DIABETES MELLITUS

Gejala diabetes + konsentrasi glukosa plasma sewaktu >= 200 mg/dl (11,1 mmol/k).
Sewaktu didefinisikan sebagai setiap saat tanpa memperhatikan waktu terakhir makan.
Kadar glnkosa plasma puasa >= 126 mg/dl (7,0 ,mmmo/L). Puasa didefinisikan sebagai
tidak ada asupan kalori dalam 8 jam terakhir, atau
Kadar glukosa plasma 2 jam setelah minum 75 gram glukosa oral pada tes toleransi
glukosa oral >= 200 mg/dl.
Apabila tidak terdapat hiperglikemia yang nyata pada keadaan dekompensasi metabolik
akut (seperti diabetes ketoasidosis atau sindrom hiperglikemik- hiperosmolar-nonketotik),
kriteria ini harus dikonfirmasi dengan mengulang penilaian pada hari yang berbeda.
Penilaian yang ketiga (tes toleransi glukosa oral) tidak dianjurkan untuk penggunaan
klinis rutin.

10
Pada pemeriksaan tes toleransi glukosa oral usia juga harus diperhitungkan, karena
respon insulin terhadap rangsangan karbohidrat akan menurun untuk setiap dekade kehidupan.
Penyebab sekunder intoleransi karbohidrat harus selalu diperhitungkan sebagai diagnosis
banding.Penyakit tertentu seperti pankreatitis, hemokromatosis, feokromositoma dan
hipertiroidisme harus selalu disingkirkan terlebih dahulu.Gangguan primer metabolisme lemak
seperti hiperlipidemia primer dapat pula menyebabkan intoleransi karbohidrat sekunder.Semua
penderita hiperglikemia tanpa ketosis harus dicari kemungkinan hipertrigliseridemia.

2.5 EFEK PEMBEDAHAN DAN PEMBIUSAN PADA METABOLISME

Diabetes mellitus menggambarkan adanya pengaturan abnormal dan gula darah karena
salah satu sebab yaitu adanya kekurangan insulin retetif atau absolut atau karena resistensi
insulin.Kadar gula darah tergantung dari produksi dan penggunaan gula darah tubuh. Selama
pembedahan atau sakit/stres terjadi respon katabolik dimana terjadi peningkatan sekresi
katekolamin, glukagon, korfisol, tetapi di sana juga terjadi penurunan sekresi insulin. Jadi
pembedahan menyebabkan hiperglikemia, penurunan penggunaan gula darah, peningkatan
glukoneogenesis, katabolisme protein.Respon tersebut dipacu tidak hanya oleh nyeri tetapi juga
oleh sekresi, peptida seperti interleukin I dan berbagai hormon termasuk growth hormon dan
prolaktin.Efek pembiusan pada respon tersebut sangat bervariasi. Analgesia epidural tinggi dapat
menghambat respon katabolik terhadap pembedahan dengan cara blokade aferen. dan saraf
otonom. Teknik narkotik dosis tinggi (fentanyl 50 m/kg) sebagian dapat mencegah respon stres,
sedangkan anestesia umum mempunyai efek menghambat yang lebih kecil, meskipun dengan
pemberian konsentrasi tinggi (2,1 MAC halotan)1,6,11

2.6 FAKTOR RISIKO UNTUK PASIEN BEDAH DIABETES

Suatu penelitian memperlihatkan bahwa pasien diabetes mempunyai mortalitas dan


morbiditas pasca bedah lebih tinggi dibandingkan pasien normal.Masalah yang dapat muncul
adalah infeksi, sepsis dan komplikasi dari arteriosklerosis.Suatu penelitian menunjukkan 11 %
pasien diabetes mengalami komplikasi miokardiak pada pasca bedah terutama infeksi
pneumonia.Komplikasi jantung terjadi pada 7% dari pasien diabetes, mortalitas pasca bedah 4%,

11
terutama pada pasien yang sebelumnya menderita penyakit jantung. Penelitian menunjukkan
bahwa pembedahan pada pasien diabetes dapat meningkatkan mortalitas sampai 10 kali, yang
disebabkan oleh:

1. Sepsis
2. Neuropati autonomik
3. Komplikasi aterosklerosis (penyakit arteri koroner, stroke, penyakit pembuluh darah
perifer)
4. Ketoasidosis dan koma hiperglikemik hiperosmolar1,7

Pada tipe I terjadi proses autoimun yang dapat merusak sistem saraf autonom dan
meningkatkan neuropati autonomik, dengan gejala klinik : hipohidrosis; berkurangnya respon
denyut jantung terhadap valsava maneuver (<5 x/mnt) dan hipotensi ortostatik (penurunan
tekanan darah > 30 mmHg pada perubahan posisi tegak berdiri).1,6,7
Pasien dengan neuropati autonomik dapat mengalami hipotensi berat setelah pemberian obat
anestesi, adanya peningkatan risiko gastroparesis, aspirasi, episode hipoksia dan retensi urin.
Hipotensi dapat terjadi pada 50% pasien diabetes mellitus dengan neuropati autonomik. Insidensi
neuropati autonomik bervariasi tergantung dari lamanya mengidap penyakit Pirart mencatat laju
sebesar 7% dalam 1 tahun setelah diagnosis dan sebesar 50 % untuk mereka dengan diagnosis
yang ditegakkan lebih dari 25 tahun sebelumnya. Burke mendapatkan 1,4 % pasiennya
mengalami variasi laju jantung tak normal. Umumnya disfungsi autonomik meningkat dengan
bertambahnya umur dan lamanya sakit Ada hubungan antara tes refleks kardiavaskuler yang
memburuk dan kontrol gula darah.Beberapa pasien diabetes dengan neuropati autonomik dapat
meninggal mendadak.Kemungkinan ini terjadi karena respon abnormal terhadap hipoksia, apnoe
tidur atau aritmia jantung namun belum ada penjelasan yang pasti. Pasien dengan neuropati
autonomik mengandung risiko tinggi.1,5,6,7
Pada diabetes mellitus lanjut sering dijumpai penyakit ginjal.Kondisi tersebut dengan
mikroalbuminuria dan kelainan filtrasi glomerulus yang dijumpai perubahan pada klirens
kreatinin.Dengan kontrol gula yang ketat pada penderita diabetes dapat melindungi fungsi ginjal.
Hipertensi, meskipun tidak pernah tinggi sekali akan timbul jika glomerular filtration rate (GFR)
berkurang. Jika ada hipertensi berat atau hipertensi timbul tiba-tiba, harus difikirkan
kemungkinan adanya suatu penyakit berupa stenosis arteria renalis yang aterosklerotik.Aktifitas

12
plasma renin adalah normal atau berkurang.Hipoaldosteronisme yang hiporeninemik dengan
hiperkalemia dan asidosis metabolik dengan hiperkloremia sedang adalah suatu keadaan biasa
pada nefropati diabetik. Infeksi dan sepsis memainkan peranan penting dalam meningkatkan
mortalitas dan morbiditas pasca bedah penderita , hal tersebut dihubungkan dengan adanya
fungsi leukosit yang terganggu. Penderita dengan kontrol gula yang ketat dimana kadar gula
dipertahankan di bawah 250 mg/dl fungsi leukosit akan pulih.5,6,7,8
Hogan melaporkan adanya peningkatan insiden kesulitan intubasi yang disebabkan oleh
"stiff joint syndrome" pada beberapa penderita .Pada awalnya sindrom ini terjadi pada sendi
phalanx proksimal jari IV dan V, kemudian meluas ke persendian lainnya dari jari dan tangan,
sendi atlantooksipital leher, dan sendi besar lainnya.Ketidak mampuan untuk mengekstensikan
kepala karena imobilitas atlantooksipital dapat menyulitkan intubasi.Akan tetapi dari suatu
penelitian retrospektif terhadap rekaman anestesi dari 725 pasien yang dilakukan transplantasi
ginjal dan atau transplantasi pankreas (209 diantaranya mengidap diabetes), tidak seorangpun
yang dilaporkan mempunyai tingkat kesulitan laringoskopi sedang sampai berat. Secara
keseluruhan 4,8% penderita diabetes yang mempunyai tingkat kesulitan intubasi ringan sampai
sedang dibandingkan 1,0% pada non penderita diabetes. Kekakuan sendi ini disebabkan karena
adanya jaringan kolagen abnormal periartikuler yang disebabkan oleh mikroangiopari
progresif.Kelainan kolagen dihubungkan dengan glikosilasi non enzimatik protein.'Banyak
pasien ini mempunyai tanda "Prayer Sign" yaitu ketidakmampuan mendekatkan permukaan
kedua palmar dan sendi-sendi jari. Insidens " stiff joint syndrome" dapat mencapai 30 % pada
penderita DM tipe I.1,5,6,7,8

2.7 PENILAIAN PRABEDAH

Penilaian prabedah diutamakan pada penilaian fungsi utama organ jantung, ginjal, dan susunan
syaraf pusat, tak kalah penting dibandingkan penilaian status metabolik pasien.Untuk itu
diperlukan penilaian laboratorium dasar yang mencakup gula darah puasa, elektrolit, ureum,
kreatinin, dan EKG. Komplikasi kardiovaskuler (penyakit arteri koroner, gagal ginjal kongestif,
hipertensi) hendaknya diatasi dahulu karena berkaitan dengan meningkatnya mortalitas pada
pasien diabetes mellitus .Pasien dengan hipertensi mempunyai insidensi neuropati autonomik

13
hingga 50 %, sedangkan pasien tanpa hipertensi mempunyai insiden hanya 10%. Karenanya
disfungsi autonomik harus dicari secara rutin pada peralatan pra bedah.1,5,6,7,8,12.

2.8 PENGARUH OBAT ANESTESI PADA PENDERITA DM

Seperti telah diketahui beberapa obat anestesi dapat meningkatkan gula darah, maka pemilihan
obat anestesi dianggap sama pentingnya dengan stabilisasi dan pengawasan status diabetesnya.4
Beberapa obat yang dipakai untuk anestesi dapat mengakibatkan perubahan di dalam
metabolisme karbohidrat, tetapi mekanisme dan tempat kerjanya belum jelas.Obat-obat induksi
dapat mempengaruhi homeostatis glukosa perioperatif. Etomediat menghambat steroidogenesis
adrenal dan sintesis kortisol melalui aksinya pada 11b-hydroxylase dan enzim pemecah
kolesterol, dan akibatnya akan menurunkan respon hiperglikemia terhadap pembedahan kira-kira
1 mmol per liter pada pasien non diabetes. Pengaruh pada pasien diabetes belum terbukti.4.7
Benzodiazepin akan menurunkan sekresi ACTH, dan juga akan memproduksi kortisol jika
digunakan dengan dosis tinggi selama pembedahan. Obat-obat golongan ini akan menurunkan
stimulasi simpatis, tetapi merangsang sekresi growth hormone dan akan menyebabkan
penurunan respon glikemia pada pembedahan. Efek-efek ini minimal jika midazolam diberikan
pada dosis sedatif, tetapi dapat bermakna jika obat diberikan secara kontinyu melalui infus
intravena pada pasien di ICU.7
Teknik anestesia dengan opiat dosis tinggi tidak hanya memberikan keseimbangan
hemodinamik, tetapi juga keseimbangan hormonal dan metabolik.Teknik ini secara efektil
menghambat seluruh sistem saraf impatis dan sumbu hipotalamik-pituitari, kemungkinan melalui
efek langsung pada hipotalamus dan pucat yang lebih tinggi. Peniadaan respon hormonal
katabolik terhadap pembedahan akan meniadakan hiperglikemia yang terjadi pada pasien normal
dan mungkin bermanfaat pada pasien diabetes.6,7
Ether dapat meningkatkan kadar gula darah, menoegah efek insulin untuk transport glukosa
menyeberang membran sel dan secara tak langsung melalui peningkatan aktifitas simpatis
sehingga meningkatkan glikogenolisis di hati. Menurut Greene penggunaan halotan pada pasien
cukup memuaskan karena kurang pengaruhnya terhadap peningkatan hormon ;
pertumbuhan, peningkatan kadar gula atau penurunan kadar insulin. Penelitian invitro halotan
dapat menghambat pelepasan insulin dalam merespon hiperglikemia, tetapi tidak sama

14
|pengaruhnya terhadap level insulin selama anestesi. Sedangkan enfluran dan isofluran tak nyata
pengaruhnya terhadap kadar gula darah.4,6,7
Pengaruh propofol pada secresi insulin tidak diketahui.Pasien-pasien diabetik menunjukkan
penurunan kemampuan untuk membersihkan lipid dari sirkulasi.Meskipun hal W tidak relevan
selama anestesia singkat jika propofol digunakan untuk pemeliharaan atau hanya sebagai obat
induksi.Keadaan ini dapat terlihat pada pasien-pasien yang mendapat propofol untuk sedasi
jangka panjang di ICU. Obat-obat anestesi intra vena yang biasa diberikan mempunyai efek yang
tidak berarti terhadap kadar gula darah kecuali ketamin yang menunjukkan peningkatan kadar
gula akibat efek simpatomimetiknya.7
Penggunaan anestesi lokal baik yang dilakukan dengan teknik epidural atau subarakhnoid tak
berefek pada metabolisme karbohidrat.Untuk prosedur pembedahan pada pasien yang menderita
insufisiensi vaskuler pada ekstremitas bawah sebagai suatu komplikasi penderita, teknik
subarakhnoid atau epidural lebih memuaskan dan tanpa menimbulkan kcmplikasi. Epidural
anestesia lebih efektif dibandingkan dengan anestesia umum dalam mempertahankan perubahan
kadar gula, growth hormon dan kortisol yang disebabkan tindakan operasi.4,7

2.9 TEKNIK ANESTESIA PADA PENDERITA DM

Teknik anestesia, terutama dengan penggunaan spinal, epidural, spiangnik dan blokade regional
yang lain, dapat mengatur sekresi hormon katabolik dan sekresi insulin residual, Peningkatan
sirkulasi glukosa perioperatif, konsentrasi epinefrin dan kortisol yang dijumpai pada pasien non
diabetik yang timbul akibat stres pembedahan dengan anestesia umum dihambat oleh anestesia
epidural. Infus phentolamine perioperatif, suatu penghambat kompetitif reseptor a-adrenergik,
menurunkan respon gula darah terhadap pembedahan dengan menghilangkan penekanan sekresi
insulin secara parstal.7
Tidak ada bukti bahwa anestesia regional sendiri, atau kombinasi dengan anestesia umum
memberikan banyak keuntungan pada pasien diabetes yang dilakukan pembedahan dalam hal
mortalitas dan komplikasi mayor.Anestesia regional dapat memberikan risiko yang lebih besar
pada pasien diabetes dengan neuropati autonomik.Hipotensi yang dalam dapat terjadi dengan
akibat gangguan pada pasien dengan penyakit arteri koronaria, serebrovaskular dan
retinovaskular.Risiko infeksi dan gangguan vaskular dapat meningkat dengan penggunaan teknik

15
regsonal pada pasien diabetes.Abses epidural lebih sering terjadi pada anestesia spinal dan
epidural. Sebaliknya, neuropati perifer diabetik yang timbul setelah anestesia epidural dapat
dlkacaukan dengan komplikasi anestesia dan blok regional. Kombinasi anestesi lokal dengan
epinefrin dapat menyebabkan risiko yang lebih besar terjadinya cedera saraf iskemik dan atau
edema pada penderita diabetes mellitus.5,6,7

2.10 KONTROL METABOLIK PERIOPERATIF

Tujuan pokok adalah :

1. Mengoreksi kelainan asam basa, cairan dan elektrolit sebelum pembedahan.


2. Memberikan kecukupan karbohidrat untuk mencegah metabolisme katabolik d
an ketoasidosis.
3. Menentukan kebutuhan insulin untuk mencegah hiperglikemia.

Pembedahan pada penderita DM tipe II tidak meningkatkan risiko, sehingga hanya


membutuhkan sedikit perubahan terapi yang sudah ada sebelumnya.Apakah terapi insulin perlu
diberikan pada perioperatif?Untuk bedah yang relatif kecil, jangan diberikan obat anti diabetes
oral kerja pendek pada hari operasi, dan obat kerja lama 2 hari sebelum pembedahan.Untuk
bedah besar, dosis kecil insulin mungkin dibutuhkan untuk mengontrol kadar gula darah dan
glikosuria.1,2,9
Gavin mengindikasikan pemberian insulin pada penderita DM tipe II dengan kondisi
seperti di bawah :

1. Gula darah puasa > 180 mg/dl


2. Hemoglobin glikosilasi 8-10 g%
3. Lama pembedahan lebih 2 jam

Pada DM tipe I, idealnya kontrol gula darah yang dapat diterima harus tercapai dalam 2 sampai 3
hari sebelum pembedahan. Untuk pasien-pasien yang kronis, dengan kontrol metabolik yang
buruk, mungkin perlu dirawat di rumah sakit selama 2 sampai 3 hari untuk penyesuaian , dosis
insulin. Untuk bedah minor cukup dengan pemberian insulin subkutan.Pada pagi hari sebelum

16
pembedahan, pasien diberikan 1/3 sampai 2/3 dosis insulin normal secara subkutan, bersamaan
dengan pemberian cairan dextrose 5% 100 cc/jam/70 kgBB. Dua pertiga dosis insulin normal
diberikan jika kadar glukosa darah puasa lebih dari 250 mg/dl setengah dosis insulin normal
untuk kadar glukosa antara 120 sampai 250 mg/d!, dan sepertiga dosis insulin normal untuk
kadar glukosa di bawah 120 mg/dl. Pasien dengan kadar glukosa darah rendah, atau normal tetap
membutuhkan sejumlah kecil insulin untuk mengimbangi peningkatan efek katabolik stres
pembedahan, penurunan metabolisme protein, dan mencegah lipolisis. Tanpa insulin, DM tipe I
berisiko tinggi untuk mengalami ketosis dengan pembedahan.6
Terdapat beberapa regimen tatalaksana perioperatif untuk pasien DM. Yang paling sering
:tdigunakan adalah pasien menerima sebagian -biasanya setengah dari dosis total insulin pagi
hari dalam bentuk insulin kerja sedang:

Tabel: Dua teknik yang umum digunakan untuk tatalaksana insulin perioperatif pada
pasien DM

Pemberian secara bolus Infus kontinyu

Preoperatif D5W (1,5 ml/kg/jam) D5W (1


NPH insulin (1/2 dosis biasa pagi hari) ml/kg/jam)
(NPH=neutral protamine Hagedorn) Regular insulin
Unit/jam =
Glukosa plasma :
150

Intraoperattf Regular insulin (berdasarkan sliding Sama dengan


scale) preoperatif

Pascaoperatif Sama dengan intraoperatif Sama dengan


preoperatif

17
Untuk mengurangi risiko hipoglikemia, insulin diberikan setelah akses intravena
dipasang dan kadar gula darah pagi hari diperiksa. Sebagai contoh, pasien yang normalnya
mendapat 20 unit NPH dan 10 unit regular insulin (RI) tiap pagi dan kadar gula darahnya 150
mg/dl akan mendapat 15 unit NPH s.c. atau i.m. sebelum pembedahan bersama-sama dengan
infus cairan dextrose 5% (1,5 ml/kg/jam). Dextrose tambahan dapat diberikan apabila pasien
mengalami hipoglikemia (<100 mg/dl).Sebaliknya, hiperglikemia intra operatif (>250 mg/dl)
diobati dengan RI intravena berdasarkan slicing scale. Satu unit RI yang diberikan kepada orang
dewasa akan menurunkan glukosa plasma sebanyak 65 sampai 30 mg/dl. Harus diingat bahwa
dosis ini adalah suatu perkiraan dan tidak bisa dipakai pada pasien dalam keadaan katabolik
(sepsis, hipertermi).6,8
Metode lainnya adalah dengan memberikan insulin kerja pendek dalam infus secara
kontinyu. Keuntungan teknik ini adalah kontrol pemberian insulin akan lebih tepat dibandingkan
dengan pemberian NPH insulin s.c atau i.m. Dan 10 sampai 15 unit RI dapat ditambahkan 1 liter
cairan dekstose 5% dengan kecepatan infus 1 - 1,5 ml/kg/jam (1 unit/jam/70 kg). Pemberian
infus dextrose 5% (1 ml/kg/jam) dan insulin (50 unit RI dalam 250 ml NaCl 0,9%) melalui jalur
intravena yang terpisah akan lebih fleksibel. Apabila terjadi fluktuasi gula darah, infus RI dapat
disesuaikan berdasarkan rumus dibawah ini (Rumus Roizen):

Gukosa plasma (mg/dl)


Unit perjam =
150
atau
Glukosa plasma (mg/dl)
Unit per jam =
100
pada pemakaian steroid, obesitas, terapi insulin dalam jumlah tinggi dan infeksi

Diperlukan penambahan 30 mEq KCl untuk tiap 1 L dextrose karena insulin


menyebabkan pergeseran kalium intraselular.6,8
Pada pasien yang menjalani pembedahan besar diperlukan perencanaan yang seksama.
Teknik yang dianjurkan oleh Hins adalah sebagai berikut:

18
Glukosa 5-10 gr/jam ekuivalen dengan 100 - 200 cc dextrose 5% perjam diberikan intra
vena.Kalium dapat ditambahkan tetapi hati-hati pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
Infus lain diberikan lewat kanul yang sama sebagai berikut:

1. Campur 50 mRI kedalam 500cc 0,9%Nacl.


2. Infuskan dengan larutan 0,5-1 m/jam (5-10 cc/jam dengan pompa infus).
3. Ukur kadar gula darah tiap jam dan sesuaikan dengan kebutuhan insulin seperti di bawah
ini :

Kadar gula mmol (mg/dl) Kebutuhan insulin


darah

4,4 ( 80 ) Matikan pompa, beri glukosa IV


4,4 - 6,6 ( 80 - 120 ) Kurangi insulin menjadi 0,2 - 0,7
u/jam
6,6-9,9 (120 - 180) teruskan insulin 0,5 - 1 m/jam
9,9 - 13,2 (180 - 240) . Naikkan laju insulin 0,8 - 1,5
m/jam
> 13,75 (>250) Laju insulin 1,5 m/jam atau lebih

Obesitas dan infeksi berat akan menambah kebutuhan insulin 1,5 - 2 kali lipat Hal penting yang
harus diingat dalam mengelola kadar gula prabedah pada pasien diabetes adalah menetapkan
sasaran yang jelas kemudian pemantauan kadar gula darah untuk menyesuaikan terapi sesuai
sasaran.1,9
Regimen lain untuk pemberian infus glukosa insulin dan kalium (GIK) dikenal dengan
regimen Alberti. Pemberiannya dapat terpisah atau bersama-sama.Berikut ini salah satu teknik
GIK. Pagi hari diberikan dosis intemiten insulin, kemudian 500 cc dextrose 5% ditambah
10 KCl diberikan dengan kecepatan 2 cc/kg/jam. Infus insufin disiapkan dengan mencampurkan
50 unit RI ke dalam 250 cc Nad 0,9% sehingga berkonsentrasi 0,2 unit/cc larutan. Sebelum

19
pemberian dextrose - kalium atau insulin, ukur kadar gula darah kemudian cek gula darah tiap 2-
3 jam, dan berikan dosis insulin sesuai dengan hasil pengukuran di bawah ini:

Kadar gula Infus insulin

< 150 mg/dl 5 cc/jam (1 unit/jam)

150 - 250 mg/dl 10 cc/jam (2 unit/jam)

250 - 300 mg/dl 15 cc/jam (3 unit/jam)

300 - 400 mg/dl 20 cc/jam (4 unit/jam)

2.11 PERAWATAN PASCA BEDAH

Infus glukosa dan insulin harus tetap diteruskan sampai kondisi metabolik pasien stabil dan
pasien sudah boleh makan.Infus glukosa dan insulin dihentikan hanya setelah pemberian
subkutan insulin kerja pendek.Setelah pembedahan besar, infus glukosa dan insulin harus
diteruskan sampai pasien dapat makan makanan padat. Pada pasien-pasien ini, kegunaan dari
suntikan subkutan insulin kerja pendek sebelum makan dan insulin kerja sedang pada waktu
tidur dianjurkan selama 24-48 jam pertama setelah infus glukosa dan insulin dihentikan dan
sebelum regimen insulin pasien dilanjutkan.15
Perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya hipoglikemia atau hiperglikemia pasien pasca bedah
terutama bite terdapat keterlambatan bangun atau penurunan kesadaran. Harus dipantau kadar
gula darah pasca bedah. Pemeriksaan EKG postoperatif serial dianjurkan pada pasien DM usia
lanjut, penderita DM tipe I, dan penderita dengan penyakit jantung Infark miokard postoperatif
mungkin tanpa gejala dan mempunyai mortalitas yang tinggi. Jika ada perubahan status mental,
hipotensi yang tak dapat dijelaskar., atau disrimia, maka perlu diwaspadai kemungkinan
terjadinya infark miokard.2,15

20
2.12 PENATALAKSANAAN PADA KASUS PEMBEDAHAN DARURAT

Keadaan yang jarang tetapi mungkin dijumpai adalah keadaan darurat yaitu pembedahan yang
harus dilakukan pada penderita dibetes mellitus dengan ketoasidosis.Dalam keadaan seperti ini
bila memungkinkan maka pembedahan ditunda beberapa jam.Waktu yang sangat terbatas ini
digunakan untuk memeriksa, mengoreksi keseimbangan cairan, asam basa dan etektrofit yang
merupakan keadaan yang mengancam jiwasebelum pembedahan diJakukan. Bila waktu
penundaan cukup maka dapat dilakukan koreksi ketoasklosis secara tuntas, namun koreksi defisit
cairan dan ketidakseimbangan dektrolit bermakna dapat dicapai dalam beberapa jam. Penderita
harus segera di evaluasi secara lengkap meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan gula
darah, aseton, elektrolit dan analisa gas darah. Kemudian dilakukan koreksi dehidrasi dengan
Nacl 0,9% dengan kecepatan 250 - 1000 cc/jam, apabila kadar gula darah mencapai 250 mg/dl
cairan diganti dengan yang mengandung glukosa. Berikan RI bolus 5-10 unit kemudian
dilanjutkan dengan infus 50 unit dalam 500 cc Nacl dimulai dengan 2-8 unit/jam atau 20 - 80
cc/jam, sebagai patokan mengatur kecepatan infus dengan rumus kadar gula darah terakhir
dibagi 150 atau 100 bila penderita memakai steroid, overweight atau ada infeksi. Dilakukan
pengukuran kadar gula darah serial tiap 2-3 jam pemantauan yang penting ialah analisa gas darah
dan elektrolit. Tetesan dapat diatur dengan mempertahankan kadar gula darah antara 120 - 250
mg/dl.1,2,3,9
Penggunaan terapi bikarbonat pada ketoasidosis merupakan hal yang kontroversial. Meskipun
pH kurang dari 7,1 dapat mengganggu fungsi miokard, koreksi cepat asidosis dengan bikarbonat
dapat menimbulkan peningkatan C02, karena itu koreksi asidosis yang terlalu cepat tidak
dianjurkan.1,2,3

21
BAB III

KESIMPULAN

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Brown Jr and Frink. Anesthetic Management of Patients with Endocrine Disease in A


Practice of Anesthesia, 6thed, Edward Arnold, 1996: 995-1004.
2. Gieseeke and Lee. Diabetic Trauma Patients in Text Book of Trauma Anesthesia ang
Critical Care, Mosby Year Book Inc, 1993: 663-671.
3. Tjokroprawiro A. Diabetes Mellitus Anestesia-Operasi dalam Buku Naskah Lengkap
Konas III IDSAI, 1992: 209-218.
4. William J, Fenderl. Diseases of the Endocrine System in Anesthesia and Common
Diseases, 2nd ed, Philadelphia, WBSaunders, 1991: 204-215.
5. Roizen MF. Anesthetic Implications of Concurent Diseases in Miller RD ed. Anesthesia,
4thed, Churchill Livingstone, 1994: 903-1014.
6. Mathes DD. Management of Common Endocrine Disorder in Stone DJ ed. Perioperative
Care, 1sted, Mosby Year Book Inc, 1998: 235-265.
7. McAnulty GR, Robertshaw HJ, Hall GM. Anaesthetic Management of Patients with
Diabetes Mellitus in British Journal of Anaesthesia, London, 2000: 80-90.
8. Morgan JR. Clinical Anesthesiology, 2nded, Lange Medical Book, 1996: 636-655.
9. Haznam MW. Pankreas Endokrin dalam Endokrinologi, Percetakan Angkasa Offset,
Bandung, 1991: 36-106.
10. Worthley. Synopsis of Intensive Care Medicine, Longman, 1994: 611-623.
11. Zaloga Gary P. Endocrine Consultation in Clinical Anesthesia Practice, WB Saunders,
1994: 185-209.
12. Litt L, Roizen MF. Endocrine and Renal Function in Risk and Outcome in Anesthesia,
JB Lippincott, 1988: 111-125.
13. Roizen MF. Endocrine Abnormalities and Anesthesia, Renal Disfunction dan Diabetes,
IARS Review Course Lecture, 19%: 104-113.
14. Rush MD, Winslett S, Wisdom KD. Endocrine Emergencies in Tintinalli, Kelen,
Stapezynski ed. Emergency Medicine, 5th ed, Me Graw Hill, 1998: 1355.

23
15. Arauz C, Raskin P. Surgery and Anesthesia in Lebovitz HE ed. Therapy for Diabetes
Mellitus and Related Disorder, American Diabetes Association Inc, Virginia, 1991: 147-
50

24

Anda mungkin juga menyukai